Kamis, 02 April 2009

CERPEN KARYA SISWA X.3 0809

Menulis cerita pendek merupakan suatu kegiatan menuangkan gagasan imajiner yang amat menarik dan berguna bagi pembelajar. Gagasan imajiner yang mereka tuangkan merupakan bagian dari kreativitas mereka dalam berkarya dengan menggunakan simbol-simbol verbal: bahasa yang amat memungkinklan seseorang menuangkan gagasannya secara bebas ekspresif sesuai dengan keinginannya.

Berikut ini merupakan klarya siswa X.3 0809 dalam berkerasi melalui karya cerita pendek. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa cerita pendek bukanlah cerita yang pendek, namun merupakan suatu karya sastra yang secara fisik memang pendek, tetapi mengungkapkan satu topik masalah secara terfokus dan menimbulkan satu kesan tunggal (a single vivid impression).

Karya siswa ini semoga merupakan langkah awal atau mungkin langkah lanjut bagi yang belum biasa atau yang sudah biasa menulis. Memasuki millenium XXI tentulah merupakan suatu tantangan sekaligus peluang bagi generasi muda guna memasuki globalisasi secara berkualitas.

Membudayakan menuangkan gagasan secara mapan sesuai dengan perkembangan zaman dengan menggunakan internet memerlukan pendampingan dan pembinaan secara intensif. Hal itu akan bermanfaat bagi perkembangan dan pengembangan pribadi mereka di kemuidian hari. Mereka hidup demi masa depannya yang secara bertahap setapak mdemi setapak berubah sehingga memerlukan kepandaian, kepintaran, dan kelihaian yang berguna bagi mereka.

Semoga rubrik ini amat bermanfaat.

38 komentar:

  1. Nama : Eileen Lukito
    No absen : 9

    Memori yang Hilang

    Ruangan persegi panjang berpintu ganda itu terlihat sangat elegan. Buku-buku setebal kamus tersusun rapi pada rak-rak di kedua sisi lantai kedua ruangan tersebut yang dibatasi dengan pagar cokelat. 2 buah tangga yang juga berwarna cokelat berliuk-liuk menuju lantai kedua tersebut. Lampu yang dilapisi kristal-kristal tergantung di langit-langit, rantai-rantainya menjulang dengan sangat elegan ke setiap ujung ruangan. Sebuah grand piano yang terbuat dari kaca menghiasi bagian tengah ruangan itu, menambah keeleganan ruangan itu. Bayangan grand piano itu dipantulkan oleh cermin-cermin yang melapisi ketiga sisi dinding ruangan itu. Di balik grand piano itu, kaca transparan menggantikan dinding cermin, memperlihatkan hamparan kebun yang sangat terawat dan tersusun dengan indah.
    Di kedua kursi tersebut, duduk dua orang pria yang sama-sama bukan orang asli Jepang yang sedang memperdebatkan sesuatu. Mereka berdua memperlihatkan raut muka tanpa emosi, ekspresi tenang. Perdebatan tersebut telah berlangsung selama 15 menit. Di atas meja bundar, terhampar selembar kertas dan sebuah pena.
    “Ah, kita sebaiknya tidak memperpanjang masalah ini lagi, Mr. Corncent. Harga ini adalah harga yang setimpal bagi tanah di daerah itu,” jawab pria yang lebih muda dengan suara yang tenang. Usianya kira-kira hanya 17-18 tahun, tetapi matanya menunjukkan pengetahuan dan kepercayaan dirinya yang sangat besar. Kedua mata itu juga memancarkan sesuatu yang tidak bisa diartikan.
    “Tetapi tanah ini seharusnya mendapat harga yang lebih tinggi, daerah itu adalah daerah yang cukup strategis seperti yang telah Anda ketahui,” balas Mr. Corncent dengan suara yang sedikit memaksa. Beliau mungkin telah berusia 50 tahun dilihat dari tanda-tanda ketuaan pada wajahnya. Tetapi, matanya masih memancarkan semangat mudanya. Sudah bertahun-tahun beliau tinggal di rumahnya yang tidak kalah besarnya dengan Kerajaan Inggris.
    Pria yang lebih muda tersebut tidak membalas perkataan Mr. Corncent . Matanya menerawang jauh ke luar jendela, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Suasana menjadi hening, yang terdengar hanyalah suara kedua jarum jam dinding di ujung ruangan itu yang berlomba-lomba menuju angka 12. Lalu, pria tersebut kembali menatap lawan bicaranya dengan pandangan yang berbeda. Pandangannya sulit diartikan. Seperti pandangan mata yang dingin tetapi ada kesedihan yang mendalam di balik pandangannya itu. Lalu, ia menepuk pundak Mr. Corncent, mengunci pandangannya pada kedua mata pria tua tersebut, dan tanpa memberikan kesempatan kepada pria tua tersebut untuk bereaksi, ia berkata dengan suara yang lantang ,”Patuhi perintahku. Aku, Keil Arcentrine Veldargone Cross User, memerintakanmu untuk menandatangani kontrak jual beli tanah ini sekarang!”
    Suara itu seperti mengandung kekuatan yang sangat besar. Kedua mata Mr. Corncent tiba-tiba saja menjadi tidak fokus. Tangannya bergerak di luar kemauannya, dan tubuhnya seperti dikendalikan oleh suara itu. Mr. Corncent mengambil pena dan dengan lambat, tanda tangan nya pun tertera di kertas tersebut. Lalu, beliau duduk bersandar di kursinya, matanya tetap tidak terfokus, seperti sedang melihat sesuatu yang sangat jauh.
    Pria yang bernama Keil A. Veldargone itu pun langsung membereskan kertas yang sudah ditandatangani itu, menyimpannya dalam sebuah map, lalu beranjak keluar dari ruangan elegan tersebut. Bersamaan dengan ditutupnya pintu ganda tersebut, Mr. Corncent pun terbangun, matanya kembali normal. Setelah beberapa detik, beliau tersentak dengan apa yang baru saja dilakukannya.
    ‘Mengapa aku tanda tangani kontrak itu ?’ pikirnya ngeri sambil memandangi pria bertubuh tegap yang menyusuri kebunnya menuju sebuah mobil lamborghini berwarna hitam.


    Keil menghidupkan mesin mobilnya, lalu menaruh map berisi akte jual beli tanah itu di kursi di sebelahnya. Setelah mengemudi cukup jauh dari kediaman Mr. Corncent, Keil menepikan mobilnya, rasa lelah yang sangat hebat menghantam dirinya. Ia menopang kepalanya pada setir mobilnya. Kepalanya terasa seperti ditusuk-tusuk oleh ratusan jarum. Jantungnya berdetak dengan sangat cepat, seperti akan meledak. Keil menghambur-hamburkan isi laci mobilnya dengan tangan kirinya sampai ia menemukan sebuah botol dari kaca transparan. Ia segera membuka tutupnya, lalu menelan 2 pil berwarna putih sekaligus. Setelah beberapa menit, mata Keil tetap terpejam, membiarkan pil tersebut bereaksi dengan tubuhnya.
    Lalu, Keil membuka kedua matanya dengan pelan. Sebuah senyuman menghiasi bibirnya. Senyuman itu bukan senyuman kemenangan, melainkan sebuah senyuman pasrah. Keil menatap langit yang cerah, namun kedua matanya menunjukkan kesedihan yang sangat mendalam.
    ‘Rasanya.. Efek sampingnya semakin parah saja..’ pikir Keil sambil menatap botol transparan yang berisi pil-pil putih di tangan kirinya. Tiba-tiba, Keil melempar botol itu kembali ke dalam laci mobilnya. Senyuman sinis menghiasi bibirnya lagi. ‘Hahaha, baguslah, semakin parah semakin bagus, aku sudah tidak tahan berada di dunia ini lebih lama lagi’ pikir Keil sambil mengambil kacamata hitamnya.
    Saat ingin menjalankan mobilnya, tiba-tiba iPhone di sakunya berdering. Keil mengambilnya, melihat sekilas siapa yang menelponnya, lalu mengangkatnya dengan malas.
    ‘Bagaimana misimu ?’ Terdengar suara wanita yang sangat berkharisma dari seberang.
    “Berjalan dengan baik. Seperti biasanya,” jawab Keil dengan nada datar.
    ‘Baiklah,’ balas wanita itu singkat lalu memutuskan sambungannya.
    Keil melempar iPhone nya ke kursi di sebelahnya, lalu mengemudikan mobilnya secepat kilat menuju tempat kuliahnya.

    Setelah sampai di Musical University, Keil langsung memarkirkan mobilnya di lapangan parkir yang hampir penuh dengan mobil-mobil mewah. Musical University adalah salah satu universitas musik terbaik di negara Jepang. Universitas ini terkenal dengan fasilitasnya yang lengkap dan kualitasnya yang tinggi. Kebanyakan murid di universitas ini adalah anak-anak dari pejabat atau orang berstatus tinggi lainnya. Jadi tidak aneh kalau lapangan itu lebih menyerupai tempat pameran mobil-mobil mewah daripada tempat parkiran mobil. Setelah memakirkan mobilnya di antara mobil porsche kuning dan pagani zonda berwarna silver, ia pun turun dan langsung beranjak ke gedung latihan di universitas itu. Ia berjalan terus, tidak mengindahkan suara gadis-gadis bodoh yang berteriak histeris ketika ia lewat. Setelah sampai, ia pun segera memesan satu ruangan latihan piano dan bergegas ke ruangan itu.
    Keil membuka pintu ruangan itu. Ruangan tersebut dibuat kedap suara sehingga tidak mengganggu ruangan latihan yang lain. Sebuah grand piano berwarna hitam menghiasi bagian tengah ruangan. Setelah menghidupkan pendingin ruangan dan menarik tirai untuk menuntupi jendela-jendela di ruangan itu, Keil melangkahkan kakinya ke arah grand piano tersebut. Suara kakinya teredam oleh karpet hitam yang melapisi lantai ruangan.
    Keil duduk dengan santai di depan grand piano tersebut, lalu membuka penutup piano itu, yang menampilkan sederet tuts-tuts berwarna hitam dan putih. Setelah memejamkan matanya sebentar, Keil menaruh kedua tangan nya di atas tuts-tuts piano tersebut. Alunan lagu Presto Agitato karya Beethoven mengalun dengan sangat cepat, menampilkan berbagai perasaan Keil yang kacau balau.
    Ingatan-ingatan masa kecil Keil berlomba-lomba memasuki benaknya. Pertama, memori ketika pertama kali Keil diberitahu kalau ia berbeda oleh seorang wanita yang menunjukkan aura berkuasa. ‘Kita tidak sama dengan mereka, para manusia normal ...Cross User, itulah sebutan bagi kita..’ Lalu, memori itu berganti dengan memori lain. Memori tentang percakapan antara Keil dengan seorang pria yang adalah gurunya saat kecil. ‘Suaramu adalah perintah yang mutlak. Itulah cross mu. Hanya ada satu syarat, kau harus menyentuh makhluk hidup yang ingin kau beri perintah agar tidak terlalu menguras tenagamu, mereka akan berada dalam posisi ‘tidur’ maksimal 10 menit, kau bisa memutuskan aliran cross mu kapan saja…,’ ‘ Ada 4 tipe cross. Sayangnya, cross mu adalah tipe ke-4, di mana nyawamu akan berkurang setiap kali kau memakai cross mu....’ ‘Setiap cross user akan diberikan misi dari atasan... ‘Segala hal tetang cross adalah rahasia. Manusia biasa tidak boleh mengetahuinya...’ Kemudian memori lain memenuhi pikirannya. Seorang perempuan yang usianya hanya berbeda 4 tahun dari dirinya. Pandangan matanya lembut, berbeda dengan pandangan orang-orang pada memori sebelumnya. Ia tersenyum pada Keil. ‘ Keil.. Kau tidak boleh lari dari kehidupanmu. Ini adalah takdir bagi kita, para cross user..’
    Jari-jari Keil bergerak lincah, menekan tuts-tuts piano tersebut. Alunan lagu tersebut terasa sangat menyakitkan, menyedihkan, membuat orang yang mendengarnya dapat merinding. ‘..Takdir ? Dunia ini memang tidak adil..’ pikir Keil sambil tersenyum sinis. Tempo lagu tersebut terus bertambah cepat, cepat, dan semakin cepat dan…
    BAM
    Suara berbagai nada yang tidak harmonis terdengar di ruangan itu ketika Keil menghentikan permainannya dan menoleh ke arah pintu ruangan tersebut yang baru saja dibuka oleh seseorang. Di sana, berdiri seorang perempuan berambut sebahu yang menatap Keil. Ekspresinya tidak bisa dibaca. Selama beberapa saat, Keil memandangnya dengan pandangan yang dingin, jelas-jelas menunjukkan kalau kehadiran perempuan itu sangat mengganggunya. Akhirnya, perempuan itu membuka mulutnya. “Hmm, maaf mengganggu, tetapi begini..Tadi, kami sedang bermain permainan ‘Jujur atau Tantangan’ , singkat cerita, aku kalah dan diberi tantangan untuk-,”
    “..Bukan urusanku..,” potong Keil sambil mengalihkan pandangannya ke arah tuts-tuts piano di depannya.
    Suasana menjadi hening, lalu isakan tangis memecah keheningan tersebut. Keil langsung menoleh ke arah perempuan yang sekarang sedang berjongkok, menggosok-gosok matanya yang basah.‘..$%#*#@ ? Me-mengapa dia menangis ?’ pikir Keil sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Keil bangun dari kursinya, lalu dengan langkah hati-hati mendekati perempuan itu.
    “..Hey, kau….” Keil terdiam, bingung mau berbicara apa kepada perempuan di depannya ini. Isakan perempuan itu semakin menjadi-jadi. Keil menghela nafasnya, lalu mengambil sapu tangan dari kantongnya.
    “..Ini..” katanya sambil menyerahkan sapu tangan itu. Ketika perempuan itu tidak berhenti menangis, Keil akhirnya ikut berjongkok dan bertanya kepada perempuan itu dengan suara yang dipaksakannya setenang mungkin, “Apa yang kau mau dariku ?”
    Isakan perempuan itu mereda, lalu ia berbicara dengan terbata-bata , “ A-aku diberi tantangan un-untuk meminta nomor handphone mu…”
    Ketika Keil bergeming, tidak membalas perkataan perempuan itu, tangisan perempuan itu pun pecah lagi. Keil melihat ngeri perempuan itu, lalu tanpa berpikir lagi langsung mengambil kertas dan mencatat nomor handphone nya. Lalu, ia langsung memberikan secarik kertas itu pada perempuan di depannya.
    Perempuan itu mengambil kertas itu, melihatnya sekilas, lalu sebuah senyum menghiasi bibirnya. Ia berdiri, lalu menghapus air matanya yang tersisa dengan sapu tangan Keil, lalu ia tersenyum menatap Keil.
    “Nama lengkap: Keil Arcentrine Veldargone, nama panggilan: Keil, tinggi badan: 179 cm, berat badan : 62 kg, anak keturunan Jepang campuran Belanda, tinggal bersama keluarga kakak ibunya di Jepang………”
    Perempuan tersebut terus mengoceh tentang identitas Keil sementara Keil hanya bisa menatap perempuan tersebut dengan pandangan tidak percaya.
    “…warna favorit: putih, dan kelemahan terbesar: perempuan yang menangis,” ucap perempuan itu mengakhiri pidato nya, memberi penekanan pada kata-kata perempuan yang menangis. Perempuan tersebut tersenyum manis, lalu berniat pergi dari ruangan itu, ketika Keil menarik tangan kanan perempuan itu, mendekatkan wajahnya ke perempuan itu. “Kau kira bisa pergi semudah itu ?” tanya Keil dengan suara tenang, tetapi mengancam. Sedetik setelah melakukan itu, Keil menggerutu dalam hati, ‘Apa yang sedang kaulakukan, Keil?’ Biasanya, ia tidak akan berurusan lebih jauh dengan perempuan penguntit seperti perempuan di depannya.
    Kedua pipi perempuan itu merona merah, lalu ia menjauhkan wajahnya dari Keil dan menarik tangan kirinya yang dipegang Keil. Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya, kelihatan sekali kalau ia tidak mengira Keil akan berbuat seperti itu. Ia menunjuk-nunjuk Keil, berniat mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata itu seperti ditahannya. Keil tertawa dalam hatinya melihat tingkah perempuan penguntit di depannya.
    “Well, sampai ketemu lagi kalau begitu, perempuan penguntit,” ucap Keil sambil tersenyum mengejek dan keluar dari ruangan itu menuju kelasnya yang sebentar lagi akan dimulai.
    Dan ini adalah pertemuan pertama mereka.

    Lamborghini hitam yang dikendarai Keil memasuki gerbang yang dibuka oleh 2 orang penjaga kediaman keluarga Veldargone yang membungkuk memberi hormat kepada Keil. Mobil itu terus berjalan lurus sejauh kira-kira 20 meter sebelum berbelok ke kanan dan berhenti. Kebun yang terawat dengan sangat indah menghiasi bagian kanan dan kiri jalan itu, dari gerbang utama sampai bagian depan pintu masuk utama. Di depan pintu utama, berbaris 6 orang pria berseragam sama yang masing-masing berdiri dengan sikap istirahat di tempat. Keil membiarkan mesin mobilnya tetap hidup, lalu turun dari mobilnya sambil membawa map yang berisi akte jual beli tanah Mr. Corncent. Seorang pria dari barisan itu langsung mengambil alih mobil Keil dan mengendarai mobil itu ke bagian kanan belakang kediaman itu, di mana mobil-mobil keluarga Veldargone yang lain berbaris dengan rapi.
    Pintu masuk ganda berwarna cokelat itu dibuka oleh 2 orang perempuan dari dalam yang juga membungkuk memberi hormat ketika Keil melewati mereka. Ruangan di balik pintu ganda itu sangat besar dan klasik. Lantainya terbuat dari marmer cokelat bercorak batu-batuan, dindingnya perpaduan dari warna cokelat dan putih. 2 buah tangga berwarna cokelat berliuk-liuk menuju lantai kedua. Di antara kedua tangga tersebut, terdapat pintu ganda berwarna cokelat untuk menuju ballroom kediaman Veldargone, di mana pesta-pesta meriah yang hanya dihadiri para cross user diselenggarakan. Di bagian kanan dan kiri ruangan utama tersebut, terdapat lebih banyak pintu yang menuju ruangan-ruangan berbeda. Lampu yang dihiasi dengan kristal-kristal tergantung di langit-langit, seperti stalaktit di gua-gua.
    Keil menaiki salah satu tangga menuju lantai kedua, di mana seorang perempuan membungkuk memberi hormat kepadanya, lalu berkata dengan nada yang sopan, “Keil-sama (sama=panggilan dari bawahan kepada atasan), ibunda anda telah berpesan agar anda langsung menemuinya di ruang kerja beliau setelah anda selesai kuliah.” Keil mengangguk kepada perempuan tersebut, lalu langsung berjalan lurus sampai berada di tengah persimpangan, lalu berbelok ke kanan ke lorong yang lebih sempit, dan mengetuk pintu pertama di lorong tersebut.
    “Masuk,” Terdengar suara perempuan yang sama dengan perempuan yang menelepon Keil tadi pagi.
    Keil membuka pintu ruangan tersebut dan mendapati ibu angkatnya duduk di belakang meja kerja elegan berwarna cokelat. Perempuan itu masih muda, tangannya bergerak cepat di atas secarik kertas yang sedang dikerjakannya. Ia memandangi Keil dan map yang dibawa Keil sekilas, lalu menyuruh Keil untuk duduk di kursi di depannya. Keil menuruti perintahnya dan menaruh map itu di atas meja. Perempuan tersebut langsung mengambil map itu dan membaca isinya. Matanya bergerak-gerak dengan lincah membaca akte jual beli tanah tersebut. Kemudian ia menaruh kembali map itu dan menatap Keil dengan pandangan yang tegas.
    “Apakah ada bantuan cross dalam misi kali ini ?” tanya perempuan itu dengan suara yang tegas.
    “Ya, Mr. Corncent ternyata bukan orang yang mudah dibujuk,” jawab Keil dengan nada yang sopan. Sepintas, Keil melihat kesedihan dalam kedua mata perempuan itu, tetapi mungkin itu hanya bayangannya. Sejauh sepengatahuannya, ibu angkatnya hanya menaruh perhatian terhadap pekerjaan nya dan misi-misi nya sebagai cross user.
    “Baiklah, kau boleh kembali ke kamarmu,” ucap perempuan itu, lalu ia mulai menyibukkan diri dengan kertas-kertas di atas meja kerjanya.
    Keil beranjak keluar dan menutup pintu ruangan itu dengan hati-hati. Ia berjalan kembali ke tengah persimpangan di lantai kedua tersebut. Lalu, berbelok kanan dan berjalan lurus menuju kamarnya yang berada paling ujung di bagian kiri lorong tersebut. Sinar matahari sore menerobos masuk melalui kaca transparan yang terbentang di depannya, menggantikan tempat di mana seharusnya terdapat dinding.
    Keil memasuki kamarnya yang tidak dikunci, lalu merebahkan dirinya ke ranjang empuk di tengah ruangan yang cukup besar tersebut. Kamarnya didominasi oleh warna biru. Di bagian kanan terdapat pintu menuju kamar mandi, dan di sebelah pintu tersebut terdapat pintu kedua yang menuju ruangan dimana pakaian-pakaian Keil tersusun dengan rapi.
    Keil mengeluarkan iPhone nya dan melihat jam di layar iPhone tersebut. Jam 6 tepat. Keil menaruh iPhone nya di atas ranjang, lalu berniat untuk mandi ketika ketukan pelan terdengar dari pintunya.
    “Ma-,” Belum selesai Keil berbicara, pintu tersebut telah terbuka dan seorang perempuan yang tidak jauh berbeda umurnya dengan Keil memasuki kamarnya dan langsung duduk di samping Keil. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang sangat besar. Tangannya memegang leher Keil, seperti sedang memeriksa detak jantungnya. Ia memejamkan mata dan berdiam dalam posisi seperti itu selama beberapa menit.
    Keil tidak bergerak, membiarkan cross kakak angkatnya itu bekerja. Cross pemeriksaan, itulah cross kakaknya. Cross ini memungkinkan kakaknya untuk memeriksa kondisi semua makhluk hidup dan jika mau, mengikuti perubahan kondisi tersebut dari jarak jauh. Sekarang, tentu saja kakaknya sedang memeriksa umur hidup Keil yang semakin berkurang setiap kali Keil menggunakan cross nya. Kegiatan ini merupakan kegiatan rutin yang dilakukan kakaknya setelah Keil menyelesaikan sebuah misi.
    Beberapa menit berlalu, akhirnya kedua matanya terbuka dan ia menatap Keil dengan pandangan yang khawatir.
    “Berkurang 2 hari lagi, ” ucap perempuan itu sambil merebahkan dirinya di ranjang Keil.
    Keil menghela nafas. “Baguslah, berarti 10 hari lagi, dan aku akan meninggalkan dunia yang membosankan ini,” balas Keil dengan muram.“Oh ya, Heavel onee-san (=panggilan untuk kakak perempuan),” lanjut Keil tanpa menghiraukan seruan kakaknya mendengar jawaban Keil. “Lain kali, bisakah menunggu jawabanku dulu sebelum masuk ke kamarku ?” pinta Keil sambil tersenyum santai. Hanya di depan kakak angkatnya ini, Keil bisa bersikap santai dan apa adanya. Sejak mereka bertemu 13 tahun yang lalu, ketika Keil masih berusia 3 tahun, hubungan di antara mereka menjadi semakin erat. Mendengar permintaan Keil, perempuan bernama Heavel itu hanya mencibir pelan dan mengacak-ngacak rambut adiknya. Keil tertawa lepas dan beranjak dari tempat tidurnya menuju kamar mandinya, meninggalkan kakak perempuannya berbaring di ranjangnya.
    Sementara Keil mandi, Heavel berguling-guling di atas ranjang Keil. Kira-kira 3 menit kemudian, iPhone Keil bergetar, menandakan satu pesan baru masuk. Heavel mengambil iPhone adiknya itu dan tanpa ragu-ragu langsung membuka pesan baru tersebut.
    “KEIL ARCENTRINE VELDARGONE. DASAR LAKI-LAKI TIDAK TAU SOPAN SANTUN!!!”
    Heavel tersentak membaca pesan dari nomor tidak terkenal tersebut, lalu sedetik kemudian ia tertawa terbahak-bahak. Keil keluar dari kamar mandi memakai baju santai, rambutnya berantakan karena masih basah. Melihat Heavel tertawa seperti orang gila, Keil mengernyit aneh, dan langsung menatap iPhone nya yang dipegang kakaknya itu.
    “Keil, HAHAHA..,” Tawa kakaknya tidak berhenti sampai-sampai Keil ngeri melihatnya. Ia pun langsung mengambil iPhone nya dari tangan kakaknya yang sekarang sedang memegangi perutnya. Matanya bergerak ke arah kanan dengan lambat, seakan tidak percaya pesan baru yang diterimanya. Sedetik kemudian, wajah perempuan penguntit yang ditemuinya tadi pagi mengisi kepalanya. Keil pun hanya tersenyum geli melihat pesan itu.
    “..Ah, jarang sekali kau tersenyum seperti itu. Pesan itu dari seorang perempuan bukan ? Apakah kau menyukainya? Dia cantik? Manis ?” tanya kakaknya seperti seorang polisi menginterogasi seorang tahanan.
    Keil hanya tersenyum dan setelah berpikir cukup lama, ia akhirnya memberikan sebuah jawaban kepada kakaknya.
    “..Ya, ia perempuan. Dan ia kelihatan berbeda dari perempuan lainnya,” ucap Keil sambil menatap kakaknya yang sekarang tersenyum-senyum aneh seperti orang gila.

    Keesokan harinya setelah selesai kuliah, Keil berjalan menuju mobil lamborghini hitamnya, berniat untuk langsung pulang ke kediamannya. Di bagian depan mobilnya, bersandar seroang perempuan yang menatap Keil dengan pandangan yang sulit diartikan. Pandangan marah, malu-malu, dan was-was bercampur jadi satu. Keil terkejut dan sedikit merasa senang ketika melihat perempuan itu, perempuan yang terus mengusik benaknya dari tadi pagi.
    “Kita ketemu lagi eh , cewek penguntit ?” sapa Keil sambil tersenyum mengejek dan mendekati perempuan itu.
    “Stop di sana! Jangan harap kau bisa mencuri kesempatan lagi dari ku!” balas perempuan itu sambil menudingkan jari telunjuk nya ke arah Keil. Keil berhenti 1 meter jauhnya dari perempuan itu, lalu tersenyum geli.
    “Hei, jelas-jelas kau yang ingin menemuiku sampai-sampai menungguku di sini bukan? Jadi, apa yang kau mau kali ini? Kau diberi tantangan yang lain lagi?” tanya Keil dengan nada mengejek. Tidak tau mengapa, ia menikmati percakapannya dengan perempuan di depannya ini. Perempuan itu tidak menggubris sindiran Keil dan mengeluarkan sapu tangan putih yang kemarin diberikan Keil kepadanya.
    “Ini, aku kembalikan,” ucap perempuan itu sambil meletakkan sapu tangan tersebut di atas mobil Keil. Keil menatap sapu tangan itu, lalu menatap perempuan di depannya itu lagi. Perempuan tersebut sepertinya ingin mengatakan sesuatu, tetapi mengurungkan niatnya. Merasa sayang akan berpisah dengan perempuan itu secepat ini, Keil tanpa pikir panjang langsung mengajukan pertanyaan kepada perempuan itu.
    “Hey,” panggil Keil. Perempuan itu menatap Keil dengan mata bulatnya yang lucu. “Ada kafe baru di dekat sini, kau mau menemaniku untuk mencobanya?” tanya Keil dengan nada datar, masih ragu-ragu apakah ia mengambil keputusan yang benar atau tidak. Perempuan itu menatap Keil sebentar, lalu tersenyum manis. “Tentu saja,” jawab perempuan itu tanpa ragu-ragu. Keil tersenyum mendengar jawaban perempuan di depannya ini, lalu membuka kunci mobilnya, mengambil sapu tangan nya yang tergeletak di atas mobilnya, dan duduk di bangku pengemudi. Perempuan tersebut duduk di bangku penumpang di sampingnya dan langsung menelepon seseorang. Jeda sesaat, sebelum telepon nya diangkat oleh seseorang.
    “Otou-san (=Ayah), tolong suruh seseorang mengambil mobil Yuuki di tempat kuliah Yuuki. Kunci cadangan nya ada di laci Yuuki.”
    Seseorang di seberang membalas perkataan perempuan bernama Yuuki tersebut. Lalu, Yuuki berpikir sebentar sebelum menjawab pertanyaan orang di seberang telepon tersebut.
    “Hmm, Yuuki ada urusan sebentar,” jawab Yuuki singkat, pipinya merona merah yang sangat disukai Keil, lalu ia memutuskan sambungannya.
    Keil tersenyum geli mendengar jawaban Yuuki. Lalu ia menghidupkan mesinnya, keluar dari lapangan parkir universitas tersebut, dan mengemudikan mobilnya dengan lambat ke arah kafe baru yang berada agak jauh dari tempat kuliahnya ini.
    “Jadi namamu Yuuki ? Yuuki (=salju dalam Bahasa Jepang) dari kata salju?” tanya Keil memulai perbincangan mereka. Di sebelahnya, Yuuki mengangguk. “Yuuki Amano, itu nama lengkapku,” jawab nya singkat.
    ‘Bertentangan sekali, orang yang bernama Yuuki seharusnya orang yang lembut, tidak seperti orang di sampingku ini,’ pikir Keil geli.
    “Ha! Kau pasti berpikir kalau nama ku bertentangan kan ? Aku bisa melihatnya dari raut mukamu!” ucap perempuan itu tiba-tiba dengan nada menuduh.
    Keil hanya tersenyum sambil menatap Yuuki sekilas, lalu kembali berkonsentrasi mengemudikan mobilnya. Di sampingnya, Yuuki mengoceh-ngoceh tidak jelas tentang berbagai hal yang sama sekali tidak penting.

    “Es krim di kafe itu sangat enak!” seru Yuuki ketika mereka berjalan keluar dari kafe baru itu, dan menuju mobil lamborghini hitam Keil. Keil tersenyum melihat kepolosan perempuan di sampingnya. Mereka berada kurang lebih 2 jam di kafe itu. Mereka mengobrol tentang keluarga Yuuki, kadang-kadang Yuuki bertanya tentang kehidupan pribadi Keil yang Keil jawab dengan jawaban singkat. Waktu seakan berjalan dengan sangat cepat ketika Keil berada di dekat Yuuki. Mereka tiba di lapangan parkir yang berada di samping kafe itu, dan masuk ke dalam mobil Keil. Keil menghidupkan mesin mobilnya, lalu ia menatap Yuuki yang masih mengoceh tentang es krim.
    “Kau benar-benar sangat polos dan lucu,” komentar Keil. Kedua pipi Yuuki merona merah. Setelah diam cukup lama, Keil melanjutkan, “Aku baru kali ini bertemu perempuan sepertimu. Yuuki, aku-,” Ucapan Keil terpotong ketika Yuuki yang pipinya sekarang sudah semerah buah tomat, membuka pintu mobil Keil. “A-aku, aku mau be-beli air mineral dulu,” ucapnya terbata-bata, lalu turun dari mobil Keil.
    Keil tertawa lepas melihat sikap malu-malu si Yuuki. Lalu, tawanya seketika digantikan oleh seruan tercekat saat ia melihat sebuah truk yang dikemudikan oleh seseorang yang sedang bercanda tawa dengan orang di sebelahnya. Truk itu melaju kencang di lapangan parkir tersebut, tidak memperhatikan Yuuki yang sedang menyebarngi jalan di depannya.
    Tanpa banyak pikir lagi, Keil langsung berlari keluar dari mobilnya ke arah Yuuki sambil mengumpulkan kekuatan untuk menggunakan cross-nya. Truk itu terus melaju kencang. 5 meter, 3 meter, 2 meter.
    “Yuuki!!”
    Dalam waktu 2 detik itu, Keil melompat memeluk Yuuki. Tangan kanannya memegangi bagian depan sisi truk dan perintah keluar dari mulutnya.
    “Aku, Keil Arcentrine Veldargone Cross User, menyuruhmu untuk memberhentikan truk ini sekarang juga!”
    Penggunaan cross pada 2 orang sekaligus secara tidak langsung, melainkan melalui sebuah perantara, yaitu truk. Hal ini belum pernah dilakukannya. Truk itu berhenti tepat di depan wajah Keil, keempat mata di dalam truk itu kelihatan tidak terfokus, dan tepat saat itu juga seluruh tenaga Keil terasa menguap dari tubuhnya. Pandangan Keil menjadi kabur dan ia menatap Yuuki yang kelihatan seperti habis melihat hantu.
    “Pil..mobil..laci..,” ucap Keil lemah sebelum kegelapan menelannya.
    Yuuki gemetaran dan langsung berlari-lari menuju mobil Keil, mencari-cari pil yang dimaksud Keil ketika iPhone pemuda itu bergetar. Tanpa banyak pikir lagi, Yuuki langsung mengangkat telepon itu. Suara perempuan yang khawatir terdengar dari seberang .
    ‘Keil! Apa yang kau lakukan dengan cross mu ? Aku merasa kehidupanmu berku-’
    “Tolong! Aku sama sekali tidak mengerti! Tetapi, Keil tiba-tiba ping-pingsan setelah-”
    ‘Di mana kalian sekarang ?’ Suara perempuan itu terdengar was-was.
    Yuuki memberitahu alamat kafe baru itu, memutuskan sambungan, lalu memeluk Keil yang tergeletak di atas jalan.

    Kedua mata Keil membuka dengan pelan. Pertama, semuanya gelap, Keil hanya bisa merasakan tubuhnya yang sangat lemah. Lalu, seiring kedua matanya menyesuaikan diri dengan sinar di ruangan itu, Keil mulai bisa mengenali ruangan tempat ia dibaringkan itu. Ruangan yang didominasi oleh warna merah itu adalah salah satu ruangan di kediamannya, yaitu kamar kakak angkatnya, Heavel.
    “Keil, ah Keil, akhirnya kau sadar. Kau sudah tertidur selama 2 jam, a-aku tidak tau lagi apa yang harus kuperbuat,”
    Suara itu adalah suara Heavel. Suaranya terdengar khawatir, shock, dan putus asa. Keil menoleh ke arah kakak angkatnya yang sedang duduk di samping ranjangnya. Keil tersenyum lemah sekilas, lalu mencoba untuk duduk. Sambil membantu Keil, Heavel meneruskan penjelasannya.
    “Oh Keil, ketika temanmu yang bernama Yuuki itu mengangkat teleponku, aku benar-benar terkejut. Tidak sampai 3 menit, aku sudah tiba di tempat kalian berada. Ooh, aku benar-benar ngeri melihat pemandangan di tempat parkir itu. Pikiran pertama yang terlintas di benakku adalah kau-sudah-gila. Memberhentikan sebuah truk ? Apa yang ada dalam pikiranmu Keil Arcentrine Veldargone ?” ucap Heavel dengan suara yang semakin meninggi.
    Keil hanya tersenyum lemah, lalu bertanya dengan suara yang serak, “Bagaimana dengan Yuuki ?”
    “Oh, kau patut bertanya tentang dia. Dia, tentu saja, shock berat. Sekarang dia sedang menunggu di bawah. Biar aku selesaikan penjelasanku dulu sebelum kau bertanya lagi. Saat aku sampai di sana, 2 hal yang aku lihat. Pertama, Yuuki sedang menangis sambil memelukmu. Wajahnya seperti habis melihat hantu. Kedua, sebuah truk yang berada 5 cm di depan kalian. Kedua penumpang di dalamnya keliahatan tidak fokus. Aku langsung ngeri dengan kesimpulan yang ada dalam benakku saat itu. Bahwa kau telah menggunakan cross mu pada kedua penumpang dalam truk itu dan Yuuki pasti menyaksikannya. Oh Keil, tidak ada saksi mata yang lain, hanya Yuuki,” lanjut Heavel, lalu ia menarik nafas dalam-dalam.
    “Lalu, sekarang Yuuki bagai-?” tanya Keil, tapi terpotong karena Heavel langsung menjawab dengan histeris.
    “Oh, dia menangis terus sepanjang perjalanan ke sini. Dia menjelaskan apa yang terjadi sebelum kau pingsan dan akhirnya dia meminta penjelasan. Aku mengelak, tetapi dia terus bertanya dan menyalahkan dirinya atas kejadian yang menimpa dirimu, dan akhirnya aku menjelaskan semuanya. SE-MU-A-NYA! Tentang cross dan tentang identitasmu dan kondisimu sebenarnya!” jawab Heavel semakin histeris.
    “Oh..,” gumam Keil. Tentu saja, Keil sudah menduga tentang adanya penjelasan kepada Yuuki ketika ia memutuskan untuk menggunakan cross nya saat itu. Tetapi tetap saja, ia masih saja tersentak mendengar penjelasan Heavel. Sekarang, Keil telah merusak kehidupan Yuuki yang damai. Ia telah menyeret Yuuki ke kehidupannya yang gelap. Lalu, suatu masalah lain menyentak dirinya.
    “Berapa lama lagi, kehidupanku di dunia ini ?” tanya Keil pelan kepada Heavel.
    Heavel menatap Keil sedih. Sepertinya ia tidak berniat untuk membicarakan hal ini. Ia tetap bergeming memandangi matahari yang hampir terbenam di luar sana.
    “Heavel onee-san ?” tanya Keil lagi. Perasaan ngeri merasuki dirinya.
    Heavel menarik nafas lagi, lalu menjawab dengan suara gemetar, “Tidak lama lagi, ka-kau tidak akan bisa melihat matahari terbit besok.”
    Jawaban itu menyentak Keil walaupun ia sudah bisa menduganya. Pikirannya kembali melayang ke Yuuki.
    “Heavel onee-san, apa yang harus kita lakukan terhadap Yuuki sekarang ?” tanya Keil sambil memandang keluar jendela. Heavel memandangi adik angkatnya sebentar, lalu menjawab dengan suara pelan, “ Bukan kita, tetapi kau. Keil, kau pasti lebih tau dariku. Hanya ada satu cara.”
    Keil memandangi kakak angkatnya sebentar, mencoba memahami maksud perkataan kakak nya itu. Lalu, sebuah pemahaman mengalir dalam benaknya.
    ‘Ya, ada satu cara,’ pikir Keil dengan perasaan lega, tetapi bercampur sedih dan ada penyesalan dalam hatinya.
    Lalu, ia memandangi kakaknya lagi. Pandangannya lembut dan penuh tekad. “Heavel onee-san, maukah kau menjaga Yuuki untukku ?” tanya Keil, tersenyum lemah sekilas kepada Heavel yang langsung memeluk Keil sambil menangis. Keil menenangkan kakaknya, lalu mengerahkan seluruh tenanganya, ia beranjak dari tempat tidur dan menemui Yuuki untuk terakhir kalinya.

    Mereka berdua berjalan ke arah pondok yang berada di tengah-tengah kebun keluarga Veldargone. Matahari sudah terbenam seluruhnya, lampu-lampu di sekitar pondok itu menyala terang menyinari Keil dan Yuuki yang terus menangis tersedu-sedu. Suasana di sekitar mereka hening, hanya terdengar isakan dari Yuuki. Lalu beberapa menit berlalu, ketika Yuuki membuka mulutnya.
    “Oh Keil, aku benar-benar bodoh, maafkan ak-“
    Belum sempat Yuuki menyelesaikan permintaan maafnya, Keil menyuruh Yuuki diam. Keil menatap perempuan di depannya itu, sedih melihat apa yang sudah diperbuatnya terhadap perempuan itu. ‘Sekarang Keil, selesaikan apa yang belum selesai,’ pikirnya sambil memegang tangan Yuuki.
    “Kau sudah dengar penjelasan kakak ku, tanpa kejadian ini pun, aku juga tidak akan lama hidup di sini,” ucap Keil lembut. Sambil membelai rambut Yuuki, ia melanjutkan, “Dengar Yuuki, aku mencintaimu.”
    Tangisan Yuuki semakin menjadi-jadi dan ia memeluk Keil. “A-aku juga mencin-cintaimu Keil. Tapi a-aku mencelakaimu hari ini. Oh Keil, aku benar-benar bodoh,”
    Keil menahan air matanya, lalu meneruskan, “Jangan menyalakan dirimu Yuuki, akulah yang bersalah sejak awal. Dengar Yuuki, aku mempunyai permintaan terakhir kepadamu,” Ketika Yuuki tidak membalas perkataan nya, Keil melanjutkan , “Yuuki, maafkan aku, tetapi inilah permintaan ku, kau harus melupakan aku.”
    “TIDAK! Aku tidak akan melupakanmu! Aku tidak mungkin bisa melupakanmu!” balas Yuuki histeris sambil menarik dirinya dari Keil. Keil menatap Yuuki dengan pandangan sayu, lalu berkata, “Maafkan aku Yuuki, kau harus dan akan melupakanku.” Lalu tanpa membiarkan emosi menguasai dirinya, ia memegangi pundak Yuuki dan mengunci pandangannya pada kedua mata yuuki, sambil mengerahkan seluruh tenaganya yang tersisa, ia menggunakan cross terakhirnya, “Aku, Keil Arcentrine Veldargone-,” Mata Yuuki menjadi tidak fokus, tetapi tubuhnya masih melawan dan ingin membebaskan diri dari cross Keil. “-seorang cross user-,” Di sini Yuuki berhenti melawan, sebutir air mata jatuh dari salah satu mata Yuuki yang tidak fokus. Mulutnya seperti mengatakan kata ‘tidak’. Sambil mengepalkan tangan kirinya sekuat mungkin untuk membulatkan tekadnya, ia mengatakan perintah terakhir kepada Yuuki , “memintamu untuk melupakan segala sesuatu yang bersangkutan dengan Keil Arcentrine Veldargone!”
    Setelah mengatakan itu, sebutir air mata jatuh dari pipi Yuuki sebelum kedua matanya terpejam. Keil merasakan energi nya terkuras habis sementara cross nya bekerja, menghapus setiap memori Yuuki bersama Keil. Setelah beberapa menit, Keil merasa aliran cross nya berhenti, menandakan bahwa penghapusan memori Yuuki telah selesai.
    Keil mengecup dahi Yuuki dengan lembut. “Maafkan aku, tapi semua ini demi kebaikanmu Yuuki,” ucap Keil lembut sambil membaringkan Yuuki di atas kursi di pondok itu. Setelah melakukan itu, rasa sakit dan lelah menggerogoti seluruh tubuh Keil. Ia terjatuh, kakinya tidak bisa menopang berat tubuhnya. Berbaring di atas lantai pondok yang dingin tersebut, Keil memandangi bintang pertama yang muncul di langit malam itu, ia tersenyum sekilas sebelum kegelapan abadi menelan dirinya, membawanya pergi dari dunia yang kejam ini untuk selama-lamanya.

    3 bulan kemudian…
    Angin sepoi-sepoi membelai rambut seorang perempuan yang sedang berdiri di atas rerumputan yang mulai menguning. Ia membawa sekuntum bunga di tangannya, lalu setelah memejamkan matanya sebentar, ia maju dan menaruh bunga tersebut di atas sebuah nisan. Di atas nisan tersebut tertulis :
    KEIL ARCENTRINE VELDARGONE
    31 Desember 1991-26 Juli 2009
    Setelah menaruh bunganya, Heavel menoleh ke belakang, ke arah seorang perempuan yang juga membawa sekuntum bunga. Rambunya yang sebahu bergoyang-goyang ditiup angin musim gugur.
    “Giliranmu, Yuuki,” ucap Heavel mempersilahkan Yuuki untuk maju. Yuuki maju perlahan, matanya bergerak membaca tulisan yang tertera di nisan itu. Lama sekali sebelum akhirnya ia bertanya, “Dia adik angkatmu Heavel-san?”
    Heavel menatap Yuuki sedih sebelum menjawab dengan suara lembut, “Iya, dia anak dari adik ayah ku, ayahku sudah menganggapnya seperti anak sendiri, aku sudah memberitahumu tadi kan, mengapa? Ada sesuatu yang mengganggumu?”
    Yuuki menatap nama tersebut lagi sebelum menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menjawab pelan, “Tidak, namanya…familiar.”
    Heavel tersenyum sekilas, sementara Yuuki memejamkan matanya untuk berdoa. Setelah beberapa menit, ia membuka matanya, berjongkok di depan nisan tersebut, dan menaruh bunganya di samping bunga Heavel. Angin sepoi-sepoi membelai rambut mereka berdua lagi, dan Heavel melihat sebutir air mata jatuh ke pipi Yuuki.
    “Yuuki, ada apa?” tanya Heavel terkejut sambil membantu Yuuki berdiri.
    “Ah ?” tanya Yuuki balik, lalu menyeka air matanya. “Aku tidak tau juga, mungkin hanya keselipan debu,” lanjut Yuuki sambil tertawa pelan. Lalu, mata Yuuki terpaku pada nisan itu lagi. Tidak tau mengapa, perasaan ngilu menusuk hatinya setiap kali ia membaca nama yang tertulis di nisan tersebut. Heavel menatap Yuuki sebentar, lalu ia memandangi langit biru di atasnya.
    ‘Lihatlah Keil, aku telah menjaganya dengan baik,’ Air mata jatuh dari pipi Heavel yang langsung disekanya. Lalu, ia melihat langit di atasnya lagi dan tersenyum.
    ‘Beristirahatlah dengan tenang, adikku.’

    Eileen Lukito / 9

    BalasHapus
  2. Tugas Bahasa Indonesia : Membuat Cerpen
    Shirleen L Halim
    X.3/27

    http://pembunuhanberantai.blogspot.com/

    BalasHapus
  3. Kunci Hati


    Ini adalah hari pertamaku di Universitas Musik. Setiap lankahku menuju gedung ini membuatku merasa lebih dekat dengan impianku, aku berharap suatu saat nanti aku dapat menjadi penyanyi ternama. Menggelar konser di mana-mana, ke mana-mana dijaga oleh Bodyguards, punya banyak penggemar, dan tanda tanganku menjadi rebutan semua orang.Ha...ha...menghayal terlalu jauh. Tapi sekarang aku tak perlu berpikir jauh-jauh cukup melangkah memasuki kelas musik pertamaku.
    Aku berjalan menaiki tangga dan berkeliling-keliling di koridor mencari kelas yang kutuju. Sudah dua jam aku berkeliling, naik turun tangga, tapi belum kutemukan juga. Gedung raksasa ini membuatku tersesat di dalamnya. “Astaga, bagaimana ini? Kelas sudah dimulai sejak satu jam yang lalu, masakan hari pertama sudah telat. “Gawaa...at!”jeritku dalam hati. Rasa panik dan gelisah membuatku hampir gila.
    “Ada apa? Butuh bantuan?” terdengar suara dari seorang laki-laki yang sedang berjalan ke arahku. “Aku Ray, siswa baru di sini. Kau tampak begitu panik mencari sesuatu,” ujar cowok itu. Dengan menarik nafas dalam-dalam aku berusaha menenangkan diriku dan berkata,”Namaku Yuri, aku sedang mencari kelasku, tapi sejak dua jam berputar-putar di gedung ini aku tetap saja belum menemukannya. Gedung ini seperti labirin yang menyesatkan orang. Ngomong-ngomong apa kau tahu kelas musik IA di mana?” “Oh itu, kebetulan sekali kita satu kelas, mari kutunjukkan tempatnya!” jawab Ray.”Terima kasih Ray, kalau tidak ada kamu tentu aku akan betul-betul seperti ‘anak ayam yang kehilangan induknya’ di gedung ini, maaf ,ya, sudah merepotkanmu.”ujarku dengan perasaan sedikit lega.”Tidak masalah, lagipula kelas kita kan sama , jadi sekalian saja,”jawab Ray sambil tersenyum. Entah mengapa saat Ray tersenyum kepadaku, aku merasa seolah-olah seorang pangeran yang ganteng dan gagah sedang tersenyum kepadaku. Senyumnya yang manis dengan lesung pipinya yang dalam membuatku sejenak terpesona memandangnya. Sambil berjalan menyusuri koridor, aku berpikir apakah aku mulai menyukai Ray karena senyumannya itu. Ah...tapi kurasa tidak mungkin selama ini hatiku sulit sekali tersentuh oleh orang lain, masakan hanya karena senyuman seseorang, aku jadi menyukainya. Jujur saja, aku belum pernah menyukai seseorang sebelumnya. Memikirkan hal itu membuatku cekikikan sendiri.
    “Yuri, kita sudah sampai,” suara Ray membangunkanku dari lamunan itu.”Oh, ya,” spontan jawabku. Setelah memasuki kelas, dosen pun berkata,”Tidak tahukah kalian ini sudah jam berapa? Pelajaran sudah dimulai dari satu jam yang lalu. Padahal baru hari pertama, tetapi kalian sudah mulai bertingkah. Kalau tidak niat belajar, pulang saja! Yah, tapi untuk kali ini saya maafkan. Sekarang silahkan kalian memperkenalkan diri!” “Nama saya, Yuri Kasagi. Mohon kerjasamanya,ya, teman-teman!” ujarku bersemangat melihat wajah-wajah yang tampak senang dan ramah menyambut kami. “Saya Ray Kazeya,” ujar Ray menyusul.”Kalian silahkan bergabung dengan Seira dan Sora dalam satu kelompok,”ujar dosen sambil menunjuk ke arah mereka berdua. Ruangan itu sangat besar, kira-kira cukup untuk sepuluh grup musik, Seira dan Sora duduk di pojok ruangan. Sepasang mataku terkagum-kagum meliahat kelompok grup musik lain, setiap personilnya mahir sekali memainkan alat musik. Karena begitu terpesona, aku lupa bahwa Seira dan Sora sudah menunggu kami. Akhirnya Ray menarik tanganku dan untuk kedua kalinya aku terkejut. “Saya Seira dan ini saudara kembar saya Sora,” kata Seira sambil memperkenalkan diri.”Saya Yuri dan ini Ray, senang bertemu dengan kalian, mohon kerjasamanya”.”Rupanya kalian saudara kembar, pantas saja wajahnya mirip,”ujar Ray menambahkan.”Sekarang, mari kirta berlatih bersama-sama!” kata Sora sambil memengang stick drum di tangannya, begitu pula Seira sudah siap dengan keyboard-nya. Ray mulai mengambil gitar dan aku pun mencoba untuk bernyanyi. Rasanya senang sekali bisa bekerjasama dengan orang-orang bertalenta seperti mereka, apalagi aku bisa mendapatkan kesempatan untuk menjadi vokalisnya.
    Siang itu aku dan Ray pergi bersama untuk makan siang.”Kamu mau pesan apa?” tanya Ray.”Aku nasi goreng dan lemontea saja,”ujarku. “Bu nasi gorengnya dua, lemontea-nya satu, dan greentea-nya satu,”kata Ray kepada pemilik kantin.”Ray, maukah kamu mengajariku cara memainkan gitar? Dari dulu aku bermimpi agar suatu saat nanti bisa menyanyikan lagu dengan iringan gitar yang kupetik sendiri,”kataku dengan nada memohon sambil berharap agar Ray mau mengajariku.”Tentu saja aku bersedia. Bagaimana kalau nanti sore pukul16.00,apakah kamu bisa?”tanya Ray.”Ya nanti sore aku bisa, tapi apa tidak merepotkan, mungkin orang tuamu akan terganggu, maksudku apa tidak menggangu waktu istirahat mereka?”tanyaku lagi. “Orang tuaku sibuk bekerja, mungkin mereka akan pulang sekitar pukul 18.00, lagipula orang tuaku suka musik, jadi seandainya kita berlatih di sana, mereka tidak akan terganggu. Selain itu di rumahku juga ada beberapa alat musik lain, jadi kamu bisa berlatih memainkan alat musik lain juga. Nanti sore aku akan menjemputmu, aku tunggu di depan gedung ini,”kata Ray menanggapi pertanyaanku.”Sampai ketemu nanti sore,”kataku menanggapi.
    “Kring...kring,” alarmku berbunyi membangunkanku dari tidur siangku. Seketika itu juga aku teringat akan janjiku dengan Ray untuk latihan gitar di rumahnya. Aku berdiri di depan cermin memandang penampilanku yang begitu berantakan.Yah, biasanya aku cuek-cuek aja,mau orang bilang apa, kek, aku nggak peduli asalkan aku senang. Aku mencintai diriku yang seperti ini apa adanya, tapi untuk kesempatan kali ini mungkin aku harus tampil sedikit lebih rapi. Aku tidak ingin Ray melihatku sebagai seorang perempuan yang terlalu ...berantakan. Kalau dipikir-pikir Ray begitu sempurna, orangnya baik dan pengertian. Jika berada di dekatnya rasanya begitu nyaman dan aku pun dapat selalu tersenyum dengan lega, mungkin karena aku benar-benar sudah menyukainya. Meskipun aku tidak tahu perasaan Ray padaku, mungkin cinta ini hanya bertepuk sebelah tangan, namun aku sudah bahagia bisa malihatnya tersenyum setiap hari. Aku hanya berharap agar ia punya perasaan yang sama terhadapku.
    Sesegera mungkin aku pergi ke depan gedung universitas di mana Ray menungguku, aku tidak mau membuatnya menunggu terlalu lama.
    “Maaf, sudah menunggu lama,ya?”tanyaku. “Tak apa, aku baru sebentar menunggu di sini, yuk kita berangkat!”kata Ray mengajakku. Kini aku duduk di belakangnya, jarak kami begitu dekat, dekat sekali.Aku merasa grogi duduk bersama dengannya. Jantungku berdetak dengan sangat kencang, aku berharap agar Ray tidak mendengar bunyinya.
    Ah...lega akhirnya kamia sampai juga di rumah Ray. Sambil melepas helmnya dan tersenyum, Ray berkata,”Yuri, kau tahu, kamu adalah perempuan pertama yang duduk di motor kesayanganku ini, selain ibuku”.”Apa kamu bercanda? Tentu saja seorang cewek spesial yang cukup beruntung pasti pernah meduduki motor ini sebelum aku. Ehm...apa dia tidak marah jika kamu menjemputku?”tanyaku sambil tertawa.”Ha...ha...ha,” tiba-tiba tawa Ray meledak,”Bagaimana bisa marah? Cewek spesial itu aja belum kudapatkan. Tapi sepertinya telah kutemukan cewek spesial itu sekarang”.”Siapa?siapa?” tanyaku penasaran. “Kamu pikirkan saja sendiri,” kata Ray sambil tersenyum ke arahku. Namun jauh di dalam hatiku, aku berharap agar cewek itu adalah aku.
    “Ayo kita masuk!”ajak Ray. Tanpa banyak bicara Ray langsung memulai kelas pertama kami.”Ri, selain gitar, ada juga piano, drum, biola, dan seruling, jika kamu ingin mencoba memainkannya, silahkan saja, anggap saja punya sendiri. Di rak buku sebelah sana juga ada beberapa buku tentang petunjuk memainkan alat-alat musik tersebut. Buku-buku tersebut cukup mudah dipahami, jika ada yang kurang dimengerti jangan sungkan-sungkan untuk bertanya padaku,ok!” kata Ray sambil melayangkan senyuman “pangeran”-nya tersebut.
    Pada awalnya Ray mengajarkan terlebih dahulu beberapa kunci gitar kepadaku, kemudian ia mengajariku cara menggunakan kunci-kunci itu di dalam lagu. Untuk memperkaya ilmu aku pun mencoba untuk membaca buku-buku yang Ray tawarkan kepadaku.
    Setelah berminggu-minggu berlatih, akhirnya aku dapat memainkan gitar tersebut sendiri tanpa bantuan Ray. Untuk selanjutnya Ray hanya membantuku ketika aku mengalami kesulitan untuk menentukan penggunaan kunci pada beberapa lagu. Selama berlatih, aku sering melihat Ray sibuk menulis-nulis sesuatu di secarik kertas, berminggu-minggu perhatiannya terpusat pada kertas itu. Karena penasaran akhirnya aku bertanya,”Ray, apa yang sedang kamu kerjakan?” “Aku tidak sedang mengerjakan apa-apa, lagipula ini tidak begitu penting,” kata Ray sambil tersenyum kembali. Tapi karena aku mendesaknya, akhirnya Ray bicara juga, katanya,”Ini lagu yang kuciptakan untukmu, judulnya ‘Kunci Hati’, karena kau adalah satu-satunya kunci yang pertama dan yang akan menjadi kunci terakhir yang berhasil membuka hatiku yang terkunci selama ini. Aku tidak tahu apakah kau akan suka lagu ini, tapi aku berharap agar suatu hari nanti kamu mau menyanyikan lagu ini untukku”.”Aku pun berharap begitu, seperti kunci-kunci gitar aku ingin menjadi kunci yang dapat membuka hatimu, memberikan nuansa warna dan menjadi melodi bagi hatimu,”kataku dalam hati. Akhirnya aku lega karena ternyata aku tahu perasaan Ray yang sebenarnya padaku. Sejak saat itu aku telah memutuskan untuk menyatakan perasaanku pada hari Valentine dua bulan lagi.
    Dua bulan telah berlalu dan besok adalah hari yang kutunggu-tunggu, hari Valentine. Aku sangat gugup, kupikir mungkin butuh sedikit latihan untuk menghadapi momen tersebut.”Ray ada yang ingin kukatakan .Em...bagaimana memulainya ya, ee..a...e, sebenarnya sejak saat kita bertemu aku sudah mulai menyukaimu,” ah itu terlalu to the point.”Ray, selama ini kamu begitu baik kepadaku dan juga selalu membantuku ,a...aku...”.Ah tidak-tidak itu terlalu bertele-tele. Duh bagaimana, ya, ketika melihat matanya, melihat senyumnya yang bagaikan senyum pangeran itu pasti aku tidak dapat berkata-kata lagi.”Ayo, semangat Yuri!” ujarku menyemangati diri sendiri.
    Keesokan harinya, karena aku tidak ingin perasaanku diketahui orang lain, selain Ray, aku pergi dan menunggunya di jalan yang hanya terletak beberapa meter dari rumahnya. Dengan perasaan gembira,aku berdiri, sabar menunggu sambil menggenggan sekotak coklat buatanku sendiri yang akan kuberikan kepadanya. Tapi kumelihat ada yang aneh dengan rumah itu, sebuah mobil yang cukup besar parkir di depan gerbang rumahnya dan beberapa orang mengangkut koper-koper besar ke atas mobil itu. Samar-samar terdengar olehku ibu Ray berkata kepadanya,”Ray, nanti pulangnya langsung ke rumah, ya, karena pesawat ke Los Angeles akan berangkat pukul 15.00 dan kita tidak boleh terlambat”.”Aku mengerti, Bu,”jawab Ray. “Apa Ray akan berangkat ke Los Angeles, akankah dia kembali lagi?” jeritku dalam hati, nafasku sesak, air mataku mengalir, dan tanpa kusadari Ray sedang berjalan ke arahku. “Ri, kamu menangis, kenapa?”tanya Ray ingin tahu. “Aku sudah tahu semuanya, mengapa kamu tudak memberi tahuku dari awal? Tapi sebelum kau pergi, aku ingin kau tahu sesuatu bahwa selama ini aku pun mempunyai perasaan yang sama terhadapmu, aku menyukaimu. Tetapi mengapa di saat aku ingin berterus terang, di saat yang sama kau harus pergi meninggalkanku?”ucapku sambil membendung air mataku. “Yuri, maafkan aku. Aku juga berat berpisah denganmu, karena engkau adalah orang yang begitu berarti dalam hidupku. Bukannya aku tidak ingin memberi tahumu, tapi semua ini juga begitu mendadak bagiku,”kata Ray.”Apakah kamu akan kembali lagi?”tanyaku lagi.”Aku berjanji suatu saat nanti aku akan kembali lagi ke tempat ini dan pada saat itu sampai seterusnya aku tidak akan meninggalkanmu lagi. Satu hal yang kuminta darimu, berjanjilah apabila kita bertemu nanti, kamu harus lebih dekat dengan impianmu untuk menjadi seorang penyanyi,” kata Ray sambil memandang jauh ke dalam mataku.”Nah, sekarang hapuslah air matamu,” ujar Ray sambil menghapus air mataku. Seketika itu juga Ray mendekapku dalam pelukannya, kehangatan dan kedamaian mengalir ke dalam hatiku. Ingin rasanya aku berada dalam dekapannya dan berharap agar kepergian Ray hanyalah sebuah mimpi, sehingga ketika aku bangun semua itu akan berakhir.
    Hari itu hatiku pedih sekali melihat kepergian Ray seakan tidak akan bertemu dengannya lagi, tapi akhirnya aku mencoba untuk percaya pada kata-kata Ray.
    Delapan tahun sejak saat itu, dan hari ini adalah hari Valentine, hari ini mengingatkanku kembali pada kejadian saat itu, aku juga masih menyimpan janji Ray untukku.”Yuri, apa kamu sudah siap?Bergegaslah para penonton sudah menunggumu,”ujar salah seorang crue memanggilku untuk segera memasuki panggung. Seira dan Sora juga datang untuk menyemangatiku.”Ayo, berjuanglah Yuri!”ujar Sora. “Kami yakin kamu pasti sukses pada konser malam ini, yang penting percaya diri,ok!” Seira menambahkan. Ini adalah konser pertamaku dan aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk menampilkan yang terbaik. Aku sudah berjanji kepada Ray untuk meraih mimpiku dan pada konser malam ini sampai seterusnya aku akan menyanyikan lagu ciptaan Ray untukku pada setiap konserku. Aku berharap agar Ray bisa hadir di konser pertamaku dan melihatku menyanyikan lagu ini untuknya.
    Konser kemarin berlangsung sukses dan penjualan album laris hingga diekspor ke luar negeri. Mungkin Ray tidak hadir dalam konserku, tapi aku berharap agar setidaknya dia akan membeli albumku dan melihat bahwa aku sudah memenuhi janjinya menjadi seorang penyanyi sesuai mimpiku,menyanyikan lagu ciptaannya. Konser demi konser digelar, disetiap konser itu aku selalu memperhatikan penonton, berharap salah satu penonton itu adalah Ray.
    Hari ini akan diadakan jumpa pers, pukul 11.00 di ruang pertemuan gedung SM Entertainment, aku pun harus mempersiapkan diri. Tiba-tiba salah satu crue berkata,”Ada seseorang yang mengaku sebagai penggemar berat Anda, ingin bertemu Anda secara langsung”.”Katakan kepadanya mungkin lain kali saja, karena saya sedang sibuk mempersiapkan jumpa pers nanti siang,” kataku . Kupikir mungkin fans tersebut ingin meminta tanda tangan atau berfoto bersamaku, tapi saat ini aku sedang sibuk jadi tidak mungkin.
    Saat turun dari mobil memasuki gedung pertemuan, semua kamera tertuju kepadaku dan beberapa wartawan mulai mengajukan pertanyaan.”Mengenai peluncuran album pertama ini, apa komentar Anda?”ujar salah satu wartawan.”Peluncuran album pertama ini membuat saya begitu senang. Momen ini merupakan momen yang sangat berarti buat saya, karena dengan peluncuran album pertama ini, peluang saya memasuki dunia Entertainment semakin besar. Tentunya peluncuran album pertama ini dapat dilakukan berkat dukungan kalian semua dan saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu saya,” jawabku.”Menurut Anda, lagu apa yang paling berkesan dalam album ini?”tanya wartawan lain.”Lagu yang paling berkesan buat saya dalam album ini adalah ‘Kunci Hati’ karena lagu ini sangat bermakna dan menyimpan begitu banyak kenangan indah dalam hidup saya”. “Maaf jika saya sedikit lancang, Anda adalah artis cantik yang sangat bertalenta, tentunya banyak laki-laki yang tertarik dengan Anda. Apakah ada salah satu dari mereka yang menjadi orang spesial di hati Anda?” suatu suara muncul dari kerumunan wartawan itu. “Saya belum berpikir sejauh itu, lagipula saya masih ingin berkonsentrasi pada karir saya,”jawabku. “Jumpa pers hari ini cukup sampai di sini dan terima kasih atas partisipasi kalian semua,”ujar Ketua Pemimpin Perusahaan SM Entertainment. Aku pun lega karena semuanya berjalan lancar-lancar saja.
    Sesampainya di rumah mama memanggilku,”Yuri, ada yang ingin mama bicarakan padamu”.”Ya, Ma, tunggu sebentar Yuri mau mandi dulu,” jawabku singkat. Setelah mandi aku menemui mama di kamarnya. Mama memulai perkataannya,”Yuri, tadi Mama sempat melihatmu di televisi, kamu sudah cukup dewasa untuk memikirkan pendamping hidupmu kelak, jika ada orang yang tulus menjagamu Mama bisa tenang, Mama sudah tua, Nak, Mama tidak mungkin dapat menjagamu seperi dulu lagi. Mama ingin agar kamu segera mencari seorang pendamping, jika tidak terpaksa Mama yang akan mencarikannya untukmu”.”Tapi Ma, apakah tidak terlalu cepat untuk memikirkan hal ini? Yuri masih ingin konsentrasi dengan pekerjaan Yuri,”jawabku mencoba meluluhkan hati Mama. Kalau keadaannya seperti ini bisa gawat, padahal aku masih ingin terus menunggu sampai Ray kembali. Bagaimana kalau aku minta bantuan pada Sora saja untuk berpura-pura jadi pacarku, tentu Mama akan berhenti mencarikan aku jodoh. Tanpa pikir panjang aku langsung menelefon Sora,”Hai, Sora, ini Yuri, bisakah aku minta bantuanmu? Mama ingin mencarikanku jodoh, aku tidak mau dijodohkan dengan orang yang tidak kukenal sama sekali, aku berharap agar kau mau berpura-pura jadi pacarku, tolonglah!”ujarku memohon.”Ya, baiklah jadi pacarmu yang sesungguhnya pun aku bersedia,”jawab Sora. “Ini hanya pura-pura, bukan betulan,”kataku tegas. “Ok, tidak masalah,”jawab Sora smbil tertawa. “Terima kasih, ya, besok kamu bisakan datang ke rumahku pukul 09.00 untuk menemui mama? Aku tunggu, maaf sudah merepotkanmu,”ujarku sedikit lega, setidaknya untuk sekarang masalah ini sudah dapat diselesaikan.
    Pagi itu Sora sudah datang ke rumahku. Aku pun langsung memperkenalkan dia kepada mama sebagai pacarku.”Selamat siang Tante,”sapa Sora. “Ma, perkenalkan ini Sora, laki-laki pilihanku. Aku tidak mau dijodohkan dengan orang lain,”kataku memulai.”Yah, tidak masalah kalau kamu punya pilihanmu sendiri, yang penting sekarang Mama sudah tenang karena kamu tidak sendirian lagi,”kata mama sambil tersenyum.”Saya hanya mau tanya padamu, apa kamu serius dengan anak saya?”tanya mama memandang ke arah Sora.”Tentu saja Tante, saya serius mencintai Yuri dan saya janji akan membahagiakan Yuri,”jawab Sora spontan.”Mama pikir sebaiknya kalian bertunangan terlebih dahulu. Jadi, kapan kalian akan bertunangan?”tanya mama lagi.”Kalau itu semuanya saya serahkan sepenuhnya pada Yuri,”jawab Sora.”Ri, jadi kapan kalian akan meresmikan pertunangan?”tanya mama kepadaku.”Ma, jangan terlalu terburu-buru, aku belum siap untuk semua ini, lebih baik kita bicarakan yang lain saja,”jawabku berusaha mengalihkan pembicaraan.
    Siang itu, aku berjalan-jalan di tepi pantai bersama Sora sambil mendiskusikan masalah itu.”Maaf, sudah melibatkanmu terlalu jauh,”kataku pada Sora.”Untukmu apapun akan kulakukan, karena aku benar-benar mencintaimu, kalaupun aku harus bertunangan denganmu itu bukan masalah,”jawab Sora dengan serius.”Sekali lagi maaf karena aku tidak bisa membalas cintamu yang begitu besar kepadaku,”kataku.”Tapi mengapa kamu tidak mau membuka hatimu untuk mencintaiku? Selama ini kau lebih memilih untuk sendiri, mengapa?”tanya Sora. “Mungkin kau menganggap ini konyol, tapi aku masih menunggu seseorang yang delapan tahun lalu telah berjanji kepadaku bahwa suatu saat nanti dia akan kembali dan tidak akan pernah meninggalkan aku lagi. Entah mengapa aku masih percaya pada janjinya sampai saat ini. Aku pun akan terus menunggu sampai dia kembali,”jawabku.”Jadi, karena dia selama ini kau memilih untuk sendiri. Laki-laki itu merupakan laki-laki yang berutung, kalau aku boleh tahu, siapakah orang yang berntung tersebut?”tanya Sora menanggapi.”Kamu tidak perlu tahu siapa dia, yang penting kini kau sudah mengerti mengapa aku tidak dapat membalas perasaanmu kepadaku. Tapi, sekali lagi terima kasih, ya, sudah mau membantuku,”jawabku.
    Kebetulan hari ini aku tidak ada kegiatan, jadi aku menonton televisi di rumah sambil menikmati secangkir kopi. Tiba-tiba suatu suara dari siaran televisi itu mengejutkanku,”Artis ternama, Yuri Kasagi gosipnya akan segera bertunangan dengan musisi terkenal, Sora. Namun demikian, belum ada berita yang pasti kapan mereka akan bertunangan”. Mereka tahu dari mana berita ini, bagaimana bisa berita ini begitu cepat sampai ke publik, padahal aku hanya berpura-pura saja dengan Sora.
    Karena masalah kemarin, hari ini akan diadakan jumpa pers lagi pukul 13.00 untuk membahas masalah tersebut, sekaligus membahas konserku yang akan diadakan minggu depan. Sekarang masih pukul 11.00, pikirku mungkin aku dapat beristirahat, duduk-duduk di ruanganku terlebih dahulu. Ketika aku sedang beristirahat, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu, mungkin itu adalah beberapa crue dan aku segera membukanya. Ketika pintu terbuka, aku terkejut karena seorang tamu laki-laki langsung memelukku.”Hei, apa yang kau lakukan?lepaskan aku!”teriakku. Laki-laki itu pun berkata,”Tolong jangan dilepas, untuk terakhir kalinya. Mungkin kau sudah lupa dengan janji kita dahulu, Yuri. Aku tahu kau akan segera bertunangan dengan Sora, jadi untuk terakhir kalinya biarkan aku memelukmu, sebelum aku akan pulang kembali ke Los Angeles. Aku berjanji setelah ini aku tidak akan mengganggu kehidupanmu lagi dan selama-lamanya akan menghilang dari kehidupanmu”.Seketika itu pula aku berkata sambil meneteskan air mata,”Apakah kau Ray? Kau sudah kembali. Kau benar-benar berubah sehingga aku tidak dapat mengenalmu lagi.Tapi mengapa kau tidak memberitahuku kalau kau sudah kembali?” ”Aku sudah mencobanya, ketika itu aku datang ke kantormu, tapi salah seorang crue berkata bahwa kamu sedang sibuk dan tidak dapat ditemui, dan ketika aku mendengar bahwa kau akan bertunangan dengan orang lain, aku memutuskan untuk bertemu denganmu untuk terakhir kalinya. Mungkin aku harus melepasmu. Satu-satunya kunci yang berhasil membuka hatiku, kini sudah menjadi kunci bagi hati orang lain.Tapi, tak apa-apa asalkan kau bahagia, aku pun ikut bahagia,” ujar Ray sambil meneteskan air mata.”Selamat tinggal, aku hanya bisa mendoakan semoga kau bahagia bersama Sora,”kata Ray sambil berjalan meninggalkanku.”Kau jahat Ray, dulu kau pergi meninggalkanku, dan sekarang kau akan meninggalkanku lagi. Selama ini aku lebih memilih untuk sendiri dan mencoba menjaga hatiku untukmu, aku percaya bahwa suatu saat nanti kau akan kembali lagi padaku, mengenai hubunganku dengan Sora, itu semua hanya pura-pura, agar aku tidak dijodohkan dengan orang lain,” kataku tidak dapat membendung air mata yang begitu deras mengalir. Saat itu juga Ray langsung mendekapku dan berkata,”Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu lagi. Selamanya aku akan berada di sampingmu dan akan membuatmu menjadi wanita yang paling bahagia di dunia”. Aku merasa begitu bahagia karena Ray tidak akan meninggalkanku lagi.
    Seminggu telah berlalu sejak saat itu, malam ini aku berdiri di atas panggung. Kulihat semua mata tertuju kepadaku.”Malam ini aku akan mengatakan sesuatu,”kataku memulai,”Aku ingin memperkenalkan seseorang yang paling berharga dalam hidupku, inilah dia Ray,orang yang akan menjadi pemilik hatiku yang sebenarnya. Mengenai gosip yang telah beredar itu semua tidak benar. Dan malam ini aku dan Ray akan bersama-sama menyanyikan lagu yang berjudul ‘Kunci Hati’, lagu yang Ray ciptakan untukku, lagu yang sudah menyimpan kenangan yang indah antara kami berdua”.Di malam itu sorak-sorai penonton mewarnai suasana konser bagai suasana hatiku yang diwarnai kebahagiaan bersama Ray di sampingku.

    BalasHapus
  4. Cerita Pendek
    Nama: Renny Meylia Febrianti
    Kelas : X.3
    Absen : 25


    Penyesalan Selalu Datang Terlambat

    “ Clara, gantiin aku tugas piket ya! Aku mau jalan-jalan sama yang lain nih,” ujar Lia.
    “ Tapi aku harus pula sekarang, aku harus bantu-bantu di panti,” jawab Clara.
    “ Kan masih banyak teman-teman kamu yang lain disana. Sudah, pokoknya kamu harus gantiin tugas piket aku. Titik.” Kata Lia lagi sambil berjalan keluar dari kelas.
    “ Dah, nyapu yang bersih ya!” tambah salah seorang teman Lia.
    Lia dan teman-temannya pergi meninggalkan Clara sendirian di kelas. Clara adalah orang yang sulit menolak permintaan orang lain. Hal ini sering membuat ia dimanfaatkan oleh teman-teman sekelasnya. Sekarang ia duduk di kelas X di salah satu sekolah yang berada di pinggiran kota Jakarta. Ia juga sering diganggu dan diejek teman-temannya karena ia seorang anak yang yatim piatu. Clara tinggal di sebuah panti asuhan bernama Panti Asuhan Kasih bersama dengan para anak yatim piatu yang lain. Panti asuhan itu dikepalai dan diurus oleh Ibu Ratih. Dari cerita Ibu Ratih, Clara mengetahui bahwa orang tuanya telah meninggal pada saat ia berumur 2 tahun karena kecelakaan dan semenjak saat itu ia diasuh oleh Ibu Ratih.
    Walaupun Panti Asuhan Kasih terbilang kecil, namun Ibu Ratih masih dapat menyekolahkan anak-anak asuhnya meskipun di sekolah yang tidak terkenal. Ibu Ratih berpikir yang penting anak-anak itu dapat bersekolah dan menuntun ilmu yang dapat menjadi penunjang hidup mereka suatu saat nanti. Anak-anak dipanti itu sudah seperti bersaudara satu sama lain karena mereka telah tinggal bersama semenjak mereka kecil.
    Setelah selesai menggantikan Lia menjalankan tugas piket. Clara segera pulang ke panti. Setibanya di panti, ia disambut oleh Tari.
    “ Kak Clara baru pulang?” tanya Tari yang masih duduk di bangku kelas 6 SD. ”Kak Clara tadi dicari Ibu Ratih, katanya Kakak disuruh ke ruangannya,” tambah Tari.
    “ Iya, nanti Kakak ke ruangan Bu Ratih. Tapi Kakak ganti baju dulu ya!” jawab Clara.
    Clara berjalan menuju kamarnya kemudian meletakkan tasnya lalu pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan berganti pakaian.Setelah selesai berganti pakaian, Clara pergi menemui Ibu Ratih di ruangannya.
    “ Tok, tok, tok!” Clara mengetuk pintu ruangan Bu Ratih.
    “ Masuk!” terdengar jawaban dari dalam.
    Clara pun membuka pintu dan melangkah masuk. Di dalam ruangan itu dilihatnya Ibu Ratih dan sepasang suami istri yang tidak dikenal Clara.
    “ Kata Tari Ibu mencari saya. Ada apa, Bu?” Tanya Clara.
    Bu Ratih tersenyum lalu menjawab“ Iya. Perkenalkan, ini Pak Darmawan dan Bu Ratna dari Bandung.”
    Clara tersenyum kepada Bapak dan Ibu Darmawan sambil sedikit menganggukkan kepala. Mereka pun membalasnya dengan senyuman.
    “ Bapak dan Ibu ini datang kemari untuk mengadopsi salah seorang anak disini dan mereka memilih untuk mengadopsi kamu. Kamu tidak keberatan kan?” jelas Bu Ratih.
    Setelah mendengar hal itu, Clara terkejut dan bertanya “ Benarkah? Tapi mengapa saya yang dipilih ,Bu? Bukankah masih banyak adik-adik yang lain?”
    “ Mereka baru saja kehilangan anaknya yang telah meninggal karena sakit 3 bulan yang lalu. Kebetulan anak mereka seumuran dengan kamu jadi mereka menganggap dengan mengadopsi kamu bisa sedikit menghapus kesedihan mereka,” jelas Bu Ratih panjang lebar.
    Clara berpikir sebentar. Selama ini ia belum pernah merasakan bagaimana rasanya memiliki orang tua seperti teman-temannya di sekolah. Dulu, suatu hari ketika Clara masih duduk di bangku sekolah dasar, teman-teman sekelasnya mengejeknya karena ia tidak mempunyai orang tua. Clara pulang sekolah sambil menangis kemudian menceritakan hal itu pada Bu Ratih. Bu Ratih menghiburnya dan mengatakan bahwa Clara tidak perlu sedih karena hal itu karena ia sudah termasuk beruntung dengan adanya teman-teman di panti yang menyayanginya dan mereka sudah menganggapnya sebagai saudara mereka sendiri dan itu berarti Clara sudah memiliki keluarga. Clara merasa perkataan Bu Ratih benar dan sejak saat itu ia sabar dan tidak menangis lagi jika diejek teman-temannya meskipun hal itu membuatnya sedikit sedih karena mengingatkan bahwa ia tidak memiliki orang tua. Namun, hari ini Clara mendapat kesempatan untuk merasakan hal yang selama ini diimpikannya. Tetapi di laiN pihak ia juga merasa sedih karena harus berpisah dengan semua penghuni dipanti ini.
    “ Baiklah, saya mau ikut Bapak dan Ibu Darmawan,” putus Clara akhirnya.
    “ Ok. Kalau begitu, segera bereskan barang-barang yang akan kau bawa, Clara, karena kamu harus pindah ke Bandung dan kamu juga akan bersekolah di sana. Ibu akan mengurus semua surat pemindahan kamu,” kata Bu Ratih.
    “ Saya permisi, Bu,” ujar Clara.
    Clara kemudian keluar meninggalkan ruangan Bu Ratih menuju kamarnya dan membereskan semua barang-barang yang akan dibawanya ke Bandung. Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Semua anak-anak panti masuk ke kamarnya.
    “ Kakak mau pergi ya? Kemana, Kak?” tanya Riri.
    “ Iya. Kakak mau pindah ke Bandung.”
    “ Jangan pergi, Kak! Kakak nggak boleh pergi!” kata Riri sambil menangis.
    “ Iya, Kak. Jangan pergi!” ujar yang lain.
    “ Kakak akan ke sini lagi saat liburan sekolah.”
    “ Kalau Kakak pergi siapa yang jagain Riri dan bantu Riri membuat PR?” kata Riri lagi.
    “ Kan masih ada Kak Vera yang bisa menjaga dan membantu Riri dan yang lain membuat PR. Iya kan, Kak?” tanya Clara pada Vera yang juga tinggal di panti yang usianya 2 tahun lebih tua dari Clara.
    “ Iya, Riri. Yang Kak Clara bilang itu benar. Kamu tenang saja Clara. Aku akan menjaga adik-adik di sini. Kamu jangan lupa pulang ke sini lagi ya!” kata Vera.
    “ Iya, aku janji, Kak!” Ujar Clara.
    Setelah selesai berkemas, Vera dan adik- adik yang lain pergi ke depan pintu panti asuhan untuk mengantar kepergian Clara. Beberapa anak panti yang cukup akrab dengan Clara menangis karena harus berpisah dengan Clara. Mereka lalu melambaikan tangan pada Clara ketika ia telah berada di dalam mobil. Clara membuka jendela mobil dan membalas melambaikan tangan ke adik-adiknya. Setelah mobil yang dinaiki Clara hilang dari pandangan, anak- anak kembali masuk ke dalam panti.
    Di dalam mobil, Clara hanya duduk diam. Ia memikirkan apa yang akan dihadapinya esok hari di kehidupannya yang baru. Empat jam kemudian, mereka telah tiba di rumah keluarga Darmawan. Begitu turun dari mobil, Clara melihat rumah yang akan menjadi rumahnya mulai hari ini dengan tatapan kagum. Rumah itu sangat mewah. Clara baru mengetahui bahwa Pak Darmawan adalah salah satu pengusaha kaya dan sukses di Bandung. Masih dengan tatapan kagum, Clara mengikuti Pak Darmawan dan Bu Ratna masuk ke dalam rumah. Bu Ratna mengantar Clara ke kamarnya. Setibanya di kamar,
    “ Terima kasih, Tante!” ucap Clara.
    “ Eh, jangan panggil Tante dong, mulai sekarang panggil saya Mama dan panggil Om Darmawan dengan sebutan Papa!” kata Bu Ratna.
    “ Baiklah…, Ma.”
    “ Nah, gitu dong. Mama udah nyiapin kamar ini khusus untuk kamu. Sekarang sebaiknya kamu mandi dulu, setelah itu ke ruang makan untuk makan malam ya!”
    Mama lalu meninggalkan Clara sendirian di kamarnya. Clara lalu menutup pintu kamar dan mulai membereskan barang-barangnya. Ia memasukkan baju-bajunya ke dalam lemari dan buku-bukunya diletakkan di atas meja belajar. Setelah selesai, ia kemudian bergegas mandi. Setelah selesai mandi, ia merasa segar kembali dan pergi ke ruang makan seperti yang dikatakan Mama tadi. Setibanya di ruang makan, ia melihat Papa dan Mama barunya sudah duduk di meja makan dan sedang menunggunya. Mama mempersilahkan Clara duduk di sampingnya.
    Makan malam pun selesai, Papa dan Mama mengajak Clara mengobrol di ruang keluarga. Mereka menanyakan bagaimana kehidupan Clara selama di panti asuhan, apa saja yang biasa dilakukannya, sekolahnya, dan banyak hal lain. Clara bercerita dengan senang, ia merasa bahwa Pak Darmawan dan Bu Ratna adalah orang yang baik, mereka menganggap Clara seperti anak kandung mereka sendiri. Clara berpikir ternyata beginilah rasanya jika ia memiliki orang tua, ia bisa menceritakan banyak hal kepada Papa dan Mamanya. Di tengah-tengah obrolan itu, mata Clara tertuju pada sebuah foto besar yang tergantung di dinding.
    “ Itu foto Papa dan Mama ya? Kok cuma berdua? Mana anak Papa dan Mama?” tanya Clara.
    Papa dan Mama saling bertatapan. Mereka tidak menyangka Clara akan menanyakan hal itu. Akhirnya Papa membuka mulut dan menjawab.
    “ Oh itu. Iya, Papa sengaja hanya memasang foto Papa dan Mama karena jika Mama melihat foto anak kami Mama akan sedih.”
    Mama hanya menyetujuinya dengan mengangguk. Clara berpikir bahwa omongan papanya ada benarnya juga. Mereka meneruskan obrolan mereka. Tidak terasa sudah satu setengah jam mereka mengobrol.
    “ Sudah malam! Sebaiknya kamu tidur sekarang, Clara! Besok kamu harus sekolah! Oh iya, seragam baru kamu sudah Mama gantung di lemari.”
    “ Iya. Clara ke kamar dulu ya! Malam , Pa, Ma!”
    Setelah itu Clara pegi meninggalkan ruang keluarga. Papa dan Mama langsung menghembuskan nafas lega.
    “ Untung ya ,Pa, Clara tidak bertanya lagi tentang foto itu. Kalau iya, Mama tidak tahu harus berkata apa lagi,” ujar Mama pada Papa.
    Setibanya di kamar, Clara menyiapkan buku-buku dan alat tulis yang akan dibawanya ke sekolah besok. Setelah itu, ia membaringkan dirinya di atas tempat tidup, ia memejamkan matanya dan mencoba untuk tidur. Clara sedih karena mengingat adik-adiknya di panti. Ia ingin sekali mereka merasakan kebahagiaan yang dimilikinya hari ini, yaitu perasaan dimana ia telah memiliki orang tua. Karena lelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, akhirnya ia pun tertidur.
    Pagi harinya, Clara terbangun karena mendengar seseorang mengetuk pintu kamarnya. Perlahan-lahan ia membuka matanya dan meraih jam meja yang terletak di samping tempat tidurnya. Ia langsung melompat bangun begitu melihat jam yang menujukkan pukun 06.00. Mungkin karena ia terlalu lelah kemarin dan ia juga belum terbiasa tidur di tempat tidur seempuk itu, makanya ia bangun kesiangan. Cepat-cepat ia mandi dan memakai seragam sekolah barunya lalu menuju ke ruang makan untuk sarapan. Pagi ini, Mama sendiri yang mengantar Clara. Papa tidak ikut karena Papa harus pergi ke kantor. Sebelum berangkat ke sekolah, Clara berpamitan terlebih dahulu kepada Papa.
    Setibanya di SMA Harapan , Mama dan Clara terlebih dahulu menghadap kepala sekolah untuk mengurus sisa berkas kepindahan Clara ke sekolah tersebut. SMA Harapan adalah salah satu SMA terkenal di Bandung. Sebagian murid-murid di sana adalah anak dari para pengusaha kaya. Setelah selesai mengurus semuanya, Mama pun pulang dan Clara dipersilahkan untuk memasuki kelas barunya.
    Pada saat Clara memasuki kelas barunya, ruangan yang tadinya ramai oleh suara-suara dan teriakan murid-murid itu, tiba-tiba berubah menjadi sunyi. Semua pandangan mata yang ada di kelas itu menuju ke Clara yang baru saja memasuki kelas.
    “ Anak-anak! Hari ini kalian kedatangan murid baru pindahan dari Jakarta. Silahkan, Clara!” kata Bu Sarah mempersilahkan Clara memperkenalkan diri. Bu Sarah merupakan guru mata pelajaran Kimia sekaligus wali kelas mereka.
    “ Perkenalkan! Namaku Clara. Aku pindahan dari Jakarta. Senang berkenalan dengan kalian,” kata Clara sebagai salam perkenalan kepada teman-teman barunya.
    “ Baiklah, Clara! Silahkan duduk di bangku kosong di belakang disebelah Niken!”
    Clara berjalan ke tempat duduknya diikuti dengan pandangan ingin tahu teman-teman sekelasnya.
    “ Hai!” sapa Clara pada teman semejanya.
    “ Hai!” balas temannya itu.
    “ Clara,” ucap Clara sambil menjulurkan tangannya untuk berkenalan dengan temannya itu.
    “ Niken,” jawab Niken sambil membalas juluran tangan Clara.
    Pelajaran pun dimulai. Pelajaran pertama adalah Kimia yang diajarkan oleh Bu Sarah. Setelah itu dilanjutkan dengan pelajaran Bahasa Inggris. Bel istirahat pun berbunyi. Karena belum mempunyai teman, Clara memutuskan untuk tinggal di dalam kelas.
    “ Eh, kalau nggak salah tadi kamu bilang kamu pindahan dari Jakarta kan?” tanya Niken memulai pembicaraan.
    “ Iya,” jawab Clara.
    Clara dan Niken pun mulai mengobrol panjang lebar. Di luar dugaan Clara, ia bisa cocok dengan Niken karena ternyata mereka memiliki hobi yang sama sehingga obrolan mereka pun nyambung. Niken adalah anak yang rajin dan pandai serta baik hati namun agak pendiam sehingga ia hanya memiliki beberapa teman yang benar-bengar akrab dengannya. Niken juga senang karena ia bisa akrab dengan teman barunya, Clara, padahal biasanya ia tidak banyak bicara.
    “ Ngomong-ngomong… kenapa kamu pindah ke Bandung?” tanya Niken penasaran.
    “ Iya, soalnya orang tua aku tinggal di sini. Makanya aku jadi pindah ke sini,” jawab Clara.
    “ Memang sebelumnya kamu tinggal sama siapa?”
    Clara terdiam sejenak. Sebenarnya, kemarin ia telah memutuskan untuk tidak menceritakan masa lalunya kepada siapa pun di sekolah barunya. Bukan karena ia merasa malu, tetapi ia tidak ingin teman-teman mengejeknya dan menganggunya seperti ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar.
    Dari pembicaraannya dengan Niken tadi, Clara berpikir bahwa Niken adalah anak yang baik dan dapat dipercaya. Maka Clara merasa tidak ada salahnya jika ia menceritakan masa lalunya kepada Niken.
    “ Sebenarnya dulu waktu di Jakarta aku tinggal di panti asuhan….”
    Clara bercerita bahwa ia adalah anak yatim piatu dan diadopsi oleh Mama dan Papanya yang sekarang. Ia juga menceritakan kehidupannya di panti asuhan dulu. Niken dengan serius mendengarkan cerita Clara dan sekali-kali mengangguk tanda bahwa ia mengerti. Clara meminta Niken agar tidak menceritakan hal ini pada teman-teman yang lain.
    “ Tenang saja! Aku nggak akan cerita ke orang lain. Percaya ,deh!” janji Niken.
    “ Makasih, ya! Aku percaya, kok!” jawab Clara.
    Tidak terasa mereka telah mengobrol cukup lama. Bel masuk kelas pun berbunyi. Pada saat bel istirahat siang hari berbunyi, Clara dan Niken meneruskan obrolan mereka yang terpotong tadi. Tiba-tiba tiga teman perempuan yang sekelas dengan mereka berjalan mendekati mereka.
    “ Hai! Kenalin! Aku Nadia dan ini Manda dan Tasya,” kata Nadia sambil menunjuk Manda dan Tasya.
    “ Hai!” ujar Manda dan Tasya bersamaan kepada Clara.
    “ Hai juga!” balas Clara kepada mereka bertiga.
    “ Kami mau ke kantin nih! Ikut yuk!” ajak Nadia.
    “ Boleh deh! Kebetulan aku juga lapar nih. Ikut yuk, Niken!” kata Clara. Tadi pagi ia hanya sarapan sedikit karena bangun kesiangan, jadi sekarang ia merasa lapar.
    “ Nggak deh! Aku nggak lapar. Aku di kelas aja,” jawab Niken.
    Clara bersama dengan Nadia dan teman-temannya berjalan menuju kantin. Setibanya di kantin mereka memesan makanan masing-masing lalu mencari tempat untuk duduk. Nadia memulai pembicaraan.
    “ Aku dengar kamu anak Pak Darmawan ya? Pengusaha sukses itu?” tanya Nadia.
    Clara hanya mengangguk. Nadia kemudian membisikkan sesuatu kepada Manda dan Tasya dan mereka tersenyum mendengar perkataan Nadia.
    “ Hmm… bagaimana kalau besok kamu ikut kami ke mal? Anggap saja sebagai pesta penyambutan kamu kecil-kecilan!” usul Nadia.
    “ Boleh deh!” jawab Clara.
    “ Ok. Kalau begitu, besok aku jemput kamu jam 5 sore. Rumah kamu dimana?” tanya Nadia.
    Clara lalu memberitahu Nadia alamat rumahnya. Sebenarnya ia tidak ingin menerima ajakan Nadia karena ia belum mengenalnya. Ia tidak enak untuk menolaknya karena mereka berkata bahwa ajakan itu sebagai pesta penyambutannya akhirnya ia menyetujuinya.
    Setelah kembali ke kelas, Clara menceritakan ajakan Nadia tersebut kepada Niken dengan maksud untuk mengajak Niken ikut serta.
    “ Apa? Kamu mau jalan baren Nadia dan teman-temannya?” tanya Niken dengan nada tidak percaya.
    “ Iya. Kamu mau ikut nggak?” tanya Clara.
    “ Clara, sebaiknya kamu nggak usah dekat-dekat dengan mereka. Mereka itu suka seenaknya sendiri. Banyak kok anak-anak yang nggak suka sama mereka.”
    “ Tapi aku sudah terlanjur menyetujuinya. Gimana ,nih?”
    “ Bilang aja kamu nggak bisa ikut karena ada urusan lain!”
    “ Tapi aku nggak enak kalau mau ngebatalinnya. Soalnya ini kan pesta penyambutan aku.”
    “ Ya sudah. Terserah kamu ,deh! Pokoknya aku udah ingetin kamu kalau mereka itu pasti ada maunya!” kata Niken yang terlajur kesel dengan Clara karena tidak mendengar perkataannya.
    Niken hanya diam saja jika Clara mengajaknya bicara. Clara berharap semoga apa yang dikatakan Niken hanya perasaannya saja. Keesokan harinya, ia tetap pergi bersama Nadia dan teman-temannya. Berbeda dengan apa yang dikatakan Niken, Nadia dan temannya memperlakukan Clara dengan baik.
    Sejak saat itu, Clara menjadi cukup dekat dengan Nadia, Manda, dan Tasya. Mereka sering jalan-jalan dan berbelanja bersama.
    “ Clara, aku lupa bawa uang nih. Beliin aku yang ini ,dong! Nanti aku ganti uangnya deh!” bujuk Nadia.
    Clara yang tidak enak untuk menolak akhirnya meminjamkan uangnya juga. Hal itu sering terjadi berulang kali pada saat mereka sedang berbelanja. Walaupun Nadia berkata akan menggantinya namun hal itu tidak pernah ditepatinya dan ia bersikap seolah-olah lupa bahwa ia meminjam uang Clara. Clara hanya pasrah karena tidak berani memintanya sampai- sampai ia dimarahi Mama karena uang jajan yang diberikan seringkali habis hanya dalam beberapa hari. Sementara itu Niken masih kesal dengan Clara, bukan hanya tidak mendengar perkataannya, tetapi Clara juga dekat dengan Nadia, Manda, dan Tasya.
    “ Ken, maafin aku ya! Mereka nggak jahat kok sama aku!” jelas Clara agar Niken tidak mendiamkannya lagi.
    “ Paling-paling itu hanya akal-akalan mereka biar kamu percaya dengan mereka.” jawab Niken.
    “ Sudahlah! Anak kurang pergaulan kayak dia nggak usah dihiraukan! Kamu kan bisa berteman sama kami!” kata Nadia ketika melihat Clara yang mencoba mengajak Niken berbicara.
    Clara sudah berulang kali mencoba menjelaskan kepada Niken, tetapi Niken tidak terlalu menanggapinya. Ia hanya berbicara secukupnya saja kepada Clara.
    Memasuki semester dua, datanglah seorang murid pindahan dari Jakarta bernama Reza. Reza masuk ke kelas yang tepat berada disebelah kelas Clara. Ternyata Reza adalah teman sekelas Clara ketika masih di Jakarta dulu. Ketika di Jakarta dulu, banyak guru yang senang dengan Clara, hal itu membuat Reza tidak menyukai Clara.
    “ Reza? Kamu pindah ke sini juga?” tanya Clara ketika kebetulan bertemu Reza di koridor depan kelas.
    “ Iya. Emang nggak boleh? Bukan urusan kamu kan?”
    Reza lalu pergi meninggalkan Clara berjalan menuju kantin. Di kantin, Reza melihat beberapa teman laki-laki sekelas Clara. Tiba-tiba muncul pikiran untuk mempermalukan Clara. Reza lalu menghampiri dua lelaki itu.
    “ Kalian taman sekelas Clara ya?” tanya Reza.
    “ Iya. Memangnya kenapa?” jawab mereka.
    “ Kalian mau tau nggak? Sebenarnya, Clara itu anak yatim piatu. Waktu di Jakarta dulu…”
    Pada saat Reza menceritakan hal tersebut, tanpa sengaja Nadia lewat dan mendengar hal itu. Keesokan harinya, ketika Clara memasuki kelas, ia bingung, semua teman-temannya melihatnya dengan berbagai macam ekspresi. Ada yang kasihan, ada yang diam saja, ada yang menatap dengan pandangan mengejek, bahkan ada yang tidak senang.
    “ Eh, si anak yatim piatu udah dateng tuh!” kata seorang teman laki-laki yang suka usil disertai dengan tawa beberapa teman yang lain.
    “ Katanya dulu dia tinggal di panti asuhan tuh!”
    “ Kasian banget sih!”
    Teman-temannya mulai menudingnya dengan berbagai macam pertanyaan dan ejekan. Clara berjalan menuju tempat duduk dengan menahan perasaan malu, sedih dan marah yang bercampur aduk. Niken hanya duduk diam saja tidak tahu ingin berkata apa.
    “ Ken, kok kamu tega sih ngelakuin ini sama aku?” bentak Clara.
    “ Ngelakuin apa, Ra? Aku nggak ngerti!” jawab Niken.
    “ Nggak usah bohong deh! Kamu kan yang kasih tahu teman-teman tentang masa lalu aku?” tuduh Clara.
    “ Apa? Nggak kok! Aku nggak pernah cerita ke orang lain,” ujar Niken membela diri.
    “ Aku nggak percaya! Soalnya aku cuma cerita hal ini ke kamu. Kalau bukan kamu yang nyebarin, siapa lagi?”
    Clara pergi meninggalkan kelas. Ia tidak menyangka kalau Niken bisa nmelakukan hal itu terhadapnya. Ia minta izin kepada guru piket untuk pulang ke rumah dengan alasan sakit. Setibanya di rumah, Mama bingung melihat Clara yang pulang ke rumah dalam keadaan menangis.
    “ Clara, kok kamu udah pulang? Kamu nggak sekolah?” tanya Mama.
    Clara tidak menghiraukan pertanyaan Mama dan langung berlari menuju kamarnya. Melihat hal itu, Mama mengikuti Clara dan masuk ke kamarnya.
    “ Kamu kenapa, sayang?” tanya mama lembut.
    “ Clara diejek teman-teman Clara, Ma. Mereka mengejek Clara karena Clara anak yatim piatu dan pernah tinggal di panti asuhan.”
    “ Kamu nggak usah sedih, Clara. Biarin saja kalau mereka mengejek kamu! Yang penting kan sekarang kamu udah punya Papa dan Mama,” kata Mama menenangkan Clara.
    “ Makasih, Ma!”
    Clara menangis di dalam pelukan Mama. Mama hanya mengelus kepala Clara. Mama merasa sedih melihat anaknya seperti itu. Setelah itu, Clara sedikit merasa tenang dan lega.
    Sejak saat itu, Clara tidak pernah bicara lagi dengan Niken. Ia menghabiskan waktunya bersama Nadia, Manda dan Tasya. Niken pun tidak tahu harus berbuat apa lagi, karena setiap kali ia ingin menjelaskan hal itu, Clara tidak akan percaya malahan ia pergi bersama Nadia.
    “ Pa, apa sebaiknya kita mengatakan hal yang sebenarnya kepada Clara?” Kata Mama pada Papa.
    “ Lho, bukannya Mama sendiri yang ingin menyembunyikannya?”
    “ Tapi Mama nggak tega melihat Clara diejek temannya karena dia anak yatim, Pa”
    “ Papa sih terserah Mama aja, kalau menurut Mama itu yang terbaik, Kenapa nggak?”
    Mama lalu memanggil Clara ke rusng keluarga.
    “ Ada apa , Ma?”
    “ Clara, Mama dan Papa mau ngomong sesuatu sama kamu,” kata Papa
    “ Apa, Pa?”
    “ Sebenarnya… sebenarnya kamu anak kandung Papa dan Mama,” kata Mama ragu-ragu.
    Clara sangat terkejut mendengar hal tersebut, Mama dan Papa kemudian menjelaskan kalau dulu mereka terpaksa menitipkan Clara di panti karena mereka tidak mempunyai uang untuk merawat Clara. Papa berusaha dan bekerja keras untuk memberi makan keluarga. Akhirnya, setelah mereka sukses dan telah memiliki uang yang cukup, mereka baru mengambil Clara kembali. Clara tidak dapat menerima hal itu tiba-tiba.
    “ Nggak! Kenapa kalian baru mengatakan hal ini sekarang? Kenapa Papa dan Mama meninggalkan Clara sendirian? Walaupun susah, harusnya kalian juga ajak Clara. Mama Papa tau nggak kalau Clara itu sangat sedih ketika melihat teman-teman Clara mempunyai orang tua yang sayang kepada mereka,” teriak Clara histeris sambil menangis.
    “ Clara, kami terpaksa melakukan itu!” jelas Mama.
    Clara berlari keluar rumah hingga ke jalan raya. Mama dan Papa mengejar Clara. Clara menyebrang jalan tanpa melihat kiri dan kanan. Tiba-tiba dari arah kiri, sebuah mobil melaju cepat menuju ke arah Clara.
    “ Clara! Awas!” teriak Mama yang segera berlari ke arah Clara dan mendorong Clara.
    Karena melindungi Clara, akhirnya Mama tertabrak mobil yang sedang melaju tadi. Clara merasa tubuhnya didorong setelah itu ia langsung berlari lagi tanpa tahu tujuannya. Ia tidak mengiraukan Papa yang memanggil-manggil namanya. Papa segera menelepon ambulans dan segera membawa Mama ke rumah sakit. Papa menghubungi Niken dan menceritakan hal yang terjadi serta meminta Niken untuk mencari Clara.
    Clara tidak tahu harus kemana lagi. Pikirannya bercampur aduk. Pertama, Niken menghianatinya karena tidak dapat menjaga rahasianya. Kedua, kenyataan bahwa Mama dan Papanya yang sekarang adalah benar-benar orang tua kandungnya. Ia tidak dapat menerima bahwa Papa dan Mamanya sendiri yang telah meinggalkannya semenjak ia kecil. Ia sudah tidak percaya kepada siapa-siapa lagi. Namun, ia teringat bahwa ia masih mempunyai Nadia,Manda, dan Tasya. Ia pun segera menuju ke rumah Nadia yang biasanya menjadi tempat mereka berkumpul. Setibanya di rumah Nadia, Clara langsung menuju kamar Nadia. Pintu kamar Nadia terbuka sedikit sehingga Clara bisa melihat di sana ada Manda dan Tasya. Karena mendengar pembicaraan mereka, Clara yang tadinya ingin masuk, menghentikan langkahnya dan membatalkan niatnya untuk masuk.
    “ Aku heran sama kamu, Nad. Kok kamu masih mau sih berteman dengan Clara?” kata Tasya.
    “ Lho, emangnya salah?” tanya Nadia berpura-pura heran.
    “ Ya iya lah. Kamu kan udah dengar sendiri Reza bilang kalau dia itu cuma anak yatim piatu yang nggak jelas asal usulnya,” jawab Manda.
    “ Kalian ini gimana sih? Aku nggak peduli kalau dia itu anak yatim atau bukan, yang penting sekarang dia kan anak Pak Darmawan. Itu berarti kita bisa minta dia beliin barang apa saja yang kita mau karena dia punya uang,” jelas Nadia.
    “ Betul juga apa yang kamu bilang, Nad,” kata Manda yang juga disetujui oleh Tasya.
    Clara merasa lengkap sudah penderitaannya kali ini. Teman-teman yang tadinya dikira baik padanya ternyata ada maunya. Padahal Clara berpikir ia dapat berbagi penderitaannya dengan mereka. Tetapi tiba-tiba Clara teringat kata- kata Manda tadi. Nadia mendengar cerita masa lalu Clara dari Reza, itu berarti bukan Niken yang menyebarkannya. Ternyata ia telah salah paham dengan Niken. Clara pun bergegas mencari Niken ke rumahnya untuk meminta maaf.
    “ Clara? Kok kamu bisa ada di sini?” tanya Niken bingung begitu melihat Clara berada di depan rumahnya.
    “ Ken, aku minta maaf ya! Ternyata selama ini aku salah paham sama kamu! Maafin aku ya!” pinta Clara.
    “ Tanpa kamu minta maaf aku juga udah maafin kok. Ya sudah, nggak usah ungkit masalah itu lagi! Yang penting sekarang kamu ikut aku ke rumah sakit untuk melihat Mamamu!”
    “ Nggak! Mereka udah berbohong padaku! Aku nggak mau bertemu mereka!”
    “ Kamu nggak boleh gitu, dong! Seharusnya kamu bersyukur karena ternyata kamu masih punya orang tua kandung seperti yang selama ini kamu inginkan!”
    “ Nggak! Mereka nggak sayang sama aku. Buktinya mereka memberikanku ke panti asuhan.”
    “ Mereka pasti punya alasan sendiri mengapa mereka melakukan hal itu. Jika mereka nggak sayang sama kamu, untuk apa Mama kamu mengorbankan nyawanya sendiri demi nyelamatin kamu tadi?”
    Clara merasa apa yang dikatakan Niken itu benar. Akhirnya, Clara dan Niken menuju ke rumah sakit tempat Mama Clara dirawat. Di sana mereka melihat Papa sedang berdiri di depan kamar Mama. Clara masuk sendirian ke kamar Mamanya. Di dalam kamar, Clara melihat Mamanya terbaring di atas tempat tidur dengan perban di sekujur tubuhnya. Papa tadi berkata bahwa lukanya cukup parah dan hingga saat ini Mama belum sadarkan diri. Clara duduk di samping tempat tidur Mama.
    “ Ma, ini Clara. Maafin Clara ya, Ma!” ucap Clara pelan sambil mengenggam tangan Mama.
    Perlahan-lahan Mama membuka matanya.
    “ Ma, Mama sudah sadar? Maafin Clara ya, Ma!” ulang Clara.
    “ Iya, sayang. Maafin Mama juga karena Mama udah menyembunyikan kenyataan ini dari kamu!” kata Mama perlahan karena sulit untuk berbicara dan mencoba untuk tersenyum.
    “ Clara panggil Papa dulu ya, Ma!” Clara sudah bersiap untuk berdiri tetapi Mama menahannya untuk tidak pergi.
    “ Jangan pergi, Clara! Temanin Mama di sini!” Clara pun kembali duduk.
    “ Iya. Clara akan temanin Mama.” Tiba-tiba nafas Mama mulai tidak stabil. Clara panik dan ingin memanggil Papa tetapi tangannya ditahan lagi oleh Mama.
    “ Clara…” panggil Mama.
    “ Iya, Ma?”
    “ Mama… sa…yang... ka...mu...” Mama memaksakan diri untuk berbicara.
    Perlahan mata Mama terpejam dan Clara mendengar suara ‘bip’ panjang dan alat pendeteksi detak jantung di sebelahnya. Air mata Clara pun menetes.
    “ Clara juga sayang Mama. Maafin Clara,Ma!”
    Para dokter dan suster serta Papa dan Niken masuk ke kamar begitu mendengar suara alat pendeteksi detak jantung itu. Dokter mengatakan kalau Mama telah menghembuskan nafas terakhirnya. Niken pun ikut menangis karena ia juga merasakan kesedihan yang dialami temannya. Papa hanya dapat memeluk Clara untuk menenangkannya.
    Dari cerita Papa, Clara mendengar bahwa kenyataannya mereka terpaksa menitipkan Clara di panti karena mereka tidak mempunyai uang untuk merawat Clara. Setelah mereka sukses dan telah memiliki uang yang cukup, mereka baru mengambil Clara kembali. Mereka juga mengarang cerita tentang anak mereka yang meningggal karena sakit agar Clara tidak curiga. Papa dan Mama tidak meninggalkan Clara begitu saja. Setiap satu bulan sekali, Mama menelepon Bu Ratih untuk menanyakan keadaan Clara bahkan sesekali ia dating ke sana dan melihat Clara dari jauh bila ia merasa kangen.
    Clara menyesal mengapa ia tidak langsung percaya kepada Papa dan Mamanya. Jika ia langsung menerima kenyataan itu, pasti kecelakaan itu tidak akan pernah terjadi dan sekarang Mama pasti sedang berkumpul bersama mereka. Benar kata pepatah yang mengatakan bahwa penyesalan itu pasti datang terlambat. Tetapi sekarang tidak ada yang perlu disesali karena ini semua telah diatur oleh Tuhan dan Clara dapat mengambil hikmahnya. Sekarang, ia masih mempunyai Papa yang sangat menyayanginya dan seorang sahabat dimana ia dapat membagi suka dan duka bersama.

    !@#$~Selesai~$#@!

    BalasHapus
  5. Cerita Pendek

    Nama: Renny Meylia Febrianti
    Kelas : X.3
    Absen : 25


    Penyesalan Selalu Datang Terlambat

    “ Clara, gantiin aku tugas piket ya! Aku mau jalan-jalan sama yang lain nih,” ujar Lia.
    “ Tapi aku harus pula sekarang, aku harus bantu-bantu di panti,” jawab Clara.
    “ Kan masih banyak teman-teman kamu yang lain disana. Sudah, pokoknya kamu harus gantiin tugas piket aku. Titik.” Kata Lia lagi sambil berjalan keluar dari kelas.
    “ Dah, nyapu yang bersih ya!” tambah salah seorang teman Lia.
    Lia dan teman-temannya pergi meninggalkan Clara sendirian di kelas. Clara adalah orang yang sulit menolak permintaan orang lain. Hal ini sering membuat ia dimanfaatkan oleh teman-teman sekelasnya. Sekarang ia duduk di kelas X di salah satu sekolah yang berada di pinggiran kota Jakarta. Ia juga sering diganggu dan diejek teman-temannya karena ia seorang anak yang yatim piatu. Clara tinggal di sebuah panti asuhan bernama Panti Asuhan Kasih bersama dengan para anak yatim piatu yang lain. Panti asuhan itu dikepalai dan diurus oleh Ibu Ratih. Dari cerita Ibu Ratih, Clara mengetahui bahwa orang tuanya telah meninggal pada saat ia berumur 2 tahun karena kecelakaan dan semenjak saat itu ia diasuh oleh Ibu Ratih.
    Walaupun Panti Asuhan Kasih terbilang kecil, namun Ibu Ratih masih dapat menyekolahkan anak-anak asuhnya meskipun di sekolah yang tidak terkenal. Ibu Ratih berpikir yang penting anak-anak itu dapat bersekolah dan menuntun ilmu yang dapat menjadi penunjang hidup mereka suatu saat nanti. Anak-anak dipanti itu sudah seperti bersaudara satu sama lain karena mereka telah tinggal bersama semenjak mereka kecil.
    Setelah selesai menggantikan Lia menjalankan tugas piket. Clara segera pulang ke panti. Setibanya di panti, ia disambut oleh Tari.
    “ Kak Clara baru pulang?” tanya Tari yang masih duduk di bangku kelas 6 SD. ”Kak Clara tadi dicari Ibu Ratih, katanya Kakak disuruh ke ruangannya,” tambah Tari.
    “ Iya, nanti Kakak ke ruangan Bu Ratih. Tapi Kakak ganti baju dulu ya!” jawab Clara.
    Clara berjalan menuju kamarnya kemudian meletakkan tasnya lalu pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan berganti pakaian.Setelah selesai berganti pakaian, Clara pergi menemui Ibu Ratih di ruangannya.
    “ Tok, tok, tok!” Clara mengetuk pintu ruangan Bu Ratih.
    “ Masuk!” terdengar jawaban dari dalam.
    Clara pun membuka pintu dan melangkah masuk. Di dalam ruangan itu dilihatnya Ibu Ratih dan sepasang suami istri yang tidak dikenal Clara.
    “ Kata Tari Ibu mencari saya. Ada apa, Bu?” Tanya Clara.
    Bu Ratih tersenyum lalu menjawab“ Iya. Perkenalkan, ini Pak Darmawan dan Bu Ratna dari Bandung.”
    Clara tersenyum kepada Bapak dan Ibu Darmawan sambil sedikit menganggukkan kepala. Mereka pun membalasnya dengan senyuman.
    “ Bapak dan Ibu ini datang kemari untuk mengadopsi salah seorang anak disini dan mereka memilih untuk mengadopsi kamu. Kamu tidak keberatan kan?” jelas Bu Ratih.
    Setelah mendengar hal itu, Clara terkejut dan bertanya “ Benarkah? Tapi mengapa saya yang dipilih ,Bu? Bukankah masih banyak adik-adik yang lain?”
    “ Mereka baru saja kehilangan anaknya yang telah meninggal karena sakit 3 bulan yang lalu. Kebetulan anak mereka seumuran dengan kamu jadi mereka menganggap dengan mengadopsi kamu bisa sedikit menghapus kesedihan mereka,” jelas Bu Ratih panjang lebar.
    Clara berpikir sebentar. Selama ini ia belum pernah merasakan bagaimana rasanya memiliki orang tua seperti teman-temannya di sekolah. Dulu, suatu hari ketika Clara masih duduk di bangku sekolah dasar, teman-teman sekelasnya mengejeknya karena ia tidak mempunyai orang tua. Clara pulang sekolah sambil menangis kemudian menceritakan hal itu pada Bu Ratih. Bu Ratih menghiburnya dan mengatakan bahwa Clara tidak perlu sedih karena hal itu karena ia sudah termasuk beruntung dengan adanya teman-teman di panti yang menyayanginya dan mereka sudah menganggapnya sebagai saudara mereka sendiri dan itu berarti Clara sudah memiliki keluarga. Clara merasa perkataan Bu Ratih benar dan sejak saat itu ia sabar dan tidak menangis lagi jika diejek teman-temannya meskipun hal itu membuatnya sedikit sedih karena mengingatkan bahwa ia tidak memiliki orang tua. Namun, hari ini Clara mendapat kesempatan untuk merasakan hal yang selama ini diimpikannya. Tetapi di laiN pihak ia juga merasa sedih karena harus berpisah dengan semua penghuni dipanti ini.
    “ Baiklah, saya mau ikut Bapak dan Ibu Darmawan,” putus Clara akhirnya.
    “ Ok. Kalau begitu, segera bereskan barang-barang yang akan kau bawa, Clara, karena kamu harus pindah ke Bandung dan kamu juga akan bersekolah di sana. Ibu akan mengurus semua surat pemindahan kamu,” kata Bu Ratih.
    “ Saya permisi, Bu,” ujar Clara.
    Clara kemudian keluar meninggalkan ruangan Bu Ratih menuju kamarnya dan membereskan semua barang-barang yang akan dibawanya ke Bandung. Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Semua anak-anak panti masuk ke kamarnya.
    “ Kakak mau pergi ya? Kemana, Kak?” tanya Riri.
    “ Iya. Kakak mau pindah ke Bandung.”
    “ Jangan pergi, Kak! Kakak nggak boleh pergi!” kata Riri sambil menangis.
    “ Iya, Kak. Jangan pergi!” ujar yang lain.
    “ Kakak akan ke sini lagi saat liburan sekolah.”
    “ Kalau Kakak pergi siapa yang jagain Riri dan bantu Riri membuat PR?” kata Riri lagi.
    “ Kan masih ada Kak Vera yang bisa menjaga dan membantu Riri dan yang lain membuat PR. Iya kan, Kak?” tanya Clara pada Vera yang juga tinggal di panti yang usianya 2 tahun lebih tua dari Clara.
    “ Iya, Riri. Yang Kak Clara bilang itu benar. Kamu tenang saja Clara. Aku akan menjaga adik-adik di sini. Kamu jangan lupa pulang ke sini lagi ya!” kata Vera.
    “ Iya, aku janji, Kak!” Ujar Clara.
    Setelah selesai berkemas, Vera dan adik- adik yang lain pergi ke depan pintu panti asuhan untuk mengantar kepergian Clara. Beberapa anak panti yang cukup akrab dengan Clara menangis karena harus berpisah dengan Clara. Mereka lalu melambaikan tangan pada Clara ketika ia telah berada di dalam mobil. Clara membuka jendela mobil dan membalas melambaikan tangan ke adik-adiknya. Setelah mobil yang dinaiki Clara hilang dari pandangan, anak- anak kembali masuk ke dalam panti.
    Di dalam mobil, Clara hanya duduk diam. Ia memikirkan apa yang akan dihadapinya esok hari di kehidupannya yang baru. Empat jam kemudian, mereka telah tiba di rumah keluarga Darmawan. Begitu turun dari mobil, Clara melihat rumah yang akan menjadi rumahnya mulai hari ini dengan tatapan kagum. Rumah itu sangat mewah. Clara baru mengetahui bahwa Pak Darmawan adalah salah satu pengusaha kaya dan sukses di Bandung. Masih dengan tatapan kagum, Clara mengikuti Pak Darmawan dan Bu Ratna masuk ke dalam rumah. Bu Ratna mengantar Clara ke kamarnya. Setibanya di kamar,
    “ Terima kasih, Tante!” ucap Clara.
    “ Eh, jangan panggil Tante dong, mulai sekarang panggil saya Mama dan panggil Om Darmawan dengan sebutan Papa!” kata Bu Ratna.
    “ Baiklah…, Ma.”
    “ Nah, gitu dong. Mama udah nyiapin kamar ini khusus untuk kamu. Sekarang sebaiknya kamu mandi dulu, setelah itu ke ruang makan untuk makan malam ya!”
    Mama lalu meninggalkan Clara sendirian di kamarnya. Clara lalu menutup pintu kamar dan mulai membereskan barang-barangnya. Ia memasukkan baju-bajunya ke dalam lemari dan buku-bukunya diletakkan di atas meja belajar. Setelah selesai, ia kemudian bergegas mandi. Setelah selesai mandi, ia merasa segar kembali dan pergi ke ruang makan seperti yang dikatakan Mama tadi. Setibanya di ruang makan, ia melihat Papa dan Mama barunya sudah duduk di meja makan dan sedang menunggunya. Mama mempersilahkan Clara duduk di sampingnya.
    Makan malam pun selesai, Papa dan Mama mengajak Clara mengobrol di ruang keluarga. Mereka menanyakan bagaimana kehidupan Clara selama di panti asuhan, apa saja yang biasa dilakukannya, sekolahnya, dan banyak hal lain. Clara bercerita dengan senang, ia merasa bahwa Pak Darmawan dan Bu Ratna adalah orang yang baik, mereka menganggap Clara seperti anak kandung mereka sendiri. Clara berpikir ternyata beginilah rasanya jika ia memiliki orang tua, ia bisa menceritakan banyak hal kepada Papa dan Mamanya. Di tengah-tengah obrolan itu, mata Clara tertuju pada sebuah foto besar yang tergantung di dinding.
    “ Itu foto Papa dan Mama ya? Kok cuma berdua? Mana anak Papa dan Mama?” tanya Clara.
    Papa dan Mama saling bertatapan. Mereka tidak menyangka Clara akan menanyakan hal itu. Akhirnya Papa membuka mulut dan menjawab.
    “ Oh itu. Iya, Papa sengaja hanya memasang foto Papa dan Mama karena jika Mama melihat foto anak kami Mama akan sedih.”
    Mama hanya menyetujuinya dengan mengangguk. Clara berpikir bahwa omongan papanya ada benarnya juga. Mereka meneruskan obrolan mereka. Tidak terasa sudah satu setengah jam mereka mengobrol.
    “ Sudah malam! Sebaiknya kamu tidur sekarang, Clara! Besok kamu harus sekolah! Oh iya, seragam baru kamu sudah Mama gantung di lemari.”
    “ Iya. Clara ke kamar dulu ya! Malam , Pa, Ma!”
    Setelah itu Clara pegi meninggalkan ruang keluarga. Papa dan Mama langsung menghembuskan nafas lega.
    “ Untung ya ,Pa, Clara tidak bertanya lagi tentang foto itu. Kalau iya, Mama tidak tahu harus berkata apa lagi,” ujar Mama pada Papa.
    Setibanya di kamar, Clara menyiapkan buku-buku dan alat tulis yang akan dibawanya ke sekolah besok. Setelah itu, ia membaringkan dirinya di atas tempat tidup, ia memejamkan matanya dan mencoba untuk tidur. Clara sedih karena mengingat adik-adiknya di panti. Ia ingin sekali mereka merasakan kebahagiaan yang dimilikinya hari ini, yaitu perasaan dimana ia telah memiliki orang tua. Karena lelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, akhirnya ia pun tertidur.
    Pagi harinya, Clara terbangun karena mendengar seseorang mengetuk pintu kamarnya. Perlahan-lahan ia membuka matanya dan meraih jam meja yang terletak di samping tempat tidurnya. Ia langsung melompat bangun begitu melihat jam yang menujukkan pukun 06.00. Mungkin karena ia terlalu lelah kemarin dan ia juga belum terbiasa tidur di tempat tidur seempuk itu, makanya ia bangun kesiangan. Cepat-cepat ia mandi dan memakai seragam sekolah barunya lalu menuju ke ruang makan untuk sarapan. Pagi ini, Mama sendiri yang mengantar Clara. Papa tidak ikut karena Papa harus pergi ke kantor. Sebelum berangkat ke sekolah, Clara berpamitan terlebih dahulu kepada Papa.
    Setibanya di SMA Harapan , Mama dan Clara terlebih dahulu menghadap kepala sekolah untuk mengurus sisa berkas kepindahan Clara ke sekolah tersebut. SMA Harapan adalah salah satu SMA terkenal di Bandung. Sebagian murid-murid di sana adalah anak dari para pengusaha kaya. Setelah selesai mengurus semuanya, Mama pun pulang dan Clara dipersilahkan untuk memasuki kelas barunya.
    Pada saat Clara memasuki kelas barunya, ruangan yang tadinya ramai oleh suara-suara dan teriakan murid-murid itu, tiba-tiba berubah menjadi sunyi. Semua pandangan mata yang ada di kelas itu menuju ke Clara yang baru saja memasuki kelas.
    “ Anak-anak! Hari ini kalian kedatangan murid baru pindahan dari Jakarta. Silahkan, Clara!” kata Bu Sarah mempersilahkan Clara memperkenalkan diri. Bu Sarah merupakan guru mata pelajaran Kimia sekaligus wali kelas mereka.
    “ Perkenalkan! Namaku Clara. Aku pindahan dari Jakarta. Senang berkenalan dengan kalian,” kata Clara sebagai salam perkenalan kepada teman-teman barunya.
    “ Baiklah, Clara! Silahkan duduk di bangku kosong di belakang disebelah Niken!”
    Clara berjalan ke tempat duduknya diikuti dengan pandangan ingin tahu teman-teman sekelasnya.
    “ Hai!” sapa Clara pada teman semejanya.
    “ Hai!” balas temannya itu.
    “ Clara,” ucap Clara sambil menjulurkan tangannya untuk berkenalan dengan temannya itu.
    “ Niken,” jawab Niken sambil membalas juluran tangan Clara.
    Pelajaran pun dimulai. Pelajaran pertama adalah Kimia yang diajarkan oleh Bu Sarah. Setelah itu dilanjutkan dengan pelajaran Bahasa Inggris. Bel istirahat pun berbunyi. Karena belum mempunyai teman, Clara memutuskan untuk tinggal di dalam kelas.
    “ Eh, kalau nggak salah tadi kamu bilang kamu pindahan dari Jakarta kan?” tanya Niken memulai pembicaraan.
    “ Iya,” jawab Clara.
    Clara dan Niken pun mulai mengobrol panjang lebar. Di luar dugaan Clara, ia bisa cocok dengan Niken karena ternyata mereka memiliki hobi yang sama sehingga obrolan mereka pun nyambung. Niken adalah anak yang rajin dan pandai serta baik hati namun agak pendiam sehingga ia hanya memiliki beberapa teman yang benar-bengar akrab dengannya. Niken juga senang karena ia bisa akrab dengan teman barunya, Clara, padahal biasanya ia tidak banyak bicara.
    “ Ngomong-ngomong… kenapa kamu pindah ke Bandung?” tanya Niken penasaran.
    “ Iya, soalnya orang tua aku tinggal di sini. Makanya aku jadi pindah ke sini,” jawab Clara.
    “ Memang sebelumnya kamu tinggal sama siapa?”
    Clara terdiam sejenak. Sebenarnya, kemarin ia telah memutuskan untuk tidak menceritakan masa lalunya kepada siapa pun di sekolah barunya. Bukan karena ia merasa malu, tetapi ia tidak ingin teman-teman mengejeknya dan menganggunya seperti ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar.
    Dari pembicaraannya dengan Niken tadi, Clara berpikir bahwa Niken adalah anak yang baik dan dapat dipercaya. Maka Clara merasa tidak ada salahnya jika ia menceritakan masa lalunya kepada Niken.
    “ Sebenarnya dulu waktu di Jakarta aku tinggal di panti asuhan….”
    Clara bercerita bahwa ia adalah anak yatim piatu dan diadopsi oleh Mama dan Papanya yang sekarang. Ia juga menceritakan kehidupannya di panti asuhan dulu. Niken dengan serius mendengarkan cerita Clara dan sekali-kali mengangguk tanda bahwa ia mengerti. Clara meminta Niken agar tidak menceritakan hal ini pada teman-teman yang lain.
    “ Tenang saja! Aku nggak akan cerita ke orang lain. Percaya ,deh!” janji Niken.
    “ Makasih, ya! Aku percaya, kok!” jawab Clara.
    Tidak terasa mereka telah mengobrol cukup lama. Bel masuk kelas pun berbunyi. Pada saat bel istirahat siang hari berbunyi, Clara dan Niken meneruskan obrolan mereka yang terpotong tadi. Tiba-tiba tiga teman perempuan yang sekelas dengan mereka berjalan mendekati mereka.
    “ Hai! Kenalin! Aku Nadia dan ini Manda dan Tasya,” kata Nadia sambil menunjuk Manda dan Tasya.
    “ Hai!” ujar Manda dan Tasya bersamaan kepada Clara.
    “ Hai juga!” balas Clara kepada mereka bertiga.
    “ Kami mau ke kantin nih! Ikut yuk!” ajak Nadia.
    “ Boleh deh! Kebetulan aku juga lapar nih. Ikut yuk, Niken!” kata Clara. Tadi pagi ia hanya sarapan sedikit karena bangun kesiangan, jadi sekarang ia merasa lapar.
    “ Nggak deh! Aku nggak lapar. Aku di kelas aja,” jawab Niken.
    Clara bersama dengan Nadia dan teman-temannya berjalan menuju kantin. Setibanya di kantin mereka memesan makanan masing-masing lalu mencari tempat untuk duduk. Nadia memulai pembicaraan.
    “ Aku dengar kamu anak Pak Darmawan ya? Pengusaha sukses itu?” tanya Nadia.
    Clara hanya mengangguk. Nadia kemudian membisikkan sesuatu kepada Manda dan Tasya dan mereka tersenyum mendengar perkataan Nadia.
    “ Hmm… bagaimana kalau besok kamu ikut kami ke mal? Anggap saja sebagai pesta penyambutan kamu kecil-kecilan!” usul Nadia.
    “ Boleh deh!” jawab Clara.
    “ Ok. Kalau begitu, besok aku jemput kamu jam 5 sore. Rumah kamu dimana?” tanya Nadia.
    Clara lalu memberitahu Nadia alamat rumahnya. Sebenarnya ia tidak ingin menerima ajakan Nadia karena ia belum mengenalnya. Ia tidak enak untuk menolaknya karena mereka berkata bahwa ajakan itu sebagai pesta penyambutannya akhirnya ia menyetujuinya.
    Setelah kembali ke kelas, Clara menceritakan ajakan Nadia tersebut kepada Niken dengan maksud untuk mengajak Niken ikut serta.
    “ Apa? Kamu mau jalan baren Nadia dan teman-temannya?” tanya Niken dengan nada tidak percaya.
    “ Iya. Kamu mau ikut nggak?” tanya Clara.
    “ Clara, sebaiknya kamu nggak usah dekat-dekat dengan mereka. Mereka itu suka seenaknya sendiri. Banyak kok anak-anak yang nggak suka sama mereka.”
    “ Tapi aku sudah terlanjur menyetujuinya. Gimana ,nih?”
    “ Bilang aja kamu nggak bisa ikut karena ada urusan lain!”
    “ Tapi aku nggak enak kalau mau ngebatalinnya. Soalnya ini kan pesta penyambutan aku.”
    “ Ya sudah. Terserah kamu ,deh! Pokoknya aku udah ingetin kamu kalau mereka itu pasti ada maunya!” kata Niken yang terlajur kesel dengan Clara karena tidak mendengar perkataannya.
    Niken hanya diam saja jika Clara mengajaknya bicara. Clara berharap semoga apa yang dikatakan Niken hanya perasaannya saja. Keesokan harinya, ia tetap pergi bersama Nadia dan teman-temannya. Berbeda dengan apa yang dikatakan Niken, Nadia dan temannya memperlakukan Clara dengan baik.
    Sejak saat itu, Clara menjadi cukup dekat dengan Nadia, Manda, dan Tasya. Mereka sering jalan-jalan dan berbelanja bersama.
    “ Clara, aku lupa bawa uang nih. Beliin aku yang ini ,dong! Nanti aku ganti uangnya deh!” bujuk Nadia.
    Clara yang tidak enak untuk menolak akhirnya meminjamkan uangnya juga. Hal itu sering terjadi berulang kali pada saat mereka sedang berbelanja. Walaupun Nadia berkata akan menggantinya namun hal itu tidak pernah ditepatinya dan ia bersikap seolah-olah lupa bahwa ia meminjam uang Clara. Clara hanya pasrah karena tidak berani memintanya sampai- sampai ia dimarahi Mama karena uang jajan yang diberikan seringkali habis hanya dalam beberapa hari. Sementara itu Niken masih kesal dengan Clara, bukan hanya tidak mendengar perkataannya, tetapi Clara juga dekat dengan Nadia, Manda, dan Tasya.
    “ Ken, maafin aku ya! Mereka nggak jahat kok sama aku!” jelas Clara agar Niken tidak mendiamkannya lagi.
    “ Paling-paling itu hanya akal-akalan mereka biar kamu percaya dengan mereka.” jawab Niken.
    “ Sudahlah! Anak kurang pergaulan kayak dia nggak usah dihiraukan! Kamu kan bisa berteman sama kami!” kata Nadia ketika melihat Clara yang mencoba mengajak Niken berbicara.
    Clara sudah berulang kali mencoba menjelaskan kepada Niken, tetapi Niken tidak terlalu menanggapinya. Ia hanya berbicara secukupnya saja kepada Clara.
    Memasuki semester dua, datanglah seorang murid pindahan dari Jakarta bernama Reza. Reza masuk ke kelas yang tepat berada disebelah kelas Clara. Ternyata Reza adalah teman sekelas Clara ketika masih di Jakarta dulu. Ketika di Jakarta dulu, banyak guru yang senang dengan Clara, hal itu membuat Reza tidak menyukai Clara.
    “ Reza? Kamu pindah ke sini juga?” tanya Clara ketika kebetulan bertemu Reza di koridor depan kelas.
    “ Iya. Emang nggak boleh? Bukan urusan kamu kan?”
    Reza lalu pergi meninggalkan Clara berjalan menuju kantin. Di kantin, Reza melihat beberapa teman laki-laki sekelas Clara. Tiba-tiba muncul pikiran untuk mempermalukan Clara. Reza lalu menghampiri dua lelaki itu.
    “ Kalian taman sekelas Clara ya?” tanya Reza.
    “ Iya. Memangnya kenapa?” jawab mereka.
    “ Kalian mau tau nggak? Sebenarnya, Clara itu anak yatim piatu. Waktu di Jakarta dulu…”
    Pada saat Reza menceritakan hal tersebut, tanpa sengaja Nadia lewat dan mendengar hal itu. Keesokan harinya, ketika Clara memasuki kelas, ia bingung, semua teman-temannya melihatnya dengan berbagai macam ekspresi. Ada yang kasihan, ada yang diam saja, ada yang menatap dengan pandangan mengejek, bahkan ada yang tidak senang.
    “ Eh, si anak yatim piatu udah dateng tuh!” kata seorang teman laki-laki yang suka usil disertai dengan tawa beberapa teman yang lain.
    “ Katanya dulu dia tinggal di panti asuhan tuh!”
    “ Kasian banget sih!”
    Teman-temannya mulai menudingnya dengan berbagai macam pertanyaan dan ejekan. Clara berjalan menuju tempat duduk dengan menahan perasaan malu, sedih dan marah yang bercampur aduk. Niken hanya duduk diam saja tidak tahu ingin berkata apa.
    “ Ken, kok kamu tega sih ngelakuin ini sama aku?” bentak Clara.
    “ Ngelakuin apa, Ra? Aku nggak ngerti!” jawab Niken.
    “ Nggak usah bohong deh! Kamu kan yang kasih tahu teman-teman tentang masa lalu aku?” tuduh Clara.
    “ Apa? Nggak kok! Aku nggak pernah cerita ke orang lain,” ujar Niken membela diri.
    “ Aku nggak percaya! Soalnya aku cuma cerita hal ini ke kamu. Kalau bukan kamu yang nyebarin, siapa lagi?”
    Clara pergi meninggalkan kelas. Ia tidak menyangka kalau Niken bisa nmelakukan hal itu terhadapnya. Ia minta izin kepada guru piket untuk pulang ke rumah dengan alasan sakit. Setibanya di rumah, Mama bingung melihat Clara yang pulang ke rumah dalam keadaan menangis.
    “ Clara, kok kamu udah pulang? Kamu nggak sekolah?” tanya Mama.
    Clara tidak menghiraukan pertanyaan Mama dan langung berlari menuju kamarnya. Melihat hal itu, Mama mengikuti Clara dan masuk ke kamarnya.
    “ Kamu kenapa, sayang?” tanya mama lembut.
    “ Clara diejek teman-teman Clara, Ma. Mereka mengejek Clara karena Clara anak yatim piatu dan pernah tinggal di panti asuhan.”
    “ Kamu nggak usah sedih, Clara. Biarin saja kalau mereka mengejek kamu! Yang penting kan sekarang kamu udah punya Papa dan Mama,” kata Mama menenangkan Clara.
    “ Makasih, Ma!”
    Clara menangis di dalam pelukan Mama. Mama hanya mengelus kepala Clara. Mama merasa sedih melihat anaknya seperti itu. Setelah itu, Clara sedikit merasa tenang dan lega.
    Sejak saat itu, Clara tidak pernah bicara lagi dengan Niken. Ia menghabiskan waktunya bersama Nadia, Manda dan Tasya. Niken pun tidak tahu harus berbuat apa lagi, karena setiap kali ia ingin menjelaskan hal itu, Clara tidak akan percaya malahan ia pergi bersama Nadia.
    “ Pa, apa sebaiknya kita mengatakan hal yang sebenarnya kepada Clara?” Kata Mama pada Papa.
    “ Lho, bukannya Mama sendiri yang ingin menyembunyikannya?”
    “ Tapi Mama nggak tega melihat Clara diejek temannya karena dia anak yatim, Pa”
    “ Papa sih terserah Mama aja, kalau menurut Mama itu yang terbaik, Kenapa nggak?”
    Mama lalu memanggil Clara ke rusng keluarga.
    “ Ada apa , Ma?”
    “ Clara, Mama dan Papa mau ngomong sesuatu sama kamu,” kata Papa
    “ Apa, Pa?”
    “ Sebenarnya… sebenarnya kamu anak kandung Papa dan Mama,” kata Mama ragu-ragu.
    Clara sangat terkejut mendengar hal tersebut, Mama dan Papa kemudian menjelaskan kalau dulu mereka terpaksa menitipkan Clara di panti karena mereka tidak mempunyai uang untuk merawat Clara. Papa berusaha dan bekerja keras untuk memberi makan keluarga. Akhirnya, setelah mereka sukses dan telah memiliki uang yang cukup, mereka baru mengambil Clara kembali. Clara tidak dapat menerima hal itu tiba-tiba.
    “ Nggak! Kenapa kalian baru mengatakan hal ini sekarang? Kenapa Papa dan Mama meninggalkan Clara sendirian? Walaupun susah, harusnya kalian juga ajak Clara. Mama Papa tau nggak kalau Clara itu sangat sedih ketika melihat teman-teman Clara mempunyai orang tua yang sayang kepada mereka,” teriak Clara histeris sambil menangis.
    “ Clara, kami terpaksa melakukan itu!” jelas Mama.
    Clara berlari keluar rumah hingga ke jalan raya. Mama dan Papa mengejar Clara. Clara menyebrang jalan tanpa melihat kiri dan kanan. Tiba-tiba dari arah kiri, sebuah mobil melaju cepat menuju ke arah Clara.
    “ Clara! Awas!” teriak Mama yang segera berlari ke arah Clara dan mendorong Clara.
    Karena melindungi Clara, akhirnya Mama tertabrak mobil yang sedang melaju tadi. Clara merasa tubuhnya didorong setelah itu ia langsung berlari lagi tanpa tahu tujuannya. Ia tidak mengiraukan Papa yang memanggil-manggil namanya. Papa segera menelepon ambulans dan segera membawa Mama ke rumah sakit. Papa menghubungi Niken dan menceritakan hal yang terjadi serta meminta Niken untuk mencari Clara.
    Clara tidak tahu harus kemana lagi. Pikirannya bercampur aduk. Pertama, Niken menghianatinya karena tidak dapat menjaga rahasianya. Kedua, kenyataan bahwa Mama dan Papanya yang sekarang adalah benar-benar orang tua kandungnya. Ia tidak dapat menerima bahwa Papa dan Mamanya sendiri yang telah meinggalkannya semenjak ia kecil. Ia sudah tidak percaya kepada siapa-siapa lagi. Namun, ia teringat bahwa ia masih mempunyai Nadia,Manda, dan Tasya. Ia pun segera menuju ke rumah Nadia yang biasanya menjadi tempat mereka berkumpul. Setibanya di rumah Nadia, Clara langsung menuju kamar Nadia. Pintu kamar Nadia terbuka sedikit sehingga Clara bisa melihat di sana ada Manda dan Tasya. Karena mendengar pembicaraan mereka, Clara yang tadinya ingin masuk, menghentikan langkahnya dan membatalkan niatnya untuk masuk.
    “ Aku heran sama kamu, Nad. Kok kamu masih mau sih berteman dengan Clara?” kata Tasya.
    “ Lho, emangnya salah?” tanya Nadia berpura-pura heran.
    “ Ya iya lah. Kamu kan udah dengar sendiri Reza bilang kalau dia itu cuma anak yatim piatu yang nggak jelas asal usulnya,” jawab Manda.
    “ Kalian ini gimana sih? Aku nggak peduli kalau dia itu anak yatim atau bukan, yang penting sekarang dia kan anak Pak Darmawan. Itu berarti kita bisa minta dia beliin barang apa saja yang kita mau karena dia punya uang,” jelas Nadia.
    “ Betul juga apa yang kamu bilang, Nad,” kata Manda yang juga disetujui oleh Tasya.
    Clara merasa lengkap sudah penderitaannya kali ini. Teman-teman yang tadinya dikira baik padanya ternyata ada maunya. Padahal Clara berpikir ia dapat berbagi penderitaannya dengan mereka. Tetapi tiba-tiba Clara teringat kata- kata Manda tadi. Nadia mendengar cerita masa lalu Clara dari Reza, itu berarti bukan Niken yang menyebarkannya. Ternyata ia telah salah paham dengan Niken. Clara pun bergegas mencari Niken ke rumahnya untuk meminta maaf.
    “ Clara? Kok kamu bisa ada di sini?” tanya Niken bingung begitu melihat Clara berada di depan rumahnya.
    “ Ken, aku minta maaf ya! Ternyata selama ini aku salah paham sama kamu! Maafin aku ya!” pinta Clara.
    “ Tanpa kamu minta maaf aku juga udah maafin kok. Ya sudah, nggak usah ungkit masalah itu lagi! Yang penting sekarang kamu ikut aku ke rumah sakit untuk melihat Mamamu!”
    “ Nggak! Mereka udah berbohong padaku! Aku nggak mau bertemu mereka!”
    “ Kamu nggak boleh gitu, dong! Seharusnya kamu bersyukur karena ternyata kamu masih punya orang tua kandung seperti yang selama ini kamu inginkan!”
    “ Nggak! Mereka nggak sayang sama aku. Buktinya mereka memberikanku ke panti asuhan.”
    “ Mereka pasti punya alasan sendiri mengapa mereka melakukan hal itu. Jika mereka nggak sayang sama kamu, untuk apa Mama kamu mengorbankan nyawanya sendiri demi nyelamatin kamu tadi?”
    Clara merasa apa yang dikatakan Niken itu benar. Akhirnya, Clara dan Niken menuju ke rumah sakit tempat Mama Clara dirawat. Di sana mereka melihat Papa sedang berdiri di depan kamar Mama. Clara masuk sendirian ke kamar Mamanya. Di dalam kamar, Clara melihat Mamanya terbaring di atas tempat tidur dengan perban di sekujur tubuhnya. Papa tadi berkata bahwa lukanya cukup parah dan hingga saat ini Mama belum sadarkan diri. Clara duduk di samping tempat tidur Mama.
    “ Ma, ini Clara. Maafin Clara ya, Ma!” ucap Clara pelan sambil mengenggam tangan Mama.
    Perlahan-lahan Mama membuka matanya.
    “ Ma, Mama sudah sadar? Maafin Clara ya, Ma!” ulang Clara.
    “ Iya, sayang. Maafin Mama juga karena Mama udah menyembunyikan kenyataan ini dari kamu!” kata Mama perlahan karena sulit untuk berbicara dan mencoba untuk tersenyum.
    “ Clara panggil Papa dulu ya, Ma!” Clara sudah bersiap untuk berdiri tetapi Mama menahannya untuk tidak pergi.
    “ Jangan pergi, Clara! Temanin Mama di sini!” Clara pun kembali duduk.
    “ Iya. Clara akan temanin Mama.” Tiba-tiba nafas Mama mulai tidak stabil. Clara panik dan ingin memanggil Papa tetapi tangannya ditahan lagi oleh Mama.
    “ Clara…” panggil Mama.
    “ Iya, Ma?”
    “ Mama… sa…yang... ka...mu...” Mama memaksakan diri untuk berbicara.
    Perlahan mata Mama terpejam dan Clara mendengar suara ‘bip’ panjang dan alat pendeteksi detak jantung di sebelahnya. Air mata Clara pun menetes.
    “ Clara juga sayang Mama. Maafin Clara,Ma!”
    Para dokter dan suster serta Papa dan Niken masuk ke kamar begitu mendengar suara alat pendeteksi detak jantung itu. Dokter mengatakan kalau Mama telah menghembuskan nafas terakhirnya. Niken pun ikut menangis karena ia juga merasakan kesedihan yang dialami temannya. Papa hanya dapat memeluk Clara untuk menenangkannya.
    Dari cerita Papa, Clara mendengar bahwa kenyataannya mereka terpaksa menitipkan Clara di panti karena mereka tidak mempunyai uang untuk merawat Clara. Setelah mereka sukses dan telah memiliki uang yang cukup, mereka baru mengambil Clara kembali. Mereka juga mengarang cerita tentang anak mereka yang meningggal karena sakit agar Clara tidak curiga. Papa dan Mama tidak meninggalkan Clara begitu saja. Setiap satu bulan sekali, Mama menelepon Bu Ratih untuk menanyakan keadaan Clara bahkan sesekali ia dating ke sana dan melihat Clara dari jauh bila ia merasa kangen.
    Clara menyesal mengapa ia tidak langsung percaya kepada Papa dan Mamanya. Jika ia langsung menerima kenyataan itu, pasti kecelakaan itu tidak akan pernah terjadi dan sekarang Mama pasti sedang berkumpul bersama mereka. Benar kata pepatah yang mengatakan bahwa penyesalan itu pasti datang terlambat. Tetapi sekarang tidak ada yang perlu disesali karena ini semua telah diatur oleh Tuhan dan Clara dapat mengambil hikmahnya. Sekarang, ia masih mempunyai Papa yang sangat menyayanginya dan seorang sahabat dimana ia dapat membagi suka dan duka bersama.

    !@#$~Selesai~$#@!

    BalasHapus
  6. Cerita Pendek
    Judul :Senyuman Bidadari
    Karya : Felecia Sabtuharini Handrawan
    Kelas / no. absen : X.3 / 10

    Kokok ayam jantan menyadarkanku dari tidurku yang lelap pagi itu. Udara pagi yang menembus melewati jeruji di dinding ruangan itu membuat tubuhku menggigil. Lantai batu yang sedingin es itu menusuk-nusuk punggungku dengan rasa ngilu yang teramat sangat. Mau tak mau aku bangun, mengambil selimut yang sudah tergeletak kusut di sebelah kananku. Dengan malas aku menyeret badan ke pojok ruangan dan meringkuk untuk menghangatkan diri di sana.
    Aku memandang ke sekeliling ruangan sempit berukuran 2 x 3 meter itu. Dinding yang dahulu putih, sekarang sudah kusam dan banyak ditumbuhi lumut Retakan terdapat di mana-mana. Sangat menyiratkan bahwa ruangan itu sudah tua, rapuh. Besi-besi kokoh yang membingkai ruangan itu pun sekarang sudah berkarat. Ya, tak terasa sudah 10 tahun aku menjadi penghuni ruangan ini. Sel nomor 12 yang sengat identik kaos kaki basah. Bau dan lembab. Udara lembab yang menimbulkan sensasi menggelitik di hidung saat siapapun memasukinya, sensasi yang sangat kusukai. Sensasi yang pasti akan menimbulkan kerinduan yang amat sangat dalam hatiku nanti.
    Ya, nanti pasti aku akan rindu dengan ruangan ini. Rindu dengan teman-teman yang biasa berebutan makanan denganku. Rindu dengan Toni, si tukang bersih-bersih yang sering menemaniku bercerita, menjadi tempatku berkeluh kesah. Rindu dengan Prita, si Kepala Penjara yang galak, yang selalu memberiku hukuman karena kebiasaan burukku yang sering terlambat bangun. Aku akan rindu dengan segala hal yang ada di penjara ini, penjara yang sudah bagaikan rumahku sendiri.Di sinilah aku dapat menemukan sedikit penghiburan bagi jiwaku di saat aku merasa sebatang kara. Dan kini, hari ini juga, aku harus pergi dari sini. Pergi meninggalkan segala kenangan yang telah terukir di sini.
    Pagi ini aku akan bebas, tetapi tentu bukan kebebasan seperti yang kau kira. Aku akan bebas dari dinding-dinding sel yang selama ini mengekangku. Bebas dari penjara yang sudah menjadi tempat tinggalku 10 tahun terakhir. Bebas dari segala pandangan miring masyarakat terhadap pembunuh sepertiku. Bebas dari kotaku, negeriku, bahkan dunia ini. Dan yang terpenting, bebas dari kerinduanku yang teramat terhadap dirinya.
    Pagi ini, tepatnya sekitar 2 jam lagi, aku akan menjalani sanksi atas perbuatanku di hari itu. Sanksi yang akan membuatku mengucapkan selamat tinggal kepada dunia ini. Sanksi yang akan membuatku pergi, menyusulnya ke sana. Ya, ini tepat seperti apa yang kau pikirkan. Hukuman mati.
    Jika kau pikir aku takut, kau salah besar. Tak sedikit pun rasa gentar berhasil menyusup ke dalam hatiku. Begitu pula dengan rasa penyesalan. Aku tak menyesal dengan apa yang telah kulakukan. Keparat itu memang pantas dikirim ke neraka. Ia memang pantas diberi ganjaran karena telah membuat bidadariku menderita. Penderitaan yang sangat menyakitkan sehingga membuatnya harus pergi meninggalkanku sebatang kara.
    Kejadian itu masih terekam sangat jelas dalam memoriku. Kejadian yang telah mengubah aku, dia, dan banyak hal dalam hidupku.
    Hari itu Sabtu malam. Seperti biasa, aku sedang duduk santai di dalam kamar sambil memangku laptop Apple kesayanganku. Pandanganku tak dapat lepas dari laptop itu. Satu per satu website kujelajahi sambil chatting dengan kakakku yang sedang menempuh studi di luar negeri. Sudah sekitar 1 tahun aku belum bertemu dia lagi semenjak kepulangannya pada malam tahun baru lalu. Jadi, wajar jika teriakan Mama yang memanggil namaku waktu itu kuabaikan karena saking asyiknya ngobrol dengan kakakku itu.
    “Paling-paling hanya mau menyuruh makan malam, nanti sajalah.” pikirku dalam hati.
    Tetapi setelah beberapa saat, Mama masih terus memanggil. Suaranya terdengar panik, seperti orang yang kebakaran jenggot. Aku tahu ini pasti bukan teriakan panggilan untuk makan malam. Sesuatu yang penting pasti telah terjadi. Aku menutup laptopku dan segera bergegas keluar kamar.
    Saat aku memasuki ruang tamu, aku terkejut. Kulihat telepon rumah telah menggantung di atas meja, belum diletakkan sesuai tempatnya semula. Mama sedang duduk di sofa sambil menangis terisak-isak.
    “April kecelakaan, Vin.” suara Mama terdengar samar-samar diantara isak tangisnya.
    Tubuhku kaku bagai terkena sambaran petir saat mendengar berita itu. April, gadis manis yang sangat kucintai dan selalu kujaga selama ini, sekarang kecelakaan.
    “ Kapan, Ma? Di mana? Bagaimana bisa terjadi? “ serbuan pertanyaan keluar dari mulutku, seolah-olah tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.
    Akhirnya Mama menceritakan sekilas kejadian itu. April sedang naik motor dibonceng oleh kakaknya, dan mereka secara tidak sengaja menabrak trotoar. Kakaknya dalam keadaan yang cukup baik, hanya lecet di sana sini. Tetapi April terlempar dari motornya, dan sekarang beberapa tulang kakinya patah. Dan kemungkinan ia harus menjalani operasi untuk memperbaiki tulang kakinya tersebut.
    Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung menyambar kunci mobilku dan melesat menuju rumah sakit. Mama pun ikut besertaku. Wajar saja jika Mama ikut-ikutan panik atas apa yang menimpa April, karena Mama pun sangat sayang kepada April. Aku mulai menjalin hubungan dengan April sejak 4 tahun yang lalu, tepatnya saat kami duduk di kelas 2 SMA. Dan tentu saja April sering kubawa ke rumah agar dapat lebih akrab dengan keluargaku. Dan benar saja, sifatnya yang ramah dan periang membuatnya diterima dengan baik di keluargaku. Ia bahkan sudah dianggap seperti anak sendiri oleh Mama.
    Setiba di rumah sakit, aku langsung menuju ke bagian informasi.
    “Pasien yang bernama Vega Aprilia sekarang berada di ruangan mana, mas?”
    “Oh, pasien yang baru masuk itu, ya? Biar saya cek sebentar,” orang itu berkata sembari mengotak-atik komputer di depannya. “Sekarang dia sedang menjalani operasi untuk pemasangan pen pada tulang kakinya yang patah. Adik bisa menyusul ke ruangan operasi, dari sini lurus saja, kemudian belok kanan, ruangan kedua dari ujung.”
    “Terima kasih.” jawabku singkat. Aku langsung menggandeng tangan Mama yang sudah mulai menangis sekarang. Aku berjalan sesuai dengan penjelasan orang tersebut, dan tanpa kesulitan menemukan ruang operasi yang dimaksud.
    Di depan ruang operasi kulihat cukup ramai. Mama April dan kakaknya, Owen, sedang duduk dengan wajah yang sangat sedih. Papa April sedang berjalan mondar mandir dari ujung koridor yang satu ke ujung koridor yang lainnya. Sahabat-sahabat April pun turut ada di sana.
    “Vino, akhirnya kamu datang. Maafkan aku tidak bisa menjaga April dengan baik. Aku memang kakak yang tidak berguna.” Kak Owen berkata dengan mata yang berkaca-kaca.
    “Kakak jangan menyalahkan diri sendiri seperti itu, Kak. Ini bukan salah Kakak.”
    “Ya, ini salahku. Andai aku tidak mengangkat telepon waktu itu, konsentrasiku pada jalanan tentu tidak akan teralih. Dan trotoar itu…. Aku pasti tidak akan menabraknya. Aarghh… andai aku lebih berhati-hati.”
    “Sudahlah, Owen. Lagipula April tidak terlalu parah sekarang, hanya tulang kaki kanannya yang patah. Setelah operasi ia pasti akan baik – baik saja.” suara lembut Mama April membuat perasaanku sedikit lebih tenang.
    Ya, April pasti tidak apa-apa. Ia pasti kuat menjalani operasi ini dan kembali seperti sedia kala. Kembali menjadi gadis manisku yang periang.
    Beberapa saat kemudian seorang laki-laki berbaju serba putih keluar dari ruangan operasi itu. Itu pasti dokter yang menangani operasi April. Dan aku yakin, ia pasti akan membawa kabar baik.
    “Bagaimana keadaan anak saya dokter?” Mama April segera menyambut dokter itu dengan pertanyaan.
    “Tenang saja, Bu. Operasi berjalan lancar dan sukses. Anak ibu baik-baik saja sekarang. Ia memang belum sadar, tetapi setelah pengaruh obat biusnya hilang ia pasti akan segera sadar. Sebentar lagi ia akan dipindahkan ke ruang perawatan biasa.”
    Setelah dokter itu berlalu pergi, terlihat pintu ruang operasi kembali terbuka. 4 orang perawat keluar sambil mendorong seorang gadis di atas ranjang yang beroda. Seorang perawat lagi berjalan mengiringi di samping mereka sambil mendorong impus.
    Gadis itu tak lain tak bukan adalah April. Wajahnya yang mulus sekarang dilapisi perban. Bibirnya yang biasanya semerah buah ceri, sekarang pucat. Tubuhnya yang biasanya energic sekarang lemah, tidak berdaya.
    Kami semua segera beranjak mengelilingi April, khawatir akan keadaannya sekarang.
    “Maaf, April harus segera dimasukkan ke ruang perawatan. Kalian dapat melihat keadaannya nanti.” kata seorang perawat sambil memberikan instruksi kepada perawat lainnya untuk segera mendorong April pergi.
    Kami pun berjalan beriringan di belakang perawat-perawat yang membawa April itu. Ia dibawa memasuki kamar rawat inap nomor 1216.
    Malam harinya aku tetap tinggal di sana. Aku duduk di sebelah ranjangnya sambil memegangi tangannya yang mungil itu. Aku tidak mau meninggalkannya barang sedetik pun. Ya, aku memang sangat mencintai dia. Lebih dari apapun di dunia ini, bahkan diriku sendiri. Apapun rela kulakukan deminya.
    “Kapan kau akan sadar, sayang? Apakah keadaanmu baik-baik saja sekarang?” aku terus mengajaknya bicara dengan harapan ia dapat segera sadar. Doa pun tak henti-hentinya kupanjatkan kepada Tuhan, memohon akan kesembuhannya.
    Tanpa sadar, hari sudah pagi saat aku membuka mataku. Cahaya matahari pagi telah mendesak untuk masuk dari jendela kamar itu.
    “Vinooo…. Vino…” April memanggil namaku dengan suara yang resah, tetapi matanya masih tertutup. Seolah-olah ia sedang mengalami mimpi buruk dalam tidurnya.
    Melihatnya begitu membuatku merasa sangat menderita. Aku ingin dia segera sadar, agar aku dapat melihat kembali senyumnya itu.
    Aku pun segera membangunkan Mama April yang masih tertidur di sofa, memberitahukannya bahwa April sudah mulai bereaksi.
    “Syukurlah. Mungkin ini pertanda bahwa April akan segera sadar.” Mama April berkata dengan nada yang cukup melegakan baginya, tapi tidak bagiku. Entah mengapa, melihatnya mengigau seperti itu bukannya membuatku senang karena sudah ada perkembangan. Aku justru memiliki firasat yang buruk, entah mengapa.
    Aku bergegas menuju ke ruangan Dokter Berry, dokter yang menangani operasi April kemarin untuk memberitahukan perkembangan yang terjadi.
    “Ya, kondisinya sudah mulai stabil. Sebentar lagi ia pasti sadar.”
    Begitulah perkataan dokter Berry. Tetapi sekarang, seminggu telah berlalu dari hari itu. Tetapi, April belum juga sadar. Keadaannya bahkan semakin parah sekarang.
    Begitu banyak alat menempel pada tubuhnya, diakibatkan oleh kondisinya yang semakin memburuk. Tiga hari yang lalu, ia bahkan mengalami kejang-kejang dan sesak nafas. Ironisnya, ia harus menggunakan alat bantu pernafasan sekarang.
    Igauannya yang menyebut-nyebut namaku pun sekarang menjadi semakin sering, bahkan bisa dikatakan setiap malam. Igauan itu sangat menyiksaku, suaranya terdengar sangat menderita.
    “Sebenarnya apa yang menahanmu dalam tidur yang panjang ini? Mengapa engkau tidak mau segera bangun dan membuka matamu? Padahal aku akan selalu ada di sampingmu.”
    Sudah beberapa kali aku mencoba menanyakan apa yang sebenarnya sedang terjadi kepada Dokter Berry. Tetapi jawabannya selalu sama.
    “Sebentar lagi April akan sadar.”
    Aku bingung, sebenarnya apa yang ia maksud dengan sebentar. Satu minggu? Sepuluh hari? Sebulan? Tidak. Bahkan satu menit pun bagiku tidaklah sebentar. Waktu satu menit itu akan terasa sangat panjang bagiku tanpa kehadirannya. Tanpa senyumnya yang indah itu.
    Hari demi hari terus berlalu, dan sekarang sudah memasuki bulan keempat semenjak April memasuki tidurnya yang panjang, yang aku tidak tahu akan berujung atau tidak. Kondisiku pun bahkan sudah bisa dikategorikan sebagai orang sakit juga, tetapi bukan sakit secara fisik, melainkan mental. Mungkin orang-orang yang tidak mengetahui persoalan apa yang sedang kuhadapi, akan mengataiku orang setengah gila. Ya, masih “setengah”. Wajar saja, sekarang aku tidak mengurusi penampilanku lagi. Kantung hitam di sekeliling mataku semakin hari semakin tebal saja lantaran aku tidak bisa tidur dengan tenang. Igauannya selalu membangunkanku. Rambutku yang biasanya cepak, sekarang mulai memanjang, bahkan sudah hampir menyentuh bahu. Baju yang kukenakan lusuh, tidak modis seperti gayaku dulu. Dan yang lebih mendukung lagi, pikiranku hampir selalu kosong setiap saat. Ekspresi wajahku hampa, kosong.
    Dan aku yakin aku akan benar-benar gila jika keadaan seperti ini berlangsung lebih lama lagi. Tidak boleh kubiarkan hal itu terjadi. Aku harus membuat bidadariku segera sadar, dan mengembalikan lagi senyumannya itu.
    Aku tertarik dengan sebuah artikel di salah satu website saat aku iseng-iseng menjalani kembali hobi browsing-ku sore itu.
    “TINGKAT MALPRAKTEK SEMAKIN TINGGI, HARAP WASPADA”
    Begitulah judul artikel itu. Entah mengapa, minatku untuk membaca artikel itu tiba-tiba muncul. Padahal, sebelumnya aku malas untuk melakukan apapun. Dalam artikel itu diceritakan bahwa telah banyak orang yang menjadi korban malpraktek. Mulai dari orang tua, remaja, bahkan tak terkecuali anak-anak. Bukan hanya rumah sakit kecil dengan dokter-dokter amatiran yang menjdai pelaku malpraktek. Bahkan dokter-dokter profesional di rumah sakit yang terkenal pun dapat melakukannya.
    Lebih lanjut lagi dalam artikel tersebut dikatakan bahwa malpraktek paling sering terjadi dalam operasi. Pasien biasanya mengeluh dengan penyakit yang lebih parah setalah dioperasi.
    Selain, artikel itu, masih ada artikel-artikel lainnya. Artikel-artikel tersebut berisi kesaksian dari para korban malpraktek. Dan artikel yang terakhir menarik perhatianku. Di sana diceritakan seorang anak bernama Angel yang menjalani operasi karena kakinya tertusuk beling, kemudian ia tak sadarkan diri selama hampir setahun setelah operasi tersebut, kemudian meninggal. Usut punya usut, ternyata sang dokterlah yang salah memberikan dosis obat bius kepada Angel sehingga menyerang saraf-saraf tubuhnya dan mengakibatkan ia tidak dapat bangun dari tidurnya.
    Sebuah lampu hijau seakan-akan menyala dalam kepalaku. Ya, jangan-jangan ini yang terjadi dengan bidadariku, April. Tak ada alasan lain lagi yang masuk akal selain yang satu ini. Dokter Berry pun terlihat selalu menghindar dan menjawab alakadarnya saja saat kutanya apa penyebab April tak kunjung sadar. Ya, aku harus menyelidiki apakah dugaanku ini benar.
    Saat itu juga aku langsung membawa hasil tes darah April ke salah satu rumah sakit lain dan menemui dokter langganan Mama.
    “Apakah mungkin ketidaksadaran April ini karena keteledoran dokter itu?”
    “Ya, mungkin saja. Mendengar ceritamu bahwa kondisinya semakin hari semakin memburuk, saya curiga bahwa dokter yang Anda ceritakan itu telah memberikan obat yang mungkin tidak cocok dengan tubuh April sehingga mempengaruhi sistem sarafnya.”
    Ya, aku yakin sekarang. Selama ini memang ada yang tidak beres dengan dokter itu. Aku harus menuntutnya ke pengadilan karena telah membuat bidadariku menderita selama ini.
    Tiba-tiba handphone di sakuku bergetar. Ada seseorang yang menelepon.
    MAMA. Itulah yang tertera di layar handphone-ku. Segera kuangkat telepon itu, firasat buruk tiba-tiba menghampiriku. Jangan-jangan sesuatu yang tidak beres terjadi lagi.
    “Vino, kamu di mana? April kritis lagi. Cepat ke sini sekarang!!” suara Mama terdengar amat sangat cemas, bercampur dengan isak tangis yang membuat suaranya terdengar samar-samar.
    Aku segera melesat menuju rumah sakit tempat April dirawat. Kondisinya amat parah. Aku sampai meneteskan air mata saat melihatnya. Tubuhnya seluruhnya kejang-kejang. Ia terlihat seperti sangat kesulitan untuk bernafas. Busa yang keluar dari mulutnya membuat perasaanku semakin terenyuh, tak tega melihatnya begitu.
    Sayang, aku tidak boleh masuk ke ruang ICU itu. Aku hanya dapat melihatnya dari kejauhan. Belasan tim medis mengelilinginya, termasuk Dokter Berry. Mereka semua sedang berusaha menyelamatkannya.
    “Ya Tuhan, tolong selamatkan dia. Aku tak tega melihat penderitaannya itu. Biarkan aku saja yang menggantikannya di sana, Tuhan. Biarkan aku yang menderita. Aku rela, sangat rela.” aku berdoa dalam hati sambil terus meneteskan air mata.
    Satu menit berselang, kejang-kejang di tubuhnya berhenti. Busa pun tak keluar lagi. April selamat! Itulah yang muncul dalam pikiranku.
    “Maaf, kami sudah melakukan sebisa mungkin. Tetapi Tuhan berkehendak lain” suara itulah yang tiba-tiba kudengar dari Dokter Berry.
    “Tidak!!!!!! April tidak mungkin meninggal! Dokter bercanda, kan?!?” aku mengguncang tubuh dokter itu sambil setengah berteriak.
    “Vino, terimalah kenyataan. April memang sudah pergi.” Mama tiba-tiba memelukku dari belakang.
    Jadi, April benar-benar sudah pergi? Tidak mungkin. Rasanya baru kemarin aku melihat ia tersenyum dengan begitu manis. Rasanya baru kemarin aku pergi berjalan-jalan dengannya ke pelabuhan dekat rumahnya, pelabuhan favorit kami. Pelabuhan tempat aku, dan dia pertama kali mengutarakan perasaan cinta kami. Pelabuhan tempat kami tiap tahun merayakan hari jadi kami, 12 April. Dan itu hanya tinggal satu minggu lagi. Padahal aku sudah merencanakan makan malam yang romantis di pelabuhan itu dari jauh-jauh hari. Tetapi sekarang semuanya sia-sia. Ia telah tiada.
    Air mata yang sedari tadi sudah tumpah sekarang menjadi semakin deras membanjiri pipiku. Pikiranku kalut. Sekujur tubuhku gemetar, keringat dingin mengucur dari pori-pori kulitku. Dan tiba-tiba semuanya perlahan-lahan menjadi semakin kabur. Orang-orang dan lantai tempatku berdiri seolah-olah berputar, membuatku menjadi oleng. Dan akhirnya semuanya menjadi gelap. Aku tidak ingat lagi apa yang terjadi setelah itu.
    Aku tak tahu aku sedang berada di mana sekarang. Semuanya putih, bersih. Seolah-olah aku sedang berdiri di atas awan. Tiba-tiba sebuah sentuhan hangat yang sudah sangat kukenali menjamah tanganku. Saat aku berbalik ke belakang, April sudah berdiri anggun di sana. Ia mengenakan gaun terusan yang serba putih. Rambut hitamnya yang panjang melambai indah tertiup angin sepoi-sepoi. Senyuman bidadarinya yang telah lama kurindukan pun turut menghiasi wajahnya. Ia terlihat sangat cantik, sangat bahagia.
    Berjuta pertanyaan sudah siap kutumpahkan dari mulutku. Di mana kami sekarang, apa yang sedang terjadi, ke mana saja ia pergi selama ini, mengapa ia tidak pernah terbangun dari tidurnya, dan masih banyak lagi. Tetapi mulutku seolah-olah kaku, sepatah kata pun tidak dapat aku ucapkan.
    “Vino, sayang. Aku tahu kau bingung dengan semua ini. Kau pasti bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Aku mengerti. Tapi dengarlah, aku di sini hanya untuk bicara padamu,” suaranya yang indah, melantun bagaikan lagu di telingaku “aku baik-baik saja. Penderitaanku selama ini sudah berakhir. Aku sangat bahagia sekarang, dan kuharap kau pun begitu. Janganlah kau mengantarku dengan tangisan. Aku ingin kita berdua tersenyum untuk yang terakhir kalinya bersama-sama.” tangannya yang lembut menyeka air mataku yang mulai mengucur.
    “Ingat, jaga dirimu baik-baik. Aku yakin kau dapat menemukan yang lebih baik daripada aku. Tetapi ingatlah, cintaku padamu akan selalu abadi selamanya.”
    Aku juga mencintaimu, selamanya. Aku sudah berusaha keras untuk mengucapkannya, tetapi upayaku nihil. Tak sepatah katapun berhasil keluar dari mulutku.
    “Sudah, Vino, tak usah mencoba lagi. Aku tahu apa yang ada dalam hatimu.” katanya sambil meletakkan tangannya di dadaku, seolah-olah sedang menyentuh hatiku.
    “Aku harus pergi sekarang, selamat tinggal.” ia perlahan-lahan melepaskan tanganku, dan memperlihatkan senyum bidadarinya untuk terakhir kali. Ia mulai berjalan menjauh, dan tiba-tiba hilang dari pendanganku.
    “Tidaaaaaaakkkkkk !!!!!!!!!!!!!!!” aku berteriak, kali ini suaraku terdengar.
    Tiba-tiba aku merasa seseorang mengguncang-guncang tubuhku. Dan aku pun perlahan-lahan membuka mata. Ternyata itu semua hanya mimpi. Tetapi, kenyataan bahwa April telah meninggal itu benar-benar real, bukan mimpi.
    “Akhirnya kau sadar juga, Vino. Mama khawatir melihatmu.”
    “April. Di mana April sekarang? Di mana, Ma?” aku mencari-cari panik.
    “April sedang dikuburkan sekarang, Vin. Kau sudah pingsan selama satu hari.”
    Aku tidak mau melewatkan kesempatan untuk melihat April, serta mengirimkan doa untuknya, untuk yang terkhir kalinya. Aku pun langsung bangun dari tempat tidurku, dan berusaha berdiri. Sesaat rasa pusing menggelayutiku, membuatku oleng sebentar. Tetapi aku berusaha untuk kuat. Aku mencabut selang infus yang entah sejak kapan telah melekat pada pergelangan tangan kiriku. Aku segera bergegas pergi, sebelum Mama sempat menahanku.
    Suasana sudah sangat ramai di sana. Terdengar lantunan doa mengalir tak henti-hentinya dari mereka yang berkumpul untuk mengantar kepergian April. Aku segera menyerobot kerumunan itu menuju ke barisan terdepan.
    Aku harus kuat, aku tidak boleh menangis. Ya, begitulah pesan April. Aku menaburkan bunga pada tanah pemakamannya dengan wajah yang tersenyum. Tetapi senyumku ini bukan berarti bahwa aku ikhlas ia pergi dengan cara yang seperti ini. Ini semua tidak adil. Tidak adil baginya, bagiku, dan bagi semua orang. Aku harus menegakkan kebenaran. Yang salah tetap harus menerima ganjaran.
    Sepulang dari pemakaman, aku mulai menyusun rencana. Ya, aku yakin tebakanmu benar. Rencana pembunuhan. Entah setan apa yang sedang merasuki diriku saat itu. Bahkan dalam mimpi pun aku belum pernah berniat untuk membunuh seseorang. Dan sekarang, aku akan melakukannya. Aku tak lagi memikirkan dosa sebesar apa yang akan kudapatkan jika aku melakukan ini. Begitu pula dengan reaksi orang-orang sekitarku jika mereka mengetahui rencana gilaku, aku tak peduli.
    Adrenalin tubuhku begejolak saat aku membayangkan wajah Dokter Berry yang ketakutan saat menjelang ajalnya. Sensasi kesenangan yang aneh timbul saat aku membayangkan ia sedang gemetaran, dan memohon-mohon agar aku memaafkannya. Ia pantas untuk merasakan penderitaan yang sama, bahkan lebih dari bidadariku, April.
    Akhirnya, setelah berpikir semalaman, rencanaku matang dan siap untuk dilaksanakan. “Aksi” itu akan kulakukan seminggu lagi, bertepatan dengan hari jadi aku dan April. Dan aku akan melakukannya di tempat favorit kami berdua pula, pelabuhan itu. Pelabuhan yang selalu sepi saat malam hari itu memang tempat yang sangat strategis bagiku.
    Cara yang akan kupakai juga bukan cara yang akan membuatnya langsung meninggal seketika, seperti dengan pisau ataupun pistol. Menurutku, itu cara yang terlalu “sederhana” untuk orang semacam dia. Aku ingin menyiksanya perlahan-lahan terlebih dahulu, sebelum ia angkat koper dari dunia ini.
    Oleh karena itu kuputuskan untuk menggunakan racun sebagai senjataku. Ia pasti akan merasakan penderitaan yang dahsyat saat racun tersebut menjalar ke seluruh bagian tubuhnya. Ia pasti akan sangat ketakutan saat ia mulai kesulitan untuk bernafas, terengah-engah, kemudian menhembuskan nafas terakhirnya.
    Memikirkannya pun sudah membuatku puas. Membalaskan dendamnya pasti akan membuat April bahagia di dunia sana. Ia pasti akan bangga mempunyai seorang kekasih sepertiku, kekasih yang selalu rela melakukan apapun deminya, bahkan jika itu harus dengan taruhan nyawa.
    Tak ada keraguan sedikitpun pada diriku. Hari berganti hari kulalui dengan rasa tegang yang semakin memuncak. Dan akhirnya, hari itu tiba. 12 April. Segalanya berjalan lancar seperti rencanaku. Tak ada satu hal pun yang terlewatkan. Tetapi ada satu hal yang tidak aku perhitungkan, keamanan aksiku. Aku tidak merencanakan untuk menghilangkan sidik jariku di TKP, bahkan barang bukti pun tidak aku sembunyikan dengan baik.
    Ya, apa yang terjadi selanjutnya tepat seperti yang kau pikirkan. Kasus pembunuhan dokter yang namanya sudah dikenal di mana-mana itu menjadi headline di seluruh surat kabar di Indonesia. Puluhan petugas kepolisian menyelidiki di tempat kejadian, lengkap dengan segerombolan reporter yang meliputnya. Pihak keluarga dari Dokter Berry segera menuntut agar polisi cepat menemukan siapa pelaku kejadian ini. Dan benar saja, tak sulit bagi mereka untuk menemukanku. Sidik jari serta wadah tempat aku menaruh racun itu masih tertinggal di TKP, dan sekarang aku tidak bersembunyi pula.
    Segerombolan pengacara dari pihak Dokter Berry tiba-tiba menjadi rivalku di meja hijau. Serentetan bukti dan tuntutan mereka sampaikan dengan berapi-api. Mereka menuntut agar aku dihukum seberat-beratnya.
    Aku hanya bisa pasrah. Aku memang bersalah, oleh karena itu tidak ada gunanya membela diri. Apapun konsekuensi yang akan kuterima, aku ikhlas. Dan karena keikhlasan itulah sekarang aku berada di sini. Berada diantara ambang kehidupan yang sebentar lagi akan segera kutinggalkan.
    Aku segera berdiri dari tempatku meringkuk tadi. Aku berjalan menuju kamar mandi, dan membasuh mukaku. Kemudian aku melihat bayangan wajahku di cermin untuk terakhir kalinya.
    “Selamat tinggal, Vino. Sebentar lagi kau akan pergi, menyusul kekasihmu yang telah menunggu di sana.” kataku pada diriku sendiri. Aku tersenyum, sebelum akhirnya pergi meninggalkan bayangan wajahku itu.
    Aku berkutat cukup lama di dalam kamar mandi. Aku mandi dan menyikat gigi lebih lama dari hari-hari biasa. Aku mencukur kumisku yang sudah mulai tumbuh agak panjang. Setelah itu aku berganti pakaian, mengenakan pakaian terbaikku. Aku menyisir rambut serapi mungkin.
    Ya, aku ingin tampil serapi mungkin hari ini. Tentu saja. Perasaanku sekarang adalah perasaan yang campur aduk antara tegang dan senang. Persis rasanya seperti saat aku pertama kali pergi kencan dengannya dulu. Dan kini perasaan itu kembali terulang saat aku akhirnya dapat menemuinya lagi hari ini setelah sekian lama kami berpisah. Ya, aku senang.
    “Saudara Vino, sudah saatnya.” seorang penjaga sel datang memanggilku.
    Akhirnya tiba juga. Aku berjalan keluar sel dan melewati lorong yang suram itu. Kulihat di sel-sel lainnya teman-temanku masih tertidur lelap.
    Selamat tinggal semua.
    April, tunggu aku di sana. Sambut aku dengan senyuman bidadarimu itu. Senyum yang selalu kupuja dan kurindukan. Sekarang, dan selama-lamanya.


    ****************** TAMAT ******************

    BalasHapus
  7. Cerita Pendek
    Judul : Senyuman Bidadari
    Karya : Felecia Sabtuharini Handrawan
    Kelas / no. absen : X.3 / 10

    Kokok ayam jantan menyadarkanku dari tidurku yang lelap pagi itu. Udara pagi yang menembus melewati jeruji di dinding ruangan itu membuat tubuhku menggigil. Lantai batu yang sedingin es itu menusuk-nusuk punggungku dengan rasa ngilu yang teramat sangat. Mau tak mau aku bangun, mengambil selimut yang sudah tergeletak kusut di sebelah kananku. Dengan malas aku menyeret badan ke pojok ruangan dan meringkuk untuk menghangatkan diri di sana.
    Aku memandang ke sekeliling ruangan sempit berukuran 2 x 3 meter itu. Dinding yang dahulu putih, sekarang sudah kusam dan banyak ditumbuhi lumut Retakan terdapat di mana-mana. Sangat menyiratkan bahwa ruangan itu sudah tua, rapuh. Besi-besi kokoh yang membingkai ruangan itu pun sekarang sudah berkarat. Ya, tak terasa sudah 10 tahun aku menjadi penghuni ruangan ini. Sel nomor 12 yang sengat identik kaos kaki basah. Bau dan lembab. Udara lembab yang menimbulkan sensasi menggelitik di hidung saat siapapun memasukinya, sensasi yang sangat kusukai. Sensasi yang pasti akan menimbulkan kerinduan yang amat sangat dalam hatiku nanti.
    Ya, nanti pasti aku akan rindu dengan ruangan ini. Rindu dengan teman-teman yang biasa berebutan makanan denganku. Rindu dengan Toni, si tukang bersih-bersih yang sering menemaniku bercerita, menjadi tempatku berkeluh kesah. Rindu dengan Prita, si Kepala Penjara yang galak, yang selalu memberiku hukuman karena kebiasaan burukku yang sering terlambat bangun. Aku akan rindu dengan segala hal yang ada di penjara ini, penjara yang sudah bagaikan rumahku sendiri.Di sinilah aku dapat menemukan sedikit penghiburan bagi jiwaku di saat aku merasa sebatang kara. Dan kini, hari ini juga, aku harus pergi dari sini. Pergi meninggalkan segala kenangan yang telah terukir di sini.
    Pagi ini aku akan bebas, tetapi tentu bukan kebebasan seperti yang kau kira. Aku akan bebas dari dinding-dinding sel yang selama ini mengekangku. Bebas dari penjara yang sudah menjadi tempat tinggalku 10 tahun terakhir. Bebas dari segala pandangan miring masyarakat terhadap pembunuh sepertiku. Bebas dari kotaku, negeriku, bahkan dunia ini. Dan yang terpenting, bebas dari kerinduanku yang teramat terhadap dirinya.
    Pagi ini, tepatnya sekitar 2 jam lagi, aku akan menjalani sanksi atas perbuatanku di hari itu. Sanksi yang akan membuatku mengucapkan selamat tinggal kepada dunia ini. Sanksi yang akan membuatku pergi, menyusulnya ke sana. Ya, ini tepat seperti apa yang kau pikirkan. Hukuman mati.
    Jika kau pikir aku takut, kau salah besar. Tak sedikit pun rasa gentar berhasil menyusup ke dalam hatiku. Begitu pula dengan rasa penyesalan. Aku tak menyesal dengan apa yang telah kulakukan. Keparat itu memang pantas dikirim ke neraka. Ia memang pantas diberi ganjaran karena telah membuat bidadariku menderita. Penderitaan yang sangat menyakitkan sehingga membuatnya harus pergi meninggalkanku sebatang kara.
    Kejadian itu masih terekam sangat jelas dalam memoriku. Kejadian yang telah mengubah aku, dia, dan banyak hal dalam hidupku.
    Hari itu Sabtu malam. Seperti biasa, aku sedang duduk santai di dalam kamar sambil memangku laptop Apple kesayanganku. Pandanganku tak dapat lepas dari laptop itu. Satu per satu website kujelajahi sambil chatting dengan kakakku yang sedang menempuh studi di luar negeri. Sudah sekitar 1 tahun aku belum bertemu dia lagi semenjak kepulangannya pada malam tahun baru lalu. Jadi, wajar jika teriakan Mama yang memanggil namaku waktu itu kuabaikan karena saking asyiknya ngobrol dengan kakakku itu.
    “Paling-paling hanya mau menyuruh makan malam, nanti sajalah.” pikirku dalam hati.
    Tetapi setelah beberapa saat, Mama masih terus memanggil. Suaranya terdengar panik, seperti orang yang kebakaran jenggot. Aku tahu ini pasti bukan teriakan panggilan untuk makan malam. Sesuatu yang penting pasti telah terjadi. Aku menutup laptopku dan segera bergegas keluar kamar.
    Saat aku memasuki ruang tamu, aku terkejut. Kulihat telepon rumah telah menggantung di atas meja, belum diletakkan sesuai tempatnya semula. Mama sedang duduk di sofa sambil menangis terisak-isak.
    “April kecelakaan, Vin.” suara Mama terdengar samar-samar diantara isak tangisnya.
    Tubuhku kaku bagai terkena sambaran petir saat mendengar berita itu. April, gadis manis yang sangat kucintai dan selalu kujaga selama ini, sekarang kecelakaan.
    “ Kapan, Ma? Di mana? Bagaimana bisa terjadi? “ serbuan pertanyaan keluar dari mulutku, seolah-olah tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.
    Akhirnya Mama menceritakan sekilas kejadian itu. April sedang naik motor dibonceng oleh kakaknya, dan mereka secara tidak sengaja menabrak trotoar. Kakaknya dalam keadaan yang cukup baik, hanya lecet di sana sini. Tetapi April terlempar dari motornya, dan sekarang beberapa tulang kakinya patah. Dan kemungkinan ia harus menjalani operasi untuk memperbaiki tulang kakinya tersebut.
    Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung menyambar kunci mobilku dan melesat menuju rumah sakit. Mama pun ikut besertaku. Wajar saja jika Mama ikut-ikutan panik atas apa yang menimpa April, karena Mama pun sangat sayang kepada April. Aku mulai menjalin hubungan dengan April sejak 4 tahun yang lalu, tepatnya saat kami duduk di kelas 2 SMA. Dan tentu saja April sering kubawa ke rumah agar dapat lebih akrab dengan keluargaku. Dan benar saja, sifatnya yang ramah dan periang membuatnya diterima dengan baik di keluargaku. Ia bahkan sudah dianggap seperti anak sendiri oleh Mama.
    Setiba di rumah sakit, aku langsung menuju ke bagian informasi.
    “Pasien yang bernama Vega Aprilia sekarang berada di ruangan mana, mas?”
    “Oh, pasien yang baru masuk itu, ya? Biar saya cek sebentar,” orang itu berkata sembari mengotak-atik komputer di depannya. “Sekarang dia sedang menjalani operasi untuk pemasangan pen pada tulang kakinya yang patah. Adik bisa menyusul ke ruangan operasi, dari sini lurus saja, kemudian belok kanan, ruangan kedua dari ujung.”
    “Terima kasih.” jawabku singkat. Aku langsung menggandeng tangan Mama yang sudah mulai menangis sekarang. Aku berjalan sesuai dengan penjelasan orang tersebut, dan tanpa kesulitan menemukan ruang operasi yang dimaksud.
    Di depan ruang operasi kulihat cukup ramai. Mama April dan kakaknya, Owen, sedang duduk dengan wajah yang sangat sedih. Papa April sedang berjalan mondar mandir dari ujung koridor yang satu ke ujung koridor yang lainnya. Sahabat-sahabat April pun turut ada di sana.
    “Vino, akhirnya kamu datang. Maafkan aku tidak bisa menjaga April dengan baik. Aku memang kakak yang tidak berguna.” Kak Owen berkata dengan mata yang berkaca-kaca.
    “Kakak jangan menyalahkan diri sendiri seperti itu, Kak. Ini bukan salah Kakak.”
    “Ya, ini salahku. Andai aku tidak mengangkat telepon waktu itu, konsentrasiku pada jalanan tentu tidak akan teralih. Dan trotoar itu…. Aku pasti tidak akan menabraknya. Aarghh… andai aku lebih berhati-hati.”
    “Sudahlah, Owen. Lagipula April tidak terlalu parah sekarang, hanya tulang kaki kanannya yang patah. Setelah operasi ia pasti akan baik – baik saja.” suara lembut Mama April membuat perasaanku sedikit lebih tenang.
    Ya, April pasti tidak apa-apa. Ia pasti kuat menjalani operasi ini dan kembali seperti sedia kala. Kembali menjadi gadis manisku yang periang.
    Beberapa saat kemudian seorang laki-laki berbaju serba putih keluar dari ruangan operasi itu. Itu pasti dokter yang menangani operasi April. Dan aku yakin, ia pasti akan membawa kabar baik.
    “Bagaimana keadaan anak saya dokter?” Mama April segera menyambut dokter itu dengan pertanyaan.
    “Tenang saja, Bu. Operasi berjalan lancar dan sukses. Anak ibu baik-baik saja sekarang. Ia memang belum sadar, tetapi setelah pengaruh obat biusnya hilang ia pasti akan segera sadar. Sebentar lagi ia akan dipindahkan ke ruang perawatan biasa.”
    Setelah dokter itu berlalu pergi, terlihat pintu ruang operasi kembali terbuka. 4 orang perawat keluar sambil mendorong seorang gadis di atas ranjang yang beroda. Seorang perawat lagi berjalan mengiringi di samping mereka sambil mendorong impus.
    Gadis itu tak lain tak bukan adalah April. Wajahnya yang mulus sekarang dilapisi perban. Bibirnya yang biasanya semerah buah ceri, sekarang pucat. Tubuhnya yang biasanya energic sekarang lemah, tidak berdaya.
    Kami semua segera beranjak mengelilingi April, khawatir akan keadaannya sekarang.
    “Maaf, April harus segera dimasukkan ke ruang perawatan. Kalian dapat melihat keadaannya nanti.” kata seorang perawat sambil memberikan instruksi kepada perawat lainnya untuk segera mendorong April pergi.
    Kami pun berjalan beriringan di belakang perawat-perawat yang membawa April itu. Ia dibawa memasuki kamar rawat inap nomor 1216.
    Malam harinya aku tetap tinggal di sana. Aku duduk di sebelah ranjangnya sambil memegangi tangannya yang mungil itu. Aku tidak mau meninggalkannya barang sedetik pun. Ya, aku memang sangat mencintai dia. Lebih dari apapun di dunia ini, bahkan diriku sendiri. Apapun rela kulakukan deminya.
    “Kapan kau akan sadar, sayang? Apakah keadaanmu baik-baik saja sekarang?” aku terus mengajaknya bicara dengan harapan ia dapat segera sadar. Doa pun tak henti-hentinya kupanjatkan kepada Tuhan, memohon akan kesembuhannya.
    Tanpa sadar, hari sudah pagi saat aku membuka mataku. Cahaya matahari pagi telah mendesak untuk masuk dari jendela kamar itu.
    “Vinooo…. Vino…” April memanggil namaku dengan suara yang resah, tetapi matanya masih tertutup. Seolah-olah ia sedang mengalami mimpi buruk dalam tidurnya.
    Melihatnya begitu membuatku merasa sangat menderita. Aku ingin dia segera sadar, agar aku dapat melihat kembali senyumnya itu.
    Aku pun segera membangunkan Mama April yang masih tertidur di sofa, memberitahukannya bahwa April sudah mulai bereaksi.
    “Syukurlah. Mungkin ini pertanda bahwa April akan segera sadar.” Mama April berkata dengan nada yang cukup melegakan baginya, tapi tidak bagiku. Entah mengapa, melihatnya mengigau seperti itu bukannya membuatku senang karena sudah ada perkembangan. Aku justru memiliki firasat yang buruk, entah mengapa.
    Aku bergegas menuju ke ruangan Dokter Berry, dokter yang menangani operasi April kemarin untuk memberitahukan perkembangan yang terjadi.
    “Ya, kondisinya sudah mulai stabil. Sebentar lagi ia pasti sadar.”
    Begitulah perkataan dokter Berry. Tetapi sekarang, seminggu telah berlalu dari hari itu. Tetapi, April belum juga sadar. Keadaannya bahkan semakin parah sekarang.
    Begitu banyak alat menempel pada tubuhnya, diakibatkan oleh kondisinya yang semakin memburuk. Tiga hari yang lalu, ia bahkan mengalami kejang-kejang dan sesak nafas. Ironisnya, ia harus menggunakan alat bantu pernafasan sekarang.
    Igauannya yang menyebut-nyebut namaku pun sekarang menjadi semakin sering, bahkan bisa dikatakan setiap malam. Igauan itu sangat menyiksaku, suaranya terdengar sangat menderita.
    “Sebenarnya apa yang menahanmu dalam tidur yang panjang ini? Mengapa engkau tidak mau segera bangun dan membuka matamu? Padahal aku akan selalu ada di sampingmu.”
    Sudah beberapa kali aku mencoba menanyakan apa yang sebenarnya sedang terjadi kepada Dokter Berry. Tetapi jawabannya selalu sama.
    “Sebentar lagi April akan sadar.”
    Aku bingung, sebenarnya apa yang ia maksud dengan sebentar. Satu minggu? Sepuluh hari? Sebulan? Tidak. Bahkan satu menit pun bagiku tidaklah sebentar. Waktu satu menit itu akan terasa sangat panjang bagiku tanpa kehadirannya. Tanpa senyumnya yang indah itu.
    Hari demi hari terus berlalu, dan sekarang sudah memasuki bulan keempat semenjak April memasuki tidurnya yang panjang, yang aku tidak tahu akan berujung atau tidak. Kondisiku pun bahkan sudah bisa dikategorikan sebagai orang sakit juga, tetapi bukan sakit secara fisik, melainkan mental. Mungkin orang-orang yang tidak mengetahui persoalan apa yang sedang kuhadapi, akan mengataiku orang setengah gila. Ya, masih “setengah”. Wajar saja, sekarang aku tidak mengurusi penampilanku lagi. Kantung hitam di sekeliling mataku semakin hari semakin tebal saja lantaran aku tidak bisa tidur dengan tenang. Igauannya selalu membangunkanku. Rambutku yang biasanya cepak, sekarang mulai memanjang, bahkan sudah hampir menyentuh bahu. Baju yang kukenakan lusuh, tidak modis seperti gayaku dulu. Dan yang lebih mendukung lagi, pikiranku hampir selalu kosong setiap saat. Ekspresi wajahku hampa, kosong.
    Dan aku yakin aku akan benar-benar gila jika keadaan seperti ini berlangsung lebih lama lagi. Tidak boleh kubiarkan hal itu terjadi. Aku harus membuat bidadariku segera sadar, dan mengembalikan lagi senyumannya itu.
    Aku tertarik dengan sebuah artikel di salah satu website saat aku iseng-iseng menjalani kembali hobi browsing-ku sore itu.
    “TINGKAT MALPRAKTEK SEMAKIN TINGGI, HARAP WASPADA”
    Begitulah judul artikel itu. Entah mengapa, minatku untuk membaca artikel itu tiba-tiba muncul. Padahal, sebelumnya aku malas untuk melakukan apapun. Dalam artikel itu diceritakan bahwa telah banyak orang yang menjadi korban malpraktek. Mulai dari orang tua, remaja, bahkan tak terkecuali anak-anak. Bukan hanya rumah sakit kecil dengan dokter-dokter amatiran yang menjdai pelaku malpraktek. Bahkan dokter-dokter profesional di rumah sakit yang terkenal pun dapat melakukannya.
    Lebih lanjut lagi dalam artikel tersebut dikatakan bahwa malpraktek paling sering terjadi dalam operasi. Pasien biasanya mengeluh dengan penyakit yang lebih parah setalah dioperasi.
    Selain, artikel itu, masih ada artikel-artikel lainnya. Artikel-artikel tersebut berisi kesaksian dari para korban malpraktek. Dan artikel yang terakhir menarik perhatianku. Di sana diceritakan seorang anak bernama Angel yang menjalani operasi karena kakinya tertusuk beling, kemudian ia tak sadarkan diri selama hampir setahun setelah operasi tersebut, kemudian meninggal. Usut punya usut, ternyata sang dokterlah yang salah memberikan dosis obat bius kepada Angel sehingga menyerang saraf-saraf tubuhnya dan mengakibatkan ia tidak dapat bangun dari tidurnya.
    Sebuah lampu hijau seakan-akan menyala dalam kepalaku. Ya, jangan-jangan ini yang terjadi dengan bidadariku, April. Tak ada alasan lain lagi yang masuk akal selain yang satu ini. Dokter Berry pun terlihat selalu menghindar dan menjawab alakadarnya saja saat kutanya apa penyebab April tak kunjung sadar. Ya, aku harus menyelidiki apakah dugaanku ini benar.
    Saat itu juga aku langsung membawa hasil tes darah April ke salah satu rumah sakit lain dan menemui dokter langganan Mama.
    “Apakah mungkin ketidaksadaran April ini karena keteledoran dokter itu?”
    “Ya, mungkin saja. Mendengar ceritamu bahwa kondisinya semakin hari semakin memburuk, saya curiga bahwa dokter yang Anda ceritakan itu telah memberikan obat yang mungkin tidak cocok dengan tubuh April sehingga mempengaruhi sistem sarafnya.”
    Ya, aku yakin sekarang. Selama ini memang ada yang tidak beres dengan dokter itu. Aku harus menuntutnya ke pengadilan karena telah membuat bidadariku menderita selama ini.
    Tiba-tiba handphone di sakuku bergetar. Ada seseorang yang menelepon.
    MAMA. Itulah yang tertera di layar handphone-ku. Segera kuangkat telepon itu, firasat buruk tiba-tiba menghampiriku. Jangan-jangan sesuatu yang tidak beres terjadi lagi.
    “Vino, kamu di mana? April kritis lagi. Cepat ke sini sekarang!!” suara Mama terdengar amat sangat cemas, bercampur dengan isak tangis yang membuat suaranya terdengar samar-samar.
    Aku segera melesat menuju rumah sakit tempat April dirawat. Kondisinya amat parah. Aku sampai meneteskan air mata saat melihatnya. Tubuhnya seluruhnya kejang-kejang. Ia terlihat seperti sangat kesulitan untuk bernafas. Busa yang keluar dari mulutnya membuat perasaanku semakin terenyuh, tak tega melihatnya begitu.
    Sayang, aku tidak boleh masuk ke ruang ICU itu. Aku hanya dapat melihatnya dari kejauhan. Belasan tim medis mengelilinginya, termasuk Dokter Berry. Mereka semua sedang berusaha menyelamatkannya.
    “Ya Tuhan, tolong selamatkan dia. Aku tak tega melihat penderitaannya itu. Biarkan aku saja yang menggantikannya di sana, Tuhan. Biarkan aku yang menderita. Aku rela, sangat rela.” aku berdoa dalam hati sambil terus meneteskan air mata.
    Satu menit berselang, kejang-kejang di tubuhnya berhenti. Busa pun tak keluar lagi. April selamat! Itulah yang muncul dalam pikiranku.
    “Maaf, kami sudah melakukan sebisa mungkin. Tetapi Tuhan berkehendak lain” suara itulah yang tiba-tiba kudengar dari Dokter Berry.
    “Tidak!!!!!! April tidak mungkin meninggal! Dokter bercanda, kan?!?” aku mengguncang tubuh dokter itu sambil setengah berteriak.
    “Vino, terimalah kenyataan. April memang sudah pergi.” Mama tiba-tiba memelukku dari belakang.
    Jadi, April benar-benar sudah pergi? Tidak mungkin. Rasanya baru kemarin aku melihat ia tersenyum dengan begitu manis. Rasanya baru kemarin aku pergi berjalan-jalan dengannya ke pelabuhan dekat rumahnya, pelabuhan favorit kami. Pelabuhan tempat aku, dan dia pertama kali mengutarakan perasaan cinta kami. Pelabuhan tempat kami tiap tahun merayakan hari jadi kami, 12 April. Dan itu hanya tinggal satu minggu lagi. Padahal aku sudah merencanakan makan malam yang romantis di pelabuhan itu dari jauh-jauh hari. Tetapi sekarang semuanya sia-sia. Ia telah tiada.
    Air mata yang sedari tadi sudah tumpah sekarang menjadi semakin deras membanjiri pipiku. Pikiranku kalut. Sekujur tubuhku gemetar, keringat dingin mengucur dari pori-pori kulitku. Dan tiba-tiba semuanya perlahan-lahan menjadi semakin kabur. Orang-orang dan lantai tempatku berdiri seolah-olah berputar, membuatku menjadi oleng. Dan akhirnya semuanya menjadi gelap. Aku tidak ingat lagi apa yang terjadi setelah itu.
    Aku tak tahu aku sedang berada di mana sekarang. Semuanya putih, bersih. Seolah-olah aku sedang berdiri di atas awan. Tiba-tiba sebuah sentuhan hangat yang sudah sangat kukenali menjamah tanganku. Saat aku berbalik ke belakang, April sudah berdiri anggun di sana. Ia mengenakan gaun terusan yang serba putih. Rambut hitamnya yang panjang melambai indah tertiup angin sepoi-sepoi. Senyuman bidadarinya yang telah lama kurindukan pun turut menghiasi wajahnya. Ia terlihat sangat cantik, sangat bahagia.
    Berjuta pertanyaan sudah siap kutumpahkan dari mulutku. Di mana kami sekarang, apa yang sedang terjadi, ke mana saja ia pergi selama ini, mengapa ia tidak pernah terbangun dari tidurnya, dan masih banyak lagi. Tetapi mulutku seolah-olah kaku, sepatah kata pun tidak dapat aku ucapkan.
    “Vino, sayang. Aku tahu kau bingung dengan semua ini. Kau pasti bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Aku mengerti. Tapi dengarlah, aku di sini hanya untuk bicara padamu,” suaranya yang indah, melantun bagaikan lagu di telingaku “aku baik-baik saja. Penderitaanku selama ini sudah berakhir. Aku sangat bahagia sekarang, dan kuharap kau pun begitu. Janganlah kau mengantarku dengan tangisan. Aku ingin kita berdua tersenyum untuk yang terakhir kalinya bersama-sama.” tangannya yang lembut menyeka air mataku yang mulai mengucur.
    “Ingat, jaga dirimu baik-baik. Aku yakin kau dapat menemukan yang lebih baik daripada aku. Tetapi ingatlah, cintaku padamu akan selalu abadi selamanya.”
    Aku juga mencintaimu, selamanya. Aku sudah berusaha keras untuk mengucapkannya, tetapi upayaku nihil. Tak sepatah katapun berhasil keluar dari mulutku.
    “Sudah, Vino, tak usah mencoba lagi. Aku tahu apa yang ada dalam hatimu.” katanya sambil meletakkan tangannya di dadaku, seolah-olah sedang menyentuh hatiku.
    “Aku harus pergi sekarang, selamat tinggal.” ia perlahan-lahan melepaskan tanganku, dan memperlihatkan senyum bidadarinya untuk terakhir kali. Ia mulai berjalan menjauh, dan tiba-tiba hilang dari pendanganku.
    “Tidaaaaaaakkkkkk !!!!!!!!!!!!!!!” aku berteriak, kali ini suaraku terdengar.
    Tiba-tiba aku merasa seseorang mengguncang-guncang tubuhku. Dan aku pun perlahan-lahan membuka mata. Ternyata itu semua hanya mimpi. Tetapi, kenyataan bahwa April telah meninggal itu benar-benar real, bukan mimpi.
    “Akhirnya kau sadar juga, Vino. Mama khawatir melihatmu.”
    “April. Di mana April sekarang? Di mana, Ma?” aku mencari-cari panik.
    “April sedang dikuburkan sekarang, Vin. Kau sudah pingsan selama satu hari.”
    Aku tidak mau melewatkan kesempatan untuk melihat April, serta mengirimkan doa untuknya, untuk yang terkhir kalinya. Aku pun langsung bangun dari tempat tidurku, dan berusaha berdiri. Sesaat rasa pusing menggelayutiku, membuatku oleng sebentar. Tetapi aku berusaha untuk kuat. Aku mencabut selang infus yang entah sejak kapan telah melekat pada pergelangan tangan kiriku. Aku segera bergegas pergi, sebelum Mama sempat menahanku.
    Suasana sudah sangat ramai di sana. Terdengar lantunan doa mengalir tak henti-hentinya dari mereka yang berkumpul untuk mengantar kepergian April. Aku segera menyerobot kerumunan itu menuju ke barisan terdepan.
    Aku harus kuat, aku tidak boleh menangis. Ya, begitulah pesan April. Aku menaburkan bunga pada tanah pemakamannya dengan wajah yang tersenyum. Tetapi senyumku ini bukan berarti bahwa aku ikhlas ia pergi dengan cara yang seperti ini. Ini semua tidak adil. Tidak adil baginya, bagiku, dan bagi semua orang. Aku harus menegakkan kebenaran. Yang salah tetap harus menerima ganjaran.
    Sepulang dari pemakaman, aku mulai menyusun rencana. Ya, aku yakin tebakanmu benar. Rencana pembunuhan. Entah setan apa yang sedang merasuki diriku saat itu. Bahkan dalam mimpi pun aku belum pernah berniat untuk membunuh seseorang. Dan sekarang, aku akan melakukannya. Aku tak lagi memikirkan dosa sebesar apa yang akan kudapatkan jika aku melakukan ini. Begitu pula dengan reaksi orang-orang sekitarku jika mereka mengetahui rencana gilaku, aku tak peduli.
    Adrenalin tubuhku begejolak saat aku membayangkan wajah Dokter Berry yang ketakutan saat menjelang ajalnya. Sensasi kesenangan yang aneh timbul saat aku membayangkan ia sedang gemetaran, dan memohon-mohon agar aku memaafkannya. Ia pantas untuk merasakan penderitaan yang sama, bahkan lebih dari bidadariku, April.
    Akhirnya, setelah berpikir semalaman, rencanaku matang dan siap untuk dilaksanakan. “Aksi” itu akan kulakukan seminggu lagi, bertepatan dengan hari jadi aku dan April. Dan aku akan melakukannya di tempat favorit kami berdua pula, pelabuhan itu. Pelabuhan yang selalu sepi saat malam hari itu memang tempat yang sangat strategis bagiku.
    Cara yang akan kupakai juga bukan cara yang akan membuatnya langsung meninggal seketika, seperti dengan pisau ataupun pistol. Menurutku, itu cara yang terlalu “sederhana” untuk orang semacam dia. Aku ingin menyiksanya perlahan-lahan terlebih dahulu, sebelum ia angkat koper dari dunia ini.
    Oleh karena itu kuputuskan untuk menggunakan racun sebagai senjataku. Ia pasti akan merasakan penderitaan yang dahsyat saat racun tersebut menjalar ke seluruh bagian tubuhnya. Ia pasti akan sangat ketakutan saat ia mulai kesulitan untuk bernafas, terengah-engah, kemudian menhembuskan nafas terakhirnya.
    Memikirkannya pun sudah membuatku puas. Membalaskan dendamnya pasti akan membuat April bahagia di dunia sana. Ia pasti akan bangga mempunyai seorang kekasih sepertiku, kekasih yang selalu rela melakukan apapun deminya, bahkan jika itu harus dengan taruhan nyawa.
    Tak ada keraguan sedikitpun pada diriku. Hari berganti hari kulalui dengan rasa tegang yang semakin memuncak. Dan akhirnya, hari itu tiba. 12 April. Segalanya berjalan lancar seperti rencanaku. Tak ada satu hal pun yang terlewatkan. Tetapi ada satu hal yang tidak aku perhitungkan, keamanan aksiku. Aku tidak merencanakan untuk menghilangkan sidik jariku di TKP, bahkan barang bukti pun tidak aku sembunyikan dengan baik.
    Ya, apa yang terjadi selanjutnya tepat seperti yang kau pikirkan. Kasus pembunuhan dokter yang namanya sudah dikenal di mana-mana itu menjadi headline di seluruh surat kabar di Indonesia. Puluhan petugas kepolisian menyelidiki di tempat kejadian, lengkap dengan segerombolan reporter yang meliputnya. Pihak keluarga dari Dokter Berry segera menuntut agar polisi cepat menemukan siapa pelaku kejadian ini. Dan benar saja, tak sulit bagi mereka untuk menemukanku. Sidik jari serta wadah tempat aku menaruh racun itu masih tertinggal di TKP, dan sekarang aku tidak bersembunyi pula.
    Segerombolan pengacara dari pihak Dokter Berry tiba-tiba menjadi rivalku di meja hijau. Serentetan bukti dan tuntutan mereka sampaikan dengan berapi-api. Mereka menuntut agar aku dihukum seberat-beratnya.
    Aku hanya bisa pasrah. Aku memang bersalah, oleh karena itu tidak ada gunanya membela diri. Apapun konsekuensi yang akan kuterima, aku ikhlas. Dan karena keikhlasan itulah sekarang aku berada di sini. Berada diantara ambang kehidupan yang sebentar lagi akan segera kutinggalkan.
    Aku segera berdiri dari tempatku meringkuk tadi. Aku berjalan menuju kamar mandi, dan membasuh mukaku. Kemudian aku melihat bayangan wajahku di cermin untuk terakhir kalinya.
    “Selamat tinggal, Vino. Sebentar lagi kau akan pergi, menyusul kekasihmu yang telah menunggu di sana.” kataku pada diriku sendiri. Aku tersenyum, sebelum akhirnya pergi meninggalkan bayangan wajahku itu.
    Aku berkutat cukup lama di dalam kamar mandi. Aku mandi dan menyikat gigi lebih lama dari hari-hari biasa. Aku mencukur kumisku yang sudah mulai tumbuh agak panjang. Setelah itu aku berganti pakaian, mengenakan pakaian terbaikku. Aku menyisir rambut serapi mungkin.
    Ya, aku ingin tampil serapi mungkin hari ini. Tentu saja. Perasaanku sekarang adalah perasaan yang campur aduk antara tegang dan senang. Persis rasanya seperti saat aku pertama kali pergi kencan dengannya dulu. Dan kini perasaan itu kembali terulang saat aku akhirnya dapat menemuinya lagi hari ini setelah sekian lama kami berpisah. Ya, aku senang.
    “Saudara Vino, sudah saatnya.” seorang penjaga sel datang memanggilku.
    Akhirnya tiba juga. Aku berjalan keluar sel dan melewati lorong yang suram itu. Kulihat di sel-sel lainnya teman-temanku masih tertidur lelap.
    Selamat tinggal semua.
    April, tunggu aku di sana. Sambut aku dengan senyuman bidadarimu itu. Senyum yang selalu kupuja dan kurindukan. Sekarang, dan selama-lamanya.


    ****************** TAMAT ******************

    BalasHapus
  8. Cinta yang Tak Sempurna
    Oleh: Carollina G.N (X.3/ 06)

    “Kita putus!”teriak Erli.Dengan mimik wajah yang bertanya-tanya Aku berusaha untuk menenangkan Erli, tetapi Erli pergi begitu saja meninggalkanku tanpa memberi kesempatan kepadaku untuk membela diri. Aku berusaha menahan Erli dengan menarik tangannya. Tetapi Erli malah memberi tanda cap lima jari di pipiku. “Jangan pegang-pegang!”bentak Erli. Sampai-sampi banyak murid-murid lain yang melihatku dengan mimik yang beragam. Erli pun pergi sambil berlari kecil menjauhiku. Aku hanya berdiam melihat Erli pergi. Karena aku tahu, bila aku menahan Erli untuk pergi lagi, maka tidak hanya pipi kiriku yang akan kemerahan, tapi pipi kananku juga. Setelah Erli menghilang dari pandangan mataku, aku pergi dengan hati bertanya-tanya,”Mengapa Erli melakukan itu kepadaku?Tidakkah ia tahu, betapa malunya aku ketika dia menamparku tadi di depan teman-temanku.Aku ini seorang laki-laki, tapi … ahh, sudahlah,” sambil menyudahi pertanyaan bisuku itu, aku bergegas pergi ke kelas Tyas.Sejanak aku berpikir, betapa beruntungnya aku memiliki seorang sahabat seperti Tyas. Tyas terkenal sebagai makcomblang yang handal. Itu sudah dapat dibuktikan. Rata-rata comblangan Tyas terbilang jitu. Banyak pasangan yang dicomblangkannya langgeng. Tidak hanya menyomblang, tapi ia juga sering memberi nasihat-nasihat seputar masalah berpacaran, sehingga orang-orang memanggilnya Madam cinta. Entah didapatnya darimana ilmu-ilmi tersebut, tapi semua itu berhasil.Banyak orang yang sudah membuktikannya.Tapi sampai saat ini, Tyas belum pernah sekali pun berpacaran. Walaupun sudah cukup banyak laki-laki yang menaruh hati padanya, ia tolak semuanya tanpa terkecuali. Banyak orang yang menanyakan itu, tetapi jawabannya selalu itu-itu saja.Karena ia masih menunggu seseorang.Entah siapa yang dimaksudnya, ia selalu merahasiakannya tentang itu.
    Sesampai dikelas Tyas, aku harus menunggu dua orang “pasien”nya lagi untuk dapat berbicara dengan Tyas, ckckck betapa sibuknya dia. Sudah dapat diperkirakan, nanti setelah lulus SMA ini, akan menjadi apakah ia, tetapi ia membantahnya dengan tegas.Ia mengatakan bahwa ia ingin menjadi seorang Dokter. Ia mengatakan bahwa ia ingin membantu orang-orang susah untuk mendapatkan pengobatan gratis dengan layak. Ia sedih melihat kondisi kesehatan di negara kita ini. Banyak orang susah yang tidak bisa mendapatkan pengobatan secara layak.
    Teet…teeeeet..tett.
    Bel tanda masuk sudah berbunyi, dengan perasaan sedikit kecewa segera kutinggalkan kelas Tyas dan kembali ke kelasku.”ahh… sudahlah kan nanti masih bisa bertemu dengannya sewaktu pulang sekolah.
    Guru mata pelajaranku pun masuk, seperti biasa, dia berbicara tanpa seorang pun yang memperhatikannya. Sebenarnya aku kasihan melihatnya dicueki oleh murid-muridnya, tapi . . mau bagaimana lagi, memang dia sungguh membosankan. Tak salah bila murid-muridnya mengabaikannya, bahkan tidak dianggap lagi kehadirannya.
    Setelah lama ditunggu-tunggu, akhirnya bel pulang sekolah berbunyi juga. Setelah berdoa dan menghormat pada Bendera aku pun langsung berlari menuju ke kelas Tyas, takutnya nanti dia keburu menghilang lagi. Sangat sulit untuk mencari keberadaan Tyas, lagian sangat sulit untuk menghubungi Tyas. Dia memiliki banyak nomor, seperti orang sibuk. Pernah kuprotes kepadanya tentang hal ini, tetapi dengan santainya dia menjawab, “Sebagai orang yang sibuk dan banyak keperluan, sudah seharusnya aku memiliki banyak nomor.Hahahaha….”Sungguh jawaban yang menjengkelkan pikirku.
    Setelah tiba dikelasnya, ternyata perkiraanku benar. Dia sudah menghilang dari kelasnya. Rasa kecewa datang menghampiriku untuk kedua kalinya untuk hari ini. Aku langsung pergi ke gerbang sekolah, mungkin ia masih berdiri di sana untuk menunggu jemputannya. Ternyata benar, ia sedang menunggu disana. Sendirian. “Nah, ini adalah kesempatan bagus untukku. Dengan begini aku bisa mengobrol leluasa dengannya!” Segera aku berlari untuk menghampirinya, tapi, ,entah nasib jelek apa yang menimpaku. Belum aku sampai ke tempatnya berdiri, ia sudah naik ke mobil jemputannnya itu. “aduhh, susah sekali untuk bertemu dengannya!” pikirku kesal. Sangat kesal.
    Dengan perasaan kecewa untuk yang ketiga kalinya, aku pun berjalan pulang. Saat diperjalanan pulang, tak sengaja aku melihat Erli. Tetapi dengan perasaan antara yakin dan tak yakin, aku berusaha untuk melihatnya lebih dekat. “Iya, itu Erli!” Jeritku dalam hati. Betapa terkejutnya aku, aku melihat dia bergandengan mesra dengan seorang lelaki. Lelaki itu Sam.Sam adalah anak Basket.Selain pemain basket, Sam juga merupakan seorang model.Sudah banyak kejuaraan Modelling yang di menangkannya.Pesonanya membuatnya dapat membuat wanita tergila-gila padanya.. Karena kelebihannya itu ia dikenal sebagai Playboy cap jempolan. Tetapi herannya, cap Playboynya itu tidak membuat para wanita itu menjauhinya.Malahan makin banyak wanita yang mengejarnya. Tetapi tidak untuk Tyas. Hanya Tyas satu-satunya wanita yang menolak pernyataan cinta Sam .Sam sering bergonta-ganti pacar.Banyak wanita yang hatinya dikecewakan oleh Sam, tetapi mati satu tumbuh seribu. Sam hanya mempermainkan wanita-wanita itu. Dan sekarang Erli adalah mangsa selanjutnya. “Pasti ia memutuskan ku karena laki-laki itu!”ujarku dalam hati. “Mungkin ia lebih menyukai laki-laki yang sporty seperti Sam daripada aku.”Aku tidak terlalu sporty seperti Sam, aku jarang berolahraga. Olahraga yang kulakoni hanya berenang atau Bowling.Aku lebih banyak menghabiskan waktu luangku untuk bermain Game Online. Tetapi, aku jauh lebih menghargai perasaan wanita daripada Sam. Aku tidak pernah memutusi seorang wanita, selalu saja wanita itu yang memutusi aku. Karna aku tidak akan menjilat ludahku. Bila aku telah menyatakan suka pada seorang wanita, apakah aku harus memutusinya yang berarti mencabut kata-kataku ,bahwa aku tidak suka lagi padanya. Mana komitmen ku sebagai lelaki? Aku harus menyadarkan Erli, kalau Sam bukanlah pria yang cocok untuknya.
    Sesampai di rumahku, aku merasa ada yang aneh. Pintu rumahku biasanya tertutup dan sekarang terbuka lebar.Biasanya aku harus mengetuknya dengan sekuat tenaga agar orang di dalam rumahku membukakan pintu untukku, karena di rumahku tidak tersedia sebuah bel. Sering aku mengeluhkan hal ini, tetapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda keluhanku didengarkan. Kedua orang tuaku merupakan orang-orang sibuk yang pergi pagi dan pulang malam. Sebagai anak tunggal, aku hanya ditemani pembantu selama orang tuaku pergi. Makanya aku lebih sering bermain Game Online pada saat sedang kesepian.
    Dengan sedikit mengendap-endap seperti pencuri aku masuk ke dalam. Tiba-tiba, terdengar bunyi barang terjatuh di ruang tengah. Aku pun tersentak kaget. Terlintas dipikiranku, ada pencuri masuk ke rumahku. Sambil mengambil stick golf ayahku, aku berjalan pelan-pelan ke arah ruang tengah.Sewaktu aku sampai di tembok pembatas, “Surpriseee!” Teriak Tyas. Badanku langsung terjatuh ke belakang.Aku terkejut bukan main. Disana kulihat ada beberapa teman-teman dekatku dan . . kedua orang tuaku .Suatu kejadian yang jarang terjadi, orangtuaku merayakan ulang tahun bersamaku.Biasanya seribu satu alaan dilontarkan saat ku ajak untuk merayakan ulang tahunku.
    “Selamat ulang tahun, nak. Sekarang kau sudah semakin dewasa. Rasa-rasanya, baru kemarin ayah memangkumu, hahaha.” Kata ayahku.
    “Iya nak, ibu sayang padamu.”sambung ibuku sambil mengelus-elus rambutku. Tyas hanya tersenyum melihat aku.
    “Tapi sekarang ayah harus pergi karena ada meeting di kantor.”kata ayah yang membuatku kecewa
    .”Iya, ibu juga harus buru-buru kembali ke kantor.” Kata ibu, tanpa memperhatikan perasaanku.
    Baru tadi aku merasakan suatu kebersamaan yang lengkap yang jarang kurasakan.Dan sekarang, semuanya harus berakhir.
    ”Tidak!” teriakku.”Bisakah ayah dan ibu tetap disini.Hari ini adalah hari spesialku, please..”kataku sambil memohon.
    ”Tapi kami sangat sibuk.Masih banyak pekerjaan yang menunggu kami. Bukankah disini masih ada teman-temanmu?” Jawab ibu sambil merayu.
    ”Tapi, mereka bukan keluargaku, mereka hanya sahabatku!Tidakkah ibu mengerti? Tolonglah, setidaknya sampai acara ulang tahunku selesai.” pelas ku.
    ”Sudahlah!Kau itu anak laki-laki.Jangan manja!Kami juga bekerja untuk mencari uang, untuk engkau juga hasilnya.”kata ayah sambil menjelaskan.Mereka pergi begitu saja tanpa manghiraukan aku.
    “Ya sudahlah, kan masih ada kami di sini.Ayo kita bersenang-senang saja hari ini!Jangan bersedih lagi!” hibur Tyas.
    “Oke, oke,mau bagaimana lagi.Ayo berpesta!” seruku.
    Setelah berjam-jam, akhirnya pesta itu berakhir juga.Satu per satu temanku berpamit pulang. Tinggallah Tyas sendiri.
    ”Mengapa kau belum pulang?”tanyaku. Tyas hanya terdiam.
    “Kau tidak menyukai pestanya?”tanyaku sekali lagi.
    “Tidak, tidak bukan begitu.Ada sesuatu yang ingin aku ceritakan.”jawab Tyas.
    “Apa? Katakanlah, aku akan mendengarnya.”bujukku.
    “Ahh, nantilah, aku belum siap mengatakannya.Aku pulang dulu ya. Daaa..”Ujar Tyas seraya pergi.
    “Kalau kau sudah siap bercerita, datang saja, temui aku.Aku siap!Oke?”kataku.
    “Oke!”jawab Tyas sambil megancungkan jempolnya.
    Entah mengapa aku merasa sesuatu yang ingin dibicarakannya itu sangatlah penting. Tidak hanya baginya tetapi juga bagiku.Sesampai di kamar aku melihat ada sebuah bingkisan besar. Begitu aku buka, ternyata ini kado dari orang tuaku. Mereka membelikan aku sebuah gadget canggih yang sedang trend saat ini.”Yess!!”seruku.Sambil menyelesaikan membuka bungkus kado, aku menemukan sebuah surat. Surat dari orang tuaku, kurang lebih isinya bahwa mereka mencintaiku.Entah mengapa perasaanku menjadi senang.Sangat senang.Rasanya surat itu mewakili seluruh cinta dari orang tuaku.Aku pun tertidur di sebelah bingkisan itu.
    Pagi-paginya aku bangun seperti biasa, siap-siap ke sekolah.Pada saat sarapan bersama orang tuaku, aku bersikap seakan-akan semalam tidak terjadi apa-apa.”Bagaimana kadonya?Kamu suka?”tanya ayahku.”Suka, yah.Suka sekali.”jawabku bersemangat berharap orang tuaku membahas tentang surat itu.Tetapi, setelah kutunggu-tunggu, ternyata mereka sama sekali tidak menyinggung tentang surat itu.”Ya, sudahlah.”pikirku.Mungkin mereka lupa karena mereka terlalu sibuk..
    Aku bergegas pergi ke sekolah.Sesampainya di sekolah,semuanya berjalan seperti biasa.Hanya saja, ada satu yang menjanggal. Tidak ada Erli lagi. “Oh iya, hampir aku lupa.Aku harus berbicara dengan Erli!”ujarku dalam hati.Segera aku berlari ke kelas Erli. Sungguh kejadian d luar perkiraanku, aku melihat Tyas mengobrol akrab dengan Erli.Aku pun baru tahu kalau Tyas mengenal Erli. Langsung saja aku mendatangi mereka.Sewaktu aku sampai, seketika Erli langsung pergi tanpa menghiraukan kehadiranku. Sewaktu aku berusaha mengejar, Tyas menarik tanganku.”Sudah, biarkan ia menenangkan dulu pikirannya.”kata Tyas menenangkan.”Tapi aku harus memberitahukannya sesusatu yang penting!”jelasku.”Menjelaskan apa?” tanya Tyas.”Menjelaskan bahwa Sam bukanlah lelaki yang pantas untuknya!”jawab ku agak berteriak.Wajah Tyas pun berubah, “Sudah kukatakan tak usah!”Jawab Tyas sambil berbalik berteriak dan berlari menjauhiku.Aku pun segera berlari menyusulnya, ku pegang tangannya,
    “Aku minta maaf karena telah membentakmu.”sambil memohon.
    ”Bukan salahmu, mungkin aku yang keterlaluan.Harusnya aku yang minta maaf. Sudahlah lupakan saja kejadian tadi.Sekarang aku lagi ingin sendiri, bisakah kau tinggalkan aku sebentar?”pinta Tyas.Aku pun mengiyakan perkataannya dan segera pergi.Tapi, aku terus mengawasinya meski dari kejauhan.Kulihat dia menangis.”Astaga!Apa aku sekejam itu, sampai membuat sahabatku menangis?” kataku dalam hati.Bel masuk pun berbunyi.Sungguh, kejadian tadi membuatku tidak konsen di kelas.Sepulang sekolah aku mencoba mencari Tyas ke kelasnya, ke kantin, ke gerbang sekolah, tapi hasilnya nihil.Aku sangat ingin minta maaf kepadanya. Saat sedang merenungkan perbuatanku, aku melihat Erli.”Dia sedang sendirian.Itu keadaan yang bagus untuk bicara empat mata dengannya.”pikirku dalam hati.Segera aku berlari menghampirinya.
    “Hai Erli!”sapaku
    Tak ada jawaban sepatah kata pun dari mulut Erli.
    “Haloo?Ada orang?” sambil melambaikan tangan di depan wajahnya.
    “Apaan sih!mengganggu saja!”Bentak Erli
    “Habis,kau tidak menjawab teguranku!”jawabku santai.
    “Mau apa kau sekarang?”Tanya Erli ketus.
    “Hanya ingin mengatakan sesuatu tentang kau dan Sam.”Jawabku dengan nada agak serius.
    “Sam?Aku dan Sam?”tanya Erli heran.
    “Ya, kau dan Sam.Aku sudah mengetahui hubunganmu dengannya.Kemarin sepulang sekolah aku melihat kau berdua dengannya.”Jelasku
    “Memang apa urusanmu lagi kalau aku dan Sam berpacaran?Kau cemburu?”tanya Erli
    “Tidak, tidak, aku tidak cemburu”Jelasku.
    “Terus kenapa?Apa urusanmu?”jawab Erli ketus.
    “Aku hanya ingin menjelaskan kepadamu bahwa Sam itu Playboy, lebih baik jauhi dia.”Jelasku.
    “Ooo,,Playboy?Terus kau di sebut apa? Pemain perasaan wanita? Apa bedanya! Sama saja!”Jawab Erli.
    “Aku?Apa maksudmu?Aku tidak pernah sekalipun menduakan mu!Sekarang kau menuduhku Playboy.”bantahku.
    “Hahaha,,kau pikir aku bodoh!Sahabatmu sendiri menceritakan semuanya kepadaku!Apa kau mau menuduh sahabatmu berbohong?” tanya Erli.
    “Sahabatku? Tyas maksudmu?”Tanyaku kembali.
    “Aduuhh,,plis deh, gak usah sok polos deh!Gerah aku melihatnya!”Ujar Erli sambil pergi meninggalkanku.
    Dalam benakku, aku masih bertanya-tanya,”Tyas?Tyas yang mengatakannya?Apa benar?Atau Erli hanya asal berbicara saja.”Sambil melupakan pertanyaan-pertanyaanku aku berlari menuju ke rumah Tyas.”Aku harus mendapatkan penjelasan tentang semua ini.” Kataku dalam hati.Sesampai di rumah Tyas, aku mengetuk pintunya dan dibukakan oleh mamanya Tyas.
    ”Misi tante, Tyas nya ada?”tanyaku sopan.
    “Ngg, ,Tyas nya belum pulang, do.”Kata mama Tyas.
    “Belum pulang?”tanyaku heran.
    “Iya ,belum pulang, do. Emang ada apa?Nanti tante samapikan”jawab mama Tyas.
    “Oo,,nggak ada apa-apa kok tante.Misi tante.”Pamitku .
    “Iya, iya, sampaikan salam tante untuk ibumu yah.Hati-hati di jalan.”Kata mama Tyas.
    Aku harus mencari tyas kemana lagi.Pikiranku pun mulai kabur.Tiba-tiba,”Aha, aku tau dimana Tyas”Kataku bersemangat.Biasanya Tyas selalu pergi ke taman tidak jauh dari rumahnya bila ia sedang bersedih.Sesampainya di taman, ternyata benar.Tyas sedang duduk di kursi taman.Sambil menangis.
    “Hai Tyas.”Sapaku
    Tersentak Tyas terkaget.
    “Maaf, maaf, aku tak bermaksud mengaggetkanmu, tapi tadi kau sedang melamun.”jelasku.
    “Ya, tidak apa-apa.Ada apa kau ke sini?”Jawab Tyas sembil menghapus air matanya.
    “Mencarimu.Dari tadi aku mencarimu, sampai akhirnya aku menemukanmu disini.”kataku.
    “Mencariku, untuk apa?”Tanya Tyas.
    “Aku ingin minta maaf bila aku sampai membuatmu menangis.Tapi aku benar-benar tidak bermaksud.Aku hanya . .”aku terhenti karena Tyas menutup mulutku.
    “Aku menangis bukan karena kau, tapi karena kebodohanku sendiri.”Jawab Tyas sambil tertunduk.
    “Kebodohanmu?Maksudmu?aku tidak mengerti..”tanyaku penasaran.
    “Sudahlah, lupakan.Kau mencariku hanya untuk itu?”potong Tyas.
    “Mmm, sebenarnya ada satu lagi masalah yang ingin kutanyakan kepadamu,,”Kataku.
    “Apa, katakanlah?”Kata Tyas.
    “Nantilah ku tanyakan tentang hal itu, kulihat kau masih bersedih.Aku tak mau membuatmu menangis lagi.”Jawabku.
    “Tidak apa-apa.Katakanlah.Aku tidak sedih lagi kalau kau ada di sampingku.”Bujuk Tyas.
    “Oke, ,tapi pliss kau jangan tersinggung.Gini, apa benar kau mengatakan aku yang tidak-tidak di depan Erli?”Tanyaku pelan.
    Tyas hanya terdiam.
    “Ngg, kalau kau tidak mau menjawab juga tidak apa-apa.Aku tau, Erli hanya asal bicara.”jawabku tenang.
    “Do,,”kata Tyas
    “Ya?Ada apa?”Tanyaku.
    “Sebelumnya aku minta maaf.Aku ini memang bodoh!hiks..hiks..hikss.Maafkan aku kalau menyusahkanmu.Tapi..tapi…”Kata Tyas sambil menangis.
    “Tapi apa?”Tanyaku penasaran.
    “Tapi,,,semua yang dikatakan Erli memang benar.Aku memfitnahmu.hikss..hiksss.hiksss.Aku tau bodohnya aku melakukan itu.Tapi semua itu karena satu alasan.Hikss…hiksss…”Jelas Tyas.
    “Mengapa kau memfitnah aku?Apa alasannya?Apa?Aku kecewa denganmu..”jawabku
    “Maafkan aku.Aku sunggguh minta maaf.Aku..aku… suka padamu.Sungguh, aku cemburu melihat kedekatanmu dengan Erli, plisss…kau boleh marah padaku, tapi jangan jauhi aku…”Rengek Tyas.
    Aku hanya terdiam mendengar semua itu.Antara rasa percaya dan tidak percaya.
    “Apa kau bilang?”Tanyaku seakan tidak percaya.
    “Ya,,aku suka padamu..sudah sejak lama aku suka padamu.Aku memang pandai menasihati orang lain, tapi aku sendiri pun tak bis mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya…Bodohnya aku..”Sesal Tyas.
    “Kalau kau menyukaiku, mengapa kau jodohkan aku dengan Erli!”Bentakku.
    “Karena…karena ku pikir kau lebih menyukai Erli dari pada aku.Karena kupikir selama ini kau hanya menganggapku sahabatmu, tidak lebih.Pliss jangan jauhi aku!”Pinta Tyas.
    Aku langsung berpaling meninggalkan Tyas sendiri.
    “Eddooo,,,Eddoo,,jangan pergi!”Teriak Tyas.
    Tanpa menoleh ke belakang aku langsung berlari meninggalkannya.Sesampai di rumah, aku langsung berguling di tempat tidur sambil melihat barang-barang kenanganku bersama Erli.Setelah itu, kulihat sebuah hadiah pertemanan dari Tyas yang masih kusimpan.Sungguuh sedih aku melihat semuanya.Kubanting semua barang-barang itu ke tembok hingga hancur berantakkan.Tiba-tiba terdengar bunyi telepon, segera aku mangangkatnya,”Halo.”
    “Eddo,,Eddoo,,tolong tante, ,tolong tante.”Suara Mama Tyas resah.
    “Ada apa tante?”Tanyaku.
    “Tyas,,Tyass,, mengurung diri dikamar.Tadi dia sempat mengambil tali di dapur, doo,,tolong tante!”teriak tante.
    “Iya tenang tante, tenang tante,,,aku segera ke sana!”Jawabku.
    Segera aku menutup telepon dan bergegas menaikki sepeda motorku. Dengan pikiran kalut takut terjadi apa-apa dengan Tyas aku menancap gas sekuat-kuatnya.sesampai di ujung lorong pertigaan, tiba-tiba BRAAKK,sebuah mobil melintas dengan kecepatan tinggi meghantam motorku, aku terjatuh dan menabrak trotoar jalan. Sempat aku melihat sekeliling dan . . .
    Begitu sunyi kurasakan..terdengar sayup-sayup ada suara orang yang memanggilku. “Eddo..” suara itu terdengar halus tetapi seakan-akan ada di dekatku.Dekat sekali.Aku berusaha mencari suara itu.Makin lama, makin kersa suara itu.Tersentak aku terbangun.Ternyata ibuku memanggilku.Disitu juga ada ayahku.Mereka tersenyum kepadaku.
    “Ada apa ini?Mengapa aku disini?”Tanyaku heran.
    “Kau kecelakaan nak.Kau tidak sadar selama tiga hari.Untung kau tidak apa-apa.”Jawab ibuku.
    “Kecelakaan?”tanyaku dalam hati.”Oh iya, aku baru ingat, aku ditabrak oleh sebuah mobil ketika aku … Pikiranku tersentak aku teringat Tyas.
    ”Oh ya, Tyas , ,Tyas bagaimana ,bu?Tanyaku.
    “Dia juga sedang dirawat di Rumah Sakit ini.Dia mencoba menggantungkan dirinya dikamar.sungguh kasihan anak itu.”Jawab ibuku.
    “Sekarang dia bagaimana?”Tanyaku penasaran.
    “Dia masih koma..”jawab ibuku.
    Dengan perasaan sedih, aku segera beranjak dari tempat tidurku, tapi..tapi..ada yang salah.Rasanya kaki ku ada yang janggal.Ketika kutarik selimut, betapa terkejutnya aku kedua kakiku sudah tidak ada.
    “Apa-apaan ini?Siapa yang mengambil kakiku!Kembalikan!Kembalikan!”Teriakku histeris.
    Kedua orang tua ku mencoba menenangkan aku, tetapi aku terlalu histeris melihat keadaan kakiku.
    “Dokter…dokter!”Teriak ibuku.
    Dokter pun datang dan segera menyuntikku, lama kelamaan aku pun menjadi tenang dan mengantuk.Setelah aku terbangun, sungguh sedih aku mengetahui keadaanku.Aku hanya berdiam pasrah.
    “Bu, bisakah ibu mengantarku ke tempat Tyas, pliss?”Pintaku.
    “Oke, tapi sebentar saja, nak.Kau harus banyak istirahat.”Kata ibuku.
    “Iya bu.”Janjiku.
    Sedihnya aku, untuk berjalan saja aku harus dibawa oleh alat beroda ini.Ketika sampai di ruangan Tyas, tiba-tiba saja perasaanku sedih, air mataku pun terjatuh di pipiku.Aku hanya bisa melihat Tyas terbaring dari luar ruangan.”Ya Tuhan, mengapa semuanya jadi seperti ini?Apa salahku?”Berontakku dalam hati.


    ______________________________TAMAT__________________________________

    BalasHapus
  9. TUGAS BAHASA INDONESIA (CERPEN)

    Cinta itu Menjadi Diri Sendiri

    Namaku Paijo Suryodiningrat, panggil saja aku Paijo.Aku mempunyai ciri khusus, yaitu kacamataku yang tebal hingga orang tuaku membelikan aku kacamata yang ada rantainya, agar tidak jatuh.Sejak kecil aku selalu dibiasakan untuk hidup disiplin, terutama dalam belajar. Tak heran apabila aku selalu ranking 3 besar sejak Sekolah Dasar.Aku kelahiran Purwekerto yang merantau ke Palembang. Sebenarnya cita-citaku ingin menempuh pendidikan di ibu kota, namun orang tua ku tak akan pernah mengizinkanku pergi ke kota yang terdapat monas itu.Ya, alasanya hanya satu, mereka takut aku terjun ke pergaulan bebas.Akhirnya aku dengan terpaksa disuruh ayah dan ibuku berangkat di kota pempek, kota Palembang.
    Karena kepintaranku, masuk salah satu SMP unggulan di sini bukanlah hal yang sulit.Bahkan ketika wawancara dengan panitia penerimaan siswa baru, decak kagum selalu mereka ngaungkan ketika melihat daftar prestasiku, terlebih ketika mendengar pengalaman – pengalamanku menjuarai berbagai perlombaan.Hatiku begitu bersuka ketika mereka mengatakan bahwa mereka bangga memiliki siswa seperti aku ini. Perasaanku campur aduk, gembira bercampur haru.1 minggu lagi merupakan awal tahun ajaran.Sambil beradaptasi dengan tempat kost-an ku, 1 minggu itu aku gunakan untuk membaca semua buku cetak, terutama pelajaran favoritku, matematika.Aku mati-matian berusaha menjawab semua pertanyaan yang sebenarnya belum aku mengerti.Namun karena niat dan usahaku, hampir setengah BAB aku telah kuasai.
    Pagi itu merupakan hari pertama aku masuk SMP.Pukul 05.00 pagi aku dibangunkan oleh jam baker yang aku pasang tadi malam.Bergegas aku ke kamar mandi.Namun aku melupakan sesuatu, aku kembali lagi ke tempat tidur, mencari posisi yang manis aku mengucap syukur kepada Tuhan, terlebih buat hari pertamaku di SMP.Ya, itulah kebiasaan yang selalu diterapkan dalam keluargaku.Setelah mengucapkan kata amin, berlari kecil aku ke kamar mandi dan langsung mencedokan gayung dan menyiramnya ke tubuhku.Walau aku sedang mandi, pikiranku tak bisa tenang.Aku berkhayal mengenai sekolah baruku, teman-teman baru, kelas yang baru, guru-guru yang baru bahkan aku tak sabar ingin belajar dan menunjukan pada semua orang bahwa aku layak masuk di sekolah itu.Setelah selesai mandi, kebiasaan ku adalah selalu bercermin dan berbicara pada bayanganku di cermin itu untuk mengatakan aku bisa, aku bisa, aku bisa.Kini aku telah siap, seragam putih biru dengan dasi biru telah terpakai rapi di tubuhku.Sambil memeriksa buku-buku yang aku bawa, aku tak lupa menelepon orang tuaku.Begitu terharu mereka ketika aku menelepon, hingga ibu menangis.Pesan demi pesan, nasehat demi nasehat mereka berikan padaku.Hingga aku pun tak bisa lagi menahan air mata.Setelah memakai sepatu, langsung aku berjalan tegap ke pintu pagar, lalu mengucapkan salam pada teman-teman kost yang lain, terutama ibu pemilik kos yang sangat ramah.Jarak sekolah ku hanya sekitar 1 kilometer dari tempat kost.Di jalan aku tetap membayangkan apa yang aku khayalkan di kamar mandi tadi.10 meter mendekat sekolah, jantungku berdetak cepat seirama dengan langkah kakiku.
    Tepat didepan sekolah, pelan tapi pasti aku memasuki gerbang sekolah itu.Begitu banyak mobil yang parkir di lapangan voli sekolahku.Dan ketika aku sampai ke dalam sekolah, terdiam aku sejenak, menyaksikan ramainya siswa-siswi memakai seragam yang sama denganku.Di desaku, orang seramai ini sudah sama seperti pesta pernikahan, bahkan lebih.Aku mulai mendekati papan besar yang dikerumuni siswa-siswi itu.Oh, ternyata itu adalah papan pembagian kelas.”Huh, banyak benar murid baru di sekolah ini”, kataku pelan.Sempit sekali disana, hingga aku susah mencari namaku sendiri.Masih belum ketemu juga namaku, hingga aku sedikit merapat ke depan.Oh, tanpa sengaja aku mendorong seorang siswi.Aku sangat terkejut, lalu cepat-cepat menariknya.”Eh, kurang ajar loe...dasar culun”, teriak cewek itu.Aku tak begitu mengerti apa maksudnya, namun dari gaya bahasanya aku tahu, dia berasal dari Jakarta.Aku ingin mengajaknya berkenalan, ya dengan cara menawarkan tanganku aku mengenalkan namaku.”Hai,aku paijo”, salamku.”Paijo???, Kampungan, dasar culun”, lagi teriak siswi itu.Belum sempat aku melihat nama di bajunya, ia langsung pergi begitu saja.Sejenak aku bepikir apa salahku, namun itu langsung dibuyarkan oleh bunyi bel tanda masuk.Aku sangat kaget dan langsung mencari lagi namaku di papan besar itu.Akhirnya aku menemukannya.Aku terdaftar di kelas vii-H.Berlari aku mencari kelasku.Dan ternyata kelasku itu paling pojok, dekat ruang perpustakaan di lantai 2.
    Begitu masuk, aku langsung mencari tempat duduk.Aku sedikit bingung, karena bangku paling depan banyak yang kosong.Tanpa pikir panjang aku langsung duduk tepat di depan meja guru.Seorang guru masuk, lalu menyapa kami semua.Ia langsung menyuruhku memimpin doa di depan.Semua mata tentunya tertuju padaku, namun aku sudah terbiasa dengan hal seperti ini.Di SD dulu aku memang pembaca doa sebelum belajar.Aku dengan lancar memimpin teman-temanku berdoa.Setelah amin, aku membuka mataku dan melihat ke sekeliling kelas, melihat teman-teman baruku.Betapa terkejutnya aku melihat seorang siswi yang duduk di pojok belakang, seorang cewek yang tadi membentak ku karena tidak sengaja mendorongnya.Pandangannya begitu tajam melihat ke arahku, dan tangannya mengepal, seakan siap meninju ku.Segera aku kembali ke tempat duduk.Pak guru itu ternyata wali kelas kami, Pak Andreas namanya.Orangnya sangat baik dan ramah.Ia menjelaskan bahwa pada tahun ini, masa orientasi siswa ditiadakan karena para pengurus osis di sekolah ini sedang study tour ke Malaysia, dan baru kembali ke Palembang minggu depan.Beliau terus berbasa-basi menjelaskan mengenai sekolah ini.Namun aku tidak bisa berkonsentrasi mendengar ocehan beliau.Aku masih berpikir mengenai cewek yang membentak ku tadi.Walau ia membentak, aku seperti merasa tidak sakit hati, malahan ingin agar ia membentak ku lagi.Aku bingung, mengapa hal ini terjadi padaku, seolah cewek itu mempesonaku.Kaget aku mendengar namaku dipanggil Pak Andreas.”Paijo, Paijo, siapa namanya Paijo?”, tanya Pak Andreas pada seluruh siswanya.Aku langsung menunjuk tangan, ternyata kami sedang di absen.Semua siswa-siswi di kelasku tanpa alasan jelas tertawa terbahak-bahak sambil menyebut-nyebut namaku.Aku bingung, apa yang aneh?, apa yang lucu?.Beberapa saat kemudian aku menyadari kalau aku bisa mengenal nama cewek tadi apabila namanya di absen guru.Namun aku hanya bisa berharap namanya belum dipanggil.Akhirnya aku tahu, Yulia Amelia adalah nama cewek itu, ketika namanya disebut Pak Andreas.Aku hanya bisa tersenyum saja setelah mengetahui nama cewek itu.Kalau aku nilai saat itu, cewek tercantik di kelas itu adalah dia, Yulia.Badannya tinggi, namun masih sedikit lebih pendek dariku, rambutnya panjang dan lurus sampai punggung dan yang paling kusukai adalah bentuk mukanya, yang pada saat itu hanya aku bisa katakan imut.Aku begitu bingung dengan perasaan ini, dan bingung juga harus bagaimana.Akhirnya aku memutuskan untuk tidak memikirkannya lagi dan fokus ke pelajaran.Setelah mencatat jadwal pelajaran kami hanya berkenalan dengan guru lainnya.Aku pun mulai mengajak berkenalan kepada teman-teman lainnya, namun tetap aku tak berani menyapa Yulia, lagian aku sedang berusaha melupakannya, pikirku.
    Bel sekolah berbunyi, menandakan hari para siswa-siswi harus pulang.Setelah mengecek meja, laci, dan bawah tempat duduk, aku bergegas membereskan buku-buku kedalam tas.Belum selesai aku memasukan semua buku-buku ku, Pak Andreas kembali menunjuk aku berdoa.Dengan sigap aku maju ke depan kelas untuk memimpin doa.Setelah selesai berdoa aku langsung menuju meja ku, untuk membereskan buku-buku yang masih tergeletak diatas mejaku.Para teman-temanku yang lain langsung keluar saja.Begitu juga dengan Yulia, namun sebelum melalui pintu kelas, ia sempat menatapku dengan sinis lalu langsung keluar dari kelas.Sejenak aku terdiam, memikirkan pandangannya itu.Entah mengapa bibirku telah membentuk senyuman manis.Yah, dalam pikiranku hanya ada wajahnya.Namun segera aku kembali berkonsentrasi menyusun buku yang masih berserakan itu.Segera aku keluar kelas dan mempercepat langkahku untuk pulang ke rumah karena cacing dalam perutku telah berontak nampaknya.
    Ketika aku dalam perjalanan pulang, aku melihat seorang yang juga memakai seragam sekolah yang sama denganku.Berlari aku menuju cewek itu dan menyapanya.Eh ternyata dia Rina, teman sekelas ku juga.Tanpa pikir panjang aku memanggilnya.”Rina!!!, Rina!!, tunggu aku”, seruku.Dia menoleh ke arahku.Pada saat itu aku langsung mengajaknya mengobrol, menanyakan rumahnya dan hal lainnya.Rina cukup manis, rambutnya sebahu, berkacamata dan agak kurus.Kami berbincang soal asal-usul kami.Ternyata dia sejak lahir sudah tinggal di Palembang.Rina ternyata anak yang pintar dalam bidang akademik, terutama matematika.Sama seperti aku, kami terus saja berbicara sambil berjalan.Namun ketika kami mendekati sebuah rumah kecil, Dia meminta pamit padaku.”Oh, ternyata dia tinggal disini, cukup dekat dengan tempat kost ku”, seruku dalam hati.Lalu aku kembali berjalan sambil bertekat dalam hati untuk berprestasi juga, sama seperti Rina.Pertemuanku dengan Rina mampu membuatku melupakan Yulia, bukan karena ia lebih cantik, namun karena semangat belajarnya yang menggebu-gebu.Aku sangat ingin seperti dia, yang pernah menjuarai lomba matematika se-Palembang.
    Sepanjang kelas vii aku dan Rina sangat dekat, baik saat di kelas atau pun diluar.Ya, kini ia menjadi teman terbaik yang pernah aku miliki.Kami belajar bersama, mengerjakan PR bersama dan banyak hal lainnya.Tak pernah lagi aku berpikir hal lain terhadap Rina.Yang ku pikirkan hanyalah belajar, belajar dan belajar.Yulia, seorang cewek yang dahulu aku kagumi sudah kuanggap biasa dan aku berhasil melupakan perasaan aneh ku padanya.Tak heran kalau aku mampu menduduki peringkat 2 juara umum dibawah teman baikku, Yulia.Pada saat memasuki kelas viii, aku tidak lagi sekelas dengan Rina maupun Yulia.Aku sekelas dengan teman baruku, Rano.Walaupun dia orangnya nakal, dia tahun lalu berada di peringkat 5 juara umum, 3 peringkat dibawahku.Persahabatanku dengan Rina mulai renggang hingga akhirnya kami benar-benar lost contact.Aku tak pernah lagi belajar dengannya.Kini aku bergaul dengan Rano dan teman-temannya.Ya, kami memang tak banyak belajar, kami lebih sering pergi ke mall untuk sekedar jalan atau duduk-duduk di depan mall atau biasa mereka sebut nonkjrong.Kehidupanku mulai tidak karuan.Aku sering terlambat ke sekolah, tidak mengerjakan PR, dan banyak hal lainnya.Kini aku sungguh tidak ada artinya lagi didepan para guru dan teman-teman.Semester satu pada tahun ini aku jalani dengan buruk.Tercatat 3 nilai yang bertinta merah.Namun aku tetap tidak memperdulikannya.Suatu hari aku ditegur guruku karena rambutku telah panjang.Jadi aku mengajak Rano untuk pergi ke salon langganannya, karena aku kurang tahu salon yang bagus di Palembang.Lalu Rano mengajakku pergi ke salon langganannya bersama dengan teman-temannya.Ketika rambutku sedang dipotong, mereka berbisik-bisik sesuatu.Nampaknya mereka sedang mentertawakan aku.”Oi Paijo, kau tuh cupu nian, culun..”, kata Rano.Aku binggung, karena tidak mengerti apa itu culun dan cupu.Tapi aku ingat, pada saat aku masuk Yulia mengucapkan kata-kata yang sama.”Emangnya apa sih artinya cupu dan culun?”, tanyaku dengan polos.Mereka malah mentertawakanku lagi.”Oke, kalo kamu gak mau culun lagi, mau gak kami make-over?”, tanya Rano.Aku hanya mengangguk kepalaku, bertanda setuju.Mereka langsung mendandaniku bersama dengan tukang potong rambut di salon itu.
    Keesokan harinya aku seperti biasa, datang terlambat ke sekolah.Semua mata tertuju padaku.Guru, teman-teman bahkan Yulia, cewek yang dahulu aku kagumi pada saat kelas vii.Ketika aku sedang makan bakso di kantin, tak diduga, gank Sweety duduk bersamaku juga.Gank Sweety adalah kumpulan cewek-cewek yang cantik-cantik dan kata Rano mereka itu Playgirl.Mereka mulai merayuku, entah dengan tujuan apa.”Paijo, kamu keren banget, cakep deh..”, kata salah satu dari mereka.”Iya, kamu gak culun lagi kayak dulu, kamu sekarang keren abis”, lagi kata mereka.Aku hanya tertunduk malu saja, karena ini pertama aku dirayu seperti itu.”Udah punya cewek belum??”, tanya mereka sambil terus memegang-megang badanku.”Bbbbeelum..”, kataku.”Ah, cowo keren kayak kamu kok belum ada gebetan??”, serentak mereka menjawab.”Kamu naksir siapa?”, lagi kata Cyntia, ketua gank Sweety.”Apaan itu naksir, gak ngerti deh”, lagi jawabku polos.”Artinya kalo kamu suka sama seorang cewek atau kamu itu kagum sama cewek dan pengen jadiin dia pacar kamu”, kata Cyntia.”Oh, pacar ya”, kataku sambil mengingat Rano dan pacarnya yang sering bermesraan.”Eh, kok ngelamun”, kata Ririn yang juga salah satu anggota gank Sweety.”Ada nggak?, nanti kami bantuin nih..atau sama aku aja..”, kata Ririn lagi.Tapi aku tidak ada rasa dengan cewek-cewek seperti itu.”Yu, yu, yu, Yulia”, kataku dengan terbata-bata.”Cieeee, Paijo suka sama Yulia”, mereka mengolok-ngolokku.”Oke, kami akan membantu kamu mendapatkan Yulia, kamu tenang aja, ada kami disini”, kata Cyntia.
    Berkat kerja keras gank Sweety dan Rano, di awal kelas ix aku telah berhasil mendapatkan Yulia sebagai pacarku.Yulia mengajakku jalan-jalan setiap malam, bahkan hingga pukul setengah 12 baru pulang.Kami biasanya ke mall atau sekedar makan malam saja.Yulia begitu cantik, apalagi ketika tidak memakai seragam sekolah.Yulia sangat mempesonaku terlebih ketika kami makan malam di restaurant yang formal, karena ia memakai gaun malam yang indah.Aku pun tak ketinggalan, aku menyewa jas setiap ingin pergi makan malam dengannya.Pada saat kami sedang jalan-jalan di suatu mall, Yulia bertemu dengan teman-teman SD nya yang dahulu.Mereka bertanya namaku.”Aku pa...”, namun belum selesai aku berbicara kakiku telah diinjak oleh Yulia.”Namanya Joe”, kata Yulia sambil menatapku sinis. Teman-teman SD Yulia sama-sama ikut jalan-jalan dengan kami.Ketika Yulia ingin membayar gaun yang dibelinya, ia menarikku ke tempat yang agak tersebunyi dari teman-temannya.Ia menyerahkan uangnya kepadaku, dan menyuruhku untuk pura-pura membayar pakaian yang dibeli Yulia.Lalu sesampainya aku di kasir, Yulia ber-akting seperti tidak membawa uang, maka aku dicubitnya.Aku langsung membayar gaun yang dibeli Yulia itu dengan uang yang diberi Yulia juga.Memang, setiap aku dan Yulia jalan-jalan, Yulia selalu membayariku, namun dengan cara yang sama seperti tadi.Dia juga tidak ingin orang tahu namaku Paijo, maka ia menyebutku Joe dihadapan semua orang.Katanya sih karena Pai-joe.Ketika acara ulang tahun, Yulia membelikan aku sebuah handphone dan bunga yang nantinya harus aku kembalikan kepadanya saat pesta ulang tahunnya sebagai kado ulang tahunnya.
    Usia pacaranku sudah hampir 1 tahun, namun aku merasa tidak ada apa-apa dengan Yulia.Dia tidak pernah menerimaku apa adanya, yang dia inginkan adalah orang-orang tahu dia punya pacar yang keren, kaya, dan juga sayang kepadanya.Namun aku tidak merasa begitu, pacaran hanya ingin membuatnya populer, walaupun tanpa sengaja aku ikut poluler di sekolah.Aku lebih suka menjadi diriku sendiri dan mencintai orang yang menerima diriku apa adanya.Aku begitu bingung dengan situasi ini.Di satu sisi aku sangat senang berpacaran dengannya.Namun di satu sisi aku merasa tidak diterima apa adanya oleh Yulia.
    Siang itu begitu terik.Matahari seakan membakar kulitku.Ketika aku berjalan pulang ke rumah, aku bertemu dengan seorang cewek yang tidak asing di mataku.Namun begitu melihat rumahnya, aku teringat dengan Rina, teman saat aku di kelas vii.Aku kurang percaya itu Rina.Jadi aku tegur dia.”Hai, kamu Rina ya?”, tanyaku.”Iya, aku Rina”, jawabnya.Begitu kaget aku melihat Rina yang hampir tak ku kenali lagi.Maklum, sudah hampir 2 tahun lebih aku tak bertemu dengannya, karena ternyata dia masuk kelas akselerasi.Rina kini begitu berbeda.Tubuhnya yang tadi kurus itu menjadi berbentuk dan sangat indah bak gitar.Rambutnya kini di blonding.”Wah kamu...”, kataku.”Kamu kenapa???”, tanya Rina dengan senyum.”Kamu cantik banget, nggak seperti Rina yang dahulu aku kenal”, seruku sambil terus menatap matanya.”Kamu juga, keren kok, nggak culun lagi”, sambung Rina dengan sedikit tertawa.”Mana kacamata kamu yang ada rantai itu?dibuang ya?”, tanya Rina penasaran.”Ehh, nggak kok, aku sekarang pake soft lense, biar gak keliatan culun lagi”, kataku sambil tertawa.Kami sempat ngobrol beberapa saat, hingga aku akhirnya dipaksa makan siang dirumahnya.Rumahnya tidak sebesar rumah Yulia, namun aku malah merasa lebih nyaman masuk ke rumah Rina.Sambil makan siang, kami terus melanjutkan ngobrol kami.”Udah punya pacar belum?”, tanya Rina.Aku begitu bingung ingin menjawab apa.”Sssuudah..”, kataku.Entah mengapa, wajah Rina yang tadi ceria berubah menjadi lebih serius.”Siapa?”, tanya Rina lagi.”Yulia Amelia, teman kelas vii kita dahulu”, seruku.”Oh, Yulia yang cantik itu ya” lanjut Rina.”Tapi kamu lebih cantik kok!”, spontan kataku.”Mmmaaksudnya...”, kataku lagi.Rina hanya terdiam dan aku melihat bibirnya tersenyum, namun dia menunduk jadi kurang terlihat.Setelah pamit pulang, aku langsung berlari menuju tempat kost ku, karena langit sudah mulai gelap.
    Hari-hari berikutnya aku lebih sering ngobrol dengan Rina daripada dengan Yulia, pacarku sendiri.Aku juga sempat menceritakan hubungan aku dan Yulia yang kurang aku suka.Kami pergi ke warteg tiap malam minggu untuk makan malam berdua.Biasanya juga aku pergi ke pasar hanya untuk menemani Rina jika hari minggu.Ya, kami semakin dekat.Namun aku belum menyadari perasaanku yang telah berubah, dari simpati menjadi cinta.Aku tidak bisa lagi menahan rasa yang ada dalam dadaku ini.Dengan berani aku katakan i love u padanya.Rina hanya menanggapinya dengan tertawa saja, mungkin dikiranya aku bercanda.Lalu aku mengulang lagi ucapan tadi.Suasananya menjadi tenang dan romantis sekali.Akhirnya Dia baru akan menerimaku menjadi pacarnya, dengan syarat aku harus memutuskan hubunganku dengan Yulia.Segera aku mengambil telepon seluler milikku untuk menghubungi Yulia agar bisa segera bertemu.Namun Yulia duluan meneleponku.”Sayang, kamu dimana, aku kangen nih”, katanya.”Aaakkku sedang...”mulutku terbata-bata berbicara.Namun aku mendengar suara cowok disana sedang memanggil Yulia dengan kata “sayang” juga.Awalnya aku kira ia memanggil orang lain, namun Yulia menjawabnya juga.Kecurigaanku telah mencapai ambang batas.
    Keesokan harinya, segera aku mencari Yulia di rumahnya.Terkejut aku melihat, ternyata Yulia sedang berduaan menonton DVD sambil bermesraan bersama seorang cowok.”Yulia..”, teriakku dengan tegas.”Joe?, kamu kok disini.”, jawabnya kaget.”Hari ini kan bukan jadwal kita kencan, hari ini aku bersama dengan Ryan”.Aku tidak bisa menahan emosi lagi saat itu.”Mulai saat ini kita putus..”, teriakku lantang.”Silahkan saja, emang kamu siapa aku, dasar culun”, jawab Yulia.Aku langsung pergi dengan penuh geram di mukaku.Aku berjalan sambil mengingat masa laluku dengan Yulia yang ternyata hanya sandiwara semata.Langsung aku datang ke rumah Rina.Aku mencari Rina yang ternyata sedang duduk di sofa ruang tamu.Segera aku bersujud di kakinya sambil menceritakan apa yang baru aku alami.Yulia dengan sabar menasatiku dan memberi aku semangat kembali.”Aku akan bangkit dari hal ini”, kataku dengan lugas.”Aku dengan senang hati akan membantu kami bangkit”, kata Rina.Kami berdua tersenyum sambil saling memegang tangan satu sama lain.
    Kini aku telah berubah lagi, bukan soal penampilanku, namun cara bergaulku dan belajarku.Aku mendapat juara umum 1, sedangkan Rina di posisi 2.Aku begitu senang hidup bersama dengan pacarku, Rina yang telah mengembalikan lagi hidupku dengan cintanya.Kini aku tahu, cinta sejati itu harus menjadi diri sendiri dan menerima orang lain apa adanya.Sungguh beruntung aku bertemu Rina, seorang yang telah memberiku makna cinta sejati itu.

    BalasHapus
  10. http://steffimarsella.blogspot.com

    BalasHapus
  11. CINTA SEJATI
    Cerita ini bermula ketika saya bertemu seorang tante di Bali, tetapi detail yang saya sebutkan mungkin tidak sesuai dengan kisah aslinya. Saya menuliskan apa yang saya tangkap dari yang diceritakan tante. Sebut saja tante Ami (bukan nama sebenarnya). Tante Ami bercerita mengenai pengalaman hidupnya ketika masa kuliah.
    Sekitar dua puluh tahun yang lalu, Tante Ami sedang menjalankan semester terakhir dan berusaha menyelesaikan skripsi. Disaat itu pula, 2 minggu yang akan datang, tante Ami akan dipersunting oleh seorang pria yang bernama Iman (bukan nama sebenarnya).
    Tante Ami dan Iman telah berpacaran selama 7 tahun. Iman merupakan teman SD tante Ami. Mereka telah kenal selama 14 tahun. Masa 7 tahun adalah masa pertemanan, dan kemudian dilanjutkan ke masa pacaran. Mereka bahkan telah bertunangan dan 2 minggu ke depan, tante Ami dan Iman akan melangsungkan ijab kabul.
    Entah mimpi apa semalam, tiba-tiba tante Ami dikejutkan oleh suatu berita.
    Adiknya Iman : Mbak Ami, Mbak Ami. Mas Iman…Mas Iman….kena musibah!
    Tante Ami : Innalillahi wa inna illahi roji’un…
    Saat itu tante Ami tidak mengetahui musibah apa yang menimpa Iman. Kemudian sang adik melanjutkan beritanya…
    Adiknya Iman : Mas Iman…kecelakaan…dan..meninggal…
    Tante Ami : Innalillahi wa inna illahi roji’un…
    …dan tante Ami kemudian pingsan…
    Setelah bangun, tante Ami dihadapkan oleh mayat tunangannya. Tante Ami yang shock berat tak bisa berkata apa-apa. Bahkan tidak ada air mata yang mengalir.
    Ketika memandikan jenazahnya, tante Ami terdiam. Tante Ami memeluk tubuh Iman yang sudah dingin dengan begitu erat dan tak mau melepaskannya hingga akhirnya orang tua Iman mencoba meminta tante Ami agar tabah menghadapi semua ini.
    Setelah dikuburkan, tante Ami tetap terdiam. Ia berdoa khusyuk di depan kuburan Iman. Sampai seminggu ke depan, tante Ami tak punya nafsu makan. Ia hanya makan sedikit. Ia pun tak banyak bicara. Menangis pun tidak. Skripsinya terlantar begitu saja. Orangtua tante Ami pun semakin cemas melihat sikap anaknya tersebut.
    Akhirnya bapaknya tante Ami memarahi tante Ami. Sang bapak sengaja menekan anak tersebut supaya ia mengeluarkan air mata. Tentu berat bagi tante Ami kehilangan orang yang dicintainya, tapi tidak mengeluarkan air mata sama sekali. Rasanya beban tante Ami belum dikeluarkan.
    Setelah dimarahi oleh bapaknya, barulah tante Ami menangis. Tumpahlah semua kesedihan hatinya. Setidaknya, satu beban telah berkurang.
    …tiga bulan kemudian…
    Skripsi tante Ami belum juga kelar. Orangtuanya pun tidak mengharap banyak karena sangat mengerti keadaan tante Ami. Sepeninggal Iman, tante Ami masih terus meratapi dan merasa Iman hanya pergi jauh. Nanti juga kembali, pikirnya.
    Di dalam wajah sendunya, tiba-tiba ada seorang pria yang tertarik melihat tante Ami. Satria namanya (bukan nama sebenarnya). Ia tertarik dengan paras tante Ami yang manis dan pendiam. Satria pun mencoba mencaritahu tentang tante Ami dan ia mendengar kisah tante Ami lengkap dari teman-temannya.
    Setelah mendapatkan berbagai informasi tentang tante Ami, ia coba mendekati tante Ami. Tante Ami yang hatinya sudah beku, tidak peduli akan kehadiran Satria. Beberapa kali ajakan Satria tidak direspon olehnya.
    Satria pun pantang menyerah, sampai akhirnya tante Ami sedikit luluh. Tante Ami pun mengajak Satria ke kuburan Iman. Disana tante Ami meminta Satria minta ijin kepada Iman untuk berhubungan dengan tante Ami. Satria yang begitu menyayangi tante Ami menuruti keinginan perempuan itu. Ia pun berdoa serta minta ijin kepada kuburan Iman.
    Masa pacaran tante Ami dan Satria begitu unik. Setiap ingin pergi berdua, mereka selalu mampir ke kuburan Iman untuk minta ijin dan memberitahu bahwa hari ini mereka akan pergi kemana. Hal itu terus terjadi berulang-ulang. Tampaknya sampai kapanpun posisi Iman di hati tante Ami tidak ada yang menggeser. Tetapi Satria pun sangat mengerti hal itu dan tetap rela bersanding disisi tante Ami, walaupun sebagai orang kedua dihati tante Ami.
    Setahun sudah masa pacaran mereka. Skripsi tante Ami sudah selesai enam bulan yang lalu dan ia lulus dengan nilai baik. Satria pun memutuskan untuk melamar tante Ami.
    Sebelum melamar tante Ami, Satria mengunjungi kuburan Iman sendirian. Ini sudah menjadi ritual bagi dirinya. Disana ia mengobrol dengan batu nisan tersebut, membacakan yasin, sekaligus minta ijin untuk melamar tante Ami. Setelah itu Satria pulang, dan malamnya ia melamar tante Ami.
    Tante Ami tentu saja senang. Tapi tetap saja, di hati tante Ami masih terkenang sosok Iman. Tante Ami menceritakan bagaimana perasaannya ke Satria dan bagaimana posisi Iman dihatinya. Satria menerima semua itu dengan lapang dada. Baginya, tante Ami adalah prioritas utamanya. Apapun keinginan tante Ami, ia akan menuruti semua itu, asalkan tante Ami bahagia.
    Tante Ami pun akhirnya menerima lamaran Satria.
    …beberapa bulan setelah menikah…
    Di rumah yang damai, terpampang foto perkawinan tante Ami dan Satria. Tak jauh dari foto tersebut, ada foto perkawinan tante Ami ukuran 4R. Foto perkawinan biasa, namun ada yang janggal. Di foto tersebut terpampang wajah tante Ami dan Iman.
    Ya, tante Ami yang masih terus mencintai Iman mengganti foto pasangan disebelahnya dengan wajah Iman. Foto itupun terletak tak jauh dari foto perkawinan Satria dan tante Ami. Sekilas terlihat foto tersebut hasil rekayasa yang dibuat oleh tante Ami. Namun Satria mengijinkan tante Ami meletakkan foto tersebut tak jauh dari foto perkawinan mereka.
    Bagaimanapun tante Ami tetap akan mencintai Iman sekaligus mencintai Satria, suami tercintanya. Dan Satria merupakan pria yang memiliki hati sejati. Baginya, cinta sejatinya adalah tante Ami. Apapun yang tante Ami lakukan, ia berusaha menerima semua keadaan itu. Baginya tak ada yang perlu dicemburui dari batu nisan. Ia tetap menjalankan rumah tangganya dengan sakinah, mawaddah dan warramah, hingga saat ini…
    Mendengar cerita diatas, terus terang saya merasa sedih, terharu, sekaligus miris. Saya kagum dengan sosok Satria yang ternyata benar-benar mencintai Tante Ami. Saya juga mengerti kepedihan Tante Ami ketika ditinggalkan tunangannya. Tentu rasanya sulit ditinggalkan oleh orang yang sudah membekas dihati.
    Akankah ada pria-pria seperti Satria? Hal itu yang sulit untuk dijawab. Tante Ami mempunyai dua orang anak dari Satria. Awalnya mereka tidaktahu cerita yan sebenarnya, tetapi lambat laun mereka pun mengetahui bagaimana cerita sebenarnya.
    Satria bercerita kepada anak-anaknya. Pada saat Ia bercerita, tante Ami sedang tidak berada dirumah. Ia dan tante Ami mempunyai 2 orang anak perempuan. Anak yang pertama bernama Ncyta dan yang kedua bernama Qwint. Anaknya yang pertama berumur 17 tahun lebih tepatnya berda dibangku kelas 2 SMA, sedangkan Qwint baru duduk di kelas 2 SMP. Awalnya Satria ragu untuk bercerita kepada anak-anaknya karena anak-anaknya masih dibawah umur dan belum layak untuk mengetahui cerita yang sebenarnya. Dengan begitu, Ia lebih memilih untuk cerita kepada anaknya yang pertama, Ncyta.
    Terjadi percakapan antara Satria dan anak pertamanya, Ncyta…
    Satria : (sambil membelai rambut Ncyta) bagaimana sekolahmu, nak ? Nycta : Baik ayah. Sekolahku lancar. Ada apa ayah? Tumben ayah menanyakan seperti itu? Tidak seperti biasanya… Satria : Tidak apa-apa kan jika ayah lebih perrhatian dengan anak ayah sendiri? (sambil tersenyum) Nycta : Tidak apa kok,yah. Aku hanya heran mengapa tumben ayah menanyakan hal demikian. Jika ada hal yang ingin ayah bicarakan, katakana saja. Aku akan siap mendengarkan. Tapi yah, sebelum ayah cerita aku ingin bertanya. Mengapa Ibu seperti itu dengan ayah? Padahal kan, ayah sudah berkelakuan yang benar. Satria : Itulah, nak. Yang ingin ayah ceritakan..
    ..beberapa jam kemudian, setelah Satria bercerita..
    Ncyta : (sambil berdiri dan berteriak) Ayah! Ibu sudah keterlaluan. Tidak sepantasnya Ibu berlaku demikian kepada ayah. Satria : Tidak, anakku. Ayah sayang kepada ibumu. Ayah tidak apa jika diperlakukan begitu, asalkan ayah tetap bisa bersama ibumu selamanya. Ncyta : (memeluk ayahnya) Ayah.. Ncyta bangga orangtua seperti ayah. Satria : ( sambil memeluk Ncyta) Ayah melakukan semua ini karena ayah sayang kepada ibumu. Ibumu serta kalianlah harta berharga yang ayah miliki.
    Akhirnya Ncyta pun menyadari bahwa cinta ayahnya kepda ibunya benar-benar cinta yang tidak dapat dihalangi oleh apapun. Walaupun Ia tahu betapa sakitnya hati ayahnya karena ibunya belum bisa melupakan mantan calon suaminya. Tapi, Ia tetap bangga mempunyai orangtua seperti ayahnya. Tidak semua orangtua seperti ayahnya. Awalnya memang Ncyta tidak bisa menerima perilaku ibunya yang keterlaluan. Tapi, Ia tidak bisa berlaku apa-apa, karena ayahnya saja bisa menerima dengan lapang dada perilaku ibunya.
    Tante Ami tidak tahu bahwa Satria telah menceritakan semuanya kepada anaknya. Belakangan ini tante Ami begitu manja sekali dengan Satria. Apa saja yang dilakukannya selalu melibatkan Satria. Satria merasa senang karena Ia ada tempat di hati tante Ami. Akhirnya, tidak sia-sia kesetiannya selama ini, karena tante Ami pun mulai bisa menerima kepergian Iman dan memberi hati serta cintanya sepenuhnya kepada Satria. Merekapun menyadari bahwa cinta yang timbul diantara mereka berdua adalah cinta sejati.

    BalasHapus
  12. Judul : Cinta Sejati
    Karya : Heny Aprida Saragih
    Kelas : X.3
    No.Absen : 16
    CINTA SEJATI
    Cerita ini bermula ketika saya bertemu seorang tante di Bali, tetapi detail yang saya sebutkan mungkin tidak sesuai dengan kisah aslinya. Saya menuliskan apa yang saya tangkap dari yang diceritakan tante. Sebut saja tante Ami (bukan nama sebenarnya). Tante Ami bercerita mengenai pengalaman hidupnya ketika masa kuliah.
    Sekitar dua puluh tahun yang lalu, Tante Ami sedang menjalankan semester terakhir dan berusaha menyelesaikan skripsi. Disaat itu pula, 2 minggu yang akan datang, tante Ami akan dipersunting oleh seorang pria yang bernama Iman (bukan nama sebenarnya).
    Tante Ami dan Iman telah berpacaran selama 7 tahun. Iman merupakan teman SD tante Ami. Mereka telah kenal selama 14 tahun. Masa 7 tahun adalah masa pertemanan, dan kemudian dilanjutkan ke masa pacaran. Mereka bahkan telah bertunangan dan 2 minggu ke depan, tante Ami dan Iman akan melangsungkan ijab kabul.
    Entah mimpi apa semalam, tiba-tiba tante Ami dikejutkan oleh suatu berita.
    Adiknya Iman : Mbak Ami, Mbak Ami. Mas Iman…Mas Iman….kena musibah!
    Tante Ami : Innalillahi wa inna illahi roji’un…
    Saat itu tante Ami tidak mengetahui musibah apa yang menimpa Iman. Kemudian sang adik melanjutkan beritanya…
    Adiknya Iman : Mas Iman…kecelakaan…dan..meninggal…
    Tante Ami : Innalillahi wa inna illahi roji’un…
    …dan tante Ami kemudian pingsan…
    Setelah bangun, tante Ami dihadapkan oleh mayat tunangannya. Tante Ami yang shock berat tak bisa berkata apa-apa. Bahkan tidak ada air mata yang mengalir.
    Ketika memandikan jenazahnya, tante Ami terdiam. Tante Ami memeluk tubuh Iman yang sudah dingin dengan begitu erat dan tak mau melepaskannya hingga akhirnya orang tua Iman mencoba meminta tante Ami agar tabah menghadapi semua ini.
    Setelah dikuburkan, tante Ami tetap terdiam. Ia berdoa khusyuk di depan kuburan Iman. Sampai seminggu ke depan, tante Ami tak punya nafsu makan. Ia hanya makan sedikit. Ia pun tak banyak bicara. Menangis pun tidak. Skripsinya terlantar begitu saja. Orangtua tante Ami pun semakin cemas melihat sikap anaknya tersebut.
    Akhirnya bapaknya tante Ami memarahi tante Ami. Sang bapak sengaja menekan anak tersebut supaya ia mengeluarkan air mata. Tentu berat bagi tante Ami kehilangan orang yang dicintainya, tapi tidak mengeluarkan air mata sama sekali. Rasanya beban tante Ami belum dikeluarkan.
    Setelah dimarahi oleh bapaknya, barulah tante Ami menangis. Tumpahlah semua kesedihan hatinya. Setidaknya, satu beban telah berkurang.
    …tiga bulan kemudian…
    Skripsi tante Ami belum juga kelar. Orangtuanya pun tidak mengharap banyak karena sangat mengerti keadaan tante Ami. Sepeninggal Iman, tante Ami masih terus meratapi dan merasa Iman hanya pergi jauh. Nanti juga kembali, pikirnya.
    Di dalam wajah sendunya, tiba-tiba ada seorang pria yang tertarik melihat tante Ami. Satria namanya (bukan nama sebenarnya). Ia tertarik dengan paras tante Ami yang manis dan pendiam. Satria pun mencoba mencaritahu tentang tante Ami dan ia mendengar kisah tante Ami lengkap dari teman-temannya.
    Setelah mendapatkan berbagai informasi tentang tante Ami, ia coba mendekati tante Ami. Tante Ami yang hatinya sudah beku, tidak peduli akan kehadiran Satria. Beberapa kali ajakan Satria tidak direspon olehnya.
    Satria pun pantang menyerah, sampai akhirnya tante Ami sedikit luluh. Tante Ami pun mengajak Satria ke kuburan Iman. Disana tante Ami meminta Satria minta ijin kepada Iman untuk berhubungan dengan tante Ami. Satria yang begitu menyayangi tante Ami menuruti keinginan perempuan itu. Ia pun berdoa serta minta ijin kepada kuburan Iman.
    Masa pacaran tante Ami dan Satria begitu unik. Setiap ingin pergi berdua, mereka selalu mampir ke kuburan Iman untuk minta ijin dan memberitahu bahwa hari ini mereka akan pergi kemana. Hal itu terus terjadi berulang-ulang. Tampaknya sampai kapanpun posisi Iman di hati tante Ami tidak ada yang menggeser. Tetapi Satria pun sangat mengerti hal itu dan tetap rela bersanding disisi tante Ami, walaupun sebagai orang kedua dihati tante Ami.
    Setahun sudah masa pacaran mereka. Skripsi tante Ami sudah selesai enam bulan yang lalu dan ia lulus dengan nilai baik. Satria pun memutuskan untuk melamar tante Ami.
    Sebelum melamar tante Ami, Satria mengunjungi kuburan Iman sendirian. Ini sudah menjadi ritual bagi dirinya. Disana ia mengobrol dengan batu nisan tersebut, membacakan yasin, sekaligus minta ijin untuk melamar tante Ami. Setelah itu Satria pulang, dan malamnya ia melamar tante Ami.
    Tante Ami tentu saja senang. Tapi tetap saja, di hati tante Ami masih terkenang sosok Iman. Tante Ami menceritakan bagaimana perasaannya ke Satria dan bagaimana posisi Iman dihatinya. Satria menerima semua itu dengan lapang dada. Baginya, tante Ami adalah prioritas utamanya. Apapun keinginan tante Ami, ia akan menuruti semua itu, asalkan tante Ami bahagia.
    Tante Ami pun akhirnya menerima lamaran Satria.
    …beberapa bulan setelah menikah…
    Di rumah yang damai, terpampang foto perkawinan tante Ami dan Satria. Tak jauh dari foto tersebut, ada foto perkawinan tante Ami ukuran 4R. Foto perkawinan biasa, namun ada yang janggal. Di foto tersebut terpampang wajah tante Ami dan Iman.
    Ya, tante Ami yang masih terus mencintai Iman mengganti foto pasangan disebelahnya dengan wajah Iman. Foto itupun terletak tak jauh dari foto perkawinan Satria dan tante Ami. Sekilas terlihat foto tersebut hasil rekayasa yang dibuat oleh tante Ami. Namun Satria mengijinkan tante Ami meletakkan foto tersebut tak jauh dari foto perkawinan mereka.
    Bagaimanapun tante Ami tetap akan mencintai Iman sekaligus mencintai Satria, suami tercintanya. Dan Satria merupakan pria yang memiliki hati sejati. Baginya, cinta sejatinya adalah tante Ami. Apapun yang tante Ami lakukan, ia berusaha menerima semua keadaan itu. Baginya tak ada yang perlu dicemburui dari batu nisan. Ia tetap menjalankan rumah tangganya dengan sakinah, mawaddah dan warramah, hingga saat ini…
    Mendengar cerita diatas, terus terang saya merasa sedih, terharu, sekaligus miris. Saya kagum dengan sosok Satria yang ternyata benar-benar mencintai Tante Ami. Saya juga mengerti kepedihan Tante Ami ketika ditinggalkan tunangannya. Tentu rasanya sulit ditinggalkan oleh orang yang sudah membekas dihati.
    Akankah ada pria-pria seperti Satria? Hal itu yang sulit untuk dijawab. Tante Ami mempunyai dua orang anak dari Satria. Awalnya mereka tidaktahu cerita yan sebenarnya, tetapi lambat laun mereka pun mengetahui bagaimana cerita sebenarnya.
    Satria bercerita kepada anak-anaknya. Pada saat Ia bercerita, tante Ami sedang tidak berada dirumah. Ia dan tante Ami mempunyai 2 orang anak perempuan. Anak yang pertama bernama Ncyta dan yang kedua bernama Qwint. Anaknya yang pertama berumur 17 tahun lebih tepatnya berda dibangku kelas 2 SMA, sedangkan Qwint baru duduk di kelas 2 SMP. Awalnya Satria ragu untuk bercerita kepada anak-anaknya karena anak-anaknya masih dibawah umur dan belum layak untuk mengetahui cerita yang sebenarnya. Dengan begitu, Ia lebih memilih untuk cerita kepada anaknya yang pertama, Ncyta.
    Terjadi percakapan antara Satria dan anak pertamanya, Ncyta…
    Satria : (sambil membelai rambut Ncyta) bagaimana sekolahmu, nak ? Nycta : Baik ayah. Sekolahku lancar. Ada apa ayah? Tumben ayah menanyakan seperti itu? Tidak seperti biasanya… Satria : Tidak apa-apa kan jika ayah lebih perrhatian dengan anak ayah sendiri? (sambil tersenyum) Nycta : Tidak apa kok,yah. Aku hanya heran mengapa tumben ayah menanyakan hal demikian. Jika ada hal yang ingin ayah bicarakan, katakana saja. Aku akan siap mendengarkan. Tapi yah, sebelum ayah cerita aku ingin bertanya. Mengapa Ibu seperti itu dengan ayah? Padahal kan, ayah sudah berkelakuan yang benar. Satria : Itulah, nak. Yang ingin ayah ceritakan..
    ..beberapa jam kemudian, setelah Satria bercerita..
    Ncyta : (sambil berdiri dan berteriak) Ayah! Ibu sudah keterlaluan. Tidak sepantasnya Ibu berlaku demikian kepada ayah. Satria : Tidak, anakku. Ayah sayang kepada ibumu. Ayah tidak apa jika diperlakukan begitu, asalkan ayah tetap bisa bersama ibumu selamanya. Ncyta : (memeluk ayahnya) Ayah.. Ncyta bangga orangtua seperti ayah. Satria : ( sambil memeluk Ncyta) Ayah melakukan semua ini karena ayah sayang kepada ibumu. Ibumu serta kalianlah harta berharga yang ayah miliki.
    Akhirnya Ncyta pun menyadari bahwa cinta ayahnya kepda ibunya benar-benar cinta yang tidak dapat dihalangi oleh apapun. Walaupun Ia tahu betapa sakitnya hati ayahnya karena ibunya belum bisa melupakan mantan calon suaminya. Tapi, Ia tetap bangga mempunyai orangtua seperti ayahnya. Tidak semua orangtua seperti ayahnya. Awalnya memang Ncyta tidak bisa menerima perilaku ibunya yang keterlaluan. Tapi, Ia tidak bisa berlaku apa-apa, karena ayahnya saja bisa menerima dengan lapang dada perilaku ibunya.
    Tante Ami tidak tahu bahwa Satria telah menceritakan semuanya kepada anaknya. Belakangan ini tante Ami begitu manja sekali dengan Satria. Apa saja yang dilakukannya selalu melibatkan Satria. Satria merasa senang karena Ia ada tempat di hati tante Ami. Akhirnya, tidak sia-sia kesetiannya selama ini, karena tante Ami pun mulai bisa menerima kepergian Iman dan memberi hati serta cintanya sepenuhnya kepada Satria. Merekapun menyadari bahwa cinta yang timbul diantara mereka berdua adalah cinta sejati.

    BalasHapus
  13. Nama : Renny Meylia Febrianti
    Kelas : X.3
    Absen :25

    Cerita Pendek

    http://y3nzzz.blogspot.com/

    BalasHapus
  14. Hadiah di Saat Terakhir


    Hari itu sungguh hari yang sangat berat bagiku dan Tia. Bagaimana tidak Sosok seorang ayah yang sangat di kuguminya telah meninggalkan kami untuk selamanya, sedangkan ibuku sudah berpisah denganku sejak kecil. Tia adalah saudara kembarku ..Sekarang aku berusia 16 tahun. Tia adalah orang yang keras. Ia selalu memaksakan pendapatnya. Di pemakaman Aku hanya menangis tersedu-sedu tetapi Tia berteriak memberontak. Tante dan Om berusaha menenangkan Tia. Om adalah kaka satu-satunya dari ayah. Setelah upacara pemakaman selesai mereka pulang kerumah dengan perasaa sangat sedih.
    Untuk selanjutnya Om dan Tante akan mengadopsi kami karena setelah lama menikah mereka belum juga di karuniai anak. Dulu kami berasal dari keluarga yang terbilang cukup mampu tetapi om dan Tante adalah orang yang miskin. Setiap hari kami harus mengerjakan pekerjaan rumah layaknya seorang pembantu.



    Aku termenung di kamar membayangkan masa-masa indah bermain bersama ayahnya dulu. ’Kenapa nasibku sangat buruk, masalah datang bertubi-tubi’aku mengeluh. Tiba-tiba Tia masuk ke kamar ku..

    ‘Aku mau pergi saja aku tidak mau hidup seperti ini’ kata Tia berteriak .

    ‘Tapi kau mau kemana kita tidak punya saudara lagi di kota lain.kita juga tidak mempunyai uang yang banyak’sahutku menimpali.

    ‘Aku tidak peduli aku mau pergi sekarang juga’sahutnya.

    Aku yang tidak bisa melawan hanya menatap kepergian Tia dengan sedih.

    ‘Aku pergi dulu jaga diri baik-baik suatu saat aku pasti kembali.’kata Tia.

    ‘Apa kau yakin?Hidup di luar sana sangat berat?kataku.

    Lalu aku memberikan semua uang yang kupunya kepada Tia. Aku menatap kepergiannya dengan hati yang sangat pilu. Ketika sore hari Om dan tante sudah pulang bekerja mereka tidak percaya bahwa Tia pergi begitu saja.
    ’Om dan Tante sadar,om dan tante tidak bisa memberi kehidupan yang mewah seperti yang dulu papa kalian beri,tapi kalian itu tanggung jawab kami tolong hargai kami’ sahut Om dengan nada yang mencerminkan kesedihan hatinya.
    Aku terdiam aku tidak bisa berkata apa-apa pada 0m dan Tante. Om dan Tante menninggalkan ruang tengah. Aku menyesal mengapa aku tidak melarang Tia pergi. Ini semua membuat Om dan Tante sedih.

    Keesokan harinya Om dan Tante mendaftarkan aku ke sekolah yang cukup favorit di tempat tinggalku. SMA BumBumBum. Pertama-tama aku menolak karena sekolah disini membutuhkan biaya yang sangat mahal.

    ’Hanya kau anak kami satu-satunya kami kan memberikan yang terbaik buatmu’kata Tante.

    ’Biklah Tante saya mengerti apa tidak lebih baik kalau saya sekolah di sekolah lain yang lebih murah saja’ kataku.

    ’Tidak,sudalah tugas mu hanya sekolah yang lain biar kami yang mengurusnya’kata Oom ikut menyahut.

    ’Om dan Tante saya sangat berterima kasih untung ada om dan tante yang merawat saya.Kataku.

    ’Tidak apa-apa Nia itu memang sudah kewajiban kami’ kata tante.



    Hari ini aku sudah mulai bersekolah aku mengenakan seragam baru yang masih kinclong.Dipadu dengan tas mahal yang dulu dibelikan papa. Aku pergi sekolah dengan berjalak kaki karena sekolah ku dekat dengan rumah ku.Sesampainya di sekolah aku merasa senang sekaligus bingung,aku tidak kenal siapapun disini.Tiba-tiba ada seorang anak perempuan bertubuh kecil mengampiriku.

    ’Anak baru yah..kelas berapa?perkenalkan namaku Via’katanya.

    ’Aku kelas sepuluh,namaku Nia’kataku menyahut.

    ’Apa kau tau kau kelas sepuluh apa?’katanya.

    ’Tau, sepuluh 2 ,apa kau tau dimana?’kataku sedikit grogi.

    ’ohhh..kau sekelas denganku,ayo aku antarkan’ katanya.

    Kami berjalan menyusuri sekitar 3 kelas.Anak laki-laki yang duduk-duduk di depan kelas menyuit dan mengodaku. Tanpa kusadarai mukaku berubah menjadi merah. Akhirnya aku tiba di kelasku.
    ’Cewek..anak baru yah....’ Kata seorang laki-laki bertubuh kecil.

    ’Cewek godain kita donk..’kata temannya yang lain.

    Aku duduk dio bangku yang kosong di barisan depan dengan muka yang snaghta merah.Ketika bel berbunyi seorang guru muda yang cantik masuk ke kelas kami.Setelah memperkenalkan aku dia menyuruh seorang laki-laki duduk di sebelah ku. Tak dapat kupungkiri muka teremat tampan. Oh.. ternyata namanya Dion. Nama yang bagus. Tapi dia seseorang yang sangat pendiam. Seharian ini di hanya berkata mungkin 3 kali kepadaku. Bertanya nama tempat tinggal dan meminjam pensil. Ternyata dia kere juga pensil yang dipinjam tidak di kembalikan.


    ’Bagaimana sekolah mu tadi?’kata Tante

    ‘Baik,teman-teman juga sangt welcome kepadaku’kataku seraya masuk ke kamar.

    Dari kamar kudengan Om dan Tante tertawa berama di luar sana. Aku tak henti-henti membayangkan Dion. Kurasa aku sudah jatuh hati padanya. Sore itu aku berjalan-jalan di taman. Aku terkejut karena disitu aku melihat Tia saudara kembarku. Mukanya terlihat sedikit hancur di bagian kiri Aku menghampirinya.

    ’Tia ada apa dengan wajahmu?’ kataku

    ’Tidak apa-apa hanya kecelakaan kecil’katanya.

    ’Tia kau tinggal dimana sekarang?pulanglah bersamaku..’kataku.

    ’Aku tidak bisa sekarang aku bekerja di sebuah warung kecil agak jauh dari sini’katanya.

    Kupeluik dia erat-erat tak rela aku melepaskanya.Dia memberika sebuah sim card Hp.

    ’Simpanlah suatu saat aku akan menghubungimu’.katanya seraya pergi meninggalkan aku.

    ’Tia...Tia jangan pergi..”

    Tia tak menyahut semakin lama semakin jauh dari pandanganku.
    Seger aku pulang kerumah dan mengambil Hp yang diberi Tante tadi siang. Kuaktifkan nomor itu. Tengah malam pun aku belum tidur, aku menanti telepon atau sms dari Tia yang tak kunjung ada. Karena kelelahan aku tertidur pulas.


    Keesokan paginya keika aku bangun aku melihat ada sms d HP ku.
    Ternyata dari Tia. Dia meanyakan kabarku keadaanku.Aku sanghat senasg sekali.Aku balas smsny sangat panjang. Di juga bercerita tentang cowok ganteng yang ditemuinya demi cowok itu Tia rela berpanas-panasan mengikutinya, mencari informasi. Aku jadi penasaran siapa cowok itu. Aku telepon Tia.

    ’Tia... Kau sedang apa?Kapan-kapan mainnla kesini?’kataku.

    ’Nia maaf aku sedang bekerja lain kali aku akan meneleponmu lagi’sahutnya.

    ’Oh.. yasudah..kapan-kapan telepon aku ya..’kataku dengan kecewa.

    ’Baiklah.. maaf ya’katanya.

    Aku sedikit kecewa Tia tak bisa mengobrol denganku.Tapi sudahlah aku tak mau mengganggu dia.

    ’’Nia cepatlah bersiap untuk sekolah nanti kau terlambat’kata Tante

    ’Baiklah Tante’kataku.

    Aku bergegas ke kamar mandi untuk mandi. Lalu menyiapkna buku dab segera pergi ke sekolah. Aku pergi dengan perasaan sangat girang karena aku akan bertemu Dion.



    Setelah sebulan bersekolah aku dan Dion menjadi teman yang sangat dekat karena kami sering kerja kelompok dan belajar bersama. Memang banyak teman yang mencelaku mereka selalu berkata’ ih..jelek begitu kok Dion mau ya deket sama dia’.Walaupun mukaku jelek aku tersinggung di katakan begitu,walau begitu aku tetap diam saja.

    ’Pulang sekolah ini kita makan bareng yukk’’ajakn Dion.

    ’Boleh..Sampai ketemu besok ya’kataku dengan hati yang sangat gembira.

    ’Dion mengapa kua mengikuti ku trus?’kataku.

    ’Aku ingin mengantarkanmu pulang boleh kan?’jawabnya.

    ’Silahkan tapi jangan menyesal ya karena rumahku jauh’kataku dengan tertawa.




    Waktu di restoran alangkah terkejutnya aku Dion menyatakan perasaanya padaku. Mukaku merah seperti tomat masak. Aku malu mau menjawab apa.

    ’Baiklah aku mau menerimamu jadi pacarku’ kataku malu.

    ’Aku senang sekali aku janji tidak akan membuatmu sedih’ kata nya
    .
    Dia mengantarkan aku pulang.Menggandeng tanganku. Baru kali ini aku digandeng oleh lelaki kecuali ayah dan Om ku. Selama beberapa hari terakhir Tia tak pernah membalas sms yang kukirim. Aku jadi bingung ada apa dengannya. Aku pikir dia sibuk kali.
    Hari ini hari libur, aku dan Dion berjanji bertemu di rumah makan dekat sekolah. Aku bangun dengan hati senang tak sabara ingin bertemu Dion. Aku mengenakan blus kesayanganku. Aku pergi di antar Om ku naik motor nya yang sudah tua. Hari ini 0m dan Tante pergi berlibur ke kampung asal Tante.

    ’Lama sekali aku sudah kering nih’ kata Dion bercanda.

    ’Duh,,maaf ya td jalanan macet’ kataku sambil tertawa.

    ’Mau makan apa?’katanya.

    ’Aku sama dengan kau sajalah’kataku.

    Dion menyebutkan beberapa jenis makanan kepada pelayan itu. Tidak tau mengapa perasaan ku sangat gundah. Aku melamun,ketika dion mengajakku bicara aku malas sekali menjawab rasanya ada sesuatu buruk yang terjadi.

    ’Nia kenapa kau? Ada apa? Kenapa dari tadi kau melamun terus?’katanya.

    ’Aku tidak tau aku merasa sesuatu yang buruk akan terjadi” kataku.

    Tiba-tiba ponselku berbunyi dan betapa terkejutna aku bahwa itu telepon rumah sakit yang memberitahu bahwa Tia pingsan di tengah jalan. Di tempat makan itu aku menangis sejadi-jadinya, Dion beranjak berdiri memelukku dan mengajakku keluar restoran itu. Kami segera menuju ke rumah sakit dimana Tia dirawat. Di atas motor aku memeluk erat tubuh Dion aku merasa sangat sedih dialah satu-satunya orang yang bisa menenangkan aku.


    ’Suster saya saudara dari Tia yang baru masuk hari ini ’ kataku sambil terisak-isak.

    ’Silahkan ke ruang dokter dulu,ada hal penting yang mesti dibicarakan’kata suster itu.

    Aku mengandeng tangan Dion ke ruang dokter yang lumayan jauh dar situ. Dion tetap berusaha menenangkanku tapi aku tetap panik.

    ’Apa anda saudara Tia?’kata suster itu.

    ’iya dokter ada apa? Tolong sembuhkan saudara saya’kataku tergesa-gesa.

    ’Saya mohon maaf saudara anda menderita gagal ginjal. dan sangat tipis harapan hidunya di sisa akhir hidupnya kecuali cangkok ginjal,tapi menemukan ginjal yang cocok juga sangat lah sulit ’

    Aku tak menjawab kata dokter itu aku segera menuju ke ruang dimana Tia dirawat. Tia masih sadar tapi kepalanya terlihat memar dan berdarah.

    ’Nia?’katanya sayup-sayup.

    ’Ada apa Tia?’kataku.

    ’Nia.kau tau laki-laki yang berdiri di luar?’kata Tia sembari melihat ke kaca yang tembus ke luar.

    ’Dia temanku ada apa Tia?’kataku.

    ’Dialah laki-laki yang sering kuceritakan kepadamu’ jawabnya.

    Aku kaget. Laki-laki yang disukai Tia adalah Dion. Tapi aku harus membuatnya senang di akhir hidupnya. Dokter masuk kamar dan aku disuruh keluar dulu. Aku menemui Dion menceritakan tentang Tia kepadanya. Dion menolak untuk berpura-pura suka pada Tia.



    ’Apa kau gila, aku tidak mau berpura-pura seperti itu, aku tak mau menyakitimu’ kata nya.

    ’Aku yang menyuruhmu..Aku mohon padamu, bahagiakan dia’kataku memohon.

    ’Maafkan aku tapi aku tidak bisa melakukan itu’katanya sambil menundukkan wajah.

    ’Aku mohon.hidupnya tak panjang lagi bahagiakan dia’kataku.

    ’Baiklah kalau itu maumu’katanya.

    Setelah dokter yang memeriksa Tia keluar aku mengajak Dion masuk ke dalam dan mengenalkan Dion kepada Tia.

    ’Tia ini temanku Dion,ganteng bukan?’kataku sembari tersenyum.

    ‘Nia apaan sih..’ kata Tia

    ’Aku Dion aku teman sekolahnya Nia’ kata Dion

    Terlihat sekali muka Tia sangat bahagia. Aku Dion dan Tia terlarut dalam canda tawa. Aku sedikit cemburu melihat Nia dan Dion bercanda bersama tapi aku harus membuang perasaan itu jauh-jauh. Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore aku dan Dion pamit pulang. Dion mengantarku naik sepeda motornya. Sesampainya dirumah aku berusaha mneghubungi tante atau Om.Tapi karena di kampung tidak ada sinyal atau pun telepon rumah aku tak berhasil menghubungi Om. Aku telepon Dion aku minta ia menjemputku dan mengantarku ke rumah sakit tempat Tia dirawat.

    ’Aku rasa lebih baik aku menemani Tia dirumah sakit’kataku pada Dion.

    ’Terserah kau tapi aku mau kau jangan terlalu capek’jawabnya.

    ’Tenang saja aku bisa menjaga diri’sahutku.

    Dion mengankat tasku dan mengantar aku masuk ke dalam. Dion ikut bersamaku menunggui Tia sampai pukul sembilan. Kami makan bersama bercanda tawa bersama.

    ’Sudah malam aku pulang dulu ya? Kata Dion

    ’Baiklah aku akan senang kalau kau main kesini lagi besok’ kata Tia

    ’Aku antar kedepan’kataku.

    Aku dan Dion berjalan keluar kamar. Ddidepan kamar dia m,encium keningku dan berpamitan berjalan pulaang. Aku masuk lagi kekamar Tia. Tia sepertinya sudah tertidur. Aku menangis melihat kondisinya yang seperti ini. Aku sangat sedih tak terasa air mataku turun membasahi pipiku. Aku berjalan keluar rumah sakit. Aku pusing aku sedih sekali hanya tinggal Tia lah saudara yang kupunya. Aku tak rela kehilangan Dia. Tak sadar aku sudah berjalan di jalan raya yang ramai. Mobil yang berjalan rata-rata berkecepatan tinggi karena sudah malan dan jalan weaktu itu memang sepi.

    ’’ Aaaaaaaaaaaaaaaaaaa....................’

    Sebuah mobil sedan menabrakku aku pusing pandanganku kabur, aku melihat seorang pria mabuk turun dari mobil itu. Dia mengampiriku dan mengendongku.

    ’Kalau sampai aku meninggal tolong donorkan ginjalku pada saudara kembarku’

    Pria itu membawaku ke rumah sakit terdekat. Aku merasa rohku sudah berpisah dari tubuhku.Aku melihat Dion menangis di dekat mayatku di UGD. Tak lama setelah itu aku emlihat Tia datang mengahpirinya. Aku sedih tak menyangka hidupku akan berakhir seperti ini.

    ’Bagaimana dok apa operasinya berhasil?’ tanya Dion kepada dokter itu.

    ’Semua berjalan lancar kau banyak berdoa saja nak’ kata dokter itu.

    Sekarang aku sudah tenang. Tia saudara kembarku sudah sehat. Sudah tidak ada beban lagi di pikiranku. Aku bisa pergi dengan tenang sekarang. Aku menunjukkan wujudku pada Dion dia kaget dia lari mengampiriku tapi tak bisa menyentuhku
    ’Jaga Tia untukku..’
    ’Nia........ jangan pergi...... Nia..............’
    Perlhan aku hilang dari pandangannya aku tenang untuk pergi sekarang.





    The End

    BalasHapus
  15. tugas b.indonesia Bapak Kasdi Haryanta

    http://voltrom.blogspot.com/

    Benny Tantawi Swardi
    X.3/4

    BalasHapus
  16. Saya sudah menjadi pengikut. apabila dalam blog saya, bapak tidak dapat menemukan cepen saya, bapak dapat membuka nya di http://kennedysujandi.blogspot.com/
    Terima kasih.

    BalasHapus
  17. Tugas Bahasa Indonesia : Membuat Cerpen
    Shirleen L Halim
    X.3/27
    Judul Cerpen : Pembunuhan Berantai

    http://pembunuhanberantai.blogspot.com/

    BalasHapus
  18. Nama : David. Kurniawan
    No : 7
    Kelas : X.3
    Tugas : Membuat Cerpen
    Tema : Kepedulian Sosial

    Dari Tiga Menjadi Empat

    “Aduh, Han, gimana ini? Aku gugup sekali…” Ricki menggerutu pada Handy sambil terus melirik ke dalam kelas.
    Suasana sangat menegangkan. Murid- murid berkumpul di depan kelasnya masing- masing. Sedangkan para orang tua murid dan wali murid berada di dalam kelas, menunggu giliran untuk dipanggil ke depan. Di bagian depan kelas, sudah ada wali kelas yang akan membagikan rapor. Kurang lebih, beginilah suasana saat pembagian rapor di setiap sekolah yang ada di seluruh Indonesia. Sama halnya dengan yang terjadi di SMP Harapan Bangsa, tempat Ricki dan Handy bersekolah.
    ”Sudahlah, kamu tenang saja. Kita pasti naik kelas. Bukankah kita sudah berusaha keras dan belajar bersama, pasti nilai kita bagus- bagus.” Handy berusaha menenangkan Ricky yang sedang kebingungan.
    ”Iya- iya. Tapi, kamu sih enak, kamu kan pintar. Tidak seperti aku. Kamu kan selalu ranking 10 besar”
    ”Alah, sudah, tenang saja. Yang penting, kita harus enjoy, ya kan?”
    ”Gimana mau enjoy. Yang ada malah aku tambah stress, karena sekarang giliran Ibuku yang dipanggil ke depan untuk menghadap Bu Yohana. Arrgh... Gimana ini?”
    ”Ah, kamu ini, bisa tenang sedikit tidak? Haa, capek aku ngurusin kamu. Ngomong- ngomong, Erick dimana ya? Kok dari tadi dia tidak kelihatan.”
    Tidak lama kemudian, datanglah Erick, yaitu teman dekat Ricki dan Handy. Bisa dikatakan, hubungan mereka bertiga sangat akrab, karena mereka sudah berteman sejak kelas 1 SD.
    ”Hei! Sorry telat teman- teman, hehehe. Soalnya, tadi aku harus menunggu Ibuku selesai siap- siap, makanya aku telat.” Erick datang sambil berlari karena takut telat, kemudian ia menyuruh Ibunya untuk masuk ke dalam kelas.
    ”Kamu telat banget sih. Lihat, aku jadi repot untuk menenangkan orang gila yang lagi panik ini, hehehe.” ucap Handy sambil menunjuk ke arah Ricki.
    ”Awas kau ,ya! Sekarang aku lagi tidak mood membalas ucapanmu.” sahut Ricki. Tak lama kemudian, Ibu Ricky keluar dari kelas, dan memegang rapor milik Ricki. Ibu Ricki berkata sambil tersenyum, ”Yaah, lumayan Ricki, nilai kamu bagus- bagus, ada beberapa yang kurang sih, tapi rankingmu naik jadi perigkat 15.”
    ”Eh, yang benar, Bu? Hore! Terimakasih Tuhan, tidak sia- sia aku belajar, hehehe.”
    ”Kalau begitu, Ibu pulang dulu ya, kamu tunggu saja di sekolah dengan Handy dan Erick, boleh kan Han, Rick?”
    ”Iya, Tante.” Jawab mereka serempak.
    ”Ibu duluan ya.”
    ”Iya Bu” jawab Ricki, sambil melambai- lambaikan tangan pada Ibunya.
    Ibu Ricky pun pulang, dan mereka bertiga masih menunggu di sekolah itu. Mereka memang sangat dekat, mereka selalu sama- sama di setiap waktu. Setelah beberapa waktu menunggu, akhirnya rapor Handy dan rapor Erick dibagikan oleh Bu Yohana.
    ”Yes! Aku rangking 4. Untung aku belajar keras waktu ulangan kemarin, hahaha.” ucap Handy, sambil terus melihat rapor miliknya.
    ”Yaah, aku peringkat 11, turun deh...” kata Erick lesu.
    ”Masih mending kamu, aku peringkat 15 saja sudah senang setengah mati.” Kata Ricki sambil menunjukkan angka 15 yang ada di rapornya itu.
    ”Iya- iya, aku lumayan senang kok dapat peringkat 11. Ngomong- ngomong, siapa yang peringkat 1 di kelas kita, ya?” tanya Eick.
    ”Iya ya, siapa ya? Ah, pasti Christian.” jawab Handy.
    Christian adalah salah satu murid yang sangat pintar dan cerdas di kelasnya. Selain itu ia juga enak diajak bicara, karena orangnya sangat ramah dan baik pada setiap orang.
    “Betul- betul, pasti Christian yang peringkat 1. Tapi, biar pasti, ayo kita tanya dengan Bu Yohana. Tuh dia sedang tidak sibuk, semua orang tua dan wali sudah dibagikan rapor semuanya.” ajak Ricki.
    Mereka sepakat untuk mendatangi Ibu Yohana, dan menanyakan siapa yang peringkat 1. Mereka pun menghampiri Bu Yohana, dan bertanya.
    Lalu Bu Yohana menjawab, ”Emm, yah... Seperti biasa, Christian masih memegang peringkat 1, nilainya jauh melebihi murid- murid lainnya. Ibu salut sama dia, sikapnya juga sopan. Tapi...”
    ”Tapi kenapa, Bu?” tanya Erick.
    ”Iya Bu, tapi apa Bu? Apa ada sesuatu yang terjadi pada Christian?” Ricki melanjutkan pertanyaan Erick pada Bu Yohana.
    ”Sebenarnya Ibu agak segan memberi tahu kalian hal ini. Tapi... Yaah... tak apa- apalah... Begini, si Christian itu, tidak diperbolehkan mengambil rapornya.”
    ”Lho, kok bisa begitu Bu?” Tanya mereka terkejut.
    ”Iya, sebab Christian menunggak bayaran uang sekolahnya sebanyak 4 bulan.” Jawab Bu Yohana lesu.
    Christian memang tergolong dalam keluarga yang tidak mampu, orangtuanya tidak punya uang cukup untuk membayar SPPnya. Selain itu, orang tuanya juga harus membiayai adik- adiknya yang masih kelas 5 SD dan 2 SD.
    ”Ah, serius Bu? Kok bisa begitu Bu? Masa, aku yang sebangku dengan dia saja tidak tahu hal itu...” Tanya Erick heran tak percaya pada omongan Bu Yohana.
    ”Iya Bu, bukannya kalau ia menunggak biaya SPP dia tidak boleh mengikuti EBS untuk semester ini Bu? Tapi, dia kok bisa ikut EBS kemarin Bu?” Handy bertanya.
    ”Itu sebenarnya kebijakan dari Kepala Sekolah kita, Bapak Tardi. Waktu itu, Pak Tardi memanggil orangtua Christian, karena Christian saat itu menunggak biaya SPP selama 6 bulan. Kemudian orang tua Christian mengaku bahwa mereka kesulitan membayar biaya SPP anaknya. Beliau juga sudah menurunkan biaya SPP Christian, namun mereka hanya mampu membayar 2 bulan saja. Pada akhirnya masih menunggak 4 bulan. Namun, Pak Tardi, masih memberikan kesempatan pada Christian membayar SPPnya paling lambat saat masuk tahun ajaran baru nanti.”
    Bu Yohana menerangkan apa yang terjadi dengan Christian kepada tiga sekawan itu. Terlihat sekali kalau Bu Yohana terlihat lesu saat menerangkannya pada mereka. Sebab, Christian adalah anak yang sopan, patuh, dan juga rajin. Tidak heran jika banyak guru yang menyayangi Christian, termasuk Bu Yohana.
    ”Lihatlah, hanya rapor Christian yang belum dibagikan. Rapor ini masih harus di pegang oleh Ibu sampai Christian menyelesaikan SPPnya. Kalau tidak, ia nanti akan tinggal kelas.” Bu Yohana menunjukkan rapor yang masih ada di mejanya, sambil membereskan barang- barangnya. ”Ya sudah, kalau begitu Ibu duluan ya. Masih ada rapat guru jam 10 nanti, jadi Ibu harus ke kantor sekarang.”
    ”Iya Bu, terimakasih.” jawab mereka.
    Handy dan Ricki duluan menyalami tangan Bu Yohana. Tapi, saat giliran Erick, dia menunduk, kemudian bertanya pada Bu Yohana.
    ”Ah, iya ya... Bu Yohana, Ibu tahu tidak berapa kira- kira biaya SPP Christian selama 1 bulan?” tanya Erick.
    ”Iya, Ibu tahu. Memangnya ada apa Rick?”
    ”Kalau boleh tahu, berapa besarnya Bu? Lanjut Erick bertanya.
    ”Kalau Ibu tidak salah sih dulunya Rp.250.000,00 per bulannya, tapi setelah diturunkan Kepala Sekolah, menjadi Rp.150.000,00. Mengapa Rick?”
    ”Tidak apa- apa Bu. Terimakasih Bu.” jawab Erick sambil menyalami tangan Bu Yohana.
    ”Ya sudah, selamat pagi anak- anak!”
    ”Selamat Pagi Bu!” sahut merka bertiga sersmpak, sambil memandang Bu Yohana berjalan menuju Ruang Guru.
    Setelah Bu Yohana pergi, sekarang hanya tinggal mereka bertiga. Mereka seolah- olah tak percaya omongan Bu Yohana. Mereka terdiam sejenak, yang mereka tahu Christian adalah orang yang baik dan pintar, tapi sekarang ia terancam tidak naik kelas.
    ”Oh iya, Rick, untuk apa tadi kamu tanya besar biaya SPP Christian?” Tanya Ricki sambil menatap wajah Erick yang masih terheran- heran dan seperti memikirkan sesuatu.
    ”Emm... Iya... Sebenarnya, aku ingin membantu Christian melunasi biaya SPPnya kalau orangtuanya tidak mampu, tapi... Sebenarnya aku belum punya uang cukup, hehehe.” jawab Erick sambil sedikit tersenyum.
    ”Wah, benar! Ide kamu boleh juga Rick, kalau begitu aku juga mau ikut bantu ah.” ucap Ricki sambil menepuk- nepuk pundak Erick.
    ”Hei, kalian curang. Ajak aku juga dong! Masa aku tidak diajak, hehehe... Aku juga ikut kalian ya.” kata Handy, sambil ikut- ikutan menepuk pundak Erick.
    ”Hei, jangan keterusan dong, jangan pukul pundakku lagi! Sakit tahu! Dasar... Tapi, ada baiknya kalau kita tanya Christian dulu benar atau tidaknya.” usul Erick yang sedang mengusap- usap pundaknya yang ditepuk oleh dua temannya itu.
    ”Iya, sekalian kita tanya apa orangtuanya mampu membayar SPPnya sampai batas waktu yang ditetapkan oleh Kepala Sekolah.” lanjut Handy.
    ”Tapi, kita sepakat ya untuk tidak memberitahu Christian kalau kita akan membayar SPPnya. Oke!” ajak Ricki.
    ”Iya, tenang saja, hehehe...” jawab Handy dan Erick.
    Akhirnya mereka bertiga sepakat untuk membantu Christian apabila orangtuanya tidak mampu membayar SPPnya sampai batas waktu yang ditentukan. Lalu tiga sekawan itu mencari- cari cara agar bisa mengobrol dan bertanya dengan Christian. Selain itu, mereka juga tidak tahu dimana letak rumah Christian, sehingga satu- satunya cara adalah mengajak Christian ke suatu tempat dan menanyakannya di tempat itu.
    ”Aha, aku ada ide! Bagaimana kalau kita ajak dia main basket saja? Dia kan suka main basket.” ajak Handy dengan semangatnya.
    ”Hahahaha...” Erick tertawa geli. ”Itu sih mau kamu main basket. Yah, tapi idemu bagus juga, Ayo kita ajak dia main basket di lapangan sekolah kita.”
    ”Ayo, tapi kita izin dulu dengan satpam sekolah kita. Lalu kita hubungi Christian untuk mengajaknya main basket.” ucap Ricki.
    Akhirnya mereka sepakat untuk mengajak Christian main basket bersama sekalian menanyakan benar tidaknya ia akan putus sekolah. Sebelum itu, mereka minta izin dulu dengan satpam sekolah untuk meminjam lapangan basket sekolah. Setelah itu, Erick menghubungi Christian. Christian akhirnya mau diajak main basket setelah dibujuk beberapa kali, mungkin ia masih bingung tentang SPPnya.
    Sekitar pukul 3 sore, mereka berkumpul di sekolah untuk main basket. Ricki, Handy, dan Erick datang lebih dulu. Kemudian disusul kedatangan Christian. Terlihat wajahnya yang muram dan tidak bersemangat. Melihat hal itu, mereka bertiga mencari- cari cara untuk menghilangkan stressnya terlebih dahulu sebelum bertanya tentang SPPnya. Lalu, Ricki, Handy, dan Erick memutuskan untuk mengajak Christian bermain basket agar dapat menghilangkan stressnya itu.
    ”Hei teman- teman, sorry aku telat.” kata Christian dengan lesunya, ia kelihatan tidak bersemangat dan wajahnya terlihat sangat muram.
    ”Hei Chris, mengapa kamu muram sekali hari ini? Ayo dong yang semangat!” hibur Erick.
    ”Iya, benar, ayo kita main basket untuk menghilangkan stress kita ini. Bagaimana Chris, kamu mau tidak?” ajak Handy, sambil mengoper bola basket kepada Christian.
    ”Nah, ayo kamu coba lempar bola basket itu ke ring, kamu kan sangat suka main basket. Malah kamu sering lupa waktu saat main basket, itu artinya kamu sangat menggemari basket, iya ’kan?” ucap Ricki untuk menyemangati Christian.
    ”Yah, kalian benar, mungkin aku perlu sedikit refreshing. Ayo main dua lawan dua saja ya, sebab kita hanya berempat sekarang. Aku akan satu tim dengan Handy.” ucap Christian sambil berusaha untuk menyemangati dirinya.
    ”Ah, curang! Kalian berdua ’kan hebat main basket, sedangkan kami tidak terlalu hebat main basket, malah bisa disebut kami ini masih awam tentang basket.” Erick protes, sambil sedikit tersenyum karena Christian terlihat semangat sekali saat mau main basket.
    ”Tak apa- apa Rick, kita pasti bisa melawan mereka berdua, begini- begini kita ’kan juga sering main basket, iya ’kan? Jadi, ayo semangat! Kita lawan mereka.” ajak Ricki.
    ”Oke, ayo kita main!” ajak Erick.
    ”Ayo- ayo, kita main yang sportif yah!”
    Akhirnya mereka main basket bersama. Christian memang sangat suka main basket, terlihat sekali ia sangat bersemangat saat memainkannya. Melihat hal ini, Ricki, Handy, dan Erick merasa sangat bahagia karena berhasil membuat Christian kemabli bersemangat. Mereka berempat bermain dengan penuh rasa bahagia sore itu.
    Sekitar kurang lebih 2 jam bermain, mereka kacapaian. Mereka pun duduk- duduk di bangku yang ada di pinggir lapangan. Mereka mengobrol dan bercanda. Perasaan mereka diliputi rasa bahagia saat itu. Lalu, Ricki, Handy, dan Erick memutuskan untuk bertanya kepada Christian masalah SPPnya. Ricki duluan yang bertanya pada Christian.
    ”Chris, dengar- dengar kau menunggak biaya SPPmu ya? Apa itu benar?” tanya Ricki.
    ”...” Christian terdiam sesaat.
    ”Iya, apa itu benar, Chris?” lanjut Handy bertanya.
    ”Jadi, kalian sudah tahu ya tentang masalah SPPku. Iya, itu betul... makanya aku sedang bingung saat ini.” dalam sekejap perasaan bahagianya lenyap, yang terlihat sekarang adalah wajahnya yang sangat muram.
    ”Kalau aku tidak bayar SPPku sampai batas waktu nanti, aku tidak akan naik kelas. Jika itu terjadi, aku akan berhenti sekolah supaya bisa membantu orangtuaku...”
    Mendengar hal itu, Ricki, Handy, dan Erick sangat terkejut. Lalu, mereka bertiga berusaha untuk menghibur Christian. Karena hari sudah gelap, mereka memutuskan untuk pulang. Christian pulang sendiri, karena arah rumahnya berlawanan dengan arah rumah Handy, Ricki, dan Erick.
    Dalam perjalanan pulang, tiga sekawan itu berunding lagi tentang apa yang harus dilakukan untuk membantu Christian. Mereka setuju untuk menyisihkan uang saku mereka bertiga dan mengumpulkannya supaya uangnya bisa terkumpul lebih cepat.
    ”Baiklah, kalau begitu kita sisihkan uang jajan kita tiap seminggu sekali. Jatah uang sakuku dalam seminggu sekitar Rp.120.000,00. Aku dapat menyisihkan Rp.80.000,00.” ucap Handy.
    ”Kalau aku, akan menyisihkan Rp60.000,00 saja, soalnya uang sakuku tak banyak, hehehe.” ucap Ricki sambil tertawa kecil.
    ”Kalau aku akan menyisihkan Rp.100.000,00. Jadi dalam seminggu, kita bisa mengumpulkan sekitar... Rp.240.000,00. Sedangkan SPP Christian 1 bulannya Rp.150.000,00 kalau 4 bulan berarti Rp.600.000,00.” ucap Erick, sambil menghitung cukup atau tidak uang yang mereka akan kumpulkan.
    ”Kalau begitu, cukup ya! Kita kan masuk tahun ajaran baru masih 3 minggu lagi. Jadi kalau dikali 3, jadi Rp. 720.000,00.” kata Ricki dengan semangat karena ternyata uang yang mereka akan kumpulkan cukup untuk melunaskan SPP Christian.
    ”Wah, kamu pandai berhitung juga ya, padahal nilai Matematikamu ada yang tidak tuntas, hehehe.” ucap Handy mengolok- olok Ricky sambil tertawa.
    Akhirnya mereka bertiga menumpulkan uang mereka tiap minggu. Dengan tulus dan tanpa pamrih, mereka menyisihkan uang mereka tiap minggu. Selama liburan, mereka bertiga sering mengajak Christian untuk main basket agar bisa lebih dekat dengannya, dan dapat mengumpulkan semangatnya agar tidak mudah menyerah.
    Setelah kurang lebih tiga minggu, uangnya berhasil dikumpulkan. Mereka sangat senang karena mereka berhasil mengumpulkan uang itu. Tidak hanya itu, mereka bertiga juga jadi semakin dekat dengan Christian. Sebab mereka sering bertemu saat bermain basket. Akhirnya, mereka bertiga memutuskan untuk memberikan uang yang mereka kumpulkan itu, mereka mengajak Christian untuk main basket lagi.
    Saat mereka bertemu di lapangan sekolah, Handy, Ricki, dan Erick memberikan uang yang mereka kumpulkan kepada Christian. Awalnya ia menolak, tapi akhirnya ia mau menerimanya. Rasa haru meliputi diri Christian, ia sangat bahagia karena ia telah ditolong oleh temannya. Ia tak dapat menahan tangisnya, sebab ia sangat bahagia karena diberi kesempatan untuk bersekolah lagi. Handy, Ricki, dan Erick juga sangat bahagia karena dapat membantunya. Tak lama kemudian, Ricki berkata pada Christian.
    ”Hei, kami beri ini tidak dengan cuma- cuma. Kamu harus membayar gantinya.” ucap Ricki
    “… Maksudmu aku harus mengembalikannya ‘kan? Iya, tenang saja aku akan mengumpulkan uang untuk mengembalikannya.” ucap Christian, sambil mengusap- usap matanya yang masih berair.
    ”Bukan... Maksudku... Sebagai gantinya, kamu harus menjadi sahabat kami semua. Bagaimana, kamu mau?” tanya Ricki sambil teresenyum.
    ”... Tentu saja aku mau. Terimakasih teman- teman, aku sungguh bahagia punya teman seperti kalian. Terimakasih...” jawab Christian dengan senangnya.
    ”Iya, Chris, kami juga berterimakasih karena kamu mau jadi sahabat kami.” jawab mereka bertiga dengan bahagia.
    ”Eh, Chris... Ini, ambillah!” Erick, memberikan sebuah bola basket baru pada Christian.”
    ”Lho, apa ini Rick?” tanya Christian.
    “Tidak, ambillah. Bola itu sebenarnya kami beli karena uang yang kami kumpulkan masih ada sisa cukup banyak, jadi kami belikan bola itu deh.” Jawab Erick tersenyum.
    “Iya. Karena kamu sekarang sudah jadi teman kami, jadi ambillah bola itu. Kita ’kan sering ketemu gara- gara main basket, hahaha…” lanjut Ricki.
    ”Hahaha, oke... Terimakasih teman- teman.” jawab Christian dengan penuh rasa bahagia.
    Akhirnya mereka berempat menjadi sahabat yang sangat dekat. Mereka diajarkan untuk saling peduli satu sama lain. Kita harus membantu satu sama lain tanpa pamrih. Hal sekecil apapun yang kita berikan, akan sangat berarti bagi yang membutuhkannya, seperti halnya cerita dari Handy, Ricki, Erick, dan Christian di atas.
    Kita dapat memulai kepedulian kita terhadap sesama dari yang sederhana saja. Kita tidak harus melakukan yang besar terlebih dahulu, seperti memberikan dana bantuan yang besar pada orang- orang yang tertimpa bencana alam. Tapi, kita dapat memulainya dengan orang- orang yang kesusahan disekitar kita.

    BalasHapus
  19. Menunggu Cinta
    Karya : Hansen Lauwa X.3/15
    Pagi itu sangat cerah, tapi tak secerah hati Heri. Maklumlah, hari ini adalah hari pertama masuk sekolah setelah libur hampir satu bulan. Matanya masih hitam seperti kurang tidur. Heri adalah laki-laki berparas ganteng, berpostur tinggi, memiliki kulit putih, dan banyak digilai wanita-wanita di sekolah. Walaupun Heri banyak digilai wanita tetapi Heri tidak pernah berpacaran sekalipun. Karena ia menunggu cinta seorang wanita yang ia sukai. Hari ini Heri pertama kali memakai seragam putih abu-abu jadi Heri merasa agak canggung.
    “Wah, anak mama sudah besar ya sekarang!” Orang tua Heri menyanjung
    “Ya… ya…” balas Heri dengan lemas
    “Eh, kok gitu sih jawabnya. Sini cepat sarapan”
    Setelah sarapan Heri bergegas pergi ke sekolah dengan ayahnya. Jam 6.30 pagi Heri telah sampai di sekolah, Heri terkenal sebagai siswa yang tidak pernah terlambat kesekolah.
    Sesampainya di sekolah ia langsung menuju papan pembagian kelas baru, ia mencari namanya di sepanjang daftar kelas ternyata Heri masuk ke kelas X.1, lalu Heri melihat siapa saja teman-teman yang sekelas dengannya. Terkejutnya Heri ketika ia melihat nama seorang wanita bernama Selvi berada di kelas yang sama. Selvi adalah wanita berparas cantik, memiliki kulit yang putih, dan memiliki otak yang encer seperi wanita idamannya Heri. Sebenarnya Selvi dan Heri pernah sekelas sebelumnya pada saat SD, dulunya Heri sangat dekat dengan Selvi dan Heri sangat menyukai gadis ini, tapi Heri merupakan tipe orang yang tidak berani mengungkapkan rasa cintanya.
    Pada saat SD Heri pernah memberanikan dirinya untuk mengungkapkan isi hatinya kepada Selvi tetapi dia tidak menanyakan kepada Selvi apakah dia mau menjadi pacarnya. Sehingga Selvi sudah tau apa yang dirasakan Heri kepadanya.
    Namun, setelah itu pada saat SMP mereka tidak pernah sekelas lagi sehingga hubungan mereka tidak sedekat dulu. Kalau mereka bertemu paling hanya senyum sapa yang terjadi.
    Setelah 3 tahun, akhirnya Heri dan Selvi sekelas lagi. Heri sebenarnya masih menyimpan rasa kepada Selvi. Lalu ketika ia mau berjalan ke kelas bertemulah Heri dengan Selvi, jantung Heri berdetak kencang lalu Heri memberanikan dirinya untuk menyapa Selvi.
    “ Halo, kita sekelas ni” muka Heri memerah
    “ Iya sudah lama ya kita tidak sekelas” ucap Selvi
    “ Iya ya” jawab Heri
    Lalu Heri langsung ke kelasnya. Ketika kelas sudah mulai, sang Wali Kelas masuk memperkenalkan dirinya dan mulai berceramah panjang lebar.
    “Bapak tidak suka anak-anak yang hanya bisa ribut di kelas, tidak fokus belajar, dan pacaran di sekolah”
    “Kami tidak setuju pak, pacaran kok gak boleh sih, pantas saja bapak belum menikah sampai sekarang” sorak seorang murid badung di kelas
    “Ha.. ha… ha…” satu kelas tertawa
    “Stop… stop… kalian semua memang tidak sopan jika kalian seperti ini lagi nanti bapak beri hukuman. Pacaran itu hanya mengganggu konsentrasi belajar saja. Kalian mengerti?” marah bapak itu
    “Ngerti pak….” Serentak menjawab
    “Baik sekarang bapak akan mengatur tempat duduk kalian”
    “Wah semoga aku sebangku dengan Selvi” pikir Heri sambil menatap Selvi
    “Heri duduk dengan Selvi di baris ke 2 paling belakang” ucap pak Andre
    Terkejutnya Heri karena apa yang diinginkannya benar-benar terjadi.
    “Kebetulan sekali ya kita duduk sebangku” ucap Heri
    “Iya kebetulan sekali” balas Selvi dengan lembut
    Akhirnya setelah seminggu, Heri sudah mulai akrab kembali dengan Selvi. Ia berencana untuk melakukan pendekatan lagi kepada Selvi karena ia ingin menjadikan Selvi sebagai pacarnya. Pendekatan ini berjalan dengan lancar, namun pada suatu ketika ketika Heri sedang bercanda tawa dengan Selvi, teman Heri, Anton berkata
    “Eh Selvi nanti Jojo cemburu lo”
    “Kamu jangan ember deh..”balas Selvi
    “Siapa Jojo?” tanya Heri
    “Hanya kawan kok” jawab Selvi
    “Jangan bohong dong..” ejek Anton
    Lalu Heri mulai curiga dengan laki-laki bernama Jojo, Heri berusaha mencari tahu siapa Jojo itu. Akhirnya Heri mencari teman dekat Jojo, Bandi
    “Kamu tahu nggak sama Jojo?” Tanya Heri
    “Iya Jojo itu kawan dekatku” jawab Bandi
    “Apakah dia mempunyai hubungan dengan Selvi”
    “Iya mereka itu sebenarnya sudah pacaran”
    “Apa? Sejak kapan?” Heri terkejut
    “Mereka itu baru pacaran mungkin baru beberapa minggu, mereka memang tidak menunjukkan kedekatan mereka jika sedang di sekolah, tapi mereka sangat mesra jika di sms. Maka dari itu banyak orang yang tidak tahu akan hubungan mereka” cerita Bandi
    “Apa buktinya?”
    “Nanti aku pinjam hp Selvi, terus saya akan menunjukkan sms-nya ok”
    “ok”
    Setelah Bandi meminjam Hp Selvi, Bandi bergegas menunjukkan sms mesra Jojo dan Selvi. Di dalam sms itu bertuliskan “aku mau tidur dulu ya, met malem say, Muach”. Betapa terkejutnya Heri membaca sms itu, Heri sangat sedih, tubuhnya bercucuran keringat dengan pikiran yang kacau balau. Heri tidak menyangka bahwa Selvi telah memiliki pacar. Heri sangat menyesal karena ia telah terlambat sehingga Selvi telah menjadi milik orang lain.
    “Bodohnya aku.. Andaikan saya lebih cepat menembak Selvi”
    ****
    Keesokan harinya, Heri tampak sangat murung. Selvi sangat heran melihat hal ini.
    “Kenapa kamu, Heri”
    “Gak kenapa-napa kok”
    “Kalo ada masalah kamu boleh kok cerita ke saya”
    Heri merasa sangat bingung, karena walaupun Selvi telah berpacaran dengan Jojo tetapi ketika mereka bertemu, mereka saling tidak bertegur sapa seakan-akan mereka tidak saling mengenal. Tetapi jika di sms mereka sangat menunjukkan kemesraan.
    “Aku mau kamu jujur, sebenarnya kamu itu pacaran kan dengan Jojo?”
    “Sebenarnya iya, maaf ya jika aku menyembunyikannya dari kamu”
    “Gak apa-apa kok, aku malah turut senang”
    Heri berpura-pura bahagia dan mendukung Selvi berpacaran dengan Jojo. Karena ia tidak mungkin untuk melarangnya.
    ****
    Ketika istirahat, Selvi sedang berada di depan kelas dan berdiri sambil melamun. Tetapi ketika dihampiri oleh Heri, Selvi mengacuhkan saya. Heri merasa sangat bingung atas perlakuan Selvi kepadanya. Padahal ketika Selvi di dalam kelas dia bersedia untuk berbicara dengan saya malah sangat akrab. Sehingga Heri mulai curiga dengan semua yang terjadi.
    Suatu ketika pada saat di kelas
    “Selvi, Jojo tu di depan pintu” canda Heri
    “Dimana-dimana?” Selvi terkejut
    “Enggak aku cuma bercanda kok.. Kamu kenapa terkejut?”
    “Gak apa-apa kok”
    “Pasti kamu takut dimarahin Jojo ya? Apa kamu pernah dimarahin Jojo atas kedekatan kita sekarang?”
    “Kok kamu bisa tahu?”
    “Iya, soalnya ketika di dalam kelas kamu mau berbicara dengan saya dengan santai, tetapi ketika berada di luar kelas dan sedang ada Jojo kamu sama sekali mengacuhkan saya”
    “Iya benar sekali apa yang kamu katakan”
    ***
    Pada saat pulang sekolah, Heri melihat Selvi sedang menunggu Jojo untuk pulang bersama. Tetapi Heri tak menyangka bahwa Jojo mengacuhkan Selvi yang sedang menunggu Jojo. Sehingga pada akhirnya Selvi pulang dengan menangis karena merasa diacuhkan oleh Jojo.
    Heri sangat geram melihat hal ini,. Heri berpikir “apa-apaan ini masak pacar menunggu tetapi malah diacuhkan dasar cowok yang gak berperasaan”.
    “Apa kamu bahagia berpacaran dengannya?”
    “Iya sangat bahagia, saya sangat mencintainya”
    “Menurut saya, perlakuan Jojo kepada kamu itu sangat tidak wajar. Jojo hanya dapat berbicara manis di sms tapi perbuatannya nol. Itu hanyalah kebahagiaan semu bagimu”
    Tetapi Selvi mengacuhkan perkataan Heri tadi.
    ***
    Hingga beberapa minggu kemudian, hubungan Selvi dan Jojo putus. Mendengar hal ini Heri sangat senang, karena akhirnya Selvi sadar bahwa Jojo itu adalah laki-laki yang tidak pantas untuknya yang hanya dapat berbicara tanpa perbuatan.
    “Kamu sudah putus?”
    “Iya, tapi saya sangat senang karena saya akhirnya telah sadar akan kesalahan saya telah berpacaran dengan Jojo”
    “Kalau begitu…”
    “Kalau apa?”
    “Kalau begitu apakah kamu mau menerima saya sebagai pacar kamu? Saya sudah sangat lama menyukai kamu tetapi saya baru sekarang memberanikan diri saya untuk menyatakan perasaan saya kepada kamu.”
    “Eh.. saya mau. Setelah saya putus dengan Jojo saya baru bisa merasakan betapa baiknya kamu, kamu sangat perhatian kepada saya, kamu berbeda dengan laki-laki lain”
    Akhirnya Heri dan Selvi berpacaran. Kebaikan Heri dan kesabaran Heri untuk menunggu cinta Selvi telah membuahkan hasil. Sehingga pada akhirnya mereka dapat berpacaran. Cinta yang diberikan Heri kepada Selvi terasa sangat nyata dari perhatiannya kepada Selvi tidak seperti Jojo yang hanya mengumbar perkataan tanpa perbuatan. Jadi cinta itu harus dihargai dan diungkapkan dengan baik. Sehingga cinta itu membuat 2 pihak yang menjalaninya bahagia.

    BalasHapus
  20. Terang di Antara Gelap

    Pada suatu waktu, ada sebuah desa kecil yang sangat terpencil. Desa tersebut menjadi tempat persembunyian para penjahat. Mulai dari pencuri sampai pelaku pembunuhan berantai bersembunyi di dalam desa itu.
    Walaupun sudah banyak orang mengetahui keadaan desa itu, mereka tidak berani datang untuk melakukan tindakan karena banyaknya tindak kriminal yang terjadi. Sehingga warga setempat menyebutnya desa napi atau desa narapidana.
    Cerita ini di mulai ketika ada seorang polisi yang bernama edward yang diberi tugas untuk menangani kasus desa napi tersebut. Polisi yang baru berumur 28 tahun itu pun menerimanya dengan senang hati.
    Edward pun langsung menemui temannya, seorang romo yang bernama Daniel. Edward pun langsung berkata “Daniel sahabatku aku mendapat tugas penting di suatu daerah terpencil”.
    “Kasus apakah itu?” tanya Daniel.
    Lalu Edward pun langsung menceritakan kejadian yang terjadi di desa napi. “Lalu aku pun mendapat tugas untuk menangani desa napi tersebut. Bukankah itu hebat aku mendapat kepercayaan sebesar itu langsung dari komandan”.
    Dengan tenang Daniel bertanya “Lalu apakah yang akan kamu lakukanuntuk menangani desa tersebut?”.
    “Apa yang akan aku lakukan? Tentu saja aku akan membawa pasukan untuk langsung menyerbu desa tersebut” jawab Edward tanpa ragu-ragu.
    “Dasar kau ini memang tidak pernah berubah. Komandan menyuruhmu untuk menangani desa itu bukan memusnahkannya”.
    “Lalu apa yang harus aku lakukan?”
    “Cobalah berpikir lagi, jika kamu menyerbu desa itu apa bedanya kamu dengan pembunuh-pembunuh yang ada di sana. Kamu hanya akan menyakiti warga yang tidak bersalah dan pasukanmu sendiri”.
    “Jadi apa yang harus aku lakukan ?”
    “Hmm... baiklah sekarang aku tanya kamu. Kamu percaya tidak denganku?”.
    “Apa maksudmu tentu saja aku percaya kepadamu. Kamu kan sahabatku”.
    “Baiklah aku ingin kau tinggal di antara mereka. Dekati mereka, tanya semua persoalan mereka, dengan begitu kau tahu apa yang harus kau perbuat selanjutnya.”
    “Eeh merepotkan sekali. Tapi, apa itu akan berhasil?”
    “Tenang saja percayalah kepadaku”.
    Keesokkan harinya, Edward pergi ke desa terpencil itu. Iya tidak membawa satu pun pasukan bersamanya. Namun, Daniel pergi bersamanya. “Aku akan ikut bersamamu karena kamu itu orangnya gegabah dan tidak sabaran” kata Daniel kepada Edward saat dalam perjalanan.
    Setibanya di desa napi, ia disambut secara tidak ramah oleh seorang anak kecil dari desa. “Pergi kau dasar penjahat aku tidak akan membiarkan desa ini disentuh oleh tangan-tangan kotor kalian lagi”. Lalu seorang kakek datang dan bertanya tentang Edward dan Daniel. Daniel pun langsung menceritakan tentang maksud kedatangan mereka.
    Kakek itu pun langsung percaya dan membawa mereka berdua ke dalam desa. Mungkin ia langsung percaya karena mereka tidak membawa senjata satupun. “Untung aku melarangmu membawa senjata. Jika tidak aku tidak tahu apa yang akan terjadi” kata Daniel kepada Edward.
    Ketika sampai di desa, sungguh mengejutkan. Keadaan desa itu sangat parah. Penduduk kelaparan, sakit-sakitan, bahkan ada yang meninggal. Kakek itu pun memperkenalkan diri “saya adalah kepala desa ini. Nama saya Tam. Anak yang tadi menyerang kalian adalah Shu. Kedua orang tuanya di bunuh oleh mafia yang menjajah tempat ini. Jadi harap maklum dan maafkan dia”.
    Ekspresi terkejut muncul di wajah kedua sahabat itu. Ternyata desa ini bukanlah desa yang dipenuhi penjahat tetapi, desa yang dijajah penjahat. Edwardpun bertanya “apa nama mafia yang menjajah kalian itu?”.
    “Namanya adalah Bloody Moon. Maaf jika aku salah mengejanya.”ujar kakek tua itu.
    “Bloody Moon itu kan bulan berdarah. Nama yang menyeramkan”.
    Ketika mereka mengobrol, tiba-tiba terdegar suara minta tolong. Merekapun terkejut, lalu mereka mengikuti kepala desa ke dalam suatu rumah penduduk. Mereka melihat seorang bapak yang terserang sebuah penyakit aneh sedang meringis kesakitan. Daniel dengan cepat membisikkan bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat obatnya. Karena Daniel pernah belajar di ilmu kedokteran, maka iya tahu apa yang harus iya lakukan dan Edward pun pernah belajar hidup di alam liar saat berada di sekolah kepolisian jadi ia mengetahui banyak jenis tanaman obat.
    Saat Edward kembali, Daniel langsung meracik tanaman itu menjadi obat dan meminumkannya ke bapak tua itu. Perlahan-lahan bapak itu berhenti berteriak. “Berikan obat ini tiga kali sehari maka ia akan lekas sembuh” kata Daniel kepada istri bapak itu yang sejak tadi duduk di sebelah suaminya.
    Sejak kejadian itu, banyak orang yang datang meminta bantuan mereka. Daniel mengajar anak-anak cara membaca dan berhitung dan Edward pun mengajari pemuda-pemuda yang ada di sana bela diri dan cara menggunakan senjata.
    Mereka pun di ijinkan membangun gereja didekat desa itu. Edward dan Daniel dibantu oleh penduduk setempat membangun sebuah gereja kecil yang sederhana. Di sanalah Edward dan Daniel tinggal dan mengajar.
    Kabar tentang Edward dan Daniel pun sampai di telinga ketua mafia Bloody Moon, Croc begitu ia ingin di panggil. “Kurang ajar mereka itu, berani menentangku. Akan ku tunjukkan siapa bos nya.”ujar Croc dengan nada tinggi.
    Malam harinya, adalah malam yang tenang dan damai. Namun, datang dua pesuruh Croc yang berniat membakar gereja itu. Merekapun menyulut gereja itu dengan api dan langsung pergi. Untungnya Edward terbangun dan langsung membangunkan Daniel. Mereka langsung menyelamatkan diri dan mematikan api agar tidak menjalar. Gereja pada malam itu hangus terbakar.
    Karena tempat mereka tinggal sudah hangus terbakar untuk sementara mereka tinggal di rumah penduduk. Mereka lalu membangun kembali gereja sekaligus tempat tinggal mereka.itu. Karena bentuknya yang sederhana dan dikerjakan beramai-ramai, gereja selesai dalam waktu seminggu.
    Setiap satu bulan sekali, pesuruh Croc datang untuk meminta hasil panen. Namun hal itu dicegah oleh Edward. Karena Edward telah mengajari beladiri kepada pemuda desa, maka Edward dan muridnya dengan mudah mengusir anak buah Croc. Semakin kesallah Croc kepada Edward dan Daniel.
    Berkali-kali Croc mencoba membunuh mereka berdua namun berkal-kali juga mereka dapat lolos. Gara-gara kedatangan Edward dan Daniel, penduduk desa mulai berani melawan mafia Bloody Moon. Hal itu tentu membuat Croc semakin jengkel.
    Karena melihat keuletan Edward dan Daniel, bahkan banyak yang mulai bertobat dan keluar dari geng. Beberapa di antara mereka bahkan mencuri persenjataan Bloody Moon untuk diberikan kepada penduduk desa sehingga sedikit demi sedikit penduduk dapat hidup makmur.
    Setelah mengajar, Daniel dan Edward berbincang-bincang “Edward, benar kan apa yang kukatakan dulu”.
    “Emang dulu kau mengatakan apa?”.
    “berpikirlah terlebih dahulu sebelum bertindak. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kau langsung menyerang. Mungkin daerah ini sudah menjadi lautan darah”.
    “Ya ya kau benar. Ngomong-ngomong sekarang penduduk desa sudah dapat mem-beladiri. Apakah urusan kita sudah selesai?
    “Belum, Croc dapat menyerang mereka kapan saja. Kita tidk dapat meninggalkan mereka begitu saja.”
    “Kalau begitu haruskah kita membunuh Croc?”
    “Itu juga tidak bisa. Jika kita melakukannya, sama saja kita membunuh.
    “jadi apa yang harus kita lakukan?”
    “Kita akan memproses Croc secara hukum. Kita tunggu dia bergerak dan kita kumpulkan bukti-bukti konkrit lalu kitalah yang bergerak selanjutnya”.
    “Eeh kadang-kadang aku berpikir kau itu terlalu sabar. Namun kadang-kadang aku berpikir kau lebih licik dari seekor kelinci”.
    “Yang benar kancil, lagipula itu bukan licik tapi cerdik”.
    Sambil meneguk minumannya Edward berkata “ya ya terserah kamu deh. Ini sudah malam, aku sudah ngantuk aku mau tidur dulu. Selamat malam”.
    “Selamat malam juga.” balas Daniel.
    Malam itu adalah malam yang dingin. Saat mereka berdua terlelap, tiba-tiba empat orang pesuruh Croc datang. Mereka masih ingin membunuh Edward dan Daniel. “Ayo kita tutup semua pintunya dengan kayu. Dengan begitu mereka tidak akan bisa keluar” kata salah satu dari mereka.
    Kali ini mereka benar-benar siap untuk membunuh Edward dan Daniel. Ketika mereka memaku pintu, Daniel terbangun dan sadar bahwa ada orang yang mencoba membunuh mereka lagi. Namun terlambat, api sudah menyala. Daniel langsung membangunkan Edward tapi, Edward tidak terbangun. Saat Daniel melihat minuman yang tadi diminum sahabatnya itu, Daniel sadar bahwa ada yang memasukkan obat tidur ke dalam minuman itu.
    Daniel dengan sigap langsung menggendong sahabatnya keluar gereja. Iya mendobrak pintu berkali-kali. Karena pintu telah ditutup dengan kayu ia tidak bisa keluar. Lalu Daniel mengambil kursi kayu, menyulutnya dengan api, dan membakar papan di sekitar pintu sehingga pintu lebih mudah dibuka.
    Saat pintu terbuka, Daniel langsung keluar. Tapi tiba-tiba atap gereja runtuh dan menimpa kaki kiri Daniel. Daniel langsung melempar kawannya di atas permukaan tanah lalu ia mencoba melepaskan diri. Ketika kepala Edward menyentuh tanah ia langsung terbangun. Ketika melihat temannya dalam bahaya, ia langsung mencari batang kayu, mengambil yang cukup besar, dan mengangkat atap yang menimpa kaki Daniel.
    Ketika mereka keluar, kaki Daniel sudah tidak bisa digerakkan lagi. Kakinya telah patah karena menolong Edward. Melihat keadaan kaki Daniel, Edward langsung menangis dan berkata “maafkanlah aku sahabatku” mendengar itu Daniel tersenyum lalu berkata dengan tenang “permintaan maaf diterima”.
    Keesokkan harinya Edward berkata “aku benar-benar akan menghancurkan BloodyMoon”
    Daniel terkejut dan berkata “jangan, kau ingat kan kita akan memproses mereka secara hukum”.
    “Tapi kakimu bagaimana? Mereka telah berkali-kali mencoba membunuh kita dan sekarang kakimu tidak bisa digunakan karena mereka. Kalau kita membunuh mereka atas ijin komandan, kita dapat membawa kedamaian di desa ini”.
    “Tidak ada kedamaian yang sesungguhnya di balik kekerasan. Kau hanya akan mambawa pertumpahan darah di desa ini”.
    Dengan nada sedikit marah Edward bertanya “bagaimana dengan kakimu? Apa kau mau kehilangan tanganmu atau kaki kananmu selanjutnya?”
    “Aku bahkan rela kehilangan nyawaku untuk mewujudkan perdamaian yang sebenarnya.”
    Dengan sedikit marah Edward membalas “kau tahu, aku sudah capek mendengarkan ocehanmu dan nasihatmu. Kali ini aku akan melakukannya dengan caraku sendiri.”
    Daniel juga membalas dengan nada tinggi “aku menasihatimu bukan karena aku suka. Tapi karena kau perlu berubah. Kau ini belum berubah, kau masih saja gegabah dan lebih menggunakan otot daripada otak.”
    “Semua kasusku terselesaikan dengan baik menggunakan caraku.”
    “Ini bukan kasus pembunuhan atau pencurian. Ini bukan kasus yang berhubungan dengan materil tapi, kasus yang berhubungan dengan moral. Ini adalah kasus yang harus dihadapi dengan kesabaran, dengan otak bukan dengan otot.”
    “Terserah kamu, keputusanku sudah bulat. Lagipula ini adalah kasus yang diberikan kepadaku jadi tidak ada hubungannya denganmu” ujar Edward sambil pergi meninggalkan Daniel.
    Semenjak kejadian itu, Edward dan Daniel tidak tinggal bersama lagi. Edward mendirikan kemah dari bambu dan daun. Sedangkan Daniel mendirikan pondok kecil yang terbuat dari kayu. Di sanalah Edward dan Daniel mengajar dan membantu penduduk.
    Edward lalu mulai mengajar muridnya cara dan strategi perang. Karena kawatir akan Edward dan murid-muridnya, Daniel mengajarkan murid-muridnya teknik pengobatan yang lebih dalam. Jadi, jika Edward dan murid-muridnya terluka, Daniel dan murid-muridnya dapat membantu.
    Setelah berminggu-minggu Edward menyusun strategi perang, akhirnya Edward dan murid-muridnya telah siap bertempur. Sebelum Edward pergi, Daniel berbicaa kepada Edward “Edward apakah kau yakin akan semua ini?”
    “Tentu saja, aku sudah menyusun ini semua berminggu-minggu. Kau tidak perlu mencegahku, tekadku sudah bulat.”
    “Aku tidak akan mencegahmu. Lagipula percuma aku mencegahmu. Karena kau ini keras kepala.”
    “Baiklah aku akan pergi sekarang.”
    “Tunggu dulu Edward aku ingin memberimu sesuatu” lalu Daniel merogoh kantungnya dan mengeluarkan sebuah kalung dengan kecil “Ini adalah jimatku. Ini diberikan oleh mendiang kakakku dan sekarang aku akan berikan ini kepadamu.”
    “hey ini milik mendiang kakakmu. Apakah aku boleh memilikinya?”
    “Kurasa kau lebih membutuhkannya sekarang. Tapi jangan lupa mengembalikannya saat kau telah selesai perang. Itu adalah barang milikku yang paling berharga.”
    “Oke selamat tinggal”
    “Oh iya aku ingin mengatakan sesuatu. Aku ada permohonan untukmu dan juga anak buahmu . Jangan mati, tetaplah hidup”
    “Heh kau pikir kami siapa. Tentu saja kami tidak akan mati. Kami ini sudah sangat terlatih” setelah mengatakan itu Edward dan anak buahnya pergi meninggalkan desa.
    “Hey kalian sudah siap?” setelah kepergian Edward, Daniel dan pasukan medisnya langsung pergi mengikuti Edward tanpa sepengetahuan Edward. Dengan sebuah tongkat kayu, Daniel memimpin regunya ke dalam hutan. Mereka membawa obat-obatan dan daun sebagai perban bersama mereka.
    Sesampainya di medan perang, mereka melihat tim lawan ,yaitu Bloody Moon, semuanya memegang senjata api. Sedangkan tidak semua orang di tim Edward memegang senjata api, hanya beberapa dan yang lain hanya berperang dengan modal panah.
    Saat kelompok Daniel sampai di medan perang, ia sudah melihat banyak orang yang terluka dan sekarat. Dengan sigap beberapa dari kelompok Daniel mendirikan tenda dan sisanya mengangkut prajurit yang terluka ke dalam tenda. Mereka mengobati prajurit-prajurit yang terluka tersebut.
    Saat Edward melihat Daniel, ia terkejut dan berkata “Daniel mengapa kau disini. Disini sangat berbahaya bagimu, apalagi dengan keadaan kakimu.”
    “Kalau aku tidak datang kemari, apa jadinya kelompokmu? Aku dan kelompokku disini hanya untuk memastikan bahwa kamu dan kelompokmu baik-baik saja.”
    “Heh terima kasih sahabatku tapi berhati-hatilah. Kakimu masih belum bisa digerakkan sepenuhnya.”
    “Kau tidak usah mempedulikan aku. Aku bisa menjaga diriku. Pedulilah kepada dirimu sendiri. Kaulah yang sebenarnya berperang.”
    Mereka lalu mulai bekerja sama lagi seperti waktu mereka pertama kali datang ke desa. Saat prajurit Edward kelelahan atau terluka, kelompok Daniel membantu. Saat kelompok Daniel terancam bahaya, kelompok Edward datang melindungi. Edward dan Daniel benar-benar sahabat yang tidak bisa dipisahkan.
    Perang telah berlangsung selam berjam-jam. Persediaan amunisi prajurit Edward pun telah habis. Jadi mereka hanya menggunakan panah untuk melawan BloodyMoon. Walaupun begitu, mereka masih bisa melawan dengan gagah berani.
    Tiba-tiba sebuah granat datang ke arah Edward. Untungnya granat meledak sebelum sampai ke tubuh edward sehingga Edward tidak terluka. Namun, karena suara ledakan, Daniel keluar tenda karena khawatir. Saat Daniel diluar tenda, tiba-tiba sebuah peluru menembus kedalam dada Daniel dan kejadian itu terjadi tepat didepan mata Edward.
    Saat melihat hal itu, Edward langsung berteriak dan berlari ke arah Daniel. Saat iya tepat di depan muka Daniel, ia berkata “Hey jangan mati. Kau sendiri mengatakan kepadaku dan prajuritku untuk tidak mati. Kau sendiri jangan mati. Ayo sadarlah”.
    Dengan napas terengah-engah daniel berkata “kuharap dengan begini kau sadar bahwa kekerasan tidak menyelesaikan masalah. Tenang saja aku tidak menyesal mati begini. Karena akhirnya aku bisa menyadarkan sahabatku.
    Sambil menangis Edward menjawab “hey kamu jangan bilang begitu. Kamu tidak boleh mati sebelum aku.”
    Tetapi, Daniel telah menghembuskan napasnya yang terakhir. Ia telah meninggal. Karena kurangnya amunisi, prajurit Edward kalah. Semua prajurit Edward ditahan oleh anak buah Croc. Namun, Edward berhasil kabur dengan membawa jasad Daniel.
    Setibanya di desa, kepala desa memarahinya karena kecewa akan sikap tidak tanggung jawabnya Edward. “Aku dan desaku percaya padamu dan rencanamu. Tapi, apa yang kau lakukan? Kau mengkhianati kepercayaan kami. Kau seharusnya malu.” Tapi, Edward masih diijinkan tinggal karena kepala desa merasa telah berhutang budi kepada mereka berdua.
    Wajah penyesalan masih terlihat di wajah Edward. Selain rekannya telah tiada, ia juga telah lalai karena meninggalkan kelompoknya. Setelah selesai memakamkan Daniel, ia pergi ke pondok dimana Daniel mengajar. Ia melihat isi ransel rekannya. Lalu ia melihat sebuah buku tentang peralatan elektronik.
    Ia melihat-lihat isi buku tersebut. Matanya tertuju pada bagaimana caranya membuat radio sederhana.”Daniel, aku sudah tahu maksudmu tentang lebih menggunakan otak daripada otot” katanya dalam hati.
    Lalu ia mempelajari cara membuat radio tersebut. Setelah itu, ia mencoba membuatnya. Berkali-kali ia mencoba membuat radio itu, namun ia selalu gagal. Akhirnya ia berhasil membuat radio itu.
    Dengan menggunakan radio itu, ia mencoba menghubungi kantor pusat. Lalu ketika ia terhubung ia langsung meminta dikirimkan 5 buah helikopter berisikan senjata dan prajurit. Karena sebelum tugas Edward diijinkan oleh komandannya untuk membawa apapun, maka dia mendapat ijin untuk memakai helikopter.
    Sambil menunggu pasukan barunya datang, ia mempersiapkan diri dengan latihan dan meditasi agar pikirannya jernih. Kali ini ia memang mempersiapkannya dengan matang. “Aku tidak akan membiarkan temanku mati lagi. Aku bersumpah kejadian waktu itu tidak akan terulang lagi” kata Edward dengan suara lantang.
    Setelah 7 jam, helikopter dengan 20 orang prajurit dan beberapa kotak berisi senjatapun tiba. Setelah prajuritnya tiba, Edward membiarkan mereka beristirahat selama setengah jam. Sebelum Edward pergi pun ia berdiri di depan makam Daniel. Ia berkata “aku tahu aku telah bersalah kepadamu dan anak buahku sendiri. Kau mencoba memperingatkan aku. Tetapi aku tidak mau dengar. Sekarang biarkan aku menebusnya. Biarkan aku memperbaiki kesalahan yang telah ku perbuat.”
    Ketika melam tiba, mereka mulai bergerak. “Mereka menyandera sejumlah penduduk desa. Aku akan menyelamatkan mereka terlebih dahulu. Kalian tunggu kode dariku.” Setelah mengucapkan itu, prajuritnya bersembunyi dalam hutan. Lalu, dengan bermodalkan pisau, Edward bergerak sendiri menuju bangunan seperti istana tempat persembunyian Bloody Moon.
    Edward langsung memanjat dinding istana, dan masuk ke dalam melalui jendela. Ia lalu melihat dua orang yang sedang berjalan ke arah mereka. Dua orang tersebut sedang membicarakan tempat tahanan berada. Edward diam-diam menguping. Ia lalu tahu bahwa anak buahnya ditahan di penjara bawah tanah.
    Kemudian Edward mencari jalan menuju bawah tanah. Ia menemukannya dan langsung menuju ke bawah. Karena tangga menuju bawah tanah hanya satu, Edward bertemu dengan penjaga penjara. Sebelum penjaga itu berteriak, Edward sudah berhasil melumpuhkannya dengan menggunakan ilmu bela dirinya.
    Ketika ia bertemu dengan anak buahnya, ia langsung mengambil kunci yang tergantung di pinggang penjaga yang masih pingsan itu. Anak buahnya berterima kasih pada Edward. “Ketua aku yakin kau pasti datang” ujar salah satu dari mereka.
    “Tidak ada waktu untuk bersenang-senang” ujar Edward dengan tegas “kita harus segera keluar dari kandang singa ini. Prajuritku kalian lindungi kelompok Daniel karena mereka tidak bisa bertarung. Ayo ikuti aku!”
    “Ya” ujar mereka dengan suara pelan namun pasti. Mereka langsung mengikuti Edward dari belakang sesuai dengan komandonya. Mereka segera menaiki tangga dan meninggalkan ruang bawah tanah.
    Di tengah pelarian mereka mereka bertemu dengan sejumlah penjaga. Namun, kali ini bukan Edward yang membereskan penjaga itu tapi murid-muridnya. Edward hanya tersenyum tipis kepada mereka menunjukkan bahwa ia bangga memiliki murid seperti mereka.
    Tapi, salah seorang dari penjaga berhasil menghubungi ruang kontrol. Seketika itu juga, sirene berbunyi dan terdengar suara tapak kaki anak buah Croc. Namun mereka berhasil kabur melalui jendela dan menuju hutan. Pasukan Crocpun kebingungan mencari mereka.
    Saat di hutan, Edward memberi tanda pada prajurit barunya melalui Walkie Talkie, dan penyeranganpun dimulai. “Kalian pergilah menuju desa. Aku akan bergabung dengan teman-temanku untuk mengurus mereka” ujar Edward kepada anak buahnya dan anak buah Daniel.
    Tapi, tidak ada seorangpun dari mereka yang pergi. Salah satu anak buah Edward berkata “kau adalah ketua kami. Kemanapun kau pergi kami akan tetap mengikutimu.”
    Sedangkan salah satu anak buah Daniel berkata “Ketua kami menyuruh kami untuk selalu mengawasi kalian. Ia bahkan rela mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkanmu. Sekarang giliran kami untuk menjaga kalian.”
    Edward sedikit tersenyum sambil berkata dalam hati “kawan lihatlah. Engkau telah menyatukan mereka sebagai satu kelompok.” dan berkata dengan keras “baiklah kalau itu kemauan kalian”.
    Pertarungan berlangsung sengit. Namun, kali ini giliran Bloody Moon yang kehabisan amunisi. Mungkin karena mereka telah menggunakan banyak amunisi ketika menghadapi tim Edward. Kali ini pertarungan dimenangkan oleh tim Edward.
    Mereka mulai menangkap satu per satu anggota kelompok Bloody Moon. Saat mereka ingin menangkap Croc, ia telah mati. Mungkin setelah Croc menerima kabar kekalahannya ia langsung menembak kepalanya sendiri. Sungguh kabar yang mengejutkan. Bos dari sebuah mafia yang terkenal dan paling ditakuti mati dengan cara bunuh diri.
    Mulai saat itu Edward dianggap sebagai pahlawan di desa tersebut. Ketika Edward dan prajuritnya telah sampai di desa, ia melihat ada satu lagi helikopter yang turun. Itu adalah helikopter yang ditumpangi oleh komandan.
    “Aku puas dengan hasil kerjamu prajurit Edward. Sekarang disini, disaksikan oleh semua orang yang telah engkau selamatkan aku ingin memberikan engkau medali emas ini” kata komandan dengan lantang.
    “Terima kasih pak” balas Edward dengan bangga. Semua orang tepuk tangan untuk Edward.
    “Ingin mengatakan sesuatu?” tanya komandan.
    “Ya, aku ingin mengatakan sedikit hal.” balas Edward.
    “Aku persilahkan” kata komandan.
    “Terima kasih pak. Aku hanya ingin berkata bahwa aku sangat berterima kasih pada anak buahku yang telah mau setia padaku, kelompok Daniel yang tetap setia menjalankan tugasnya, teman-temanku sebagai prajurit yang telah sudi datang kemari untuk membantu desa kami, dan sahabat karibku Daniel yang telah berpulang. Aku sadar bahwa tanpa nasihatnya aku tidak akan bisa sampai sejauh ini. Dia telah mengajariku sesuatu yang penting. Yaitu bahwa kekerasan bukanlah segala-galanya. Masalah tidak dapat terselesaikan hanya dengan kekerasan. Kita harus berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak. Jika kau tidak dapat melakukannya sendiri, maka lakukanlah dengan temanmu. Percayalah dengan temanmu. Ingatlah bahwa engkau tidak sendiri. Engkau selalu ada teman untuk berbagi. Jangan membuat kesalahan yang sama dengan aku perbuat. Aku tidak percaya pada temanku sendiri dan lebih memilih jalan kekerasan. Hasilnya aku telah kehilangan sahabatku yang paling berharga. Sejak saat itu aku bersumpah. Aku tidak akan membuat kesalahan yang sama. Itu saja dariku terima kasih.” Demikianlah pidato singkat dari Edward.
    Sebelum Edward pergi, kepala desa memanggilnya dan berkata “engkau telah menyelamatkan desa ini. Sekarang aku ingin engkau memberi nama desa ini karena desa ini sekarang tak bernama.”
    “Baiklah” ujar Edward “aku ingin menamakan desa ini dengan nama sahabatku. Aku menamai desa ini desa Daniel untuk menghormati pahlawan kita yang sebenarnya.”
    “Terima kasih karena engkau telah memberi penerangan bagi kami, Edward” balas kepala desa.
    “Tidak, terang yang sebenarnya adalah Daniel. Ia telah menerangi jalanku yang tertutup karena sifatku yang gegabah dan keras kepala. Ia juga telah menerangi jalan kalian yang tertutup oleh kebodohan. Daniel lah lilin yang sebenarnya. Namun, lilin itu telah meleleh, mengorbankan diri untuk menerangi kita dengan berharap akan ada lilin-lilin kecil yang muncul yang menggantikan dia. Aku menamai desa ini sebagai desa Daniel karena aku berharap tunas-tunas muda yang ada di sini akan menghasilkan buah-buah kebaikkan seperti yang telah dihasilkan oleh Daniel.” Jelas Edward panjang lebar.
    Sebelum Edward pergi Edward menyempatkan diri untuk melihat makam kawannya. Ia berdoa dan berkata dalam hati “kawan terima kasih karena engkau telah menerangi jalan kami semua” lalu, ia meletakkan medali emas pemberian komandannya di atas makam sahabatnya.
    Saat Edward membalikkan badan, ia mendengar suara Daniel “kaulah kebanggaanku Edward, teruskan perjuanganmu.” Mendengar itu Edward terkejut dan melihat ke belakang. Tapi, tidak ada siapa-siapa. Ia sedikit tersenyum, mengangkat tangannya seolah-olah berkata selamat tinggal, dan pergi meninggalkan desa.
    Setelah kejadian yang merengut nyawa temannya itu, Edward menjadi lebih tenang dan sabar menghadapi kasus-kasus yang diberikan kepadanya. Kabar terakhir mengatakan bahwa Edward telah berhasil menjadi jendral. Ia terkenal dengan kecerdikannya dan kemampuannya memanfaatkan keadaan.
    Penduduk desa Daniel pun hidup makmur karena ilmu pengobatan, membaca, berhitung, dan bela diri yang telah diajarkan oleh Edward dan Daniel. Di dekat makam Daniel didirikan sebuah gereja untuk menghormati Daniel. Medali emas yang telah diberikan oleh Edward kepada Daniel pun masih terletak pada tempatnya dan dijaga supaya tidak ada yang mengambilnya untuk menghormati Edward.

    Karya Andri Yasmin

    BalasHapus
  21. Pak,cerpennya bisa dilihat di blogger saya.Terima kasih.

    BalasHapus
  22. Insiden Shinjuku
    Karya : Edwin Juanda / X3 / 08

    Di China ada sebuah desa,di situ tinggal beberapa kepala keluarga dan seorang teknisi traktor bernama Jack.Ia mempunyai pacar bernama Yuko.Mereka selalu terlihat mesra dan saling melengkapi.Ketika Jack sedang membenarkan traktor pun,Yuko selalu menemani.Lalu pada suatu hari,Yuko harus berimigrasi ke Jepang.Ia tak tahu harus ngomong apa ke Jack.
    “Jack,aku akan pergi ke Jepang untuk bekerja sementara waktu.Aku berjanji akan pulang secepatnya.”bicara Yuko kepada pacarnya itu.
    “Apa kau akan pulang seperti yang kau katakan tadi?”Tanya Jack dengan sedikit gelisah.
    “Ya,aku akan pulang untuk keluargaku dan untukmu.”,jawab Yuko sambil memeluk Jack dari belakang ketika Jack sedang mengendarai traktor.
    Selang beberapa lama,Yuko tak kunjung pulang,Akhirnya Jack harus mengambil resiko dan menjadi imigran gelap ke Jepang.Setelah sampai di Jepang dengan status tidak resmi,ia pun menjadi pekerja mengumpulkan sampah-sampah di suatu terowongan pembuang dengan diajak Jie,temannya di Jepang.
    “Lari ! Lari ! Ada polisi ! “,kata salah satu pekerja tersebut.
    “Kejar mereka satu-satu.Jangan sampai lepas!”,teriak salah satu inspektur kepada anak buahnya.Belakangan inspektur ini bernama Sam diketahui sebagai ketua tim dari pembasmi mafia-mafia di Jepang.
    Jack dan rekan-rekan pun lari sekencang-kencangnya.Ada beberapa dari mereka tertangkap.tetapi Jack dan Jie berhasil kabur.Sam mengejar mereka tiada henti.Karena tempat pembuangan yang agak dalam dan berisi air,maka Sam terpeleset dan tercebur kedalamnya.
    “Tolong,tolong,saya tidak bisa berenang.”,teriak Sam meminta tolong.
    Dengan tak tega,akhirnya Jack membantunya agar tidak tenggelam.
    “Terima kasih,hei,jangan lari kau !”,kata Sam dengan napas terengah-engah sembari Jack lari lagi dari kejaran polisi.
    Di Jepang,Jack tinggal bersama Jie dan saudara-saudaranya.Setelah tidak bekerja sebagai pekerja gelap lagi,Jack memutuskan bekerja sebagai pegawai suatu restoran terkemuka di Jepang.Pada suatu malam,para mafia-mafia terkenal di Jepang mengadakan pesta disitu.Polisi memang tidak berhak menangkap mereka karena mereka memiliki kekuasaan yang sangat besar di Jepang.
    Ternyata Jack melihat Yuko sedang bersama salah satu ketua mafia yang bernama Eguchi.
    “Jie,bukannya itu Yuko?”,tanya Jack kepada rekannya dengan rasa ingin tahu dan juga cemburu.
    “Aku kan tidak tahu siapa itu tapi saya rasa iya.Ia melihat kamu terus daritadi”,celoteh Jie.
    Jack terus memantau Yuko.Ketika Yuko akan pulang,Eguchi sempat melihat Jack.
    “Yuko,apakah itu teman mu?saya lihat daritadi ia melihat kamu terus.”,tanya Eguchi dengan nada tegas.
    “Ee,ee,ia adalah teman lama ku.”,jawab Yuko dengan sedikit rasa cemas.
    “Ya sudah lah,”kata Eguchi.
    Setelah cukup lama menetap untuk sementara di Jepang,Jack mulai merasa kerasan disana.Suatu hari,pada saat ia mencuci piring di restoran,muncul seorang wanita yang merasa kasihan kepada Jack.Ia bernama Lily dan memberi nya uang untuk makan.Tetapi,setelah wanita itu jalan tidak begitu jauh,ia diganggu oleh beberapa perampok.Jack pun menolongnya hingga para perampok itu pergi.
    “Terima kasih sudah menolongku,Mari kutraktir minum.”,bicara Lily kepada Jack yang telah menolongya dari para perampok.
    “Ya.Sama-sama.”jawab Jack sederhana.
    : Di bar,mereka mengatakan banyak hal mulai dari pekerjaan hingga para mafia.Jack pulang ke rumah Jie dengan membawa Lily.Teman-temannya pun kaget dengan kedatangan Jack membawa wanita.Mereka saling mengolok-olok.
    Keesokan harinya,Jack keluar dan tidak bekerja lagi sebgai pegawai restoran.Ia beralih profesi menjadi “pencuri” dengan mengambil orang lain dan menjualnya lagi dengan mengambil keuntungan yang lebih besar.Hari itu,ia mengambil tas-tas yang bermerek dan berharga mahal.
    “Lily,ini tas untukmu.Silahkan ambil.Jangan sungkan-sungkan.Ini anggap saja sebagai tnada terima kasih ku atas traktiranmu kemarin.”tawar Jack kepada Lily.
    “Ya,tapi seharusnya saya yang berterima kasih kepadamu,Jack.”,terima Lily dan mengambil tas itu.
    Kemudian Lily menatap muka Jack agak lama seolah-olah ingin menanyakan mengapa Jack beralih ke perkerjaan illegal ini.
    “Eh,saya melakukan ini baru-baru ini.Jadi mohon dimengerti.”,jawab Jack dengan tersipu malu.
    Akhir-akhir ini,Jack dan teman-temannya bekerja illegal.Mereka membuat tempat judi otomatis yang dicurangi agar bias meraup keuntungan besar.
    Karena Jack sekarang berpenghasilan cukup,maka ia dan teman-temannya sepakat untuk membelikan Jie sebuah gerobak untuk menjual kacang.Jie memang pernah berkata bahwa cita-citanya adalah mempunyai gerobak kacang yang akan dijualnya sendiri.
    Pada saat Jie sedang tertidur lelah setelah bekerja,Jack dan teman-temannya membelikan peralatan untuk membuat gerobak kacang itu.Dari sore sampai malam hingga mencium udara pagi,akhirnya gerobak itu menjadi gerobak yang pantas dipakai untuk menjual kacang.Jie yang masih tertidur pun dibangunkan.
    “Hei,Jie,cepat bangun.Ada kiriman untukmu,”panggil Jack yang sambil tersenyum membangunkan Jie.
    Jie yang tahu ada kiriman intuknya langsung bangun dari tempat tidurnya,melihat di dpn rumah ada sebuah benda besar yang ditutupi dengan kain berwarna merah.
    “Apa ini,Jack?”,tanaya Jie dengan penuh heran dan bertanyatanaya kepada dirinya sendiri apakah itu kejutan atau yang lainnya.
    “Buka saja sendiri !”,teriak salah seorang teman mereka.
    Jie dengan cepat membuka kaiin itu.Betapa tidak,ia mleihat sebuah gerobak yang didalamnya sudah tersusun rapi kacang-kacang yang siap dijual.Jie pun merasa senang dan tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih kepada teman-temannya terutama Jack.
    “Terima kasih,teman-teman.Tanpa kalian,aku tidak akan menjual kacang.hahaha..”,tertawa Jie sambil memeluk Jack.
    “Ini adalah permulaan….dari sebagian kebahagiaan kita..lalala”,nyanyi salah seorang teman mereka yang mengundang tawa.Hari-hari itu memang menjadi sangat bahagia bagi mereka.
    Pada suatu malam,saat Jie sedang menjual kacang,datang seorang wanita cantik.Jie pun mengajak kenalan dan mengobrol.Tiba-tiba Ayah wanita tersebut dating dan menghampiri Jie,ia memarahi Jie.
    “Hei kamu,jangan ganggu anak saya.Kuhajar kamu !”,marah ayah dari wanita tersebut.
    “Pa,sudah lah.”,jawab anak kepada ayah nya.
    “Kita kan sama-sama orang China.”,jawab Jie juga.
    Tak disangka,ternyata Jie dibawa oleh bodyguardnya ke dalam ruangan mereka dan dikeroyok.
    Jie pulang kerumah dengan luka-luka berat.Jack dan teman-temannya sangat mrah ketika mengetahui Jie dieroyok oleh anggota mafia Jepang.Mereka dating segerombolan dengan membawa pedang dan kayu.Layaknya perang,mereka menyerbu markas mafia dan menghancurkan segala milik mafia tersebut dan membawa pulang gerobak yang telah dicuri.
    Polisi pun datang.Inspektur Sam yang memergoki Jack,melepas Jack dan tidak menangkapnya.
    “Pergi lah,anggap saja ini sebagai hadiah karena kau telah menolongku.”,kata Sam dengan tergesah-gesah.
    Lalu Jack dan teman-teman pun pergi dari kejaran polisi dengan membawa gerobak itu dengan cepat.Selamat lah mereka dari polisi.Apabila mereka tertangkap,polisi akan tahu bahwa mereka bekerja secara illegal.
    Setelah Jie sembuh total,ia kembali berjualan kacang seperti hari=hari biasanya.Ia berjualan di dekat tempat judi otomatis yang mereka pasang secara illegal.Karena penjaganya ingin pergi ke toilet,ia pun menyuruh Jie untuk menjaga nya sebentar.
    “Jie,tolong jaga tempat ini sebentar.Aku mau pergi ke toilet.”,kata temannya itu.
    “Ya.cepat ya.Aku juga mau berjualan kacang.”,jawab Jie sembari temannya itu pergi ke toilet.
    Ketika Jie sedang menjaga sambil bermain judi di tempat itu,datanglah beberapa orang berbadan besar dan berjas hitam layaknya anggota mafia dan seorang berjas putih yaitu ketua mafia distrik lain bernama Tan.
    “Hei,kamu ya yang buka tempat judi ini?!”,bentak Tan kepada Jie sambil menarik dan mengangkat baju Jie tepat di lehernya.
    “Ee,ee,bukan.Saya hanya menjaga.Ini bukan tempat saya.”Jawab Jie gugup karena Jie memang seorang penakut.
    “aaaah ! Jangan banyak alasan kamu.BUKK.BUK.BUK !.”,marah Tan sambil memukul perut Jie dan membawanya pergi dengan paksa.Temannya yang telah kembali dari toilet pun tidak segera menolongnya.Ia malah pulang untuk memberitahukan Jack dan yang lain bahwa Jie telah dibawa ke markas seorang mafia.
    Di markas mafia tersebut,Jie ditanya-tanya tentang siapa yang menyuruh mereka.Tetapi Jie tetap bungkam tak mau bicara apapun.Malahan,ia meludahi Tan.
    “Pukul dia sampai ia mau menjawab,”,kata Tan sambil menunjuk Jie.
    Karena sdah tidak tahan akan amarah nya lagi,Tan mengambil pisau di sampingnya dan melukai muka Jie dengan kasar sekali di sepanjang muka Jie.
    “AAAAAAAAAH.”,teriak Jie kesakitan dan terlihat muka nya berdarah-darah.
    Tetapi Jie tetap pada pendiriannya.Ia tidak mau menjawab.Dengan muka berdarah-darah dan terus dipukuli,ia berharap teman-temannya akan datang untuk membantunya.
    Saking kesalnya Tan yang menjabat sebagai ketua mafia distirknya sendiri itu,gerobak Jie yang juga dibawa ke markas nya dijadikan objek untuk menyiksa “majikan” nya sendiri yaitu Jie.Tangan kanan Jie dipegang oleh bodyguardnya dan dimasukkan ke panci panas.
    “AAAAAAAAAAAAAH.”,teriak Jie lagi yang mengerang kesakitan.Tidak ada rasa kasihna mereka terhadap manusia yang lainnya.Karena itu lah,mereka disebut mafia.Mafia identik dengan kekerasan,kekejaman,pembunuhan,dan hal lain yang berbau politik dan ekonomi.
    Dengan pisau besar,Tan dengan kejamnya memotong tangan Jie.Sesaat setelah memotong tangan Jie,Jack dan teman-teman datang untuk menolong Jie.Sayang,Jie sudah dalam keadaan sekarat.
    “Hey,kembalikan Jie dan tangannya.”,bentak Jack.Jack tidak berani mendekat karena Tan memiliki banyak anak buah dan bersenjata lengkap.
    Akhirnya Jie dikembalikan tetapi tangannya diinjak-injak oleh Tan.Dengan rasa takut,akhirnya Jack membawa Jie pulang.
    Setelah diobati dan diperban,Jie terus mengigau meminta tangannya kembali.Jika ia mengingat-ingat kejadian tadi lagi,rasanya sangat sakit dan tidak percaya.Jack terus menemani Jie setiap malam.Jack sering menangis melihat kondisi temannya itu yang sangat mengenaskan dan menyedihkan itu.Jack yang merasa sedih bertekad untuk membalaskan dendam Jie.
    Kali ini,pada malam hari,ia menyusup diam-diam ke markas Tan.Saat itu,sedang diadakan transaksi dengan mafia yang lain bernama Chris.Tan berniat membunuh mafia itu.Ketika Chris itu sudah terdesak,Jack yang sebelumnya bersembunyi di bawah meja dan memegan pedang,keluar dari persembunyian secara tiba-tiba dan secara tidak sengaja dan mungkin reflek,Jack memotong tangan Tan untuk membalaskan dendam Jie.
    “AAAAHH,kejar mereka,kejar sampai dapat !!!”,teriak Tan kepada anak buah nya sambil memegangi lengannya yang sudah tak ada tangannya lagi.
    Sementara,Chris dan Jack terus berlari ke luar rumah dan bersembunyi di belakang mobil.
    “Hei,ini uang untukmu karena kau telah berjasa menyelamatkanku.”,kata Chris dengan nafas terengah-engah dan mengambil uang yang cukup banyak dari dalam dompetnya.
    “Tidak usah,aku tidak perlu uangmu.Aku hanya ingin membalas dendam temanku.”,jawab Jack sembari ia lari lagi untuk pulang ke rumah sebelum aksinya itu ketahuan oleh teman-temannya.



    Setelah lama tinggal di Jepang dan sebagai imigran gelap,Jack sekarang berpenghasilan pas-pasan.ia mulai bosan apalagi setelah ia tahu bahwa Yuko telah memiliki lelaki idaman lain tanpa sepengetahuan dirinya,emosi menjadi tak terkendali.
    Suatu hari,datang lah Chris ke kediaman Jack di Jepang.Jack semula terkejut dengan kedatangan Chris ke rumah nya.
    “Ada apa kamu datang kesini lagi?.”,kata Jack kepada Chris yang belum sempat duduk.
    “Saya hanya ingin menawarkan sesuatu kepada kamu.Lihat ini.”,jawab Chris sambil memberikan sebuah benda yang ditutupi kain hitam.Lalu benda itu dibuka oleh Jack.Ternyata itu adalah beberapa batangan emas yang sangat mahal harganya jika dijual.
    “Apa-apaan ini?Saya hanya tidak sengaja waktu itu menyelamatkanmu.”,tanya Jack dengan sedikit nada kesal dan berusaha untuk memberi penjelasan.
    “Ya.Saya tahu.Tetapi kali ini,saya ingin meminta bantuan.Tolong bunuh 2 orang untuk saya.Apa kamu sanggup?.”,tanya Chris dengan nada sombong dan yakin akan pertanyaannya itu.Ia tahu bahwa Jack memilik talenta untuk menjadi pembunuh karena penyelamatan atas nya kemarin.
    Jack berpikir sejenak apakah ia akan melakukan hal ini atau tidak.Lily yang ada di sebelahnya pun memberi isyarat agar jangan mau menerima hal seperti itu,Tetapi sepertinya jack tak menghiraukan isyarat Lily.
    “Ya,aku terima,tetapi 2 syarat yang saya minta.Pertama,ak ingin kau membuatkanku agar aku menjadi penduduk resmi di Jepang ini.Kedua,saya ingin agar kekuasaan distrik Shinjuku menjadi milikku.Apakah kamuu sanggup memenuhinya?”,tegas Jack dengan wajah yang meyakinkan.
    “Ya.Saya terima.Tapi satu hal yang harus kamu ingat.Bunuh 2 orang menyebalkan itu.”,jawab Chris sebelum meninggalkan rumah kontrakan Jack.
    Dengan “ganas”nya,Jack memulai mencari target pertama keesokan hari.Target yang sedang bersama teman-temannya di suatu restoran mewah,sedang mabuk.Lalu oleh Jack yang bersembunyi di bawah meja,melepaskan beberapa tembakan kea rah jantungnya.Target pertama selesai dibunuh.
    Lanjut dengan target kedua,kali ini,Jack membunuhnya dengan mudah.Sesaat target sedang ingin menaiki mobilnya,Jack memanggilnya dna langsung menembak kepalanya dengan pistol.Jack langsung lari dan kabur dari kejaran pengawal target tersebut.Kedua target tersebut memang memegang jabatan tinggi di daerah kekuasannya.
    Setelah mengetahui bahwa target telah dibunuh,Jack diundang ke rumah Chris.Setelah Jack sampai di rumah Chris,ternyata ia menemui Yuko yang ternyata telah menjadi istri Chris.
    “Hei Jack,saya telah memenuhi syaratmu.Sekarang daerah Shinjuku telah menjadi milikmu.”,kata Chris di rumah nya sendiri.Jack memang diundang ke rumahnya.Jack merasa sakit hati setelah ia mengetahui bahwa Yuko telah bersama lelaki lain.Jack pun tanpa berkata-kata lagi langsung pergi pulang ke rumah.
    Sesampai di rumah,Jack langsung merayakan pesta bersama teman-temannya dan mereka sepakat bahwa Jack diangkat menjadi kepala mafia distrik Shinjuku.Sebagian daerah di distrik itu sepakat diserahkan satu per satu oleh Jack ke teman-temannya.Misalnya saja,untuk daerah perjuadian,dipegang salah satu temannya dan yang lainnya juga diatur seperti itu.Namun,Jie berubah menjadi seorang preman yang mempunyai banyak uang dan kekuasaan.Walaupun ia memakai tangan palsu dan mukanya yang sedikit rusak,ia menjadi berubah total dari baik menjadi sangat jahat.Ia menghisap narkoba dan sering berkelahi.
    Lalu pada suatu hari tepatnya malam hari,Inspektur Sam datang ke markas Jack.
    “Hei kamu,sekarang sudah kaya ya.Aku punya keinginan khusus dan tolong kau penuhi itu.”,kata Sam di depan markas Jack yang kebetulan juga Jack sedang keluar dari rumah nya.
    “Apa itu?Kalau yang masalah kemarin,anggap saja terbayar lunas.”,jawab Jack santai.
    “Bukan itu.Aku ingin kau menemukan bukti-bukti kejahatan Chris sehingga aku bisa segera menangkapnya dan memasukkannya ke penjara..”,kata Sam.
    “Ya.Aku akan lakukan itu.Tunggu sajalah suatu saat,cepat atau lambat,aku pasti mendapatkannya.Untuk sementara ini,aku terpaksa menjadi orang jahat karena hidupku telah hancur oleh seseorang wanita yang dlu pernah ada di hatiku”,jawab Jack dengan nada pasti,
    “Ya.Sabarlah.Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya.”,nasihat Sam kepada Jack sebagai teman “tolong”nya.



    Lalu pada suatu hari,berkumpul lah Jie dengan Chris untuk urusan narkoba.Ternyata Jie dan teman-temannya telah menjual narkoba dan menjadi agen gelap.Jack tidak mengetahui tentang hal itu.
    Jack yang saat itu sedang bersama Inspektur Sam untuk membuntuti Chris,mengikuti mobil Chris hingga samapi pada suatu rumah.Rumah itu ternyata rumah Jie yang telah berkumpul di dalamnya Jie bersama teman-teman yang lain.Di sana,mereka memakai narkoba dan berjualan.
    Alangkah terkejutnya ketika Jack mengetahui bahwa teman-temannya sedang menjual narkoba satu sama lain.Ia tidak bisa menahan emosinya.Ia marahi Jie dan mereka yang telah berdusta kepada Jack.Jack tidak menyangka bahwa ia telah dikhianati temannya selama ini.
    Ketika ia mengetahui hal itu,Jack dan Inspektur Sam langsung melabrak mereka.
    “Buang barang haram itu sekarang juga ! Aku tidak menyangka.Aku telah memberi kepercayaan kepada kalian.Tetapi Kalian tidak menggunakan itu dengan baik.Selama ini,aku berjuang untuk kalian semua ! Tapi lihatlah apa yang kalian lakukan sekarang.Tidak ada sedikitpun kalian menghargai perjuanganku selama ini..”,marah jack kepada teman-temannya dan terlihat matanya yang berkaca-kaca.
    Jack emosi tak terkendali.Ia membanting semua yang ia lihat.Jie terlihat masih sibuk dengan barang haram tersebut.Sementara teman-teman yang lain hanya bisa terdiam menatap Jack dan mungkin merasa menyesal atas perbuatan mereka.Namun salah satu teman Jack malah bersikap aneh dan dengan cepat mengambil pisau di dalam bajunya.
    “Jack,kau ini sudah kami tampung semenjak kehadiranmu di Jepang.Wajar saja kami begini karena kau ! Kau telah berbuat jahat duluan,mencari masalah dengan mafia disini.Jadi diam sajalah kau.Biarlah kami tetap begini tanpa kau sekalipun !.”,ancam dia kepada Jack.
    “Tapi….”,suara melengking dari temannya yang lain.
    “Kau diamlah saja lah !”,kata teman yang memegang pisau tadi sambil menghujamkan pisau itu ke leher dari teman yang henda berbicara tadi.Karena itu,ia jatuh bersimah darah dan terlihat sekarat.
    Masalah pun bertambah lagi.Tanpa sepengetahuan mereka,ternyata ketua salah satu mafia yang mengetahui kedok Jack,Jie,dan Chris ini membawa banyak orang untuk membunuh mereka bersama-sama.Mereka ini bersembunyi di luar rumah dan memulai penyerangan ke rumah dengan melempar batu-batu berukuran besar ke lantai 2 rumah itu.
    “Seraaaaang !.”,teriak ketua mafia tersebut bernama Lim kepada anak buahnya.Terhitung sekitar 500an orang menyerang rumah itu dengan berseragam Tuxedo ala mafia.Mereka juga berganbung dengan anak buah Tan.
    Serangan pertama yang berupa batu-batu berukuran cukup besar memecahkan seluruh kaca dari rumah tersebut.Beberapa teman terkena lemparan batu tepat di kepala dan langsung meninggal di tempat kejadian.Sementara itu,Jie,Chris,Jack dan Inspektur Sam berhasil menghindar dari lemparan batu dari 500 orang tersebut.
    Anak buah Lim langsung memanjati pagar dan berusaha untuk mencapa tingkat 2 dari rumah tersebut yang berisi orang-orang yang hendak dibunuh.Jack pun menghadang dengan cara melempar sofa dari jendela tersebut hingga menghambat mereka untuk masuk.
    Sementara,Jie sempat kabur keluar dari rumah dan Chris serta Sam turun kebawah untuk menghambat mereka yang masuk dari bawah.Chris dan Sam mendorong lemari dari tangga ke bawah sehingga jalan untuk naik tertutup.Tapi dengan jumlah yang besar,mereka berusaha menembus.Selagi mereka berusaha,Chris,Jack,dan Sam mencari jalan keluar lain.Satu-satunya jalan keluar adalah lompat dari teras belakang.Tetapi itu tidak bisa dilakukan karena jarak teras ke bawah jauh dan jika melompat,kemungkinan akan patah kaki.
    Anak buah Lim yang membawa pistol menembakkan beberapa tembakan ke arah tangga atas.Sialnya,Chris tidak terhindar dari tembakan itu dan mengenai paru-paru dan jantungnya.
    “Jack,i..ini a..adalah data-data dan harta ke..kepemimpinan ku selama ini.Tolong kau pegang dan teruskan karena a..aku percaya sa.sama ka..kau Jack.”,kata Chris sebelum akhirnya ia menghembuskan nafas terakhir.
    Kini tinggallah Jack dan Sam yang harus berjuang keluar dari serangan tiba-tiba dan maut ini.Merka terus berpikir sambil melawan anak buah Lim yang begitu berlimpah dan seakan-akan haus darah.
    Akhirnya polisi datang.Sam selamat.Tapi Jack terus dikejar oleh anak buah Lim dan anak buah Tan.
    “Lho?Dimana Jack?Cepat kerahkan pasukan ke arah tempat larinya ! CEPAT !.”,teriak Sam yang ingin menyelamati Jack sebelum terjadi apa-apa.
    Jack sempat menelepon Yuko bahwa Chris telah meninggal.Tetapi Yuko juga telah diculik dan sepertinya akan dibunuh oleh anak buah Lim serta anak buah Tan.Setelah itu,jack lari melewati satu rumah kosong.Ia mendengar suara erangan seprti orang meringis kesakitan.Iamasuk ke dalam dan ternyata Jie.Jie ditemukan pucat dan menghsiap seluruh narkoba dan overdosis.
    “Aku memang pengecut selamanya.Maafkan aku Jack atas perbuatan ku selama ini.”,kata Jie dan akhirnya Jie meninggal untuk selamanya.Jack menangis dan mengingat masa-masa lalu nya bersama Jie dan teman-teman nya yang lain.Jack menangis tak karuan.Tapi ia tahu bahwa ia harus tetap lari karena anak buah Lim
    Jack lari lagi sampai pada toko-toko yang berderet tapi telah tutup karena telah malam.Jack yang terus berlari dicegat oleh beberapa anak buah Lim.Mereka terlibat perkelahian dan Jack berhasil mengatasinya.Kali ini,di ujung took ia kembali dicegat oleh Lim yang telah memegang pistol handgun.Saat bersamaan dengan datangnya polisi ke daerah took-toko tersebut,Lim melepaskan tembakan ke arah Jack.Sam yang melihatnya langsung mengarahkan tembakan ke arah Lim.Lim tewas.Tetapi dimana Jack?pikir Sam.Ia melihat beberapa tetesan darah ke arah terowongan pembuangan.Sam terus berlari mencari Jack.
    “Jaaaaaaaack ! Dimana kamu berada?!!”,teriak Sam sambil lari terus ke dalam terowongan.
    Ternyata Sam menemukan Jack hampir tenggelam di tempat yang sama waktu itu ketika Sam tenggelam sebelum menangkap Jack yang waktu itu masih menjadi pekerja dan imigran gelap.Tempat pembuangan air itu terlihat bercampur darah karena jack terluka parah dan terendam hampir tenggelam di dalam situ.Sam mengangkat Jack keluar dari tempat pembuangan air itu.
    “Hei Sam,biarkan aku.Ambillah data-data yang ada di dalam flash disk ini.Di dalamnya berisi seluruh bukti-bukti kepemimpinan..aaah.Sakit sekali.Dengan be..begini,a..aku sudah menepati jan..ji mu.Se..selamat tinggal,Sam.”kata-kata terakhir Jack sembari ia melepaskan tangan nya dari Sam dan terbawa arus tenggelam dalam tempat pembuangan itu.
    Jack dan teman-temannya telah berbuat salah.Cinta Jack kepada Yuko bertepuk sebelah tangan setelah ia tahu bahwa Yuko berpaling darinya.Kenyataan yang sungguh pahit dan menyakitkan karena ketika mereka harus hidup bersama dan akhirnya juga menutup mata bersama untuk selamanya.


    TAMAT

    BalasHapus
  23. Terima Kasihku Padanya Selalu

    “Vin, jadi hari ini kita ke makam Reza?”Tanya Vitta kepadaku.
    Sejenak aku terdiam, aku teringat akan bayangan Reza. Dia adalah teman terbaikku, teman akrabku dari kecil dan sampai sekarang walaupun dia tak dapat menemaniku lagi sekarang. Hari ini tepat tanggal 10 Desember, hari yang amat berkesan bagiku. Hari ini genap dua tahun aku dapat melihat kembali, hari ini genap satu tahun aku berpacaran dengan Vitta, dan hari ini hari kematian Reza. Ntah senang ataukah sedih yang ku rasa hari ini, mengingatnya hatiku amat miris, aku merasa amat beterima kasih atas semua yang telah dia berikan kepadaku. Tapi aku tak boleh kelihatan murung hari ini, aku takmau mengecewakan Vitta, yeah dia adalah pacar terbaikku! Berkat Reza aku dapat berpacaran dengannya sampai detik ini.
    “Vino, kok malah melamun seh aku tanyain?Yuk kita ke makam Reza sekarang,Vin..”Ajak Vitta lagi.
    “Eh, maaf tadi aku ga sengaja melamun,Vitt. Maaf ya,sayang… Ya udah ayo kita ke makam Reza.”Jawabku sambil tersenyum kepada Vitta. Vitta adalah perempuan yang paling berharga bagiku, ya maksudku selain ibuku tentunya.Hehe.. Vitta selalu mendukungku di saat aku terpuruk, dia selalu setia menemaniku selama satu tahun ini. Aku sangat beruntung memiliki kekasih secantik dan sebaik dia.
    “Vin, makam Reza kan agak jauh, aku tidur dulu ya di mobil, ntar kalau udah sampai bangunin aku yah!”Kata Vitta sambil tersenyum manis di hadapanku.
    “Iyah.. Iyah.. Kamu tidur ajah geh…”

    kau teman sehati
    kita teman sejati
    hadapilan dunia
    genggam tanganku
    tak mudah untuk kita sadari
    saling mendengarkan hati
    tak mudah untuk kita pahami
    berbagi rasa di hati
    (Nidji – Arti Sahabat)

    “Reza,tak terasa kau telah dua tahun meninggalkan kami semua di sini, apakah kau baik - baik saja di sana?” Ucapku dalam hati. Waktu berjalan begitu cepat, dua tahun telah berlalu tanpa Reza. Reza, andai dia tau betapa sedihnya aku, keluargaku, dan keluarganya saat kehilangan dia waktu itu. Apakah dia bisa melihat betapa sedinya Violetta kehilangan dirinya, sampai sekarang pun Violetta belum bisa mengisi hatinya dengan laki – laki lain selain Reza. Aku amat merasa bersalah kepada Violetta. Aku merasa kesepian di tinggal oleh Reza, dialah teman terbaikku dikala senang ataupun susah, temanku yang selalu mendukungku, temanku yang membantuku untuk mendekati Vitta, betapa menyedihkannya aku sekarang sendiri tanpa dia. Setiap bulan aku selalu menjenguknya bersama Vitta, dan tentunya hari ini. Hari di mana dia telah genap meninggalkan kami semua selama dua tahun, perasaan bersalah dan menyesal itu masih tertanam dalam di hatiku atas kepergiannya.
    **

    Aku kembali teringat kenangan di masa lalu bersamanya saat kami pertama kali bertemu.

    “Eh, Jeng Nessa apa kabar?Wah, Vino udah besar yaa sekarang!Hari pertama masuk sekolah ya,Vino?”Tanya Mama Reza, Tante Tia.
    “Wuahh, Reza masuk SD ini juga yah, Jeng Tia?Lihat Reza juga udah besar sekarang,tambah ganteng pula!haha..”Jawab Mamaku.
    “Iyah anak kita emang ganteng-ganteng,Jeng!haha.Ayo Reza kenalan ama Vino geh, kalian dulu waktu balita sering main bareng lhoh, tapi Tante Nessa pindah rumah jadi jarang ketemu lagi dheh,untung ajah neh kita ketemu lagi.haha”
    “Ma, itu sapah?”Tanyaku sambil menggenggam tangan ibuku dengan erat.
    “Itu Reza,sayang.. Ayokenalan dulu, ga usah takut,”Jawab Mamaku.
    “Haiii,,,Aku Reza..hehe”Sapanya dengan memamerkan giginya di hadapanku, pertama – tama aku merasa agak takut tapi dia terus menungguku menjawab salam kenalnya yang riang itu.
    “hai juga ,aku Vino.”
    “duh, mereka cepat akrab ya,Jeng!Ya udah kalian masuk kelas sana,kebetulan kan kelas kalian sama, ayo sana kalian masuk…”Kata Tante Tia, dan dilanjutkan dengan aggukan Mamaku.
    “Iyah,Ma”Jawab kami bersamaan lalu saling berhadapan dan tersenyum.
    Mulai dari saat itu kami selalu bersama – sama, kami sangat akrab. Sampai terkadang ada orang yang mengira kami saudara. Dari SD kelas 1 sampai lulus SMA, kami selalu satu kelas, ntah memamng takdir atau hanya kebetulan. Reza sangat setia kawan dan tak pernah mengkhianati sahabatnya. Pernah dulu waktu SMP aku menyukai seorang perempuan, dan walau dia tak mengatakan kepadaku, aku tau kalau dia juga menyukai perempuan itu, tapi dengan ikhlasnya dia merelakan perempuan itu kepadaku dan malah menjodohkanku dengan perempuan itu. Aku sangat terkejut dengan semua yang ia lakukan itu kepadaku. Dia teman yang tak tergantikan, sahabat sejatiku sampai ujung usiaku. Dia juga adalah teman seperjuangan yang amat baik, kami sering bolos bersama, kami sering di hukum bersama, aku salut kepadanya, dia benar – benar seorang sahabat yang patut ku banggakan di depan semua orang. Oh ya satu lagi kesamaan yang amat kebetulan yang ada di dalam diri kami, kami lahir di tanggal yang sama yaitu 20 Januari. Setiap hari ulangtahun kami, hampir semuanya kami rayakan bersama. Tapi sekarang tak bisa lagi, karna dia telah pergi terlebih dahulu meninggalkanku. Aku takkan lupa saat ulang tahun kami yang ketujuhbelas, saat itukami inginmemberi kejutan kepada mama kami dengan memasak sesuatu di dapur, sebenarnya niat kami ingin menunjukkan bahwa kami telah dewasa dan bisa membuat mama kami senang, waktu itu kami membuat cake untuk mam kami.
    “Vin, neh gimana sech misahin telur yang kuning ama putihnya?”Tanya Reza sambil mengamati telur yang akan ia pecahkan itu.
    “Duh, aku ga tau juga tuh, coba kamupecahin dulu aja taruh di mangkok trus ntar pisain aja pake sendok.haha”jawabku asal-asalan.
    “haha, sama gilanya kita buat cake inih kayaknya ga bakal jadi neh”
    “ayo semangat!!Kita coba dulu ajah ntar kalo ga jadi ya udahlahbeli ajah de toko kue.haha”
    **
    Tersirat kembali kenangan lucu dan tak tergantikan bersama Reza, kenangan itu masih terekamkuat di otakku, dan takkan pernah hilang, apalagi kenangan saat itu, saat aku tak tau bahwa hari itu aku akan berpisah darinya untuk selamanya.

    Desember 2007

    “Rez, ada anak semester satu fakultas hukum namanya Vitta kenal ga?cantik yaahh….”kataku sambil melamun ke arah tak jelas.
    “Ha?Apah?Vitta?Vitta Ocknalia bukan??Lah kalo itu mah temennya cewe aku,,haha,,napeh??mau yehh???”jawabnya.
    “Hmm.. kayaknya iyah temen si Violetta, soalnya aku sering liat mereka barengan”jawabku sambil tetap melamun ke arah yang tak jelas.
    “LETTA SAYANG!!”teriak Reza memanggil pacarnya yang ada nunjauh di sana dengan senyuman maut nya. Dan lamunanku tentang Vitta pun menjadi buyar.
    “Aduhhhh,Rez…Napah harus pake teriak seh??”sapa Letta sambilmelotot ke arah cowok kesayangannya itu.
    “hehe, maaf sayang, aku hanya mau manggil, ada yang mau di omongin..pentinggggg,,hehe” begitulah cara Reza berbicara, aneh, agak lebay, bikin ketawa, san membuat Letta terpesona selalu.Hahaha..
    “Apah?eh tuh Vino napa tuh melamun ga jelas kayaknya daritadi?Tanya Letta
    “ga tau, gila kali dia,,,,,eh ntar sore jadi kan ke pameran fotografi,yang??ajakin temen kamu yang namanya Vitta ituh yahh,,”kata Reza sambil mengedipkan mata ke arahku, dan ku rasa Letta tau apa artinya.
    “Sip,,,,ya udah ampe ketemu nanti soreee yaaa,sayang,,ada mata kuliah neh sekarang,,daahh…”jawab Letta lalu pergi meninggalkan kami.
    “HOEEEEIIIII!!!!gila lu melamun mulu, ntar aku tinggal lhoh melamun ajah terus mpe sore, ntar ga ketemu dankenalan ama Vitta dheeeee” sahut Reza yang pelan – pelan berjalan menjauhiku, dan seketika aku baru menyadari apa yang dia ucapkan tadi.
    “Rezaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa,,,,,,,ehhhhh seriussss mau ngenalin kau ama Vitta??”teriakku tanpa sadar karna Reza sudah berada agakjauh dariku, dan dia hanya mengedipkan mata padaku.
    Hatiku amat senang mencerna kata – kata yang baru di ucapkan Reza tadi, aku tak menyangka nanti sore aku akan berkenalan dengan Vitta!!!Huaaaaaa!!Aku langsung sms reza untuk memastikan hal tersebut.

    To : Reza
    From : Vino
    Eh, mbah sinting!!bneran ntar sore itu jd?????mang mau k mn?

    To : Vino
    From : Reza
    Yaiyalah mas yaiyadong?dl guru SD kita jamila kan bkan jamidong?haha
    Ntar q jmpt jam4, siap” ajah,OC!!!!



    Tinnnn…Tin………….klakson mobil Reza bernyanyi menyapa diriku yang sedang senang ini.
    “ooeee, Vino cepetaannn!!!!!!!!!”teriak mbah sinting itu dari luar, untung aja Papa belum pulang dan mama lagi belanja, jadi ga di gorok bonyok aku tuh manusia.. haha
    “iyahhhh!!bik kunci pintu yah!ngomong mama Vinopergi sama Reza!daaaa,bik Sumi…”
    “huaa, rapi amat dikau,Vino??Benarkah ini temanku yang tadi siang dekil dan kumal???haha”sapa Reza
    “iyaaa,,,iyaaaa,,,serah kamu ajah mau ngatai apa,Rez..huaaa. tapi beneran ganteng ga aku sore ini?”
    “nda tau, tanya bik sumi jah coba tadi,hahaha”jawab Reza dengan nyengar nyengir, dan tiba” hp-nya berbunyi.

    Romeo, take me somewhere we can be alone,,I keep waiting for you but you never come……(Love Story – taylor Swift)

    “Vin, handphone aku jatoh tuh, tolong ambilin,cuy..hehe” kata Reza yang sedang sibuk menyetir.
    “di mana jatohnya???kayaknya Letta dheh yang telpon tuh..”jawabku, dan tanpa sadar reza yang sedang menyetir menunduk sebentar ke bawah mencari hp nya,dan di depan kami ada sebuah Bus yang melaju kencang.
    **

    “Dok, bagaimana keadaan anak kami????”Tanya Mama dan tante Tia
    “Ma, sabar dulu.”kata Papa
    “Iyah,ma”kata Om Vicky, Papa Reza
    “Anak. Kalian semua selamat, tapi ada satu yang buta dan satu yang lumpuh, maaf kami sudah berusaha semeksimal mungkin!”jawab Dokter.. lalu tiba – tiba Letta dan vitta datang karena menerima kabar dari Tante Tia bahwa aku dan reza mengalami kecelakaan.
    “tante,om!Bagaimana keadaan merek?”Tanya Letta dengan raut muka tak menentu
    Semua hanya terdiam dantak ada yang menjawab……………
    **
    “Ma,,,,Pa,,,,aku ada di mana, mengapa aku tak dak melihat apa – apa”tanyaku saat aku sadar dan mendengar suara mama yang menangis. “Pa, Mama mengapa menangis?”
    “tidak apa – apa, kamu istirahat saja,Vino”jawab Papa dengan suara yang parau.
    “pa, manah Reza?”aku tau apa yang membuat mama menangis, aku sadar aku buta, apalagi kalu bukan buta kalau semua yang ku lihat berwarna hitam?. Dan tak ada yang bisa menjawab pertanyaan ku tadi. Dan di mana Reza sekarang? Di mana dia?
    “Vino, kamu istirahat ajaaaa, besok kamu mau operasi, lebih baik kamu tak usah memikirkan apa – apa.”tiba – tiba Papa berkata bahwa aku akan operasi?Tapi apa maksud dari semua ini???Huh, aku amat tak menegrti!!
    **
    “Sepertinya aku sudah terleleap beberapa jam..hoamm..”kataku berbicara sendiri saat bangun dari tidur.
    “woiii,Vin!!!Dhah bangun???”Tiba – tiba saja Reza ada di dekatku dan menyapaku dengan riangnya, ku pikir dia sedang ada di kamar lain, dan mungkin keadaanya cukup parah.
    “Ha?Reza?kau tak kenapa – kenapa??baguslah,,,haha”jawabku dengan berusaha agar terlihat riang.
    “Vin, kamu istirahat ajah geh, aku mau jalan – jalan dulu ahhh,,mau negecengin suster,,haha”
    “Iyah ,Vin kamu istirahat ajah.”ada suara perempuan yang amat ku kenal
    “Lah kok ada Letta?kok ga kedengeran suaranya?haha..sorry aku buta neh sekarang, jadi ga bisa liat,,haha”jawabku dengan berusaha menutupi kesedihanku karena kebutaan ini.
    Semua diam, tak ada yang menyaut satu pun, mengapa semua orang tak pernah menjawab apa yang ku tanyakan??????Aku selalu berbicara sendiri di dalam hati untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
    “kami keluar dulu ya,Vin”kata Reza, tapi mengapa seperti ada yang mendorong kursi roda?Siapa yang duduk di kursi roda itu?Mengapa Reza tidak riang seperti tadi lagi?Mengapa?Mengapa?Mengapa.
    Tiba – tiba ada suster yang masuk ke ruanganku, “Vino, jangan banyak bergerak ya, selamat besok kamu akan bisa melihat lagi.”
    “Suster, maksudnya apah?”tanya ku heran.
    “ya begitulah, nanti kamu akan bisa melihat lagi, besok kamu akan di operasi pencangkokan mata, sudah ada pendonornya, jadi kamu akan melihat kembali, doakan saja operasinya berjalan lancar yaaa”Suster itu menjelaskan, aku hanya diam, aku tak tau apa yang harus ku katakan, aku tak tau apa yang harus ku pikirkan, aku bingung, aku sulit mencerna semua yang telah terjadi ini.
    **
    “tenang yah,Vin..Kamu akan baik – baik saja di dalam nanti.” Kata Mama untuk menenangkanku saat operasi nanti.
    ” Ma, mana Reza?”
    “Dia ada kok, dia selalu nemenin kamu di dalam sana, tapi dia tak mau bicara apa – apa dulu.” Jawab mama.
    “ya udah kalo gitu,,,,,,”aku bingung!Sangat BINGUNG!Mengapa Reza tak mau mengeluarkan suara kepadaku???
    **
    “Vino, coba pelan – pelan buka matamu?”kata Dokter. Setelah beberapa jam lamanya kemarin aku di ruangan operasi, akhirnya semua berjalan lancar.
    “Vin, pelan – pelan saja buka matanya” kata Mama dengan nada khawatir.
    Perlahan aku buka kan mata ini, agak kabur ku lihat wajah Mama, Papa, Letta, Tante Tia, Om Vicky, bahkan VITTA!!!!!!!! Dan ku berkata “ aku bisa melihat, tapi ke mana Reza?”
    “mengapa semua diam???”lanjutku. Lalu Mama meberiku sebuah surat.






    To : Vino

    Vin, nih surat dari kau, Reza…Gimana kamu seneng ga bisa ngeliat lagi??haha,,bagus dheh aku harap kamu seneng… maaf aku ga bilang sama kamu kemarin, kalo aku mau donorin mata aku buat kamu, aku udah ijin sama keluargaku, bahkan sama Letta, walau ya mereka agak dikitga setuju, tapi aku tetepmaksa,,,haha,,,Gila ajah aku ga mau liat sohib aku menederita kaga bisa liat lageee,,haha,,eh surat ini tepat tanggal 10 desember kan?nah hari ini mestikau ingat selalu yaaa, karena tiap tahun kau harus mengunjungiku setiap 10 desember, okey?? Oh ya ternyataaaa kata Letta, Vitta thuh dhah lama suka ama kamu,,,hahaha,,eh aku ada satu permohonan lagi nih, kamu harus jadian sama Vitta tanggal 10 desember juga yaa,haha,,dha, ckup dhe suratku, jaga diri baik – baik ya,Vin,,,,tolong jagain Letta juga ya buat aku..^^ jangan sampe dia dp pcr yang lbh buruk pada aku,,haha,,bye,Vin

    From : Reza, u’r bestfriend 4eva

    “ma…Reza mana ?” tanyaku dengan suara parau kepada mama, aku membisu sesaat setelah membaca surat itu, tak terasa air mataku pun berjatuhan seiring hujan yang sedang berjatuhan.
    Aku berdiri dari tempat tidur rumah sakit ini, aku mengahadap ke jendela, aku melihat langit yang berawan hitam, “Rez, makasih…atas semuanya…” aku hanya dapat mengatakan itu, apalagi yang dapat ku katakan, semua menangis, termasuk aku, mengapa Reza begitu baik kepadaku hingga harus seperti ini jadinya??
    **
    “Vitt, bangun dulu yuk sayang,,,aku mau beliin Reza bungan nih..bantuin aku milih..”bujuku membangunkan Vitta yang sedang terlelap
    “hoa..Ha??iyah iyah ayo kita beliin bungan ini ajah..”jawabnya sambil menunjuk bunga yang ada di toko itu yang dilihatnya dari kaca mobil.
    “ya udah aku turun bentar beli itu ya..”jawabku lagi dan Vitta membalasnya dengan senyuman manis yang selalu aku banggakan itu.” Rez, dhah lama ga ketemu ya..” Kataku dalam hati.
    “Vin jangan melamun terus , ntar Reza sedih liatnya..”kata Vitta saat aku masuk ke mobil. Setelah itu mobil swift hitamku melaju cukup cepat ke makam Reza.
    “akhirnya sampai jugaaaa.,,eh ada Letta tuhhh…..”kata Vitta dengan girang, tapi setelahitu raut wajahnya agak sedih, “makasih,Rez,,berkat kamu aku bisa jadian ama Vino, makasih,,”sambil mengahadap ke langit.
    “haah..langitnya sama seperti hariitu..”kata Letta sambil terus menghadap ke depan batu nisan Reza.
    “hai, Lett..maaf kami agak telat..”sapaku, lalu meletakkan sebuket bunga di atas makam Reza.
    Semua terdiam,,,kembali terdiam,,,,,,,aku tau Letta amat kehilangan reza sampai sekarang, sangat kehilangan bahkan… tapi apa yang bisa ku lakukan? Benar kata Letta tadi, langitnya sama seperti waktu itu, sama seperti saat aku membaca surat dari reza dua tahun lalu itu. Menyedihkan..air mataku kebali berjatuhan..sedangkan Letta dan Vitta hanya diam sendiri menatapi nisan Reza…aku pun sibuk melamun mengingat kata – kata Reza waktu kami kecil.
    “vin, kalau aku mati duluan, kamu harus sering nengokin aku yah.... hahaha..”
    “solanya aku ga mau sendirian di kuburan, jadi kamu harus sering datang, nanti kalau aku mati duluan kamu haru s jagain mama aku yah..haha…”
    “kok kamu ngomong gitu ,Rez?”tanyaku heran, waktu itu kami baru kelas 4 SD.
    “ iseng, kepikiran ajah,,hahaha”

    “Vin, jangan nangis mulu, ntar Reza marah,,haha”kata Letta sedikit bercanda
    “Udah mau malem neh…pulang yuk ??” ajakku kepada Letta maupun Vitta.
    “Kalian duluan ajah, aku bawa mobil kok, nanti kau pulang sendiri aja…”jawab Letta, aku dan Vitta pun hanya bisa mengangguk, lalu perlahanmenjauh dari nya, kelihatannya dia masih belum mau meninggalkan Reza.
    “Vin, pulang yuk,,,,,ga usah ke mana- mana lagi ya,,,,”bujuk Vitta, padahal aku ingin merayakan hari jadian kami di sebuah restaurant romantis.
    “Tapi….”
    “Udahlah, kita udah setahun ajah dhah bahagia banget, ga usah repot di rayain pula,Vino…”jawabnya dengan lembut lalu mencium pipiku,,,,
    “Ya sudah…..”aku pun mencium keningnya dengan hangat.
    Aku berkata dalam hati kembali, “Terima aksih,Reza…Semua ini karena kamu….kau memang sahabat yang tak tergantikan dalam hidupku…”

    **end**
    (Kevin Prathama X.3 Absen 21)

    BalasHapus
  24. Terima Kasihku Padanya Selalu

    “Vin, jadi hari ini kita ke makam Reza?”Tanya Vitta kepadaku.
    Sejenak aku terdiam, aku teringat akan bayangan Reza. Dia adalah teman terbaikku, teman akrabku dari kecil dan sampai sekarang walaupun dia tak dapat menemaniku lagi sekarang. Hari ini tepat tanggal 10 Desember, hari yang amat berkesan bagiku. Hari ini genap dua tahun aku dapat melihat kembali, hari ini genap satu tahun aku berpacaran dengan Vitta, dan hari ini hari kematian Reza. Ntah senang ataukah sedih yang ku rasa hari ini, mengingatnya hatiku amat miris, aku merasa amat beterima kasih atas semua yang telah dia berikan kepadaku. Tapi aku tak boleh kelihatan murung hari ini, aku takmau mengecewakan Vitta, yeah dia adalah pacar terbaikku! Berkat Reza aku dapat berpacaran dengannya sampai detik ini.
    “Vino, kok malah melamun seh aku tanyain?Yuk kita ke makam Reza sekarang,Vin..”Ajak Vitta lagi.
    “Eh, maaf tadi aku ga sengaja melamun,Vitt. Maaf ya,sayang… Ya udah ayo kita ke makam Reza.”Jawabku sambil tersenyum kepada Vitta. Vitta adalah perempuan yang paling berharga bagiku, ya maksudku selain ibuku tentunya.Hehe.. Vitta selalu mendukungku di saat aku terpuruk, dia selalu setia menemaniku selama satu tahun ini. Aku sangat beruntung memiliki kekasih secantik dan sebaik dia.
    “Vin, makam Reza kan agak jauh, aku tidur dulu ya di mobil, ntar kalau udah sampai bangunin aku yah!”Kata Vitta sambil tersenyum manis di hadapanku.
    “Iyah.. Iyah.. Kamu tidur ajah geh…”

    kau teman sehati
    kita teman sejati
    hadapilan dunia
    genggam tanganku
    tak mudah untuk kita sadari
    saling mendengarkan hati
    tak mudah untuk kita pahami
    berbagi rasa di hati
    (Nidji – Arti Sahabat)

    “Reza,tak terasa kau telah dua tahun meninggalkan kami semua di sini, apakah kau baik - baik saja di sana?” Ucapku dalam hati. Waktu berjalan begitu cepat, dua tahun telah berlalu tanpa Reza. Reza, andai dia tau betapa sedihnya aku, keluargaku, dan keluarganya saat kehilangan dia waktu itu. Apakah dia bisa melihat betapa sedinya Violetta kehilangan dirinya, sampai sekarang pun Violetta belum bisa mengisi hatinya dengan laki – laki lain selain Reza. Aku amat merasa bersalah kepada Violetta. Aku merasa kesepian di tinggal oleh Reza, dialah teman terbaikku dikala senang ataupun susah, temanku yang selalu mendukungku, temanku yang membantuku untuk mendekati Vitta, betapa menyedihkannya aku sekarang sendiri tanpa dia. Setiap bulan aku selalu menjenguknya bersama Vitta, dan tentunya hari ini. Hari di mana dia telah genap meninggalkan kami semua selama dua tahun, perasaan bersalah dan menyesal itu masih tertanam dalam di hatiku atas kepergiannya.
    **

    Aku kembali teringat kenangan di masa lalu bersamanya saat kami pertama kali bertemu.

    “Eh, Jeng Nessa apa kabar?Wah, Vino udah besar yaa sekarang!Hari pertama masuk sekolah ya,Vino?”Tanya Mama Reza, Tante Tia.
    “Wuahh, Reza masuk SD ini juga yah, Jeng Tia?Lihat Reza juga udah besar sekarang,tambah ganteng pula!haha..”Jawab Mamaku.
    “Iyah anak kita emang ganteng-ganteng,Jeng!haha.Ayo Reza kenalan ama Vino geh, kalian dulu waktu balita sering main bareng lhoh, tapi Tante Nessa pindah rumah jadi jarang ketemu lagi dheh,untung ajah neh kita ketemu lagi.haha”
    “Ma, itu sapah?”Tanyaku sambil menggenggam tangan ibuku dengan erat.
    “Itu Reza,sayang.. Ayokenalan dulu, ga usah takut,”Jawab Mamaku.
    “Haiii,,,Aku Reza..hehe”Sapanya dengan memamerkan giginya di hadapanku, pertama – tama aku merasa agak takut tapi dia terus menungguku menjawab salam kenalnya yang riang itu.
    “hai juga ,aku Vino.”
    “duh, mereka cepat akrab ya,Jeng!Ya udah kalian masuk kelas sana,kebetulan kan kelas kalian sama, ayo sana kalian masuk…”Kata Tante Tia, dan dilanjutkan dengan aggukan Mamaku.
    “Iyah,Ma”Jawab kami bersamaan lalu saling berhadapan dan tersenyum.
    Mulai dari saat itu kami selalu bersama – sama, kami sangat akrab. Sampai terkadang ada orang yang mengira kami saudara. Dari SD kelas 1 sampai lulus SMA, kami selalu satu kelas, ntah memamng takdir atau hanya kebetulan. Reza sangat setia kawan dan tak pernah mengkhianati sahabatnya. Pernah dulu waktu SMP aku menyukai seorang perempuan, dan walau dia tak mengatakan kepadaku, aku tau kalau dia juga menyukai perempuan itu, tapi dengan ikhlasnya dia merelakan perempuan itu kepadaku dan malah menjodohkanku dengan perempuan itu. Aku sangat terkejut dengan semua yang ia lakukan itu kepadaku. Dia teman yang tak tergantikan, sahabat sejatiku sampai ujung usiaku. Dia juga adalah teman seperjuangan yang amat baik, kami sering bolos bersama, kami sering di hukum bersama, aku salut kepadanya, dia benar – benar seorang sahabat yang patut ku banggakan di depan semua orang. Oh ya satu lagi kesamaan yang amat kebetulan yang ada di dalam diri kami, kami lahir di tanggal yang sama yaitu 20 Januari. Setiap hari ulangtahun kami, hampir semuanya kami rayakan bersama. Tapi sekarang tak bisa lagi, karna dia telah pergi terlebih dahulu meninggalkanku. Aku takkan lupa saat ulang tahun kami yang ketujuhbelas, saat itukami inginmemberi kejutan kepada mama kami dengan memasak sesuatu di dapur, sebenarnya niat kami ingin menunjukkan bahwa kami telah dewasa dan bisa membuat mama kami senang, waktu itu kami membuat cake untuk mam kami.
    “Vin, neh gimana sech misahin telur yang kuning ama putihnya?”Tanya Reza sambil mengamati telur yang akan ia pecahkan itu.
    “Duh, aku ga tau juga tuh, coba kamupecahin dulu aja taruh di mangkok trus ntar pisain aja pake sendok.haha”jawabku asal-asalan.
    “haha, sama gilanya kita buat cake inih kayaknya ga bakal jadi neh”
    “ayo semangat!!Kita coba dulu ajah ntar kalo ga jadi ya udahlahbeli ajah de toko kue.haha”
    **
    Tersirat kembali kenangan lucu dan tak tergantikan bersama Reza, kenangan itu masih terekamkuat di otakku, dan takkan pernah hilang, apalagi kenangan saat itu, saat aku tak tau bahwa hari itu aku akan berpisah darinya untuk selamanya.

    Desember 2007

    “Rez, ada anak semester satu fakultas hukum namanya Vitta kenal ga?cantik yaahh….”kataku sambil melamun ke arah tak jelas.
    “Ha?Apah?Vitta?Vitta Ocknalia bukan??Lah kalo itu mah temennya cewe aku,,haha,,napeh??mau yehh???”jawabnya.
    “Hmm.. kayaknya iyah temen si Violetta, soalnya aku sering liat mereka barengan”jawabku sambil tetap melamun ke arah yang tak jelas.
    “LETTA SAYANG!!”teriak Reza memanggil pacarnya yang ada nunjauh di sana dengan senyuman maut nya. Dan lamunanku tentang Vitta pun menjadi buyar.
    “Aduhhhh,Rez…Napah harus pake teriak seh??”sapa Letta sambilmelotot ke arah cowok kesayangannya itu.
    “hehe, maaf sayang, aku hanya mau manggil, ada yang mau di omongin..pentinggggg,,hehe” begitulah cara Reza berbicara, aneh, agak lebay, bikin ketawa, san membuat Letta terpesona selalu.Hahaha..
    “Apah?eh tuh Vino napa tuh melamun ga jelas kayaknya daritadi?Tanya Letta
    “ga tau, gila kali dia,,,,,eh ntar sore jadi kan ke pameran fotografi,yang??ajakin temen kamu yang namanya Vitta ituh yahh,,”kata Reza sambil mengedipkan mata ke arahku, dan ku rasa Letta tau apa artinya.
    “Sip,,,,ya udah ampe ketemu nanti soreee yaaa,sayang,,ada mata kuliah neh sekarang,,daahh…”jawab Letta lalu pergi meninggalkan kami.
    “HOEEEEIIIII!!!!gila lu melamun mulu, ntar aku tinggal lhoh melamun ajah terus mpe sore, ntar ga ketemu dankenalan ama Vitta dheeeee” sahut Reza yang pelan – pelan berjalan menjauhiku, dan seketika aku baru menyadari apa yang dia ucapkan tadi.
    “Rezaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa,,,,,,,ehhhhh seriussss mau ngenalin kau ama Vitta??”teriakku tanpa sadar karna Reza sudah berada agakjauh dariku, dan dia hanya mengedipkan mata padaku.
    Hatiku amat senang mencerna kata – kata yang baru di ucapkan Reza tadi, aku tak menyangka nanti sore aku akan berkenalan dengan Vitta!!!Huaaaaaa!!Aku langsung sms reza untuk memastikan hal tersebut.

    To : Reza
    From : Vino
    Eh, mbah sinting!!bneran ntar sore itu jd?????mang mau k mn?

    To : Vino
    From : Reza
    Yaiyalah mas yaiyadong?dl guru SD kita jamila kan bkan jamidong?haha
    Ntar q jmpt jam4, siap” ajah,OC!!!!



    Tinnnn…Tin………….klakson mobil Reza bernyanyi menyapa diriku yang sedang senang ini.
    “ooeee, Vino cepetaannn!!!!!!!!!”teriak mbah sinting itu dari luar, untung aja Papa belum pulang dan mama lagi belanja, jadi ga di gorok bonyok aku tuh manusia.. haha
    “iyahhhh!!bik kunci pintu yah!ngomong mama Vinopergi sama Reza!daaaa,bik Sumi…”
    “huaa, rapi amat dikau,Vino??Benarkah ini temanku yang tadi siang dekil dan kumal???haha”sapa Reza
    “iyaaa,,,iyaaaa,,,serah kamu ajah mau ngatai apa,Rez..huaaa. tapi beneran ganteng ga aku sore ini?”
    “nda tau, tanya bik sumi jah coba tadi,hahaha”jawab Reza dengan nyengar nyengir, dan tiba” hp-nya berbunyi.

    Romeo, take me somewhere we can be alone,,I keep waiting for you but you never come……(Love Story – taylor Swift)

    “Vin, handphone aku jatoh tuh, tolong ambilin,cuy..hehe” kata Reza yang sedang sibuk menyetir.
    “di mana jatohnya???kayaknya Letta dheh yang telpon tuh..”jawabku, dan tanpa sadar reza yang sedang menyetir menunduk sebentar ke bawah mencari hp nya,dan di depan kami ada sebuah Bus yang melaju kencang.
    **

    “Dok, bagaimana keadaan anak kami????”Tanya Mama dan tante Tia
    “Ma, sabar dulu.”kata Papa
    “Iyah,ma”kata Om Vicky, Papa Reza
    “Anak. Kalian semua selamat, tapi ada satu yang buta dan satu yang lumpuh, maaf kami sudah berusaha semeksimal mungkin!”jawab Dokter.. lalu tiba – tiba Letta dan vitta datang karena menerima kabar dari Tante Tia bahwa aku dan reza mengalami kecelakaan.
    “tante,om!Bagaimana keadaan merek?”Tanya Letta dengan raut muka tak menentu
    Semua hanya terdiam dantak ada yang menjawab……………
    **
    “Ma,,,,Pa,,,,aku ada di mana, mengapa aku tak dak melihat apa – apa”tanyaku saat aku sadar dan mendengar suara mama yang menangis. “Pa, Mama mengapa menangis?”
    “tidak apa – apa, kamu istirahat saja,Vino”jawab Papa dengan suara yang parau.
    “pa, manah Reza?”aku tau apa yang membuat mama menangis, aku sadar aku buta, apalagi kalu bukan buta kalau semua yang ku lihat berwarna hitam?. Dan tak ada yang bisa menjawab pertanyaan ku tadi. Dan di mana Reza sekarang? Di mana dia?
    “Vino, kamu istirahat ajaaaa, besok kamu mau operasi, lebih baik kamu tak usah memikirkan apa – apa.”tiba – tiba Papa berkata bahwa aku akan operasi?Tapi apa maksud dari semua ini???Huh, aku amat tak menegrti!!
    **
    “Sepertinya aku sudah terleleap beberapa jam..hoamm..”kataku berbicara sendiri saat bangun dari tidur.
    “woiii,Vin!!!Dhah bangun???”Tiba – tiba saja Reza ada di dekatku dan menyapaku dengan riangnya, ku pikir dia sedang ada di kamar lain, dan mungkin keadaanya cukup parah.
    “Ha?Reza?kau tak kenapa – kenapa??baguslah,,,haha”jawabku dengan berusaha agar terlihat riang.
    “Vin, kamu istirahat ajah geh, aku mau jalan – jalan dulu ahhh,,mau negecengin suster,,haha”
    “Iyah ,Vin kamu istirahat ajah.”ada suara perempuan yang amat ku kenal
    “Lah kok ada Letta?kok ga kedengeran suaranya?haha..sorry aku buta neh sekarang, jadi ga bisa liat,,haha”jawabku dengan berusaha menutupi kesedihanku karena kebutaan ini.
    Semua diam, tak ada yang menyaut satu pun, mengapa semua orang tak pernah menjawab apa yang ku tanyakan??????Aku selalu berbicara sendiri di dalam hati untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
    “kami keluar dulu ya,Vin”kata Reza, tapi mengapa seperti ada yang mendorong kursi roda?Siapa yang duduk di kursi roda itu?Mengapa Reza tidak riang seperti tadi lagi?Mengapa?Mengapa?Mengapa.
    Tiba – tiba ada suster yang masuk ke ruanganku, “Vino, jangan banyak bergerak ya, selamat besok kamu akan bisa melihat lagi.”
    “Suster, maksudnya apah?”tanya ku heran.
    “ya begitulah, nanti kamu akan bisa melihat lagi, besok kamu akan di operasi pencangkokan mata, sudah ada pendonornya, jadi kamu akan melihat kembali, doakan saja operasinya berjalan lancar yaaa”Suster itu menjelaskan, aku hanya diam, aku tak tau apa yang harus ku katakan, aku tak tau apa yang harus ku pikirkan, aku bingung, aku sulit mencerna semua yang telah terjadi ini.
    **
    “tenang yah,Vin..Kamu akan baik – baik saja di dalam nanti.” Kata Mama untuk menenangkanku saat operasi nanti.
    ” Ma, mana Reza?”
    “Dia ada kok, dia selalu nemenin kamu di dalam sana, tapi dia tak mau bicara apa – apa dulu.” Jawab mama.
    “ya udah kalo gitu,,,,,,”aku bingung!Sangat BINGUNG!Mengapa Reza tak mau mengeluarkan suara kepadaku???
    **
    “Vino, coba pelan – pelan buka matamu?”kata Dokter. Setelah beberapa jam lamanya kemarin aku di ruangan operasi, akhirnya semua berjalan lancar.
    “Vin, pelan – pelan saja buka matanya” kata Mama dengan nada khawatir.
    Perlahan aku buka kan mata ini, agak kabur ku lihat wajah Mama, Papa, Letta, Tante Tia, Om Vicky, bahkan VITTA!!!!!!!! Dan ku berkata “ aku bisa melihat, tapi ke mana Reza?”
    “mengapa semua diam???”lanjutku. Lalu Mama meberiku sebuah surat.






    To : Vino

    Vin, nih surat dari kau, Reza…Gimana kamu seneng ga bisa ngeliat lagi??haha,,bagus dheh aku harap kamu seneng… maaf aku ga bilang sama kamu kemarin, kalo aku mau donorin mata aku buat kamu, aku udah ijin sama keluargaku, bahkan sama Letta, walau ya mereka agak dikitga setuju, tapi aku tetepmaksa,,,haha,,,Gila ajah aku ga mau liat sohib aku menederita kaga bisa liat lageee,,haha,,eh surat ini tepat tanggal 10 desember kan?nah hari ini mestikau ingat selalu yaaa, karena tiap tahun kau harus mengunjungiku setiap 10 desember, okey?? Oh ya ternyataaaa kata Letta, Vitta thuh dhah lama suka ama kamu,,,hahaha,,eh aku ada satu permohonan lagi nih, kamu harus jadian sama Vitta tanggal 10 desember juga yaa,haha,,dha, ckup dhe suratku, jaga diri baik – baik ya,Vin,,,,tolong jagain Letta juga ya buat aku..^^ jangan sampe dia dp pcr yang lbh buruk pada aku,,haha,,bye,Vin

    From : Reza, u’r bestfriend 4eva

    “ma…Reza mana ?” tanyaku dengan suara parau kepada mama, aku membisu sesaat setelah membaca surat itu, tak terasa air mataku pun berjatuhan seiring hujan yang sedang berjatuhan.
    Aku berdiri dari tempat tidur rumah sakit ini, aku mengahadap ke jendela, aku melihat langit yang berawan hitam, “Rez, makasih…atas semuanya…” aku hanya dapat mengatakan itu, apalagi yang dapat ku katakan, semua menangis, termasuk aku, mengapa Reza begitu baik kepadaku hingga harus seperti ini jadinya??
    **
    “Vitt, bangun dulu yuk sayang,,,aku mau beliin Reza bungan nih..bantuin aku milih..”bujuku membangunkan Vitta yang sedang terlelap
    “hoa..Ha??iyah iyah ayo kita beliin bungan ini ajah..”jawabnya sambil menunjuk bunga yang ada di toko itu yang dilihatnya dari kaca mobil.
    “ya udah aku turun bentar beli itu ya..”jawabku lagi dan Vitta membalasnya dengan senyuman manis yang selalu aku banggakan itu.” Rez, dhah lama ga ketemu ya..” Kataku dalam hati.
    “Vin jangan melamun terus , ntar Reza sedih liatnya..”kata Vitta saat aku masuk ke mobil. Setelah itu mobil swift hitamku melaju cukup cepat ke makam Reza.
    “akhirnya sampai jugaaaa.,,eh ada Letta tuhhh…..”kata Vitta dengan girang, tapi setelahitu raut wajahnya agak sedih, “makasih,Rez,,berkat kamu aku bisa jadian ama Vino, makasih,,”sambil mengahadap ke langit.
    “haah..langitnya sama seperti hariitu..”kata Letta sambil terus menghadap ke depan batu nisan Reza.
    “hai, Lett..maaf kami agak telat..”sapaku, lalu meletakkan sebuket bunga di atas makam Reza.
    Semua terdiam,,,kembali terdiam,,,,,,,aku tau Letta amat kehilangan reza sampai sekarang, sangat kehilangan bahkan… tapi apa yang bisa ku lakukan? Benar kata Letta tadi, langitnya sama seperti waktu itu, sama seperti saat aku membaca surat dari reza dua tahun lalu itu. Menyedihkan..air mataku kebali berjatuhan..sedangkan Letta dan Vitta hanya diam sendiri menatapi nisan Reza…aku pun sibuk melamun mengingat kata – kata Reza waktu kami kecil.
    “vin, kalau aku mati duluan, kamu harus sering nengokin aku yah.... hahaha..”
    “solanya aku ga mau sendirian di kuburan, jadi kamu harus sering datang, nanti kalau aku mati duluan kamu haru s jagain mama aku yah..haha…”
    “kok kamu ngomong gitu ,Rez?”tanyaku heran, waktu itu kami baru kelas 4 SD.
    “ iseng, kepikiran ajah,,hahaha”

    “Vin, jangan nangis mulu, ntar Reza marah,,haha”kata Letta sedikit bercanda
    “Udah mau malem neh…pulang yuk ??” ajakku kepada Letta maupun Vitta.
    “Kalian duluan ajah, aku bawa mobil kok, nanti kau pulang sendiri aja…”jawab Letta, aku dan Vitta pun hanya bisa mengangguk, lalu perlahanmenjauh dari nya, kelihatannya dia masih belum mau meninggalkan Reza.
    “Vin, pulang yuk,,,,,ga usah ke mana- mana lagi ya,,,,”bujuk Vitta, padahal aku ingin merayakan hari jadian kami di sebuah restaurant romantis.
    “Tapi….”
    “Udahlah, kita udah setahun ajah dhah bahagia banget, ga usah repot di rayain pula,Vino…”jawabnya dengan lembut lalu mencium pipiku,,,,
    “Ya sudah…..”aku pun mencium keningnya dengan hangat.
    Aku berkata dalam hati kembali, “Terima aksih,Reza…Semua ini karena kamu….kau memang sahabat yang tak tergantikan dalam hidupku…”

    **end**

    BalasHapus
  25. Guru Muda
    Karya : Franky Eddy (13)

    Sekarang aku merasa sangat menyesal tidak berhenti di warung tadi untuk sarapan. Seluruh tubuhku kini gemetaran. Orang itu dengan mudahnya memasukkan SIM dan STNK-ku ke dalam kantongnya. Kemudian ia menyuruhku minggir untuk menggosokkan nomor di plat motorku agar dapat menampakkan warna dasarnya. Hal yang menurut pendapatku sangatlah tidak masuk akal.
    Ini sungguh tidak benar. Seharusnya ada orang yang mengatakan padaku isi pasal-pasal yang akan ditulis. Seharusnya juga ada perbedaan antara melanggar dan… dan menemui hal-hal seperti ini lagi, aku merasa sangat bodoh karena tidak mencari tahu isi dari pasal-pasal pelanggaran dan lebih memilih untuk menaati ketentuan-ketentuan secara buta. Ya, seharusnya ada yang mengatakan padaku: plat nomor ini kategori pelanggaran yang bagaimana? Jika aku tahu begini keadaannya akan aku ambil jalan lain ketika ada seorang pengendara dari arah berlawanan mengatakan ‘operasi’. Dua pengendara yang berada di depanku memutar motornya sebelum sampai di tikungan.
    Karena aku tak ingin terkesan sebagai seorang pendebat, maka aku kerjakan semua perintah orang itu. Aku gosok nomor itu dengan pinggiran mata uang 100 yang kupunya. Kulakukan itu sambil jongkok. Aku tidak ingin orang lain melihat, bahwa jika berdiri kedua kakiku gemetaran. Walau bagaimanapun juga aku akan berusaha untuk patuh dalam berkendara. Lagipula aku ingin menghindari rasa gugup dan sesal yang mungkin dibawakan surat bukti berwarna merah. Aku seperti, sebagaimana pernah dikatakan, gejala pasif dari lalu lintas yang berperan sebagai objek. Celakanya, kebanyakan di antara kita, di negeri ini, sering dilupakan hak-haknya di hadapan orang-orang seperti ini dan dalam urusan-urusan sepele seperti ini. Tentu saja tetap ada kesalahan ketika berkendara. Beberapa lubang kecil di SIMku mungkin mengingatkan orang itu. Tapi ketika tidak ada kesalahan dan semua standarisasi berkendara terlengkapi, kenapa aku justru merasakan ketakutan yang tidak semestinya?
    Seorang pemuda yang berpakaian sekolah abu-abu meminggirkan motornya dan datang menghampiriku. Setelah menanyakan ini itu, dia tawarkan dirinya untuk menggosok nomor itu. Aku terima tawarannya. Entah. Tanpa sarapan, sepertinya terlalu sedikit tenaga tersisa yang kumiliki dari jam mengajar pagi untuk hal begini.
    Diam-diam aku perhatikan bet di lengan pemuda itu. Kemudian aku ingat-ingat wajahnya. Sudah kuduga. Rupanya dia salah satu muridku. Mengetahui ini, kujaga benar supaya suara yang keluar dari mulutku tidak mengandung getaran: gugup dan ketakutan.
    Lalu dia mengatakan padaku untuk melapor pada orang itu. Kukatakan padanya bahwa sudah kulakukan perintahnya. Dia berjalan menuju motorku, di mana seorang pemuda mengenakan seragam abu-abu tengah menggosok-nggosok plat nomor –eh, dari gerakannya aku tahu itu dibuat-buat.
    Muridku mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan. Yaitu mengerik warna nomor-nomor itu supaya terlihat warna dasarnya di sini. Orang itu bertanya padanya siapa dia. Mungkin karena ingat bahwa aku berkendara seorang diri, atau dia melihat gerakan yang dibuat-buat oleh muridku dan merasa jengkel –tambah lagi bukan aku yang menyatakannya. Segera kuberitahu bahwa pemuda itu ialah salah satu dari murid-muridku.
    Akhirnya orang itu pun memberikan kembali SIM dan STNK-ku dan membolehkan aku pergi tanpa surat tilang. Apakah statusku sebagai seorang guru yang menyelamatkan aku?; mungkin tadi dia memandangku sebagai lepasan pemuda tanggung biasa, tapi setelah mengetahui bahwa aku ialah seorang guru maka dia membolehkan aku pergi tanpa surat tilang? Atau aku memang tidak pantas untuk ditilang? Cuma pantas diperingatkan ‘mesti dicat nanti’? Jika itu benar, semua ini terasa bagai sebuah lelucon. Bagaimana pun juga aku takut dan tak berdaya ketika dia dengan gampang menunjuk plat dan memasukkan ke dalam kantongnya SIM dan STNKku: alat yang tepat untuk menguasaiku.
    Rupanya muridku tadi juga lolos dari pemeriksaan. Dari awal dia tahu bahwa ada masalah dengan motorku. Ketika akan pergi dia melihatku sedang melakukan sesuatu pada plat nomorku dan memutuskan berhenti. Aku ucapkan terima kasih padanya, dan mengutuk diriku sendiri lebih banyak dalam hati. Kini aku berhutang sesuatu pada murid yang tidak begitu kuingat namanya. Dan sebagai seorang guru, menanyakan pada muridnya apakah ia lolos dari pemeriksaan? menggangguku, terutama penggunaan kata lolos. Sepertinya dia melihatku tidak tahu harus berbuat apa.
    Kubiarkan dia berangkat lebih dulu. Bagaimana pun juga aku tidak ingin muridku melihatku begitu gugup. Cukup sampai di situ saja pengetahuannya tentang keadaanku saat ini. Cukup itu saja yang bisa dia ceritakan pada teman-temannya. Beberapa saat kemudian aku stater motorku. Aku juga tidak ingin berlama-lama di tempat ini.
    Sekarang seperti tidak ada yang tersisa dari diriku. Kutanggapi dengan senyum dan anggukan, seseorang yang menegurku dengan ‘tidak apa-apa, Mas?’. Aku merasakan seluruh isi diriku menguap. Hilang entah ke mana. Kakiku masih saja gemetaran. Kaki yang terus bergerak sendiri itu mengalami kesulitan mengendalikan perseneling dan, terutama, rem. Ketakutan terhadap sesuatu tadi tidak bisa hilang begitu saja. Semuanya ini hampir merenggut seluruh tempat dalam diriku, meski tak cukup kuat untuk mencabutnya. Oh, mestinya aku tadi mengisi perutku! Setidaknya masih ada kekuatan untuk mengendalikan saraf-saraf tak sadar dari ketakutanku.
    Di tengah itu semua, sebuah kendaraan menyeberang. Dengan seluruh sisa pengendalian atas kaki kananku, aku perintahkan untuk menginjak rem kuat-kuat. Tak dapat dihindarkan. Ban depan motorku menabrak bagian tengah kendaraan yang menyeberang itu, hampir mengenai kaki si pengendara. Beruntung itu hanyalah tabrakan kecil yang tidak menuntut kerusakan apa-apa selain kemarahan spontan si tertabrak.
    Pengendara itu melihat bagian motornya sambil mengangkat kaki kirinya, mencari-cari barangkali ada yang rusak. Kemudian dia memandangku tajam-tajam, mengeluarkan kata-kata kasar, dan menyuruhku untuk minggir. Sepertinya dia tidak akan mengalah dengan bunyi bel yang barusan berhenti.
    Pada titik ini seharusnya aku marah. Sebab dia menyeberang tanpa memperhatikan pengendara lain. Dia minggir terlebih dulu, turun dari motornya, dan berkata-kata dengan keras sambil berkali-kali mengangkat mukanya. Dia tatap mataku yang menatap tajam-tajam matanya; dia dorong-dorong badanku yang masih berada di atas motor sambil terus mengangkat muka padaku.
    Terlambat. Aku masih bisa minum segelas air untuk menenangkan diriku. Tapi bagaimana dalam sekejap mengembalikan keberanian yang terlanjur menguap? Kurasakan nyaliku benar-benar hilang. Tapi demi menyelamatkan diriku sendiri, aku harus meladeni orang itu; aku harus membalas semua yang dilontarkan padaku. Ada sesuatu bergejolak hebat di dalam, rasa jengkel yang kelewat batas, sesuatu yang mirip prustasi. Dan semua yang kuteriakkan padanya, entah bersumber dari mana, membuatku lupa bagaimana seharusnya aku bersikap sebagai seorang lelaki. Keruntuhan dalam diriku yang tiba-tiba mengambil bentuk liar dalam lampiasannya.
    Beruntung orang-orang segera datang sebelum terjadi adu pukul. Bila tidak, aku tentu babak belur. Sebab kakiku semakin kehabisan kekuatan setelah teriakan-teriakan tadi. Astaga, mengapa tak bersangkar saja di tubuh yang lebih kuat jiwa lemah ini!
    Sekarang kerumunan itu sudah bubar. Aku tahu perkaranya bisa jadi rumit. Itu aku tahu dari cerita-cerita yang pernah kudengar selama ini. Dan aku tidak punya saudara atau kenalan yang mampu menolong aku dari urusan seperti itu. Aku bukan orang yang, sekaligus dengan bangga, sanggup berkalimat ‘tidak apa-apa, biar nanti diurus Bapak’ dan bagaimana pun variasi kalimat semacam itu.
    Pengendara tadi meluncur lebih dulu dengan menarik gasnya kuat-kuat. Aku lajukan kendaraanku dengan berusaha santai; waspada siapa tahu orang itu menyanggong di suatu tempat dengan niat buruk. Ya, bisa saja dia masih tidak terima atas luapan belku tadi. Dan seorang guru: babak belur…kenapa tidak kubiarkan motorku menabraknya saja tadi! Dengan begitu jantungku tidak perlu dikejutkan oleh ban yang selip. Aku jadi bisa mengarang cerita yang lebih wajar sebagai lelaki, terutama dari luka-luka yang mungkin kudapat. Dan dengan itu, ketakutanku lebih pantas mendapat tempat untuk sembunyi. Mungkin juga akan tumbuh keberanian…
    Perlahan-lahan talu-talu jantungku mulai teratur. Laju motorku masih 40 km/jam. Aku rasakan diriku sangat lemah. Tidak berdaya menghadapi apa pun. Bahkan seekor serangga saja serasa mampu merobohkan aku. Dan kesadaran ini malah memperpuruk keadaanku dengan pikiran-pikiranku sekarang. Mengapa setelah semua terjadi aku jadi membenci diriku sendiri karena tidak berbuat sebaliknya? Mengapa aku harus merasa seperti anjing, mudah menggedikkan muka karena ada seseorang yang menyembunyikan tangannya ke belakang? Seolah-olah aku benar-benar akan celaka oleh apa yang tersembunyi di balik punggungnya.
    Kini baru sadar bahwa aku menyesal tidak meludahi muka orang-orang tadi. Keadaannya tentu akan lain dengan sekarang jika aku berani melakukan pembelaan yang pantas. Tiba-tiba saja aku ingin melakukan sesuatu terhadap orang-orang itu. Pembalasan dengan diam-diam; teror…
    Aku rasakan kejadian barusan tidak mengembalikan apa pun yang hilang dari diriku. Sebaliknya, malah memperbesar apa yang hilang tadi. Sebuah spanduk melintas di depanku, berwarna kuning, dengan tulisan besar-besar MITRA MASYARAKAT: cukup banyak cerita buruk yang kudengar, bisakah hanya dengan itu membalikkan semuanya?
    Seharusnya orang-orang itu merasa memiliki hutang padaku. Hutang yang sanggup menjaga tingkah mereka terhadap seorang guru seperti aku. Sepertinya memang lebih enak menjadi tentara atau polisi. Meski banyak dicaci dan dibenci, setidaknya orang masih memiliki rasa segan atau takut terhadapnya. Jiwa lemah ini masih mungkin bersembunyi di balik tubuh yang terlatih dan tegap. Dengan itu aku yakin orang tidak mudah menggangguku; tidak akan menunjuk-nunjuk mukaku sambil berkata-kata kasar dan keras, atau melakukan hal-hal yang bagiku tidak berada di dalam akal. Dan dengan itu juga, aku bisa memposisikan diriku sebagai pendebat dari orang-orang yang suka berlaku seenaknya udel, berdiri sebagai seorang lawan yang tegas; antonim dari orang-orang yang suka menakut-nakuti dan mencari-cari salah orang yang memang ditakdirkan tidak bisa mengelak.
    Di sebuah warung aku berhenti. Meminta segelas kopi,dan makanan kecil. Bagaimana pun juga aku tidak boleh berkendara dalam keadaan kacau seperti sekarang ini. Lagi pula sekolah tempatku mengajar jam siang tinggal satu kiloan. Belum lagi murid-murid yang menunggu. Nah, sekarang baru kuingat nama muridku tadi; melintas sebuah ruang penuh murid, di mana fokus adalah sorot matanya. Aku tidak boleh terlihat berantakan di depan mereka. Setidaknya nada suaraku harus jauh dari getaran gugup. Tidak perlu ada guncangan apa pun yang keluar dari dalam. Dan semua yang kuminta dari pewarung, aku rasa cukup.
    Sekarang masih pukul sebelas seperempat. Apa salahnya terlambat beberapa menit? Warung ini toh agak tersembunyi. Tidak akan ada murid yang lewat di gang kecil ini. Aku keluarkan telpon dan menghubungi seseorang di sekolah, mengabarkan bahwa motorku mengalami masalah dan akan datang sedikit terlambat. Dari dalam terdengar suara halo. Sekarang, sebelum berada di depan murid-muridku, aku harus mulai meneraturkan nada suaraku. Tiba-tiba saja melintas perasaan janggal atas kebohongan. Akhirnya sampailah guru tersebut di sekolah dan ia kembali mengajar seperti biasa.

    BalasHapus
  26. Duet Maut
    Karya : Frandy Eddy (12)

    Di sebuah negara bernama Negeribola, ada dua orang sahabat karib yang telah berteman sejak kecil. Mereka adalah Fabregas dan Messi. Dari kecil hingga dewasa, mereka tak pernah berpisah, selalu bersama. Ke mana saja mereka pergi, mereka pasti bersama. Kedua sahabat ini berasal dari kota yang sama yaitu kota Sepakbola. Mereka juga memiliki hobi yang sama, yaitu bermain sepak bola. Mereka juga belajar cara bermain sepak bola dari guru yang sama, yang bernama Pep Wenger.
    Walaupun lahir dari keluarga yang berbeda, Fabregas dan Messi memiliki sangat banyak persamaan. Selain memiliki wajah yang hampir sama, mereka juga lahir di tanggal, bulan, dan tahun yang sama. Makanan, minuman, dan warna favorit mereka juga sama. Cuma ada dua hal yang membedakan mereka. Pertama, Fabregas bermain untuk tim Arsenal, sedangkan Messi bermain untuk Barcelona. Perbedaan kedua adalah kaki yang mereka gunakan dalam bermain sepak bola. Fabregas lebih dominan menggunakan kaki kanannya, sedangkan Messi hampir selalu menggunakan kaki kirinya.
    Kehebatan mereka dalam bermain sepak bola memang sudah tidak diragukan lagi dan telah tersebar luas. Kemampuan mereka dalam mempermainkan bola di lapangan telah banyak membawa perkembangan bagi negeri mereka, khusunya di kota Sepakbola. Berita mengenai kehebatan mereka sampai ke telinga Roman Abramovich, pemilik klub Chelsea FC. Tanpa berpikir panjang, Abramovich menawarkan kedua pemain itu untuk bermain bersama Chelsea FC dan berjanji akan memberikan gaji yang sangat tinggi kepada mereka jika mereka mau bergabung.
    Ia juga menawarkan uang 999 juta bola(bola adalah mata uang negara Negeribola), untuk klub pemilik kedua pemain ini, yaitu Arsenal dan Barcelona. Abramovich memang terkenal akan kekayaannya. Ia bisa membeli apa saja yang diinginkannya. Arsenal dan Barcelona tidak dapat menolak tawaran yang sangat menggiurkan itu. Itu merupakan penawaran tertinggi sepanjang masa. Dengan uang sebanyak itu, Arsenal dan Barcelona bisa membeli 5 pemain baru atau bahkan lebih yang juga berkualitas. Sekarang hanya tergantung pada Fabregas dan Messi. Mereka berdua pun mencoba untuk mendiskusikannya bersama.

    "Hey, Fabregas.....", panggil Messi.
    "Ya, Messi... Ada apa?", balas Fabregas.
    "Begini... aku rasa aku mau saja menerima tawaran dari Chelsea FC asalkan kamu juga bergabung. Bagaimana menurutmu? Apakah kamu mau menerima tawaran itu juga?", tanya Messi.
    "Ya.. Aku juga berpikiran seperti itu. Kita bisa bermain bersama di klub yang sama. Itu merupakan ide yang sangat bagus.", jawab Fabregas.
    "Ya.. Kita juga bisa mengajak guru untuk melatih di tim Chelsea FC nanti.", tambah Messi.
    Setelah selesai berdiskusi, mereka akhirnya memutuskan untuk menerima tawaran tersebut, tetapi dengan satu syarat, Pep Wenger, guru merekalah yang harus menjadi pelatih tim tersebut. Roman Abramovich pun langsung memenuhi permintaan kedua sahabat tersebut. Abramovich juga membelikan sebuah rumah yang sangat besar sebagai tempat untuk mereka bertiga tinggal. Mereka bertiga pun langsung menempati rumah itu untuk beristirahat.

    "Terima kasih, guru. Hanya kaulah satu-satunya guru terbaik kami...", Fabregas dan Messi tersenyum riang, sambil menikmati kentang goreng, makanan favorit mereka.
    "Tidak, seharusnya guru yang berterima kasih kepada kalian. Kalian lah murid terbaik guru... Kalian tidak melupakan gurumu ini walaupun kalian sudah sangat terkenal.", jawab sang guru sambil ikut mengunyah kentang goreng.
    "Kami bisa menjadi seperti ini karena didikan dari guru juga, kan?", Fabregas dan Messi menambahkan.
    "Ya, guru juga sangat bangga memiliki murid seperti kalian. Hmm.. ngomong-ngomong kentang goreng ini enak juga ya?", Wenger tersenyum.
    Mereka terus berbincang-bincang hingga mereka kelelahan dan tertidur di ruang keluarga. Mereka akan melakukan debut bagi tim baru mereka besok pagi. Keesokan harinya, mereka terlihat sangat bersemangat dan telah sangat siap untuk bertanding. Ketika mereka keluar dari rumah mereka dan bermaksud akan menuju ke stadion menggunakan taksi, alangkah terkejutnya mereka, melihat Abramovich, sang bos, yang menjemput mereka dengan mobil mewah.
    "Terima kasih telah menjemput kami. Kami berjanji akan bermain sebaik mungkin hari ini", kata Fabregas dan Messi yang masih sedikit terkejut dan merasa sedikit diistimewakan.
    "Tidak, seharusnya saya yang berterima kasih kepada kalian, karena kalian sudah mau bergabung dengan kami. Dengan hadirnya kalian di tim kami, saya yakin kita bisa merebut banyak gelar tahun ini", jawab Abramovich.
    "Ya, saya juga berharap kita bisa meraih sebanyak-banyaknya gelar juara musim ini.", kata Fabregas.
    "Ya, mudah-mudahan itu semua tidak hanya menjadi mimpi bagi kita semua.", tambah Messi.
    Mereka pun terus berbincang-bincang hingga mereka sampai ke tempat tujuan mereka. Sesampainya di stadion, mereka langsung bersiap-siap melakukan pemanasan. Mereka akan bertanding menghadapi Hull City, yang memang berada di papan bawah klasemen liga. Di atas kertas, Chelsea FC memang lebih diunggulkan untuk memenangkan pertandingan ini, tetapi dalam sepak bola, apapun bisa terjadi, dan itulah motto Fabregas dan Messi, ‘Nothing is impossible’, yang berarti ‘Tidak ada yang tidak mungkin’, sehingga mereka tidak pernah meremehkan siapapun lawan yang mereka hadapi.
    Pertandingan pun dimulai. Chelsea FC langsung menekan di awal pertandingan dan menguasai penguasaan bola. Usaha Chelsea pun tidak sia-sia. Pada menit ke-23, Messi mencetak gol setelah melakukan umpan 1-2 dengan Fabregas. Kepercayaan diri para pemain Chelsea FC pun makin meningkat dan mereka bermain dengan sangat bersemangat hingga beberapa kali hampir memperbesar keunggulan mereka. Namun skor 1-0 bertahan hingga babak pertama berakhir. Para pemain pun beristirahat di ruang ganti.
    Di ruang ganti, Pep Wenger memberikan motivasi dan masukan kepada para pemain Chelsea FC. Babak kedua pun dimulai. Chelsea FC masih mendominasi pertandingan dan terus melakukan serangan. Dan hasilnya, pada menit ke-75, Fabregas berhasil memperbesar keunggulan Chelsea FC setelah menyelesaikan umpan yang sangat baik yang diberikan oleh Messi. Skor ini bertahan hingga wasit meniup peluit panjang, tanda berakhirnya pertandingan. Fabregas dan Messi pun sangat puas dengan hasil ini. Mereka berdua sama-sama berhasil memberikan 1 gol dan 1 assist di debut mereka untuk memberikan kemenangan bagi tim mereka.
    Hasil ini tentu saja memuaskan sang bos, Abramovich. Ia mengucapkan selamat kepada Fabregas dan Messi karena telah bermain dengan sangat baik, tetapi ia meminta Messi dan Fabregas untuk tidak terlalu bersuka ria terlebih dahulu karena Chelsea FC masih berada di peringkat 2, tertinggal 2 poin dari pemuncak klasemen, Manchester United dan di pertandingan selanjutnya, Chelsea FC akan menghadapi rival terberatnya tersebut di kandang lawan. Itu akan menjadi ujian yang sangat berat bagi Fabregas, Messi, dan Wenger.

    "Kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengalahkan Manchester United. Kami akan berlatih lebih keras dan lebih serius lagi, tetapi kami tidak bisa berjanji pasti akan mengalahkan Manchester United, karena kami tidak mau mengucapkan janji yang belum tentu bisa kami penuhi.", ucap Fabregas kepada Abramovich.
    "Ya, saya harap kalian tidak mengecewakan kami semua.", jawab Abramovich yang terlihat sangat serius dengan ucapannya.
    "Mudah-mudahan kami tidak mengecewakan anda dan semua pendukung Chelsea FC.....", jawab Messi.
    Seperti yang dijanjikan mereka, Fabregas dan Messi pun berlatih lebih keras dari sebelumnya. Mereka juga sangat disiplin dalam mengikuti latihan. Mereka berdua selalu datang paling awal untuk latihan, walaupun tidak dijemput oleh sang bos lagi. Hari yang telah ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba. Fabregas, Messi, dan Wenger berangkat bersama menuju ‘Old Trafford’, kandang dari Manchester United. Sesampainya di sana, Wenger langsung mengumpulkan para pemain Chelsea FC di ruang ganti. Ia memberikan banyak masukan dan motivasi kepada para pemain Chelsea FC.
    Pertandingan pun dimulai. Para pemain Chelsea FC bermain dengan penuh semangat, tetapi mereka kecolongan oleh gol yang dicetak oleh Wayne Rooney melalui sebuah serangan balik yang sangat cepat. Tak lama berselang, Wayne Rooney kembali mencetak gol untuk memperbesar keunggulan Manchester United. Babak pertama pun berakhir dengan skor 2-0 untuk keunggulan Manchester United. Para pemain Chelsea FC terlihat sedikit putus asa dengan hasil ini. Para pemain pun menuju ke ruang ganti untuk beristirahat.
    Di ruang ganti, Wenger kembali memberikan banyak instruksi, dan masukan untuk membangkitkan semangat para pemain Chelsea FC. Tetapi, kali ini Wenger memberikan instruksi-instruksi tersebut dengan sangat tegas dan terlihat sedikit marah. Para pemain Chelsea FC pun terlihat sangat termotivasi, terutama Fabregas dan Messi. Semua masukan yang diberikan oleh Wenger diresapi dengan baik oleh para pemain Chelsea FC. Babak kedua pun dimulai.
    Wenger terus memberikan masukan sejak awal babak kedua. Pada menit ke-60, Chelsea FC berhasil memperkecil ketertinggalan melalui gol yang diciptakan oleh John Terry, sang kapten, yang juga terus memotivasi rekan setimnya. Namun, hingga memasuki menit ke-85, skor 2-1 tetap bertahan. Chelsea FC memang bermain jauh lebih baik dibandingkan dengan permainan mereka di babak pertama. Terbukti dengan gol yang disarangkan oleh Fabregas pada menit ke-89, setelah ia menerima umpan dari Messi. Pertandingan sepertinya akan berakhir dengan hasil imbang, tetapi pada menit ke-93, Messi berhasil mencetak gol kemenangan bagi Chelsea FC, setelah menerima umpan dari Fabregas.
    Wasit pun meniup peluit panjang. Fabregas dan Messi terlihat menangis di pinggir lapangan, sambil berpelukan. Mereka tidak bisa menahan kegembiraan mereka. Mereka berhasil mengalahkan tim yang telah unggul hingga menit ke-88. Seperti motto mereka, ‘Tidak ada yang tidak mungkin’, walaupun hanya tersisa 5 menit, mereka berhasil mencetak 2 gol. Sebuah pertandingan yang penuh dengan drama. Dengan hasil ini, Chelsea FC berhasil menggeser Manchester United di puncak klasemen.
    Setelah pertandingan tersebut, Abramovich menemui Fabregas dan Messi.
    "Saya sangat senang dengan penampilan kalian... Tidak salah saya membawa kalian untuk bergabung dengan kami. Kalian telah menunjukkan kualitas kalian.", ucap Abramovich yang terkagum-kagum dengan penampilan kedua pemain tersebut.
    "Kami hanya melakukan apa yang bisa kami lakukan dan kami tidak akan pernah putus asa sebelum pertandingan benar-benar berakhir.", jawab Messi, menanggapi pujian Abramovich.
    "Ya, dan saya berharap kalian bisa terus mempertahankan penampilan terbaik kalian agar kita bisa meraih banyak gelar juara musim ini.....", sambung Abramovich.
    "Ya, tentu saja. Kami juga menginginkan hal itu", ucap Fabregas, sambil tersenyum.
    Hingga akhir musim, Fabregas dan Messi selalu berhasil mencetak gol dalam setiap pertandingan, dan gol yang mereka ciptakan selalu berasal dari umpan yang diberikan oleh salah satu dari mereka. Fabregas selalu mencetak gol dari umpan Messi, sedangkan Messi selalu mencetak gol dari umpan Fabregas. Mereka pun dijuluki duet paling tajam di dunia. Di akhir musim Chelsea FC tetap kokoh di puncak klasemen. Chelsea FC juga berhasil memenangkan Piala Liga, Piala FA, dan Liga Champions.
    Karena mereka berhasil memenangkan Liga Champions, yang merupakan kompetisi tertinggi antarklub di benua Bola, mereka berhak mewakilkan klub-klub Bola lain di kompetisi piala dunia klub. Mereka akan menghadapi juara-juara dari setiap benua di kompetisi ini. Seperti biasanya, Chelsea FC kembali memenangkan kompetisi ini, dan menjadi klub terbaik dunia saat itu. Pep Wenger sangat bangga dan puas saat itu. Ia berhasil memberikan 5 gelar untuk timnya di tahun pertamanya melatih di Chelsea FC.
    Fabregas dan Messi juga selalu terpilih sebagai pemain terbaik dan top skor bersama di semua ajang tersebut. Mereka berdua juga mendapatkan trofi ‘sepatu emas’. Banyak sekali tim yang menawarkan untuk ‘membeli’ Fabregas dan Messi, tetapi Chelsea FC bersikeras menahan kedua pemain tersebut, bahkan menawarkan perpanjangan kontrak. Mereka pun menandatangani kontrak tersebut dan berjanji akan bermain untuk Chelsea FC hingga mereka gantung sepatu. Mereka bahkan bersedia untuk menjadi pelatih ataupun asisten pelatih bagi Chelsea FC jika mereka sudah pensiun nanti.
    Karena prestasinya tersebut, Fabregas dan Messi dipanggil untuk memperkuat tim nasional Negeribola. Pep Wenger juga ditunjuk untuk menjadi pelatih tim nasional Negeribola. Hal ini tentu saja membuat mereka sangat senang, apalagi mereka diikutsertakan dalam ajang ‘Piala Dunia’, antarnegara, bukan antarklub. "Tim nasional Negeribola belum pernah meraih trofi ‘Piala Dunia’ sebelumnya, dan saya berharap dengan adanya Fabregas dan Messi di sini, kami mampu meraihnya. Saya juga berterima kasih karena telah diberikan kepercayaan untuk tim nasional Negeribola.", ujar Pep Wenger.
    Piala Dunia pun dimulai. Negeribola berhasil lolos ke fase knockout setelah menjadi juara grup B. Di fase knockout, Negeribola harus berhadapan dengan lawan berat, yaitu Futbol. Pertandingan berakhir imbang hingga 90 menit berakhir. Skor ini juga tidak berubah di 2 x 15 menit perpanjangan waktu. Mereka akhirnya memenangkan pertandingan lewat drama adu tendangan penalti. Setelah itu, di perempatfinal, mereka akan bertemu dengan Bolakaki, negara yang mengalahkan mereka di Piala Dunia sebelumnya. Tentu saja mereka ingin membalas dendam.
    Pada pertandingan itu, mereka bermain dengan penuh motivasi dan akhirnya mereka berhasil mengalahkan Bolakaki dengan skor yang cukup telak, 4-0, lewat 2 gol yang diciptakan oleh Messi dan Fabregas. Namun, untuk babak selanjutnya, tentu saja tidak semudah itu untuk menang. Mereka sudah memasuki babak semifinal di mana mereka akan menghadapi Bolabola yang memang sedang “on fire” di ajang ini. Bolabola selalu menang di setiap pertandingan di kompetisi ini tahun ini.
    Hebatnya, Negeribola yang memang terlihat kalah dalam teknik dan fisik, mampu menahan imbang tim ini hingga babak kedua berakhir. Kedua tim terlihat sangat kelelahan karena harus memainkan 2 x 15 menit lagi untuk menentukan pemenang dari pertandingan ini. Negeribola berhasil memanfaatkan kelengahan dan kelelahan tim Bolabola ini. Di menit ke-119, Messi berhasil menjebol gawang lawan lewat aksi spektakulernya dengan Fabregas. Melihat kondisi ini, semua pemain Bolabola langsung membantu penyerangan. Namun mereka malah kebobolan lagi di menit ke-120. Kali ini lewat aksi Fabregas yang menerima umpan dari Messi.
    Dengan hasil ini, tim nasional Negeribola berhasil melaju ke babak final, suatu pencapaian yang belum pernah dilakukan tim ini sepanjang sejarah diadakannya Piala Dunia. Di babak final, mereka akan bertemu dengan juara bertahan Piala Dunia, yang juga merupakan tim pengoleksi trofi Piala Dunia terbanyak, yaitu Masterbola. Tentu ini akan menjadi pertandingan yang sangat seru. Tetapi, secara statistik, Masterbola lebih diunggulkan, karena di sejarah pertemuan kedua negara ini, Masterbola belum pernah kalah dari Negeribola.
    Tibalah saat yang sangat ditunggu-tunggu oleh semua pengamat sepak bola di seluruh dunia, pertandingan final Piala Dunia. Sebelum pertandingan dimlulai, seperti biasanya, para pemain dari kedua tim terlebih dahulu menyanyikan lagu kebangsaan masing-masing, kemudian saling bersalaman. Fabregas dan Messi terlihat duduk di bangku cadangan, karena mengalami sedikit cedera, akibat latihan terlalu berlebih. Kick off babak pertama sudah dilakukan. Masterbola langsung mengejutkan lawannya lewat tendangan jarak jauh akurat yang dilepaskan oleh Gerat. Untung, kiper Negeribola masih bisa menghalau tendangan tersebut dan hanya menghasilkan sepak pojok bagi Masterbola.
    Sepak pojok tersebut diambil oleh Gerat, dan diselesaikan dengan sangat baik oleh Regat lewat sundulan kepalanya. 1-0 untuk Masterbola. Tak lama berselang, giliran Gerat yang mencetak gol untuk memperbesar keunggulan timnya. Negeribola terlihat hanya bertahan. Namun, di penghujung babak pertama, mereka lagi-lagi kebobolan. Lewat aksi individualnya yang melewati 5 pemain, Joe melepaskan tendangan yang mengarah tepat ke pojok kiri atas dari gawang Negeribola. Skor 3-0 ini bertahan hingga jeda.
    Pep Wenger melakukan dua pergantian pemain di babak kedua, dengan memasukkan Fabregas dan Messi, yang memang meminta untuk dimainkan, tetapi skor 3-0 masih bertahan hingga menit ke-65. Di menit ke-67, Fabregas dan Messi melakukan umpan 1-2 berkali-kali dan akhirnya diselesaikan dengan baik oleh Fabregas. Ia berhasil mencetak gol, walaupun sedang dalam kondisi yang tidak fit dan sedang mengalami cedera. Skor berubah menjadi 3-1. Tentunya Fabregas dan Messi masih berharap Negeribola mampu memenangkan pertandingan ini. Mereka tidak pernah menyerah hingga memang benar-benar tidak ada waktu lagi.
    Mereka berjuang sekuat tenaga walaupun mereka masih cedera. Seperti yang diperkirakan banyak orang, Messi ikut menyumbangkan gol bagi timnya, dan lagi-lagi melalui umpan 1-2 dengan Fabregas. Skor pun berubah menjadi 3-2. Mungkin tim Masterbola bisa tersenyum, karena mereka mengira mereka tetap akan memenangkan pertandingan ini, karena hingga menit ke-89, mereka masih unggul 3-2. Tetapi, tepat pada menit ke-90, Messi kembali mencetak gol yang membuat semua pendukung Negeribola berteriak senang. Skor menjadi imbang 3-3. Tambahan waktu yang diberikan hanya 3 menit.
    Di menit ke-93, tepat sebelum wasit meniupkan peluit panjang, tanda berakhirnya pertandingan, Fabregas berhasil mencetak gol yang mengubah kedudukan menjadi 4-3 untuk keunggulan Negeribola. Tetapi, setelah itu ia mengalami cedera dan tidak bisa melanjutkan pertandingan. Wasit pun meniupkan peluitnya untuk mengakhiri pertandingan. Tim Masterbola pun terdiam, tidak bisa berkata apa-apa. Sebuah pertandingan yang sangat luar biasa. Tim Negeribola mampu membalikkan keadaan dari kalah menjadi menang hanya dalam waktu 5 menit. Ini merupakan pertandingan yang akan dikenang sebagai salah satu pertandingan terbaik dunia.
    Sebuah pengorbanan yang sangat luar biasa dari Fabregas dan Messi, dan pengorbanan mereka itu tidak sia-sia. Seperti motto mereka, ‘Nothing is Impossible’, itulah yang mereka tunjukkan kepada seluruh dunia. Walaupun sudah tertinggal 3-0 hingga menit ke-65 dan bermain walaupun sedang mengalami cedera, mereka mampu membawa tim yang dibelanya memenangkan pertandingan. Negeribola berhasil meraih trofi Piala Dunia untuk pertama kalinya dengan hasil kerja keras dan pengorbanan yang sangat luar biasa dari para pemainnya.
    Fabregas dan Messi juga terpilih sebagai pemain terbaik sekaligus top skor di kompetisi itu. Di akhir tahun, FIFA sebagai federasi sepakbola tertinggi di dunia akan memberikan gelar pemain terbaik dunia seperti tahun-tahun sebelumnya. Biasanya pemain yang menerima gelar ini hanya satu orang. Uniknya, tahun ini, FIFA tidak bisa menentukan siapa yang akan menjadi pemain terbaik dunia karena Messi dan Fabregas sama-sama mendapat jumlah poin yang sama. Akhirnya FIFA memutuskan untuk memberikan penghargaan ini kepada dua orang, yaitu Fabregas dan Messi.
    FIFA juga memberikan penghargaan pelatih terbaik dunia kepada Pep Wenger, yang berhasil memberikan 5 gelar juara dalam satu musim untuk tim yang dilatihnya dan 1 gelar juara dunia untuk tim nasional yang dilatihnya. Fabregas dan Messi tetap menjadi pemain terbaik dunia hingga mereka pensiun. Chelsea FC dan tim nasional Negeribola menjadi tim yang paling ditakuti oleh tim-tim lainnya. Chelsea FC selalu menjadi juara di 5 kompetisi yang diikutinya, dan tim nasional Negeribola juga meraih gelar juara di setiap kompetisi yang diikutinya.
    Setelah mereka pensiun, mereka menjadi asisten pelatih untuk Chelsea FC, seperti yang telah mereka janjikan sebelumnya, sedangkan Pep Wenger tetap menjadi pelatih Chelsea FC. Namun, setahun sesudah Fabregas dan Messi pensiun menjadi pesepakbola, Pep Wenger juga memutuskan untuk pensiun menjadi pelatih. Posisinya itu pun digantikan oleh Fabregas dan Messi. Mereka menjadi pelatih berdua. Jadi ada dua pelatih yang melatih satu tim. Mereka memang benar-benar tidak bisa dipisahkan.

    BalasHapus
  27. Nama : Shierly Jayanti
    Kelas : X.3
    Nomor : 26

    Bukan Cinta


    “Rin, sarapannya sudah siap!”,teriak mamaku menghilangkan kesunyian pagi ini.
    “Iya, tunggu sebentar, ma!, teriakku menyaingi suara mamaku.
    Aku harus memastikannya terlebih dahulu, jadi nilai buat pagi ini adalah 85 buat wajah, 90 untuk penampilan, 90 untuk kulitku. Nilai yang hampir mendekati sempurna. Tentunya beberapa hari lagi nilai itu akan menjadi sempurna dengan tangan-tangan ahliku. Sepertinya ada sesuatu yang mengusik hatiku, tapi aku juga tidak mengerti hal yang mengusik aku pagi ini.
    “Rin, kamu tidak akan bisa menikmati sarapanmu kalau kamu tidak keluar dari kamarmu sekarang.”, bentak mamaku dari arah dapur.
    “Iya, ma!”, teriakku dengan nada sedikit memelas.
    Aku ingat sekarang. Hari ini hari Jumat, seharusnya aku memakai aksesoris berwarna putih, tapi aku justru menggunakan aksesoris berwarna biru. Betapa bodohnya aku hari ini, aku harus segera menggantinya dengan warna putih. Aku tidak mau selama 2 hari aku memakai aksesoris yang berwarna sama, sungguh mempermalukan diriku. Aku mulai menukar kesalahanku dengan kesempurnaanku dan sekarang Phurin Shelvyana sudah siap.
    “Mama, apa sarapan kita pagi ini?”, tanyaku sambil mendaratkan senyuman ke wajah mamaku tersayang.
    “Kamu pikir mama masih menyisahkan sedikit makanan buatmu.”, kata mamaku dengan nada sinis.
    “Ya, iyalah. Aku yakin mama adalah orang terbaik di seluruh dunia.”
    “Kamu benar, tapi tidak untuk hari ini. Segeralah naik mobil, adikmu, Nicky sudah menunggumu bahkan ingin meninggalkanmu.”
    “Tapi bagaimana dengan sarapanku?”
    “Memangnya kamu masih ingat untuk sarapan”, kata mamaku dengan melontarkan senyum sinisnya lagi padaku dan segera beranjak pergi dariku.
    Sepertinya aku tidak perlu mengejar mamaku untuk bertanya-tanya lagi soal sarapanku hari ini.
    “Kakakku tersayang sepertinya mobil ini tidak sabar lagi menunggu, aku tidak mau membuat mobil ini kecewa hanya karena menunggu seseorang yang seharusnya tidak perlu ditunggu.”, kata adikku dengan lemah lembut.
    “Maaf!”
    Aku segera naik mobil menuju ke sekolahku, SMA Tunas Harapan. Dalam sekejab mobil produk 2008 itu segera mendaratkan ban-ban mulusnya ke depan gerbang sekolahku. Kubuka pintu mobiku perlahan, kaki kiriku mendahului kaki kananku untuk menyentuh tanah. Akhirnya posisiku sempurna untuk berdiri, dalam sekejab rambutku telah diusik oleh angin pagi. Baru beberapa langkah aku berjalan, bel sekolah sudah melantunkan iramanya disertai dengan langkah para siswa yang berlarian menuju kelas mereka.
    “Dasar anak-anak norak, mendengar bunyi bel saja sudah ketakutan.”
    Aku juga ikut masuk kelas, tentunya tidak memakai cara buruk seperti anak-anak yang sedang berlari saat ini. Seperti biasa aku berjalan di lorong sekolahku layaknya aku sedang berjalan di atas catwalk. Itulah gayaku yang selalu penuh sensasi.
    “Rin, guru kita sudah mau masuk kelas.”,kata temanku, Chiarra.
    “Kamu sudah berapa lama mengenal aku? Seharusnya kamu tahu, itu kebiasaanku untuk masuk ke kelas bersamaan dengan guru.”, kataku membalas.
    “Ya sudahlah, kita tunggu kamu”, kata Verlyn sambil memanjangkan bibirnya 5 cm seakan tak ikhlas menuggu aku.
    “Ya,iyalah. Aku tahu kalian berdua tidak mungkin bisa hidup tanpa aku.”
    “Terserah kamu!”, jawab temanku itu serempak
    Chiarra adalh teman satu gengku. Dalam gengku itu ada 3 personil, aku sebagai pemimpin, Chiarra dan Verlyn sebagai anggotanya. Geng kami menjadi pusat perhatian sekolah, terutama karena kecantikan kami bertiga dan ketangguhan kami untuk menyingkirkan geng-geng lain.
    “Phurin! Sedang apa kamu disitu? Cepat masuk!”, bentak guru kelasku.
    “Iya, bu.”, kataku.
    Hari ini pelajaran pertama dan kedua adalah matematika. Seperti biasanya, soal-soal yang diberikan para guru itu tidak pernah membuat aku harus berpikir, cukup dengan otakku yang pintar ini memberikan progran untuk tanganku agar bekerja dengan modus otomatis. Itulah aku si bibit emas dari sekolah ini.
    “Rin, bagaimana soal no 2?”, tanya Chiarra kepadaku sedikit berbisik.
    “Ambil buku aku saja, lain kali langsung ambil saja, tidak perlu pura-pura tanya lagi yah”, balasku seakan sudah bosan mendengar pertanyaan seperti itu.
    Kali ini aku merasa leherku pegal sekali. Putar kanan lalu putar...
    “Dia melihatku lagi, jadi malu.”, bisikku pelan.
    ‘”Kamu bilang apa?, tanya Chiarra penuh tanya.
    “Oh..ehm..rambutku sepertinya berantakan.”, kataku gugup.
    “Mau sisir?”, saran Chiarra.
    “Tidak perlu.”, kataku mengakhiri pembicaraaan.
    Hampir saja Chiarra mengetahui bahwa aku sedang membicarakan seorang cowok yang berjabatan ketua kelas yang duduk di bangku terdepan itu. Ekspresinya yang selalu cool membuat banyak cewek mengejarnya tapi di memang selalu cuek dengan semua cewek kecuali aku. Pembicaraan tentang cowok itu pun ada alasannya. Alasannya karena aku tahu bahwa cowok itu sepertinya memendam suatu rasa suka kepadaku, mulai dari tatapan matanya yang selalu tertuju kepadaku sampai sifatnya yang suka salah tingkah di depanku. Awalnya aku juga tidak sadar dengan perasaan cowok itu, tapi lama-kelamaan aku mulai merasa dia selalu memperhatikan aku mulai dari pertama kali kami satu kelas. Pada awalnya, aku memang tidak memberikan rasa apapun kepada cowok itu, lama-kelamaann aku sadar dia selalu ada didekatku terutama untuk melindungiku. Meskipun dia bukan kriteriaku, tapi aku mulai suka dengan sikapnya itu, hal itulah yang membuat aku jadi selalu memikirkan namanya, Rendy. Tubuhnya tinggi, kulitnya putih, wajahnya cakep, dan sangat baik . Dia itu tipe di atas standard untuk para cewek.
    “Rin, kamu melamun?”, kata Verlyn mengejutkan aku.
    “Iya nih, Phurin melamun.”, sambung Chiarra.
    “Ehm..ehm..sepertinya aku belum selesai mengerjakan tugas tadi, aku harus menyelesaikannya sekarang.”, kataku asal bicara.
    “Dalam sejarah kamu itu selalu mengerjakan tugasmu dengan sempurna, jadi aku rasa kamu tidak perlu bertanya lagi tentang hal itu.”, sambung Verlyn curiga.
    “Iya, benar juga.”, kataku seperti orang bodoh.
    “Apa yang sedang kamu pikirkan?”
    “Memangnya aku pernah berpikir?”
    “Tapi tadi kamu itu...”
    “Phurin, Verlyn kalau kalian tidak segera diam, ibu tidak segan-segan untuk mengusir kalian.”, kata guru matematika terganas di sekolahku, Bu Rena.
    Tentu saja untuk menjaga imageku di mata para guru, aku segera diam. Aku tidak mau gara-gara hal kecil aku harus kehilangan rasa suka dari para guru itu.
    “Baiklah anak-anak, ibu rasa kalian semua sudah menyelesaikan tugas kalian, sekarang berikan buku kalian kepada ketua kelas. Kemudian ketua kelas akan membagikannya kembali kepada teman yang lain untuk dikoreksi.”, kata Bu Rena.
    “Bu, membaginya sesuai keinginan saya?”, tanya Rendy.
    “Iya, asalkan tidak kamu berikan kepada pemiliknya.”
    Inilah saatnya bagiku untuk menguji perasaan sang ketua kelas kita, Rendy. Aku sebenarnya sudah tahu dia ada perasaan cinta kepadaku, tapi sekarang aku belum yakin. Sekaranglah saat yang tepat untuk memastikannya.
    “Nih...bukunya”, kata Rendy lembut.
    “Thanks”, sambutku.
    Kulihat dengan jelas nama pemilik buku yang diberikan Rendy kepadaku, tentunya pemilik itu menginginkan aku menggoreskan pena bertulisan jumlah salah dan benar pada bukunya. Keyakinanku semakin besar saat aku mengeja nama pemilik tersebut,Rendy. Aku juga harus memperhatikan orang yang memeriksa bukuku, aku terus melihat tumpukan buku yang tergenggam erat di tangan Rendy untuk mencari bukuku. Tiba-tiba aku menemukan bukuku, tapi saat buku itu mendapat giliran untuk dibagi, Rendy meletakkannya di tumpukan paling bawah.
    “Kenapa bukuku tidak dibagi?” tanyaku penasaran
    Aku terus mengawasi buku kecil bersampul putih bercampur ungu itu, dan akhirnya semua buku sudah dibagi kecuali bukuku yang terletak di paling bawah. Semua anak pun telah mendapatkan buku untuk dikoreksi kecuali Rendy. Ternyata dugaanku benar, dia menyimpan buku itu di paling bawah karena dia ingin memeriksanya. Senyuman kemenangan mulai menghiasai wajahku. Bukan hanya itu saja, tapi aku juga merasa sesuatu, sesuatu yang sulit sekali untuk dijelaskan. Bel istirahat pun berirama kembali membuyarkan lamunanku.
    “Rin, mau ke kantin?”, tanya Chairra dan Verlyn bersemangat
    “Ya,iyalah. Aku kan si ratu kantin.”, balasku mengundang hasrat tawa mereka.
    Akhirnya kami samapi di stan bakso Mang Udin yang terkenal paling enak. Walaupun enak, harga bakso Mang Udin tetap murah. Orangnya juga ramah.
    “Mang, pesan baksonya satu, minumnya es jeruk saja.”
    “Iya, neng. Tunggu bentar yah”
    “Rin, kamu sepertinya harus tahu bahwa teman kita lagi jatuh cinta.”, kata Chiarra bersemangat.
    “Ha...aku tidak tahu. Siapa yang bisa membuat Verlyn tersenyum seperti itu?”
    “Dia itu...”
    “Ra, jangan bilang, aku kan jadi malu.”potong Verlyn.
    Muka Verlyn bersemu merah seperti habis menelan sesuatun yang teramat panas dan pedas. Itulah ekspresi orang yang sedang jatuhn cinta.
    “Oh...aku tidak boleh tahu tentang itu?”
    “Nanti saja di kelas, aku takut ada yang dengar.”, kata Verlyn sambil tersenyum tanpa arti.
    Kulahap semangkuk bakso yang ada di depanku sambil beberapa kali aku menjauhkan mulutku dari mangkuk bakso itu ke minuman es jerukku. Betapa enaknya bakso Mang Udin. Aku tidak pernah bosan untuk menyantapnya setiap hari.
    Bel masuk kelas sudah berdering lagi, mengingatkan kami untuk segera beranjak dari kursi kantin. Pelajaran selanjutnya adalah pelajaran geografi. Pak Heru tidak pernah telat sedikit pun masuk ke kelas kami, beliau adalah guru terdisiplin di sekolah ini. Begitu juga dengan kedisplinannya terhadap tugas yang diberikan kepada anak muridnya, telat satu hari saja untuk mengumpulkan tugasnya, jangan berharap bisa mendapat ukiran nilai di atas enam di raportmu.
    “Jadi gunung api yang sedang meletus sangat berbahaya karena mengeluarkan banjir lahar yaitu aliran panas dengan lumpur yang dimuntahkan dari kepundan, banjir lava yaitu zat cair bertemperatur tinggi dan mengalir di puncak gunung, gelombang pasang dan awan emulsi.”, jelas pak Heru singkat, padat dan tidak jelas.
    “Pak, apa yang dimaksud dengan awan emulsi dan bagaimana terbentuknya?”, tanyaku sambil berharap dijawab dengan jelas.
    “Pertanyaan bagus. Awan Emulsi adalah awan panas yang terbentuk dari kepundan gunung api atau dari lava yang mengalir.”
    Dengan cepat, aku mencatat jawaban singkat, padat dan kurang jelas itu di buku catatanku. Akhirnya aku bisa mencatat semua yang dikatakan guru itu dengan cukup lengkap. Tiba-tiba aku merasa seseorang menatapku dari arah yang cukup jauh radius beberapa meter dariku, aku balik menatapnya. Pandanagan kami bertemu, kedua bola mataku seakan tidak mau berpaling. Kami terus saling bertatap tanpa ekspresi, gugup bercampur tegang menghiasi aliaran darah dalam tubuhku. Aku tidak sanggup berkata lagi. Aku harus membuat bola mata ini tunduk kepadaku. Kujauhkan pandanganku terhadapnya, tapi hatiku sakit karena aku masih ingin melihatnya. Orang itu bukanlah Rendy, yang selalu menatapku lembut. Sorot matanya kosong menatapku tanpa arti. Lalu dia tersenyum kepadaku, dia Elvin. Baru kali ini dia tersenyum sama cewek, dia pun berhasil membuat jantungku berdetak kencang kali ini, biasanya aku jarang sekali berbicara dengan dia, bertemu pun hanya pada saat jam pelajaran. Dia anak yang misterius.
    “Mati aku, aku terlalu banyak melamun sehingga lupa mencatat penjelasan Pak Heru.”, kataku sambil berusaha memfokuskan diriku lagi pada perkataan Pak Heru.
    Elvin masih menatapku dan aku sangat menyadari hal itu, tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk memikirkan itu. Elvin terlihat cemas melihat aku yang kebingungan mengejar penjelasan pak Heru yang ketinggalan.
    Tett......bunyi bel istirahat kedua.
    “Nih, catatanku tentang pelajaran Pak Heru, kamu tidak perlu cemas. Aku mencatatnya dengan sangat lengkap.”, kata seorang cowok berpostur tubuh tinggi yang berdiri di hadapanku, di dadanya tertulis namanya, Elvin.
    “Ehm..thanks. Kamu mau meminjamkan catatanmu pada orang lain, bukannya kamu itu tidak pernah mau meminjamkan catatanmu pada siapapun?”, tanyaku pelan.
    “Peratuaran itu tidak berlaku buatmu”, katanya sambil berbisik kemudian langsung kembali ke tempat duduknya.
    Terlintas sedikit kegembiraan di hatiku saat dia mengatakan itu. Kubuka buku hijau tua yang terbalut olaeh sampul plastik itu. Alangkah kagetnya aku melihat isi di dalamnya. Tulisannya seperti diukir terlihat sangat rapi dan catatannya menyerupai mesin fotokopi, sangat lengkap. Satu titik pun dari perkataan Pak Heru tidak lupa dicatatnya padahal tadi aku sama sekali tidak melihat saat dia menulis. Terbesit rasa kagum yang sangat mendalam. Aku pun langsung menyalin catatannya.
    “Sekali lagi, thanks yah!”, kataku sambil mengembalikan buku itu kepada pemiliknya.
    “Aku senang kalau kamu mau meminjam catatanku.”,s ahut Elvin sambil memberikan kembali senyuman hangatnya.
    Aku pun berjalan kembali ke arah tempat dudukku. Berharap dapat meminjam buku catatannya lagi.
    “Rin, hari ini kami mau ke rumah kamu.”, kata Chairra dan Verlyn.
    “Untuk?”
    “Aku mau cerita tentang cowok yang aku suka itu.” Kata Verlyn pelan
    “Boleh, kebetulan mamaku lagi pergi siang ini, jadi kita bisa melakukan apa saja di rumahku termasuk menghidupkan musik sekeras mungkin di kamarku.”
    “Kami langsung ikut kamu ke rumahmu, tapi kami mau ke kantin dulu. Chairra ingin beli permen karet.”
    “Aku tunggu di gerbang depan” kataku sambil berjalan menjauhi kedua temanku.
    Baru beberapa langkah aku berjalan, seseorang menabrakku dari arah belakang. Buku-bukuku terjatuh semua, ada yang mendarat mulus di jalan berlapis semen itu, ada juga yang mendarat darurat di selokan besar samping jalan. Hal ini membuat kemarahanku memuncak, aliran darahku sepakat untuk memberontak, mereka segera berkumpul di atas kepalaku untuk mengendalikan diriku menghajar orang yang telah menabrakku itu.
    “Dimana kamu meletakkan matamu? Apa kamu tidak bisa melihat aku berdiri di sini sehingga kamu langsung saja menabrakku? Kamu pikir jalan ini milik nenek moyangmu! Mata itu diletakkan diatas hidung dibawah kening, bukan di bawah kaki!”, bentakku dengan nada teramat kesal.
    “Maaf, aku benar-benar tidak sengaja.”, sahut cowok itu sambil memunguti bukuku yang terjatuh berserakan di lantai dan di selokan
    “Kamu pikir dengan kata maaf, aku bisa melupakan kesalahanmu. Jangan harap!”
    “Aku lagi terburu-buru, aku...aku sungguh tidak sengaja”, kata cowok itu gemetar sambil menatapku dengan pandangan memelas.
    “Aku tidak peduli!”, teriakku keras membuat semua orang melihat ke arah kami, aku sungguh tidak bisa menahan amarahku lagi, kemudian aku berlari menuju gerbang sekolah. Bahkan aku lupa untuk mengambil bukuku yang berserakan.
    “Rin, ayo pulang!”, sahut Chiarra dari arah belakang sambil menarik lenganku masuk ke dalam mobilku.
    Mobil itu melaju cepat ke rumahku, dalam hitungan menit kami bertiga sudah berdiri di depan pintu rumahku. Kutekan bel mungil berwarna putih di sudut pintu megah model eropa itu. Tak lama kemudian, seorang wanita bertubuh kurus yang tubuhnya hanya terbalut oleh daging tipis, menyambutku dengan senyuman lembut.
    “Selamat siang, non.”, kata Bi Sera, pembantu yang sudah bekerja selama 10 tahun di rumahku.
    “Siang, Bi.”, balasku seadanya.
    Aku dan kedua temanku itu bergegas menuju kamarku yang terletak di lantai 2. Kami menggerakan kursor volume dalam radio ke arah maksimum. Suara radio itu menggetarkan seluruh komplek perumahan ini.
    “Non, suara radionya dikecilkan, nanti para tetangga marah.”, kata Bi Sera menegurku dengan lembut. Aku selalu menuruti kata Bi Sera karena dia yang selalu menemaniku sejak kecil, dia tahu segala sesuatu tentangku. Aku bahkan tidak berani untuk berbicara kasar terhadap Bi Sera. Beliau sudah banyak berjasa bagi keluargaku.
    “Bibi bawa jus melon sama puding blackforest buat kamu dan temanmu, bibi meletakkannya di atas meja belajarmu. Selamat makan.”, kata Bi Sera sambil meninggalkan kami pergi.
    “Bi Sera benar-benar baik, beliau tidak pernah lupa memberiakan cemilan saat kita datang, Ra.”, celoteh Verlyn
    “Benar, cemilan buatan Bi Sera juga enak.”, sambung Chiarra.
    “Oh ya, jadi siapa cowok yang bisa merebut hati kamu, Ver?”, tanyaku sambil memainkan game di PSP.
    “Dia sekelas dengan kita.”
    “apa?”, aku berteriak seadanya, perhatianku beralih ke Verlyn. Kujauhkan PSP itu dari tanganku sebelum aku kaget lagi dan menjatuhkannya.
    “Dia...”
    “Dia siapa?”, tanyaku tak sabar menunggu.
    Verlyn mengambil secarik kertas dari meja belajarku, dia juga mengambil sebatang pena. Lalu di menulis satu huruf yang merupakan huruf kelima dari abjad kemudian disusul oleh huruf konsonan dan serangkaian huruf lainnya, perpaduan antara huruf vokal dan konsonan begitu sempurna, sehingga aku bisa membaca dengan jelas nama yang sedang ditulisnya, Elvin
    “Selama ini kita jarang sekali melihat dia bergaul dengan teman-teman sekelas, dia itu pendiam. Kemarin, aku ingin mengembalikan buku ensiklopedia yang kupinjam dari perpustakaan, lalu aku melihat sosok Elvin yang sedang membaca buku sambil melepas kacamatanya itu dan paling penting di tertawa lepas saat itu, dia terlihat sangat berbeda. Aku pun hampir tidak mengenalinya. Saat aku sadar, aku sudah jatuh cinta dengannya.”, cerita Verlyn sambil mengenangnya kembali.
    Denyut nadiku mendukung kepanikanku, Elvin adalah orang yang sedang menatapku tadi pagi. Aku juga merasa jantungku berdebar ketika dia melihatku dan aku yakin bahwa Elvin juga memendam rasa suka kepadaku.
    “Rin, kamu kenapa? Kenapa kamu melamun?”, tanya Chiarra.
    “Aku..ehm...aku..sakit perut, aku mau ke belakang dulu.”, jawabku gugup sambil pergi secepat kilat.
    Verlyn tidak mungkin bisa mendapatkan Elvin, sepertinya Elvin menyukaiku. Aku tidak mau Verlyn sakit hati karena cowok yang dia suka ternyata menyukai temannya, tapi aku tidak bisa mengatakan hal ini kepada Verlyn, terpaksa aku harus pura-pura mendukungnya.
    “Rin, aku dan Verlyn pulang dulu, sudah sore.”, kata Chiarra sedikit berteriak.
    “Iya, aku masih sakit perut, jadi tidak bisa mengantar kalian ke depan.”, balasku sedikit berteriak juga. Belum selang satu jam kepergian teman-temanku tersayang, bel di rumahku berteriak lagi memanggil seseorang untuk membukakan pintu rumah. Seperti biasanya Bi Sera keluar, sambil menyapa si tamu itu.
    “Non, ada yang mau ketemu.”, panggil Bi Sera.
    “Suruh masuk dulu saja, aku lagi ganti baju, Bi.”, kataku dari arah kamar
    Aku pun segera turun dari kamarku yang terletak di lantai 2 menuju ruang tamu, kupandangi tamuku itu dari arah belakang. Tapi aku tidak bisa menunjukan tanda-tanda bahwa aku mengenal orang itu. Kuberanikan diri bertanya.
    “Kamu siapa?”, tanyaku pelan.
    “Aku orang yang menabrak kamu tadi siang.”, kata cowok itu sambil menunjukkan mukanya.
    “Darimana kamu tahu alamat rumahku?”
    “Ceritanya panjang, yang jelas aku tahu rumahmu dari salah seorang temanmu. Aku mau minta maaf lagi soal kejadian tadi, aku ke sini untuk mengembalikan bukumu yang terjatuh di jalan, sedangkan bukumu yang terjatuh di selokan harus kubersihkan terlebih dahulu, mungkin aku akan mengembalikannya setelah aku selesai menyalin catatanmu di buku baru.”, tegasnya.
    “Aku...aku juga minta maaf sudah marah-marah sama kamu.”
    “Kamu tidak perlu minta maaf, kamu itu tidak pernah berbuat salah sama aku.”
    “Namaku Relvan. Kamu?”
    “Aku Phurin. Kamu mau minum apa?”
    “Terserah kamu aku kan tamu.”
    “Tunggu bentar, aku mau mengambil minuman kamu.”
    Aku berjalan ke dapur untuk membuatkan minuman untuk tamuku itu, akan kubuat minumanyang paling enak di seluruh dunia.
    “Nih, Jus orange.”
    Aku menyodorkan minuman itu kepada si Relvan, dia mencoba mengambil pemberianku itu dengan tangan kanannya. Tanganku hampir menutupi semua dinding gelas itu, sehingga Relvan kesulitan menemukan celah kosong. Relvan pun menerima gelas itu dengan menyentuh tsanganku, seharusnya aku bisa mengatur agar tanganku segera melepaskan dirinya dari sentuhan tangan Relvan. Sayangnya kali ini aku sungguh tidak bisa melakukan itu. Mataku dalam sekejab menangkap tatapan mata Relvan yang tajam. Kami saling memandangan orang yang ada di depan kami, sedangkan tangan kami masih bersentuhan hangat.
    “Non, handphonenya bunyi, bagaimana cara mendiamkannya?”, kata Bi Sera sedikit berteriak dari arah kamarku.
    Aku langsung melepaskan tanganku dari gelas itu, begitu juga dengan Relvan. Kami melepaskannya di saat bersamaan.
    Prank...! Gelasnya pecah, pecahannya mengenai kakiku. Program komputer di dalam tubuhku langsung memberikan sinyal ke satelit dan satelit itu mengirimkan balasannya.
    “Aduh...! Sakit sekali.”, kataku terduduk lemas di lantai sambil melihat kondisi kakiku itu.
    “Pecahan kacanya masuk ke dalam kakimu, Rin!”
    “Sakit...”
    Relvan segera mencabut pecahan kaca itu, sedangkan aku hanya menanggis sejadinya. Dia kelihatan sangat panik.
    “Dimana kotak P3Knya?”
    “Di Dapur, kamu jalan lurus terus ke kanan.”
    Relvan langsung berlari meninggalkan aku tanpa berkata apa-apa lagi, sekarang aku hanya menatap punggungnya yang pergi ke arah yang kusebutkan tadi.
    “Kamu tahan sedikit, aku mau membersihkan lukamu dulu.”
    “Au..sakit.”
    “Tahan sedikit lagi, aku hanya tinggal membalut lukamu saja.”
    Akhirnya Relvan sudah berhasil melakukan operasi darurat pada kakiku ini. Rasa sakitnya juga sudah mulai meredup ditutupi oleh rasa yang yang muncul dari hatiku.
    “Maaf, gara-gara aku kamu jadi begini.”, katanya dengan wajahnya yang tertunduk lemas.
    “Ini kan juga salah aku yang tidak hati-hati”
    “Aku yang salah aku menjatuhkan gelas itu”
    “Baiklah, kita semua tidak salah, gelas itu yang salah. Kalau si gelas sudah mau hancur, hancur saja. Asalkan tidak merepotkan orang lain seperti ini. Si gelas sih tidak rela dirinya hancur.”
    “Ha ha ha, kamu lucu seperti anak kecil.”
    “Anak kecil?, huh! Sebal”
    “Cemberut nih. Aku suka sekali sama anak kecil.”
    Aku menatapnya lagi, wajahku langsung memerah mendengar ucapan terakhirnya itu. Kuturunkan wajahku agar dia tidak bisa melihat betapa merahnya wajahku saat itu. Aku malu.
    “Ehm...aku pulang dulu yah, sudah sore.”
    “Iya, hati-hati yah.”, kataku pelan.
    Setelah makan malam bersama keluargaku, aku lebih memilih mengunci diriku di kamarku. Kemudian aku mengambil sebuah buku kecil berbalut dengan pita biru berpadu dengan garis putih, aku juga mengambil pena tinta hitamku. Lalu kutuliskan kegiatanku hari ini.
    Dear Diary
    15 April 2009

    Hari ini aku tidak bisa menikmati kelezatan sarapan mamaku, dia terlanjur marah kepadaku karena aku terlalu lama mengurusi penampilanku. Seperti hari-hari sebelumnya Rendy selalu memperhatikan aku, tapi aku belum tahu perhatian itu adalah sebuah cinta atau bukan kemudian aku ingin menguji, ujian itu menunjukkan bahwa dia menyukaiku. Hari ini ada yang aneh dengan Elvin, si anak misterius. Dia menatapku tajam kemudian tersenyum, aku merasa di juga mulai menyukaiku saat di bilang peraturan larangan peminjaman catatannya tidak berlaku buat aku. Hari ini aku mendapat teman baru namamnya Relvan, pertama kali bertemu dengannya aku sangat membencinya, tapi sekarang perasaan itu mulai berubah apalagi saat di bilang kalau aku anak kecil dan di menyukai anak kecil. Semua orang tahu maksud dari perkataannya itu. Ketiga cowok itu hari ini bisa membuat jantungku berdetak sangat kencang, andai saja aku disuruh memilih, aku tidak akan bisa memilih salah satu dari mereka. Aku sudah benar-benar mengantuk sekarang. Selamat tidur.

    Phurin



    Kututup buku diary itu, begitu juga dengan mataku.
    ..........
    “Rin,siapa yang ingin kamu pilih diantara kami?”, tanya Rendy, Elvin, dan Relvan serempak dan sedikit memaksa.
    “Aku..aku menyukai kalian semua, aku tidak bisa memilih salah satu diantara kalian. Aku..aku..”
    “Kamu harus memilih!”, jawab mereka serempak.
    “A..ku...tidak..”
    “Rin, aku yang selalu memperhatikanmu dan melindungimu, seharusnya kau tak ragu untuk memilihku.”, kata Rendy tegas
    “Rin, aku sangat menyayangimu, hanya kamu yang bisa buat aku tersenyum.”, kata Elvin meyakinkanku.
    “Rin, aku orang yang paling memahamimu. Aku takut kalau kau terluka. Aku sampai benar-benar panik saat melihat orang yang aku sayangi terluka terkena pecahan kaca itu.”, kata Relvan tidak mau mengalah.
    “Jangan paksa aku!”, teriakku sambil berlari pergi.
    ..........
    “Non, bangun! Sudah pagi.”, panggil Bi Sera membangunkn aku dari mimpi terburukku.
    “Ah...hanya mimpi.”, bisikku pelan.
    “Apa non?”
    “Nggak apa-apa, Bi, aku mandi dulu yah.”
    Aku masih sangat mengantuk, tetapi aku hampir tidak berani lagi tidur gara-gara mimpi burukku itu. Aku takut mimpi itu benar-benar terjadi padaku. Aku harus segera turun, kalau tidak ,aku tidak akan mendapat sarapanku lagi.
    “Kak, ayo berangkat. Sudah siang nih!”, teriak adikku keras.
    “Iya, tunggu bentar, lagi pakai sepatu nih!”
    Mobilku melesat cepat ke arah tempat satu-satunya tujuanku setiap hari.
    “Rin, kamu kenapa sakit yah?”, sambut Chiarra.
    “Mukamu pucat.”, tambah Verlyn.
    “Aku nggak apa-apa kok, masuk kelas yuk.”
    “Ha...nggak biasanya kamu mau masuk kelas sepagi ini.”, jawab mereka kaget.
    Hari ini aku tidak bisa konsentrasi belajar, aku terus-terusan memikirkan mimpi itu, aku takut jika mereka menyatakan rasa suka mereka kepadaaku. Walaupun sebenarnya aku senang ketika mereka menyatakan rasa suka mereka kepadaku, setidaknya dugaanku benar dan hal itu membuktikan bahwa aku memang cantik. Aku juga tidak mengerti arti dari perasaanku, yang jelas aku menyukai ketiga-tiganya tetapi aku belum siap untuk menjalin hubungan lebih dalam dengan mereka. Jika disuruh memilih, aku pasti kebingungan menyeleksi kelemahan dari mereka yang paling kecil.
    “Rendy itu tinggi, cakep, kulitnya putih, sangat cool tapi sayang di itu bodoh dalam hal pelajaran. Aku tidak mau mempunyai seorang pacar yang bodoh. Elvin itu tinggi, kulitnya putih, baik, pendiam, tapi wajahnya tidak terlalu cakep. Aku juga tidak mau mempunyai pacar yang jelek. Aku akan merasa malu dengan teman-temanku karena aku tidak mampu mencari cowok yang cakep. Relvan itu baik, perhatian, tinggi, cakep, penyayang, setia tapi dia emosinya tinggi. Aku tidak mau memiliki cowok yang mudah sekali marah, hal itu akan membuat aku jengkel.”, ceritaku pelan ke arah dinding di sebelah kananku.
    Ini semua salahku, aku terlalu mudah memberikan perasaanku kepada cowok yang suka terhadapku. Aku juga tidak mengerti perasaan yang kuberikan kepada semua cowok yang menyukai aku, yang jelas aku merasa sangat senang jika ada cowok yang menyukaiku. Apakah diantara mereka bertiga ada yang menyatakan perasaannya kepadaku? Jika iya, bagaimana aku harus menolaknya? Aku sangat bingung.
    ..........
    Hari ini tepat satu bulan setelah aku bermimpi para cowok itu menyatakan perasaannya kepadaku. Faktanya sampai sekarang hal itu tidak pernah terjadi, aku mulai ragu dengan perasaan mereka terhadapku. Selama ini, mereka memperlakukan aku dengan baik sekali, terlihat sekali mereka menyayangiku, tapi kok merek tidak menyatakan perasaannya kepadaku. Seharusnya aku seneng karena pada dasarnya aku kan mau menolak mereka, tapi sekarang ini aku ingin mereka jujur atas perasaan mereka terhadapku. Aku jadi tersiksa kalau begini terus. Satu hal yang membuat aku juga penasaran, mengapa teman-temanku tidak sadar kalau mereka bertiga menaruh hati padaku? Sungguh sulit bagiku untuk menjawab pertanyaanku sendiri.
    “Sepertinya aku harus melupakan mereka.”, kataku pelan.
    “Kamu bilang apa?, tanya Verlyn dan Chiarra serempak.
    “Aku nggak bilang apa-apa kok.”
    “Jelas-jelas tadi itu kamu mengeluarkan suara!”, sambung Chiarra.
    “Nggak kok kalian saja yang salah dengar.”
    “Rin, kami buaknlah anak kecil yang bisa kau tipu. Jujurlah, Rin. Itu gunanya kami sebagai temanmu menemanimu di saat yang susah maupun senang.”
    “Sepertinya aku harus menceritakan yang sebenarnya sama kalian.”
    “Apa yang kamu rahasiakan dari kami?”, tanya Verlyn.
    “Sebenarnya aku....”, ceritaku tentang kejadian yang sebenarnya tidak ada yang dikurangi dan ditambahkan.
    “Oh...begitu!”, sahut sahabatku serempak.
    “Rin, perasaan kamu sekarang ini bukan cinta. Kamu ingin mereka menyatakan rasa sukanya terhadapmu kan, tapi kamu tak mau menerima mereka kan, jadi kesimpulannya adalah kamu hanya menginginkan popularitas semata yaitu kamu itu ingin dianggap sebagai cewek yang cantik karena banyak yang suka sama kamu. Tidak ada rasa cinta sedikit pun dari dirimu untuk mereka. Kamu hanya merasa bangga jika teman-temanmu tahu kalau kamu bisa menaklukan hati ketiga cowok itu.”, jelas Chiarra bijaksana.
    “Tapi hatiku sakit sekarang ini, sakit sekali.”
    “Itu karena kamu gagal membuat teman-temanmu tahu kalau kamu itu berhasil menaklukan ketiga cowok itu.”, potong Verlyn disertai anggukan kepala tanda setuju dari Chiarra.
    “Dari dulu sampai sekarang perasaanmu yang sebenarnya kepada mereka hanya sebatas teman tidak lebih dari itu.”, sambung Chiarra.
    “A..ku..aku...”, jawabku terbata-bata.
    Sekarang sepertinya aku mulai mengakui bahwa perkataan Chiarra dan Verlyn benar. Tanpa sadar air mataku pun jatuh, aku peluk kedua sahabatku itu.
    “Thanks ya, aku benar-benar nggak tahu jika kalian nggak ada. Aku nggak akan mengulangi kesalahan itu lagi. Aku janji, aku janji.”
    “Makanya lain kali kalau ada masalah langsung cerita saja, jangan disimpan-simpan. Kamu sendiri yang tersiksa.”
    “Aku sayang kalian.”, jawabku sambil memeluk mereka lebih erat.
    “ Kami juga.”, jawab Chiarra dan Verlyn kompak.
    Kami bertiga berpelukan, kami juga tidak sadar atas perbuatan memalukan kami di mall itu. Perlahan aku menghapus air mataku, air mata kebahagiaanku.
    “Rin, cari makan yuk! Lapar sekali nih...”, potong Verlyn mengacaukan suasana yang bagus itu.
    “Boleh juga, aku juga lapar.”, jawabku dengan senyum terlebar.
    “Mau makan dimana?”,tanya Chiarra.
    “Terserahlah yang penting makan.”, jawabku.
    “Ha ha ha, dasar rakus!”, potong Verlyn.
    Kami bertiga menuju restoran terenak di mall itu.
    “Mbak, aku pesan chicken noodlenya sama vanilla milkshakes.”, pesanku kepada waitress di depanku itu.
    “Mbak, kalau aku pesan fish sandwish sama ice lemon tea ya.”, pesan Verlyn bersemangat.
    “Kalau aku seafood fried rice saja sama orange juice.”, pesan Chiarra.
    “Tunggu sebentar ya, pesanan akan segera diantar.”, kata waitress itu.
    Kami makan dengan lahap dan penuh sukacita.
    “Ayo kita ke kasir. Mau dibayar nih makanan, aku yang bayar yah.”
    Perasaanku terlalu senang membuat aku tidak melihat sekelilingku lagi. Tiba-tiba...
    “Aduh, kalau jalan hati-hati, baju saya jadi basah nih.”, gerutu cowok di depanku sambil membersihkan bajunya.
    “Maaf, aku ganti minumannya kok.”, kataku dengan penuh penyesalan.
    “Nggak perlu.”, kata cowok itu sambil berhenti membersihkan bajunya dan menoleh ke arahku. Begitu juga dengan aku yang berhenti menunduk dan menoleh ke arahnya.
    “Sekali lagi ma...”, kataku terhenti.
    Pandangan kami bertemu sejenak.
    “Cakep banget nih cowok.”, bisikku dalam hati.
    “Namaku Frey, kamu?”, tanya cowok itu.
    “A..ku...Aku...Phurin, yakin nih kamu nggak apa-apa.”
    “Nggak apa-apa kok, aku pergi dulu yah!”, kata cowok itu sambil berjalan meninggalkanku.
    “Ra,Ver, sepertinya aku akan melupakan janjiku kepada kalian deh.”, celotehku sambil berlari menjauhi mereka berdua dan mengejar Frey untuk mentraktirnya minuman baru. Penyakit itu menyerang bagian hatiku lagi.

    BalasHapus
  28. CINTA SEUJUNG JARI
    “Ma... Mama!” Teriakku kepada Single Parentku itu. Ya begitulah... semanjak Papa meninggal setahun yang lalu, aku dan Mama tinggal di rumah sebesar ini berdua. Ya kadang-kadang ditemani Bibi Tuti. Tetapi, hari ini dia lagi cuti nginep karena anaknya sakit. Padahal hari ini malam minggu dan aku harus kencan sama cowokku karena minggu-minggu lalu aku sudah membatalkan janji. Aku jadi kasihan sama Mama harus sendirian di rumah.
    “Hei... Honey. Kok udah pulang sih? Ada apa?” Tanya Mama dengan alis yang naik sebelah. Wajah khas Mama kalau lagi bingung atau penasaran akan sesuatu.
    “ Nggak kok... Aku cuma kasihan ama Mama. Kan Mama sendirian di rumah. Jadi, pasti ketakutan deh....” Jelasku dengan nada bercanda tetapi sebenarnya sangat mencemaskan dia.
    “ Enak aja! Emangnya Mama anak kecil lagi yang masih takut kalau ditinggal sendirian di rumah? Inikan rumah yang Mama dan Papamu bangun dari nol. Jadi udah nggak takut lagi. Kalau ada hantu, tuyul atau semacamnya Mama pasti nggak takut karena emang Mama yang peliharanya.” Balas Mama tak kalah pedas dan konyolnya sama aku.
    “Trus Kevin nggak marah kalau kamu pulang lebih cepet? Gimana itu kencannya? Pasti nggak romantis deh?” Serentetan pertanyaan dari Mama seperti tembakan pistol polisi saat menangkap penjahat. Memang sih Mama super perhatian soal kehidupan cintaku sama Kevin. Jadi wajar aja kalau Mama nggak senang gitu kalau aku sering banget membatalkan janji kencan sama Kevin. Dan karena itulah, Mama juga rela ditinggal sendirian di rumah padahal biasanya harus ada yang nemenin.
    “Marah gimana? Orang dianya aja pengen banget turun buat nemenin Mama. Kalau soal kencan sih biasa-biasa aja nggak ada yang spesial tapi tetep romantis kok.”
    “ Kamu itu beruntung Tan, punya cowok sebaik dan seromantis Kevin. Mama aja iri sama kamu. Kalaupun biasa-biasa aja itu karena kamu sendiri kurang beri dia keyakinan bahwa kamu juga sayang dan peduli sama dia. Ya jadi gitu deh nggak romantis seperti pasangan lainnya...” ejek Mama yang membuat aku tersadar bahwa memang selama ini aku kurang beri perhatian sama Kevin. Lebih peduli sama tugas sekolah dan rumah. Pulang sekolah ya belajar. Kencan cuma berlaku malam minggu aja. Waktu kencan pun aku nggak terpusat total sama Kevin. Ada-ada saja alasanku kalau nggak konsen dengerin curhatannya. Dari yang sakit kepala, sakit perut, sampai hampir mau pingsan. Semua sudah aku lakukan, dan Kevin yang juga tahu, tetap terima dengan semua perlakuanku itu.
    “Eh kok ngelamun sih? Kangen ya sama Kevin?”
    “ Ih... Mama nih. Ya nggaklah. Kan tadi udah kencan. Masa belum satu jam udah kangen-kangenan kayak anak baru pacaran aja. Oh... ya Mama bilang aku beruntung punya cowok seromantis dan sebaik Kevin kan? Emangnya Papa nggak kayak Kevin? Aku jadi curiga nih.... Aku ini anak siapa sih?”
    “ Ngaco kamu! Ya anak Mama sama Papalah. Emangnya anak monyet. Tapi, kalau ditanya apakah Papa kayak Kevin...? Mama jujur aja ya sama kamu dan kamu harus janji jangan bongkar ini sama siapapun, Mama dulu itu punya cowok seperti Kevin tapi ya nggak sekaya Kevin. Dia itu...”
    “Cowok masa kecil Mama yang romantis dan perhatian ya?” Potongku mendengar cerita Mama.
    “ Aduh Tania! Jangan potong dong. Mamakan lagi membagikan pengalaman, nanti nggak kesampaian maksudnya lagi. Udah kamu diam dulu. Mama lanjutkan ya...
    Dia itu cinta pertama Mama dan mungkin cinta terakhirnya Mama. Ada yang lucu dari cara kami berkencan, dia tidak pernah memegang tangan Mama saat jalan berdua tetapi selalu ujung jari Mama. Katanya sih itu kebiasaannya sejak dulu. Tapi, Mama enjoy-enjoy aja jalan sama dia. Pertemuan kami pun dirasa sebuah kebetulan semata. Sampai akhirnya ada suatu masalah yang membuat Mama putus dengannya”
    Mama pun menceritakan kisah cintanya saat SMU bersama seorang cowok yang tidak pernah akan dilupakannya walaupun sudah ada Papa yang menjadi pendamping hidupnya selama ini. Menurutku kisah ini sangat lucu dan membuatku tersadar bahwa Kevin adalah cowok yang sempurna bagiku.
    ***
    ‘Ayo... Ricky, ayo...!’ Teriak anak-anak cheerleaders yang membuat suasana pertandingan basket antar SMU itu semakin panas. Ricky ya itulah nama seorang siswa yang menjadi andalan tim basket sekolah kami. Tim kami pasti menang jika dia telah masuk dan menguasai lapangan.
    ‘Ricky? Mana sih orangnya? Heboh banget sih anak-anak cheer?’ Sela Sisi alias Mama.
    ‘Aduh Si... Bisa diem dulu gak sih? Gak lihat ha, itu lagi panas-panasnya merebutkan gelar juara...’ Potong salah seorang teman Mama yang tidak lain adalah Mama Kevin. Ternyata mereka sudah berteman sejak dulu ya.
    ‘Iya sorry-sorry aku cuma pengen tahu aja siapa sih yang bisa membuat nama sekolah kita harum dari sektor olahraga. Hanya itu.... Makanya aku mau pergi nonton pertandingan ini sama kamu.’ Jelas Mama agak emosi kepada Tante Diana.
    ‘ Ok fine aku juga salah. Sorry ya... Gini aja sekarang kamu lihat pertandingan ini sampai habis, trus nanti aku ceritakan soal tim sekolah kita. Ehm... Apa kamu mau aku kenalkan sama si Ricky itu?’ Tanya Tante Diana untuk meredam emosi Mama.
    ‘ Makasih. Tapi nggak deh. Emangnya aku cewek apaan?’
    ‘Stay cool girl. Nyantai ja kenapa? Aku cuma bercanda kok!’
    “Ternyata semua itu nggak bercanda, Sayang. Mama bener-bener dipertemukan dan dikenalkan sama si Ricky itu. Dan mungkin kebetulan atau tidak kami saling jatuh cinta pada pandangan yang pertama.” Seru Mama merasa bangga dengan cerita cintanya semasa SMU itu.
    “Ah... biasa aja tuh. Malah lebih wah cerita aku sama Kevin kayaknya. Trus Mama jadian sama Ricky itu cuma karena perasaan suka pada pandangan pertama?” Tanyaku penasaran dengan kepastian dari cerita cinta Mama itu.
    “Sebenarnya, Mama pacaran sama Ricky itu karena dia mau tenang hidupnya. Mungkin dia mau memperlihatkan kepada para penggemarnya bahwa dia bisa jatuh cinta sama seorang kutu buku seperti Mama ini.”
    “Jadi Mama diperalat donk?” Balasku bertanya dengan nada marah karena merasa Mama sangat bodoh waktu itu. Tetapi, bukannya menjawab, Mama melanjutkan ceritanya yang belum sempat kudengarkan lagi.
    ‘Hei... Ricky! Sini!’ Kata Tante Diana yang sempat ditiru oleh Mama saat menceritakan kembali cerita cintanya itu.
    ‘ Woi! Ngapa sih? Lagi sibuk nih!’
    ‘ Ai.. Gayanya kalau habis menang. Nih ada yang mau ngucapin selamat sama kamu. Dia ini temen aku yang masih meragukan kehebatanmu mengalahkan semua musuh-musuh di lapangan basket.’ Jelas Tante Diana kepada Ricky yang menurut Mama membuatnya malu sehingga raut wajahnya berubah kemerah-merahan.
    ‘Halo.... Aku Ricky. Kamu siapa? Hei....’
    ‘O oh... ya.... Namaku... Si.. Sisi!’ Jawab Mama sangat ketakutan karena baru pertama kali ini dia bertemu dengan Ricky yang menurut Mama seorang atlet.
    ‘Sisi? Hei... jangan ketakutan gitu donk.. Biasa aja.’ Sahut Ricky menenangkan suasana dengan memberikan sentuhan lelucon pada Mama.
    ‘Ya nggak kok. Cuma agak cangggung karena baru pertama kali ini bertemu dengan seorang atlet..’
    ‘Katanya tadi nggak percaya dengan kehebatanku. Kok sekarang bilang aku seorang atlet sih?’
    ‘Eh... aku cabut dulu yah. Lagi ada banyak peer nih! Duluan ya Si. Eh, Rick... kamu jaga Sisi ya. Awas kalau ada apa-apa!’ Sela Tante Diana saat Mama dan Ricky sedang berbincang-bincang.
    ‘Di... Eh Di! Woi kok tinggalin aku sendiri sih?’
    ‘Ada apa sih? Si Diana itu kenapa sih? Lagi kesambet ya..’ Mama hanya bisa menjawab dengan senyuman karena dia sendiri juga tidak tahu apa maksud Tante Diana meninggalkan Mama sendiri dengan Ricky alias sang Jawara itu.
    ***
    ‘Si, boleh aku ngomong sesuatu?’
    ‘Ya ngomong aja. Ada apa sih?’ Jawab Mama yang sudah tidak canggung lagi dengan nama Ricky.
    ‘Kamu mau tolongin aku nggak?’ Tanya Ricky untuk kedua kalinya kepada Mama dan membuat Mama semakin penasaran.
    ‘Hei... Rick! Aku nggak pernah kenal sama orang yang namanya Ricky tapi cemen gini. Ayolah ada apa sih?’
    ‘Kamu mau nggak jadi cewek aku? Ya mungkin sampai kita lulus nanti?’ Jawab Ricky tanpa ragu lagi dan menjadikan Mama terdiam. Mama bingung karena baru pertama ini ada seorang cowok yang menyatakan cinta kepadanya.
    ‘Kamu jangan takut. Ini hanya sebuah status kok. Kalau kamu nggak sayang sama aku nggak apa-apa. Tapi please kamu jadi pacar aku ya. Aku hanya butuh status. Status...! Aku capek aja dengan omongan cewek-cewek yang meremehkan aku soal percintaan. Dan sekarang aku agak deket sama kamu. Jadi, aku pikir kamu aja yang jadi pacar aku. Lagian aku juga mau memperlihatkan sama mereka bahwa aku juga bisa punya cewek yang pinter buka cuma cantik. Jadi pacar bohongan juga nggak apa-apa...’ Ricky berbicara panjang lebar agar Mama mengerti dan mau manjadi pacar palsunya.
    ‘Kenapa kamu nggak cari orang lain yang bisa kamu pacari sungguhan? Kenapa harus aku sih?’ Tanya Mama yang masih kurang percaya dengan penjelasan Ricky.
    ‘Nggak bisa! Mama aku juga berharap minggu-minggu ini aku membawakan dia seorang cewek ke rumah untuk makan malam. Dan itu berarti seorang pacar. Mana bisa cari pacar hanya dalam waktu satu minggu! Are you agree?’
    ‘Jadi kita melakukan kegiatan seperti sepasang kekasih?’ Pertanyaan yang selama ini mengganjal di hati Mama pun terucapkan tanpa sadar.
    ‘Ya iyalah.... Pergi kemana-mana berdua, ke kantin berdua, jalan-jalan berdua, yang pokoknya apa aja berdua kecuali masuk ke kamar mandi.’ Ricky yang berusaha mencairkan suasana dengan lelucon yang tidak lucu tetapi membuat Mama tertawa.
    ‘Kamu setuju kan?’
    ‘Gimana ya? Oke... Aku setuju! Jangan tanya lagi karena bisa membuat aku berubah pikiran.’
    ‘Thanks, Makasih banyak, Si...’Teriak Ricky yang membuat semua orang di sekitar kami manjadi curiga. Tanpa menunggu lama lagi, dia pun memulai aksinya dengan menceritakan kepada semua orang bahwa kami sudah berpacaran. Tidak mengatakan bahwa berpacaran bohong-bohongan.
    ‘Ricky...! Kamu itu kenapa sih? Norak tau!’ Tangkas Mama yang malu melihat tingkah Ricky setelah perjanjian cinta itu disetujuinya.
    ‘He... Biasa aja kali. Orang-orang di sini juga sering norak kayak aku.’
    ‘Iya tapi kitakan cuma pacaran bohongan. Nggak usah semeriah gitulah.’ Jawab Mama sekenanya karena memang dia sangat malu sekaligus senang bisa pacaran dengan orang yang banyak direbutkan teman-teman satu sekolahan.
    ‘Untuk merayakan hari jadian kita, gimana kalau kita makan malam di cafe favoritku? Nanti aku kenalin kamu sama teman-temanku biar kita disangka pacaran beneran. Gimana setuju?’
    Lama sekali Mama berpikir. Dalam otaknya ia menyetujui hubungan yang cuma sekedar status itu, tetapi hatinya menginginkan agar ia menjadi pacar sesungguhnya untuk Ricky. Mungkin perasaan yang ada padanya hanya bertepuk sebelah tangan. Ternyata Ricky hanya ingin menjadi teman Mama.
    ‘Hei, kok ngelamun sih? Mau ya? Nanti aku jemput di rumahmu, kamu dandan deh yang cantik. Jam tujuh malam aku jemput, ok?’ Tetap saja Mama masih diam sampai akhirnya Mama tersadar bahwa Ricky sudah pamitan untuk pulang. Ia pun berteriak dan mengatakan sesuatu yang masih mengganjal hatinya.
    ‘Candle light dinner? Kitakan cuma pacaran bohongan. Kenapa harus menyebarluaskannya ke teman-teman. Kenapa harus pamer dengan mereka? Lebih baik kamu membawa aku berkenalan dengan orang tuamu saja, bagaimana?’
    Sekarang gantian Ricky yang terpaku mendengar ucapan yang dilontarkan Mama. Dia hanya bisa terdiam. Setelah cukup lama berpikir, ahkirnya Ricky menyetujui agar langsung bertemu dengan orang tuanya.
    ***
    ‘Te...tet..tet...’Suara klakson mobil hitam keluaran terbaru yang memecahkan keheningan senja. Mobil itu pasti punya Ricky. Ia memang terkenal anak orang kaya, tetapi baru kali ini Mama melihatnya mengendarai mobil yang belum tentu semua orang punya itu.
    ‘Iya... sabar dulu ngapa sih?’
    ‘Woi... lama banget sih! Udah jamuran nih...’ Teriak Ricky yang terlihat sekali sangat marah karena Mama sangat lama berdandan.
    ‘Ya maaf! Tapi gimana penampilanku?’
    ‘Jelek banget... Kuno! Nggak gaul! Gimana sih kamu nih bisa dandan apa nggak?’
    Hampir saja ejekan itu membuat Mama menangis. Mama sakit hati. Padahal menurutnya ini adalah penampilan terbagusnya selama ini. Dia juga sudah berusaha sebisa mungkin agar dapat sempurna di mata Ricky, walaupun hanya sebagai kekasih palsunya. Tetapi,k semua itu tidak berlangsung lama. Ricky langsung menenangkan Mama. Mungkin karena takut make upnya rusak atau memang dia merasa bersalah.
    ‘Ehm... gimana nih? Aduh sorry-sorry. Aku nggak bermaskud mengejek kamu tapi aku marah karena kamu lama banget dan hasilnya nggak memuaskan.’
    ‘Iya tapi apa kamu pernah membanyangkan seberapa ribetnya jadi cewek? Aku sudah berusaha sebaik mungkin agar dapat berpenampilan yang baik. Capek-capek tapi nggak ada yang menghargai. Lebih baik kita nggak usah melanjutkan misi ini’ Kata Mama sekenanya karena sakit hati atas perlakuan itu.
    ‘Oke. Aku minta maaf. Tapi kamu masih maukan melanjutkan rencana kita. Kita kan nggak bisa berhenti di tengah jalan..’ Sambil berkata demikian Ricky secara refleks memengang pipi Mama untuk mengusap air mata yang sempat tertetes.
    ‘Kalau kamu sudah siap, kita langsung aja ke rumah. Kasihan orang tuaku mereka pasti sudah lama menunggu.’
    Tanpa meminta persetujuan dari Mama, Ricky langsung menghidupkan mobilnya dan melesat ke jalan raya. Selama di mobil Mama hanya bisa terdiam dan menatap lalu lalang di jalan. Ricky pun tidak berbeda. Mereka saling menyelami pikiran masing-masing. Mereka baru mengobrol sesampainya di depan rumah Ricky. Itu pun cuma hanya melihat kesiapan Mama untuk berbohong kepada orang tua Ricky.
    ***
    ‘Sisi ya? Ayo masuk anggap rumah sendiri ya...’
    ‘Iya, Tante.’ Mama memulai perannya dengan kata-kata manis bak madu walau sebenarnya Mama enggan melakukan hal yang sangat membuang-buang waktu ini.
    ‘Ricky banyak cerita sama Tante kalau kamu itu anak pinter di sekolah. Pasti rengking satu terus ya? Tapi Ricky juga ngomong kalau kamu dulunya kurang seneng sama dia karena Ricky anak yang sombong. Sebenarnya sih dia nggak seperti itu, dia itu cuma mau manjauhi cewek karena dahulu dia punya pengalaman ditinggal kawin sama ceweknya. Trus gimana kamu bisa suka sama anak bandel itu?’
    ‘Ya namanya cinta, Tan. Dulunya benci lama-lama menjadi cinta. Lagian Ricky juga perhatian dan sayang sama aku, Tan. Jadi, aku terharu karena Ricky rela-rela gitu menjaga aku, Tan.’ Mulailah kebohongan Mama rangkai untuk menutupi hubungan palsu ini.
    ‘Wah... rela apa, Si? Tante jadi penasaran. Apa Ricky itu bisa berkorban?’
    ‘Ya jelaslah, Tante. Dulu aku pernah kehujanan sewaktu pulang sekolah. Semua teman sudah pada pulang karena memang aku pulang sore karena ada pelatihan olimpiade. Ricky sendiri baru pulang dari latihan basket. Kami bertemu di depan sekolah. Mungkin karena melihat aku kedinginan Ricky memberikan jaketnya untukku, dan langsung pergi begitu saja, tapi itu membuat aku menjadi terharu.’
    Dalam hati Mama tertawa. Baru kali ini Mama membuat cerita yang ngelantur. Mana ada kejadian yang romantis seperti cerita tadi. Tetapi, cerita itu membuat Mama Ricky menjadi yakin untuk menjadikan Mama sebagai anak mantunya. Sudah cantik, pintar, rajin lagi. Semua kriteria sudah ada pada diri Mama.
    ‘Jadi karena itu Sisi suka sama anak Tante?’
    ‘Mungkin ya, Tante.’
    ‘Hei ngobrol apa sih? Ma, Ricky mau ngomong sama Sisi. Udah Mama temenin Papa aja di ruang tamu.’ Tiba-tiba Ricky memotong pembicaraan Mama dan Mamanya.
    ‘Duh... gitu banget sih. Iya, iya Mama nyingkir. Dah kalian di sini aja. Mama mau masuk dulu, takut masuk angin nih...’ Mama Ricky berlalu dengan sesimpul senyuman di bibirnya.
    ‘Kamu ngomong apa sih? Jangan ngomong yang macem-macem donk.’
    ‘Eh... kamu itu harusnya beruntung karena aku sudah berbohong untuk menutupi hubungan yang konyol ini. Aku berhenti aja deh kalau kamu gitu. Kamu itu enak tinggal iya atau enggak. Baru deh ngelanjutin ceritanya. Masih ngomel lagi.’
    Mereka pun terdiam tanpa saling menyalahkan. Seperti tadi juga, mereka menyelami pikiran masing-masing. Sampai akhirnya mata mereka saling bertemu dan dapat melihat bayangan masing-masing. Tanpa menunggu lama, Ricky mengajak Mama ke suatu tempat yang lebih romantis dari taman itu. Tanpa disangka, tangan Ricky menarik tangan Mama. Lucunya hanya ujung jari yang digenggamnya.
    ‘Maaf untuk semuanya. Aku sudah menyusahkanmu. Jangan hentikan sekarang. Mama sangat bangga dan sayang samamu. Aku nggak mau merusak semua itu dengan mengatakan yang sejujurnya.’
    ‘Kamu kalau pegang tangan cewek gitu ya? Kok cuma ujungnya sih?’ Tanya Mama mengalihkan percakapan yang membuatnya bingung.
    ‘Iya. Aku lebih nyaman kalau pengan tangan dengan gaya seperti itu. Kamu nggak risikan?’ Mama hanya membalas dengan senyuman yang menandakan dia biasa-biasa saja.
    ***
    “Hubungan Mama dengan Ricky baik-baik aja selama itu. Sampai akhirnya Tante Diana mengatakan hal yang membuat Mama tidak bisa menahan diri untuk mengatakan yang sebenarnya...”
    “Apa itu, Ma?” Tanyaku menyela cerita Mama.
    ‘ Si, kamu itu memangnya pacaran sama Ricky?’ Mama pun hanya menjawab dengan sebuah anggukan yang simpel.
    ‘Kamu tahu Ricky itu nggak pernah betah sama cewek. Itu terbukti dengan caranya memegang tangan cewek. Nggak ada rasa. Kamu itu terbuai dengan gayanya aja. Aku juga lihat tadi dia masih godain anak baru cheer. Aku sayang sama kamu, jadi tolong putusin dia. Ok!’ Cerita Tante Diana yang membuat Mama marah yang luar biasa sehingga membuat dia tidak dapat meneruskan kebohongan ini.
    ‘Hei... kita ke kantin yuk!’Ricky masuk ke kelas dan memecahkan keheningan.
    ‘Apa maksud kamu?’ Bukannya menjawab, tetapi wajah penuh ketidaktahuan terlihat dari wajah Ricky.
    ‘Kamu anggap aku apa? Boneka yang bisa dimainin setiap saat sesukamu? Aku pikir kamu sayang sama aku, ternyata semua itu hanya palsu seperti hubungan ini. Aku capek. Kamu juga nggak banyak membantu aku menutupi kebohongan ini di depan orang tuamu. Dulu aku nyaman walau kamu cuma pegang ujung jari ini, tapi kenapa.... Sudahlah, aku kapok bohong lagi. Kamu lanjutkan sendiri aja. Aku mau hidup tenang.’
    Mama pun langsung pergi meninggalkan Ricky sendiri di dalam kelas. Setelah kejadian itu, Mama dan Ricky tidak pernah bertemu lagi. Ricky sibuk dengan persiapan pertandingan dan Mama sibuk dengan persiapan olimpiade.
    “Jadi gimana kelanjutan cerita cinta Mama?” Tanyaku setelah Mama selesai menceritakan semua pengalamannya.
    “Ya nggak sebahagia yang dipikirkan orang-orang. Tapi, yang dapat kita ambil ungkapkan perasaanmu itu agar orang itu tidak hilang seperti dimakan bumi.”
    “Seperti Ricky ya...” Aku dan Mama pun tertawa terbahak-bahak. Ternyata masih ada pengalaman cinta yang unik dan indah seperti pengalaman Mama.
    Yosefa Adventi/ 35
    Kelas X.3
    23 April 2009

    BalasHapus
  29. Cinta Segitiga
    Karya : Antonius Muliawan Japar ( 03 )

    Seorang gadis berkebangsaan Jepang bernama Yamada Yuki kini hanya tinggal berdua bersama ibunya karena ayahnya tak lama baru meninggal dunia akibat kecelakaan. Ia merupakan gadis yang cantik, pintar, rajin, tidak pilih-pilih teman, namun hanya satu kelemahan yang ia punyai, yaitu sifatnya yang pemalu jika bertemu hal-hal yang baru.

    Ia sudah menginjak umur 16 tahun pada tahun ini dan ia merupakan murid siswi kelas XI di SMU Zexen, Jepang. Ia murid yang cukup berprestasi di sekolahnya. Setelah ayahnya meninggal, ia dan ibunya terpaksa pindah ke Negara Cina dan tinggal bersama sanak saudaranya karena keadaan ekonomi yang terbatas.

    Di Negara Cina ini, ia merasa sulit untuk menyesuaikan diri, terutama dengan bahasa yang dipakai sangat sulit baginya untuk dipelajari. Ia disekolahkan di SMU San Han Cho, yang cukup terkenal akan pendidikan yang diberikan.

    Hari ini merupakan hari pertama bagi Yuki untuk bersekolah di sekolahnya yang baru. Ia lalui hari tersebut dengan bersusah payah, apalagi pada saat perkenalan diri, ia sangat malu terhadap muka-muka baru yang akan ia kenali. Kebetulan pula sekolah tersebut ada pelajaran bahasa Jepang, sehingga ia tidak terlalu sulit dalam berkomunikasi dengan yang lain.

    “Hai, perkenalkan nama saya Yamada Yuki, umur 16 tahun dan saya merupakan murid pindahan dari Jepang, mohon bimbingan kalian semua.” Kata Yamada Yuki yang sudah menyiapkan dirinya untuk berkenalan dengan murid-murid yang lain.

    “Lho, bukannya di Jepang sana banyak sekolah-sekolah yang berkualitas? Kenapa kamu pindah ke sekolah ini?” Tanya gurunya yang cukup bingung dengan penjelasan dari Yamada Yuki.

    “Ayah saya tak lama ini baru saja meninggal dunia, sehingga saya dan ibu saya terpaksa pindah ke Negara ini untuk tinggal bersama sanak saudara saya karena keadaan ekonomi ibu saya yang terbatas.”

    “Saya turut berduka cita atas meninggalnya ayah kamu. Kamu tinggal berdua dengan ibu kamu di Jepang?”

    “Ya setelah ayah saya meninggal, saya hanya tinggal berdua dengan ibu saya”

    “Apakah ada dari kalian yang ingin bertanya pada murid baru kita ini?” Tanya gurunya yang memberikan kesempatan bertanya pada murid-muridnya yang lain.

    Beberapa detik setelah guru Yuki memberikan kesempatan bertanya pada murid-muridnya, ada yang mengangkat tangannya yang tidak lain adalah murid ternakal di kelas tersebut.

    “Ya Hoi, mau bertanya apa?”

    “Saya mau ber… Oh ya, nama saya Hoi Chan Lung, salam kenal! Saya mau bertanya apakah kamu sudah punya pacar selama ini? Secara khan kamu cantik, hahaha…” ujar Hoi dengan semangatnya bertanya.

    “Huh? Pacar? Hmmm…. Selama ini saya belum pernah pacaran…” jawab Yuki dengan agak bingung dengan pertanyaan tersebut.

    “Wah kesempatan bagus nih buat saya dapetin kamu… Hahaha….” Balas Hoi dengan cukup senang dengan jawaban Yuki.

    “Lagi-lagi kamu bertanya sesuatu yang tidak berguna Hoi, apakah kamu tidak mempunyai pertanyaan yang lebih menarik dan bermutu daripada menanyakan itu?” sela gurunya terhadap pertanyaan Hoi yang tidak wajar tersebut.
    “Ya nggak apa-apa kan selagi ia masih jomblo, benar kan teman-teman??” jawab Hoi dengan suaranya yang begitu kerasnya.

    “Ya sudahlah, Yuki, kamu duduk di sana, sebelah laki-laki itu.”

    Ternyata Yuki disuruh duduk di sebelah murid teladan di kelas tersebut, ia bernama Tanaka Mori. Tak ada gadis-gadis yang tidak tertarik padanya, gayanya yang stylish dan mukanya yang cukup ganteng sudah menjadi modal baginya untuk menarik perhatian teman-temannya.

    Jantung Yuki berdegup kencang ketika ia mulai mendekat dan mendekat lagi pada Tanaka, tubuhnya pun semakin bergetar tiap detiknya. Setelah itu, ia pun duduk di sebelah Tanaka.

    “Uhh, hai….” Ujar Yuki yang masih malu-malu dengan Tanaka yang masih baru baginya.

    “Halo, namaku Tanaka Mori, senang berkenalan denganmu. Hmm….”

    “Apa?”

    “Nggak apa-apa, kenapa badanmu bergetar? Meriang?”

    “Ah.. Ini sudah biasa.. Kalau aku dekat dengan laki-laki tubuhku pasti bergetar, entah kenapa yah bisa begini..”

    “Wah kalau begitu kamu harus membiasakan diri untuk dekat dengan laki-laki dong… Mau kuajari?”

    “Aduh jangan dehh.. Nanti ngerepotin kamu..”

    “Nggak apa-apa, coba badanmu ditegapkan, rileks saja, coba kamu tatap mukaku.”

    “Wah ia ganteng banget, kepingin deh jadi pacarnya.. Tapi bisa gak yah?? Rasanya cuma dalam mimpi deh bisanya. Mana dia suruh aku tatap muka dia… Bisa pingsan deh.. Aduh gimana yahh??” kata Yuki dalam hatinya ia bingung untuk melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan selama ini.

    Setelah Tanaka menyuruh Yuki untuk menatap dirinya, Yuki pun lagsung menutup mukanya dengan kedua tangannya karena malu. Tetapi setelah Yuki menutup mukanya, Tanaka pun memegang tangan Yuki dan membiarkan ia untuk menatap diri mereka berdua lebih lama.

    Namun setelah itu, ada yang tidak setuju dengan perbuatan mereka berdua yang tidak lain adalah Hoi, ia merasa jatuh cinta pada Yuki pada pandangan pertamanya, sehingga ia marah kepada Tanaka.

    “Hei kamu Tanaka, apa yang kamu perbuat sama Yuki?” Tanya Hoi dengan emosinya yang meluap.

    “Lho, aku kan sedang mengajarkan dia untuk lebih berani duduk di sebelah laki-laki yang belum ia kenal, apa itu salah?”

    “Memang tidak salah, tapi kan bisa aku yang mengajarkan”

    “Heh? Memangnya kamu siapa yang seenaknya saja bisa menyela apa yang kami lakukan saat ini?”

    “Yuki itu MILIKKU sampai selama-lamanya, jadi ia hanya boleh diajarkan OLEHKU! Tidak dengan orang lain!”

    “Sejak kapan kamu jadi pacarnya? Toh kamu juga baru kenal kan sama dia?”
    “Nggak lama lagi aku akan jadi miliknya, jadi jaga jarakmu dengannya!”

    “Kamu kira kamu saja yang suka dengannya? Aku juga begitu pada pandangan pertamaku!”

    “Baik! Kalau begitu kita adakan kontes saja biar kita lihat siapa yang pantas di samping Yuki, AKU atau KAMU!”

    “CUKUP kalian berdua!!! Kalian kira aku ini barang yang dengan mudahnya diperebutkan?” sela Yuki dengan marahnya akan kelakuan Tanaka dan Hoi yang memperlakukan Yuki seperti boneka.

    “Tapi Yuki…..” jawab mereka berdua secara bersama-sama

    “Oke kalau kalian ingin menjadi pacarku, aku akan mengadakan tes terhadap kalian berdua, jika salah satu dari kalian lulus pada tesnya, aku tidak akan ragu-ragu menjadi pacarnya.”

    “Oke, kami siap kapan saja!”

    Malamnya, Yuki menyiapkan apa saja tes yang akan diberikan kepada Tanaka dan Hoi, antara lain, tes adu kecepatan, adu kecerdasan, adu kekuatan, dan adu pertahanan yang akan dilakukan besok di lapangan sekolah setelah mereka pulang sekolah.

    Esoknya, Tanaka dan Hoi sudah tidak bersabar lagi untuk melakukan tes-tes yang belum mereka ketahui. Mereka pun berlarian satu sama lain ke lapangan sekolah dan Yuki sudah menunggu mereka berdua.

    “Apa kalian sudah siap untuk tes pertama kalian??” Tanya Yuki kepada Tanaka dan Hoi tentang persiapan mereka.

    “Tentu saja!!! Kami siap melakukan tesnya kapanpun putrid kami yang tercantik” jawab mereka serempak agar mendapat perhatian dari Yuki.

    “Oke tes pertama kalian adalah adu kecepatan, kalian berdua harus berlari mengitari seluruh lapangan ini TANPA beristirahat! Kalian siap???”

    “Siap!!!”

    “Oke dalam hitungan ketiga kalian harus sudah berlari.. 3…2….1….. Ya!!!”

    Tes pertama pun dimulai dengan Hoi yang memimpin. Beberapa detik kemudian Tanaka pun tidak mau kalah dengannya, ia menambah kecepatannya, namun kakinya terkilir sehingga ia jatuh dan gagal pada pertandingan pertama. Kemenangan pun berada pada Hoi di tes pertama ini.

    “Ya Hoi memenangkan tes pertama ini!!! Ingat masih ada 3 tes lagi yang masih harus kalian lakukan!”

    “Tentu saja, Tanaka tidak akan bisa berbuat apa-apa jika berhadapan denganku! Siapa dulu dong!!” jawab Ho dengan begitu bangganya akan kemenangannya pada tes pertama ini.

    “Ah kamu baru menang sekali dariku, ini tidak akan terjadi lagi! Lihat saja pada tes-tes berikutnya pasti aku yang akan menang!”

    “Ah itu mah pernyataan yang udah nggak jaman lagi, itu kan pernyataan orang-orang yang biasanya kalah di kompetisi, hahaah…”

    “Cukup kalian berdua!! Kalau kalian masih saja ribut akan kubatalkan tes ini sekarang juga!”

    “Oh jangan putriku yang tercinta, dirimu yang sedang emosi begitu menggairahkan diriku yang sedang mabuk asmara ini” jawab Hoi dengan kata-kata gombal yang biasa ia katakana pada murid-murid perempuan yang lain di sekolahnya.

    “Gombal sekali kamu ini!!!!!!! Diam sekarang juga atau kamu kutolak! Oke lebih baik kita mulai saja tes kedua” jawab Yuki dengan amarahnya yang meluap begitu saja.

    Tak lama dari tes pertama, tes kedua pun dimulai…

    “Oke di tes kedua ini aku akan mengajukan 4 pertanyaan dan siapa yang banyak menjawab dengan benar akan aku luluskan pada tes ini”

    “Pertanyaan pertama : Siapakah presiden Amerika sekarang??”

    “Barrack Obama dong!!!” jawab Tanaka dengan begitu cepatnya.

    “Wah benar, pertanyaan kedua : jika diketahui sisi suatu segitiga siku-siku 10 cm dan 24 cm, berapakah panjang sisi segitiga yang lain??”

    “26 cm, bu Yuki!!!!” jawab Tanaka lagi dengan otaknya yang begitu cerdas dalam berpikir.

    “Beh, pintar sekali kamu Tanaka…. Oke pertanyaan yang ketiga : 992 – 5800 + 99 = ….??”

    “4100!!!” jawab Tanaka lagi.

    “Gila, udah tiga kali kamu jawab pertanyaan dariku, kalau begitu kamu yang lulus pada tes ini!”

    “Yah tentu saja dong, secara aku kan lebih pintar dari Hoi yang bacotnya besar, hahaha…” jawab Tanaka yang juga sangat bangga akan kemenangannya pada tes kedua ini.

    “Memang kalau adu otak aku akan kalah, bagaimana kamu setelah ini, Tanaka?? Kamu kana fisiknya jauh dariku.” sela Hoi dengan ketidaksetujuannya akan kemenangan Tanaka ini.

    “Oke-oke kita akan memulai tes yang ketiga, lebih baik kalian bersiap-siap daripada kalian berantem lagi! Ayo cepetan!!!”

    “Kami sudah siap kok daritadi, kamunya aja lambat!” jawab mereka serentak.

    “Oke kalian bisa langsung saling pukul sekarang juga, yang duluan terjatuh atau terduduk ia yang akan kalah”

    “Siap bos!!!”

    Tes yang ketiga pun dimulai, pada kenyataannya memang fisik yang dipunyai Tanaka jauh lebih lemah dari Hoi, dan pemenangnya sudah dapat dipastikan, yaitu Hoi.

    “Hosh, hosh, hosh…. Akh….. Kurang ajar…. Aku tidak akan menyerah…. Sampai kapanpun!!!” kata Tanaka yang merasa sangat lelah akibat pertandingan pada tes ketiga ini.

    “Hmm… memang aku satu-satunya laki-laki yang cocok duduk di samping Yuki, hahahah…..” jawab Hoi.

    “Hei masih ada satu tes lagi yang masih harus kalian lakukan, yaitu uji pertahanan, ingat, kalau Hoi yang masih akan menang maka hoi yang akan menjadi pacarku.”

    “Tentu saja aku dong yang akan menjadi pacarmu, hehehe…” ujar Hoi yang yakin akan kata-katanya.

    Tes yang keempat pun dimulai, yang tidak lain adalah uji pertahanan, yaitu yang bisa bertahan dalam tiga kali pukulan, ia yang akan menang. Namun dalam tes yang ini Tanaka yang menjadi pemenang karena ia begitu antusias untuk mendapatkan Yuki.

    Karena skor yang mereka dapat 2 – 2, maka Yuki pun memutuskan yang bisa mendapat nilai tertinggi dalam ujian Matematika akan menjadi pemenangnya.

    Seminggu kemudian, pada saat ujian Matematika tersebut dibagikan, Tanaka mendapat nilai yang sempurna, sehingga ini membuat Tanaka menjadi pemenangnya. Setelah itu, Tanaka dan Yuki pun mulai menjalin hubungan yang serius.

    ~ TAMAT ~

    BalasHapus
  30. Cinta Segitiga
    Karya : Antonius Muliawan Japar ( 03 )

    Seorang gadis berkebangsaan Jepang bernama Yamada Yuki kini hanya tinggal berdua bersama ibunya karena ayahnya tak lama baru meninggal dunia akibat kecelakaan. Ia merupakan gadis yang cantik, pintar, rajin, tidak pilih-pilih teman, namun hanya satu kelemahan yang ia punyai, yaitu sifatnya yang pemalu jika bertemu hal-hal yang baru.

    Ia sudah menginjak umur 16 tahun pada tahun ini dan ia merupakan murid siswi kelas XI di SMU Zexen, Jepang. Ia murid yang cukup berprestasi di sekolahnya. Setelah ayahnya meninggal, ia dan ibunya terpaksa pindah ke Negara Cina dan tinggal bersama sanak saudaranya karena keadaan ekonomi yang terbatas.

    Di Negara Cina ini, ia merasa sulit untuk menyesuaikan diri, terutama dengan bahasa yang dipakai sangat sulit baginya untuk dipelajari. Ia disekolahkan di SMU San Han Cho, yang cukup terkenal akan pendidikan yang diberikan.

    Hari ini merupakan hari pertama bagi Yuki untuk bersekolah di sekolahnya yang baru. Ia lalui hari tersebut dengan bersusah payah, apalagi pada saat perkenalan diri, ia sangat malu terhadap muka-muka baru yang akan ia kenali. Kebetulan pula sekolah tersebut ada pelajaran bahasa Jepang, sehingga ia tidak terlalu sulit dalam berkomunikasi dengan yang lain.

    “Hai, perkenalkan nama saya Yamada Yuki, umur 16 tahun dan saya merupakan murid pindahan dari Jepang, mohon bimbingan kalian semua.” Kata Yamada Yuki yang sudah menyiapkan dirinya untuk berkenalan dengan murid-murid yang lain.

    “Lho, bukannya di Jepang sana banyak sekolah-sekolah yang berkualitas? Kenapa kamu pindah ke sekolah ini?” Tanya gurunya yang cukup bingung dengan penjelasan dari Yamada Yuki.

    “Ayah saya tak lama ini baru saja meninggal dunia, sehingga saya dan ibu saya terpaksa pindah ke Negara ini untuk tinggal bersama sanak saudara saya karena keadaan ekonomi ibu saya yang terbatas.”

    “Saya turut berduka cita atas meninggalnya ayah kamu. Kamu tinggal berdua dengan ibu kamu di Jepang?”

    “Ya setelah ayah saya meninggal, saya hanya tinggal berdua dengan ibu saya”

    “Apakah ada dari kalian yang ingin bertanya pada murid baru kita ini?” Tanya gurunya yang memberikan kesempatan bertanya pada murid-muridnya yang lain.

    Beberapa detik setelah guru Yuki memberikan kesempatan bertanya pada murid-muridnya, ada yang mengangkat tangannya yang tidak lain adalah murid ternakal di kelas tersebut.

    “Ya Hoi, mau bertanya apa?”

    “Saya mau ber… Oh ya, nama saya Hoi Chan Lung, salam kenal! Saya mau bertanya apakah kamu sudah punya pacar selama ini? Secara khan kamu cantik, hahaha…” ujar Hoi dengan semangatnya bertanya.

    “Huh? Pacar? Hmmm…. Selama ini saya belum pernah pacaran…” jawab Yuki dengan agak bingung dengan pertanyaan tersebut.

    “Wah kesempatan bagus nih buat saya dapetin kamu… Hahaha….” Balas Hoi dengan cukup senang dengan jawaban Yuki.

    “Lagi-lagi kamu bertanya sesuatu yang tidak berguna Hoi, apakah kamu tidak mempunyai pertanyaan yang lebih menarik dan bermutu daripada menanyakan itu?” sela gurunya terhadap pertanyaan Hoi yang tidak wajar tersebut.
    “Ya nggak apa-apa kan selagi ia masih jomblo, benar kan teman-teman??” jawab Hoi dengan suaranya yang begitu kerasnya.

    “Ya sudahlah, Yuki, kamu duduk di sana, sebelah laki-laki itu.”

    Ternyata Yuki disuruh duduk di sebelah murid teladan di kelas tersebut, ia bernama Tanaka Mori. Tak ada gadis-gadis yang tidak tertarik padanya, gayanya yang stylish dan mukanya yang cukup ganteng sudah menjadi modal baginya untuk menarik perhatian teman-temannya.

    Jantung Yuki berdegup kencang ketika ia mulai mendekat dan mendekat lagi pada Tanaka, tubuhnya pun semakin bergetar tiap detiknya. Setelah itu, ia pun duduk di sebelah Tanaka.

    “Uhh, hai….” Ujar Yuki yang masih malu-malu dengan Tanaka yang masih baru baginya.

    “Halo, namaku Tanaka Mori, senang berkenalan denganmu. Hmm….”

    “Apa?”

    “Nggak apa-apa, kenapa badanmu bergetar? Meriang?”

    “Ah.. Ini sudah biasa.. Kalau aku dekat dengan laki-laki tubuhku pasti bergetar, entah kenapa yah bisa begini..”

    “Wah kalau begitu kamu harus membiasakan diri untuk dekat dengan laki-laki dong… Mau kuajari?”

    “Aduh jangan dehh.. Nanti ngerepotin kamu..”

    “Nggak apa-apa, coba badanmu ditegapkan, rileks saja, coba kamu tatap mukaku.”

    “Wah ia ganteng banget, kepingin deh jadi pacarnya.. Tapi bisa gak yah?? Rasanya cuma dalam mimpi deh bisanya. Mana dia suruh aku tatap muka dia… Bisa pingsan deh.. Aduh gimana yahh??” kata Yuki dalam hatinya ia bingung untuk melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan selama ini.

    Setelah Tanaka menyuruh Yuki untuk menatap dirinya, Yuki pun lagsung menutup mukanya dengan kedua tangannya karena malu. Tetapi setelah Yuki menutup mukanya, Tanaka pun memegang tangan Yuki dan membiarkan ia untuk menatap diri mereka berdua lebih lama.

    Namun setelah itu, ada yang tidak setuju dengan perbuatan mereka berdua yang tidak lain adalah Hoi, ia merasa jatuh cinta pada Yuki pada pandangan pertamanya, sehingga ia marah kepada Tanaka.

    “Hei kamu Tanaka, apa yang kamu perbuat sama Yuki?” Tanya Hoi dengan emosinya yang meluap.

    “Lho, aku kan sedang mengajarkan dia untuk lebih berani duduk di sebelah laki-laki yang belum ia kenal, apa itu salah?”

    “Memang tidak salah, tapi kan bisa aku yang mengajarkan”

    “Heh? Memangnya kamu siapa yang seenaknya saja bisa menyela apa yang kami lakukan saat ini?”

    “Yuki itu MILIKKU sampai selama-lamanya, jadi ia hanya boleh diajarkan OLEHKU! Tidak dengan orang lain!”

    “Sejak kapan kamu jadi pacarnya? Toh kamu juga baru kenal kan sama dia?”
    “Nggak lama lagi aku akan jadi miliknya, jadi jaga jarakmu dengannya!”

    “Kamu kira kamu saja yang suka dengannya? Aku juga begitu pada pandangan pertamaku!”

    “Baik! Kalau begitu kita adakan kontes saja biar kita lihat siapa yang pantas di samping Yuki, AKU atau KAMU!”

    “CUKUP kalian berdua!!! Kalian kira aku ini barang yang dengan mudahnya diperebutkan?” sela Yuki dengan marahnya akan kelakuan Tanaka dan Hoi yang memperlakukan Yuki seperti boneka.

    “Tapi Yuki…..” jawab mereka berdua secara bersama-sama

    “Oke kalau kalian ingin menjadi pacarku, aku akan mengadakan tes terhadap kalian berdua, jika salah satu dari kalian lulus pada tesnya, aku tidak akan ragu-ragu menjadi pacarnya.”

    “Oke, kami siap kapan saja!”

    Malamnya, Yuki menyiapkan apa saja tes yang akan diberikan kepada Tanaka dan Hoi, antara lain, tes adu kecepatan, adu kecerdasan, adu kekuatan, dan adu pertahanan yang akan dilakukan besok di lapangan sekolah setelah mereka pulang sekolah.

    Esoknya, Tanaka dan Hoi sudah tidak bersabar lagi untuk melakukan tes-tes yang belum mereka ketahui. Mereka pun berlarian satu sama lain ke lapangan sekolah dan Yuki sudah menunggu mereka berdua.

    “Apa kalian sudah siap untuk tes pertama kalian??” Tanya Yuki kepada Tanaka dan Hoi tentang persiapan mereka.

    “Tentu saja!!! Kami siap melakukan tesnya kapanpun putrid kami yang tercantik” jawab mereka serempak agar mendapat perhatian dari Yuki.

    “Oke tes pertama kalian adalah adu kecepatan, kalian berdua harus berlari mengitari seluruh lapangan ini TANPA beristirahat! Kalian siap???”

    “Siap!!!”

    “Oke dalam hitungan ketiga kalian harus sudah berlari.. 3…2….1….. Ya!!!”

    Tes pertama pun dimulai dengan Hoi yang memimpin. Beberapa detik kemudian Tanaka pun tidak mau kalah dengannya, ia menambah kecepatannya, namun kakinya terkilir sehingga ia jatuh dan gagal pada pertandingan pertama. Kemenangan pun berada pada Hoi di tes pertama ini.

    “Ya Hoi memenangkan tes pertama ini!!! Ingat masih ada 3 tes lagi yang masih harus kalian lakukan!”

    “Tentu saja, Tanaka tidak akan bisa berbuat apa-apa jika berhadapan denganku! Siapa dulu dong!!” jawab Ho dengan begitu bangganya akan kemenangannya pada tes pertama ini.

    “Ah kamu baru menang sekali dariku, ini tidak akan terjadi lagi! Lihat saja pada tes-tes berikutnya pasti aku yang akan menang!”

    “Ah itu mah pernyataan yang udah nggak jaman lagi, itu kan pernyataan orang-orang yang biasanya kalah di kompetisi, hahaah…”

    “Cukup kalian berdua!! Kalau kalian masih saja ribut akan kubatalkan tes ini sekarang juga!”

    “Oh jangan putriku yang tercinta, dirimu yang sedang emosi begitu menggairahkan diriku yang sedang mabuk asmara ini” jawab Hoi dengan kata-kata gombal yang biasa ia katakana pada murid-murid perempuan yang lain di sekolahnya.

    “Gombal sekali kamu ini!!!!!!! Diam sekarang juga atau kamu kutolak! Oke lebih baik kita mulai saja tes kedua” jawab Yuki dengan amarahnya yang meluap begitu saja.

    Tak lama dari tes pertama, tes kedua pun dimulai…

    “Oke di tes kedua ini aku akan mengajukan 4 pertanyaan dan siapa yang banyak menjawab dengan benar akan aku luluskan pada tes ini”

    “Pertanyaan pertama : Siapakah presiden Amerika sekarang??”

    “Barrack Obama dong!!!” jawab Tanaka dengan begitu cepatnya.

    “Wah benar, pertanyaan kedua : jika diketahui sisi suatu segitiga siku-siku 10 cm dan 24 cm, berapakah panjang sisi segitiga yang lain??”

    “26 cm, bu Yuki!!!!” jawab Tanaka lagi dengan otaknya yang begitu cerdas dalam berpikir.

    “Beh, pintar sekali kamu Tanaka…. Oke pertanyaan yang ketiga : 992 – 5800 + 99 = ….??”

    “4100!!!” jawab Tanaka lagi.

    “Gila, udah tiga kali kamu jawab pertanyaan dariku, kalau begitu kamu yang lulus pada tes ini!”

    “Yah tentu saja dong, secara aku kan lebih pintar dari Hoi yang bacotnya besar, hahaha…” jawab Tanaka yang juga sangat bangga akan kemenangannya pada tes kedua ini.

    “Memang kalau adu otak aku akan kalah, bagaimana kamu setelah ini, Tanaka?? Kamu kana fisiknya jauh dariku.” sela Hoi dengan ketidaksetujuannya akan kemenangan Tanaka ini.

    “Oke-oke kita akan memulai tes yang ketiga, lebih baik kalian bersiap-siap daripada kalian berantem lagi! Ayo cepetan!!!”

    “Kami sudah siap kok daritadi, kamunya aja lambat!” jawab mereka serentak.

    “Oke kalian bisa langsung saling pukul sekarang juga, yang duluan terjatuh atau terduduk ia yang akan kalah”

    “Siap bos!!!”

    Tes yang ketiga pun dimulai, pada kenyataannya memang fisik yang dipunyai Tanaka jauh lebih lemah dari Hoi, dan pemenangnya sudah dapat dipastikan, yaitu Hoi.

    “Hosh, hosh, hosh…. Akh….. Kurang ajar…. Aku tidak akan menyerah…. Sampai kapanpun!!!” kata Tanaka yang merasa sangat lelah akibat pertandingan pada tes ketiga ini.

    “Hmm… memang aku satu-satunya laki-laki yang cocok duduk di samping Yuki, hahahah…..” jawab Hoi.

    “Hei masih ada satu tes lagi yang masih harus kalian lakukan, yaitu uji pertahanan, ingat, kalau Hoi yang masih akan menang maka hoi yang akan menjadi pacarku.”

    “Tentu saja aku dong yang akan menjadi pacarmu, hehehe…” ujar Hoi yang yakin akan kata-katanya.

    Tes yang keempat pun dimulai, yang tidak lain adalah uji pertahanan, yaitu yang bisa bertahan dalam tiga kali pukulan, ia yang akan menang. Namun dalam tes yang ini Tanaka yang menjadi pemenang karena ia begitu antusias untuk mendapatkan Yuki.

    Karena skor yang mereka dapat 2 – 2, maka Yuki pun memutuskan yang bisa mendapat nilai tertinggi dalam ujian Matematika akan menjadi pemenangnya.

    Seminggu kemudian, pada saat ujian Matematika tersebut dibagikan, Tanaka mendapat nilai yang sempurna, sehingga ini membuat Tanaka menjadi pemenangnya. Setelah itu, Tanaka dan Yuki pun mulai menjalin hubungan yang serius.

    ~ TAMAT ~

    BalasHapus
  31. Oleh Hadi Prastya Utama
    Absen 14
    judul: Kesalahan Ini

    Gelak tawa yang sangat keras tiba-tiba memecah keheningan ruang kuliah. Saking kerasnya, dosen di kelas sebelah langsung membentak dari kelasnya sendiri tak kalah hebatnya dari suara tawa tadi.
    “Yang disebelah, BISA DIAM GAK!?” Maklum, beliau merupakan dosen yang terkenal paling disiplin dan keras di kampus ini.
    Tawa tadi berasal dari kelompok mahasiswa laki-laki yang dikenal paling ribut di kelas itu. Dosen sedang tidak ada. Dodi, mahasiswa semester ke-8 Fakultas Hukum, adalah provokator yang membuat lelucon-lelucon sering mengundang tawa teman-temannya, bahkan seluruh kelas. Tapi tidak bagi Alia. Baginya, Dodi adalah seorang yang urakan dan hanya mengganggu. Kesan itu sudah ada sejak Alia pertama kali bertemu Dodi. Alia dibesarkan di sebuah keluarga pengusaha, jadi wajar ia diajarkan untuk selalu serius.
    “Kalian kalau gak niat belajar mending keluar!” Bentak Alia.
    Suaranya yang halus masih tidak mampu mengalahkan gelak tawa mereka.
    “Kok gak ke laut aja?” Sambung Dodi.
    Jawaban itu disambut dengan tawa yang lebih keras dari seluruh kelas. Muka Alia memerah karena malu. Tapi akhirnya seluruh kelas didiamkan oleh Dodi. Walaupun ia sering mengejek ataupun urakan, sebenarnya ia tidak tega melihat orang yang dihina ataupun dipermalukan. Dodi tidak mau mencari musuh.
    “Sudah, sudah kalian ini. Hormati dong kalau orang mau belajar.”
    Seluruh kelas langsung hening. Di kelasnya, Dodi seperti pemimpin. Suasana kelas sangatlah bergantung dia. Alia yang mendengar itu tidak tahu harus senagn ataupun marah. Terkadang ia mengagumi sikap Dodi yang seperti pemimpin dan bijaksana. Di sisi lain, sifat urakan Dodi membuat jengkel Alia.
    Kring! Bel tanda berakhirnya kuliah terdengar. Seluruh mahasiswa/i punya persepsinya tersendiri tentang bel itu. Ada yang senang karena ingin cepat-cepat pulang, sebagiannya lagi merasa sedih karena kuliah harus berakhir dan tentunya kelompok ini dihuni oleh mahasiswa yang dikenal dengan Gepeng, singkatan dari Generasi Penerus Bangsa. Siapa lagi kalau bukan Dodi yang membuat istilah seperti itu.
    “Yah, selesai. Padahal aku masih pingin belajar lagi,” ujar Dodi menanggapi bunyi bel..
    “Sebagai Gepeng, harusnya jam belajar kita ditambah.”
    Tentu saja ucapan barusan diikuti tawa oleh yang lainnya. Mendengar itu, Alia hanya memandang sinis Dodi. Ia tidak suka orang yang suka berlebihan sepertinya. Alia langsung keluar kelas tanpa menoleh. Melihat itu, Dodi merasa tidak enak hati kepada Alia. Ia pun keluar mengikuti Alia menuju kantin. Melihat Alia duduk sendiri di kantin, Dodi tanpa basa-basi langsung duduk di kusi sebelahnya.
    “Gimana kuliah tadi??” Tanya Dodi.
    “Enak sih. Coba kalau gak ada kamu, lebih enak lagi,” jawab Alia tanpa menoleh lagi kepada Dodi. Dodi hanya terdiam. Ia tidak berpikir perkataannya tadi telah membuat temannya merasa tidak enak.
    “Kalau begitu, aku minta maaf kalau udah ganggu kamu. Gak maksud ganggu kok tadi. Kan enakan kita ketawa daripada muram terus.”
    Alia sempat terdiam.
    “Gimana?” sambung Dodi.
    “OK, aku maafin,. Tapi tolong kedepannya jangan buat ribut lagi. Peduli dong sama orang lain.”
    Gaya bicara Alia yang cepat itu menandakan ia tidak sepenuh hati memaafkan Dodi.
    “Udah dulu ya, aku pulang dulu,” ucap Alia meninggalkan Dodi. Ia langsung melangkahkan kaki menuju pintu keluar.
    “Bye-Bye!” Dodi melambaikan tangannya kepada Alia. Suaranya terdengar jelas di antara hiruk-pikuk kantin. Mendengar itu, Alia hanya melambaikan tangannya tanpa menoleh dan tetap melangkah ke depan.Dodi hanya tersenyum melihat itu.
    “Wah, susah juga nih cewek,” pikir Dodi dalam hati..

    * * *

    Dodi merupakan anak seorang yang cukup mapan di kotanya. Tapi penampilannya yang sembarang tidak mencerminkan bahwa ia merupakan anak seorang pejabat. Ia lebih suka bergaul dengan teman-temannya yang berasal dari rakyat jelata daripada bergaul dengan anak teman ayahnya sesama pejabat. Saat ada pesta ataupun pertemuan di rumahnya, ia selalu menghindar. Dodi tidak senang dengan pesta, apapun namanya. Bahkan, teman-teman dekatnya tidak tahu bahwa Dodi anak seorang pejabat.
    Di siang hari, biasanya Dodi mempunyai jadwal rapat organisasi mahasiswa di kampusnya. Sebagai ketuanya, hampir seluruh mahasiswa/i di kampusnya mengenalnya. Mereka sedang mendiskusikan tentang skandal korupsi anggota DPRD setempat. Penyelidikan itu sudah dimulai sejak beberapa bulan lalu. Semua bukti sudah tinggal melaporkannya kepada pihak berwajib.
    “Bagaimana Dodi? Semuanya sudah siap. Kami masih menunggu perintahmu,” ucap salah satu anggota rapat, Vera.
    “Tunggu. Bagaimana kalau kita salah. Kan bisa panjang masalahnya,” sambung Dodi.
    “Jadi?”
    “Bagaimana kalau kita berdiskusi secara baik-baik dengan ketua DPRD. Kita juga masih ingin membicarakan tentang masalah sosial yang terjadi di sekitar kita,” kata Dodi.
    “Baiklah kalau begitu. Kita tinggal meminta izin kepada polisi dan mengumpulkan massa,” jawab Vera.
    “Jadi kita mau berdemo? Kalau menurut saya, sebaiknya kita bermusyawarah secara pribadi dengan mereka. Sekarang kan lagi jamannya kampanye. Apakah kita tidak mengganggu arus dan jadwal kampanye partai lain?”
    Perkataan tersebut membuat para peserta rapat terdiam. Mereka tidak terpikir sampai situ. Sebagiannya lagi mengangguk-anggukan kepalanya pertanda setuju. Inilah salah satu kelebihan Dodi. Ia mampu menganalisis situasi sampai ke detil-detil terkecilnya.
    “Saya akan memilih beberapa orang dari kita untuk menemani saya melaporkannya. Besok setelah selesai kuliah kita akan mengantarkannya,” lanjut Dodi.
    Para peserta rapat mengangguk tanda setuju. Seketika itu pula rapat dibubarkan. Dodi kembali merasa teringat kejadian pada jam selesai kuliah tadi. Ia merasa tidak enak kepada Alia. Ia mulai sadar akan sifat ribut dan urakannya. Sebagai pemimpin, sifat seperti itu seharusnya tidak ada. Dalam hatinya, Dodi berjanji untuk berubah meninggalkan sifat jeleknya.

    * * *

    Bel pertanda kuliah berbunyi. Dodi dengan cepat bergegas ke ruang organisasinya. Melihat itu, Alia tidak begitu menghiraukannya.
    “Ah, biasa. Orang aneh,” Alia berkata berbisik.
    Di sana, sudah menunggu beberapa orang membawa beberapa berkas. Hari ini, Dodi bersama teman-temannya akan menyerahkan berkas bukti laporan korupsi anggota dewan sekaligus berdiskusi. Pakaian Dodi pun lain dari biasanya. Ia sekarang lebih rapih dan sangat berbeda.
    “Wah, selamat pagi pak!”
    Teman-teman Dodi hormat layaknya bawahan kepada atasannya. Entah apa maksudnya perkataan itu. Sebagian bermaksud hormat, sedangkan sebagian bermaksud mengejek Dodi.
    “Jangan gitu dong. Kita kan mau berhadapan dengan orang tinggi. Ntar gak diterima klo acak-acakan,” jawab Dodi.
    “Gimana? Semua sudah siap?”
    “Siap, Pak!”
    Perkataan kali ini diikuti tawa oleh teman-temannya. Total semuanya ada 5 orang, termasuk Dodi. Semuanya merupakan pilihan Dodi. Rata-rata dari mereka mempunyai kemampuan berdebat yang bisa dikatakan sekelas senator Amerika. Salah-satunya Vera. Ia dulu merupakan finalis kontes debat di kampus. Dan sekali lagi, ia dikalahkan oleh Dodi.
    Sebuah mobil angkot sudah menunggu di halaman parkir kampus. Untuk ke gedung DPRD, mereka terpaksa menyewa sebuah mobil karena jarak antara kampus dengan gedung DPRD cukup jauh. Belum lagi rata-rata mahasiswa/i di kampus tersebut merupakan orang dengan ekonomi kelas menengah ke bawah. Kalaupun ada yang kaya, mereka tidak suka dengan kegiatan semacam ini.
    Setelah menempuh perjalanan sekitar 20 menit,mereka akhirnya sampai di gedung DPRD. Walaupun suasana kota siang hari yang sangat panas, mereka tetap bersemangat.
    Seperti biasa, sebelum memasuki kawasan gedung DPRD, mobil mereka harus menjalani pemeriksaan keamanan. Tidak ada rasa malu sedikitpun dari mereka saat masuk dengan sebuah angkot butut.
    “Oh Dodi ya! Mari silakan masuk,” ucap satpam itu. Dodi memang sering ke gedung DPRD untuk ikut berdiskusi ataupun ikut ayahnya yang juga seorang anggota dewan.
    Di kejauhan terlihat sebuah mobil SUV putih. Dodi merasa familiar dengan. Sepertinya ia pernah bertemu mobil itu, tapi entah dimana. Dodi terus berusaha menggali-gali pikirannya. Tapi, semakin ia menggali, Dodi seperti makin jauh dari jawabannya. Ia hanya ingat mobil itu pernah dilihatnya di kawasan kampusnya.
    Apa yang dipikirkan Dodi benar. Saat mobil angkot butut mereka melintasi mobil itu, terlihat seorang perempuan cantik yang sangat familiar di mata Dodi. Dia Alia! Itu merupakan mobil ayah Alia, Dodi ingat di kelas tadi Alia menggerutu karena mobilnya rusak dan harus diantar jemput ayahnya. Walaupun Dodi menyadari adanya Alia, Alia tidak menyadari akan Dodi yang melintas di depannya. Ia tampak sibuk mengutak-atik telepon genggam canggih miliknya. Biasa, anak orang kaya.
    Setelah turun dari mobil, mereka melangkahkan kaki menuju pintu utama. Di sana berdiri dua orang satpam berbadan macho. Muka mereka tampak ramah melihat mereka. Mungkin karena sudah kenal dengan Dodi. Jika tidak, tak bisa dibayangkan seseram apa wajah mereka, apalagi jika berbaju acak-acakan seperti Dodi.
    “Pagi mas, ada yang bisa saya Bantu?” Tanya salah seorang satpam dengan nama Roni Van Persie. Nama yang cukup keren untuk seorang satpam. Mengingatkan Vera yang gila bola kepada Robin Van Persie, striker andalan klub Inggris, Arsenal.
    “Ini, kami mau menyerahkan beberapa berkas kepada Dewan Kehormatan,” Jawab Dodi.
    “Baiklah kalau begitu. Kami akan mengawal kalian sampai ruangan Dewan Kehormatan,” sambung si satpam.
    “Wah baru kali ini aku dikawal seperti ini. Gini ya rasanya jadi pejabat. Enak ya?” Vera kegirangan karena ini merupakan pengalaman pertamanya.
    “Eh, jangan kampungan. Jaim dikit ding. Malu kalau dilihat orang lain,” Dodi sedikit membentak Vera.
    Saat berjalan melewati suatu ruangan, Dodi melihat 2 orang berjas sedang bercakap-cakap. Salah satunya memegang koper. Dodi yang penasaran berjalan sedikit lambat. Saat yang satunya melihat isi koper, ia tersenyum, dilanjutkan dengan jabat tangan keduanya.
    “Wah, mungkin ini tindak penyuapan. Tapi, gimana kalau bukan?” Ucap Dodi dalam hati. Ia tidak mau berprasangka buruk terhadap orang lain tanpa ada bukti.
    Setelah menyerahkan berkas dan berdiskusi sebentar dengan dewan, mereka pulang. Mereka melewati kembali ruangan tadi. Kali ini tidak ada siapa-siapa. Pintu ruang itu terkuci rapat dan lampunya dimatikan. Mobil Alia di luar pun sudah tidak ada lagi. Para kelompok mahasiswa ini sudah tidak sabar ingin pulang kerumah setelah seharian beraktivitas. Apalagi besok kuliah tidak ada.

    * * *

    Dua bulan sudah berlalu sejak penyerahan berkas itu. Dodi dan teman-temannya sudah tidak sabar melihat hasil kerja keras mereka mengungkap kasus korupsi. Semua berkas sudah diberikan kepada KPK. Mungkin kalau benar-benar terungkap nama Dodi dan teman-temannya bisa terkenal. Itu impian mereka sejak memulai pengungkapan kasus itu.
    Suatu malam saat Dodi menonton televisi, berita yang ia tunggu-tunggu akhirnya muncul juga. Dengan cepat ia langsung menginfokan kabar ini ke seluruh teman seperjuangannya. Ia juga sudah mempersiapkan untuk merekamnya, karena ini merupakan prestasi terbesar mereka selama ini sewaktu menjadi mahasiswa.
    “Pemirsa, kasus korupsi kembali terungkap. Dengan informasi yang didapat dari sekelompok mahasiswa, KPK dapat menyingkap praktek korupsi yang terjadi di tubuh dewan dan pelakunya terus bertambah. Pihak luar diduga juga terkait dalam kasus ini,” ucap presenter cantik di televise.
    Ketika ditayangkan bagaimana beberapa pelaku korupsi ditangkap, terlihat seorang yang tua. Dodi sepertinya pernah melihatnya. Ya, dia orang yang sewaktu Dodi menyerahkan berkas, orang tersebut sedang mnyerahkan amplop ke salah satu anggota dewan. Tidak disangka orang itu benar-benar melakukan tindak penyuapan. Untung ia juga tertangkap. Perasaan bangga sekaligus senang bercampur di hati Dodi.
    Saat itu pula Dodi melihat sebuah mobil SUV putih di rumah orang itu.
    “Itu kan mobil Alia? Tapi gak mungkin ah, pasti mobil orang lan yang kebetulan sama,” pikir Dodi.
    Situasi terburuk yang dipikirkan Dodi benar! Alia terlihat menghalang-halangi petugas kepolisian yang hendak menangkap ayahnya. Dodi kaget bukan main. Perasaan senang dan bangga tadi seketika berubah menjadi perasaan bersalah dan takut. Tidak disangka kasus korupsi yang diungkapnya bersama teman-temannya ikut menyeret orangtua Alia. Ini benar-benar di luar dugaannya. Maksud hati ingin berbuat baik malah ikut menyeret teman-temannya.

    * * *
    Di kampus keesokan harinya, Dodi hanya diam. Melihat itu, teman-temannya bercandanya tidak berani menegur, karena biasanya saat Dodi memasang muka serius ataupun diam, ia akan marah besar saat diganggu. Alia pun tidak terlihat batang hidungnya. Banyak yang mengkait-kaitkan sikap Dodi hari ini karena keberadaan Alia. Tapi teman-temannya tida berani menyimpulkan lebih jauh tentang masalah ini. Walaupun hari ini masih ada repat organisasi setelah kuliah, Dodi langsung pulang ke rumah tanpa pamit lagi kepada teman-temannya.
    Saat Dodi tiba di rumahnya, polisi sudah banyak berkumpul. Rumahnya pun sudah dipasangi garis polisi. Terlihat beberapa orang mengenakan jaket dengan tulisan KPK. Dodi benar-benar terkejut. Ia mulai bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi. Salah seorang petugas menghampiri Dodi yang membisu.
    “Kamu kan yang waktu itu menyerahkan laporan korupsi kepada saya? Kami sangat berterima kasih atas laporan tersebut. Berkatnya kami bisa mengungkap beberapa kasus korupsi. Sekarang kami sedang menggeledah rumah salah satu biang korupsi selama ini. Tapi yang ada hanya nyonya dan pembantunya. Bapak yang kami cari-cari sepertinya sudah melarikan diri. Sepertinya kedatangan kami sudah terendus duluan,” ucap petugas itu.
    Mendengar penjelasan itu, Dodi hanya bisa terdiam. Tidak ada lagi rasa bangga dihatinya setelah membentu mengungkap kasus korupsi. Yang ada hanyalah rasa bersalah dan penyesalan dalam dirinya. Ia malu mengatakan ini adalah rumahnya dan orang yang dicari-cari petugas KPK adalah ayah kandungnya sendiri. Marah, kesal, malu dan perasaan negatif lainnya bercampur dalam dirinya. Baru kali inilah ia merasakan pahitnya hidup seorang penegak hukum yang menghukum orang-orang dekatnya sendiri.
    Sampai semua petugas itu pergi, barulah Dodi berani memasuki rumahnya. Suasana hening dan seding masih menyelimuti ruang keluarga. Ibunya tampak bingung. Ia hanya mondar-mandir tidak karuan. Di tangannya terlihat sebuah telepon genggam canggih. Ibu itu tampak sedang berusaha menghubungi seorang yang sangat penting. Dodi langsung saja lurus menuju kamarnya tanpa memberi salam terlebih dahulu. Ia langsung menyalakan televisi.
    “KPK bersama Polri benar-benar berterima kasih kepada sekelompok pemuda yang telah membantu dalam penyelidikan kasus korupsi. Untuk itu Kapolda berencana akan memberikan bintang pernghargaan kepada mereka,” ucap presenter kemarin yang memulai mimpi buruk Dodi.
    “Ahhh!” Dodi berteriak sangat kencang. Spontan saja remote televisi yang dipegangnya dilemparkannya dengan kuat ke televisi. Televisi layar datar itu tampak retak di sisi kiri atasnya. Dodi sama sekali tidak mau menerima penghargaan itu. Pantaskah penghargaan itu diberikan kepada orang sudah membuat keluarganya dan temannya dipermalukan dan sedih?

    * * *

    Kini semuanya sudah terlambat. Beban mental yang harus ditanggung seorang pembela keadilan seperti Dodi sangat berat. Ia tidak berpikir apa yang terjadi bila orang-orang terdekatnya ikut terseret kasus korupsi yang dia ungkap. Yang terpikir oleh Dodi sekarang ialah hanya meminta maaf. Ia yakin perbuatan yang dia lakukan adalah benar. Sebagai orang yang berbuat, Dodi harus meminta maaf kepada orang-orang yang disakitinya.
    Ia kembali membuka dokumen-dokumen penyelidikannya. Berjam-jam ia mebalik-balik kertas-kertas. Meja belajarnya penuh dengan kertas. I a Terlihat seperti melakukan penelitian revolusioner. Ternyata benar! Ada data yang salah. Dodi sedikit cemas. Ia berharap dengan diperbaikinya kesalahan ini, beberapa dari orang terdekatnya bisa dibebaskan dari tuduhan tersebut. Dari kamarnya, ia langsung turun mencari ibunya. Setelah cukup lama mencari, ia tetapi tidak menemukan ibunya.
    “Bik, dimana mama?” Tanyanya kepada salah seorang pembantu. Hanya ia yang bertahan untuk menjadi pembantu. Yang lainnya sudah mengundurkan diri karena malu dan kesal melayani seorang koruptor. Sebagai rakyat kecil, koruptor dianggap sebagai biang kerok melaratnya hidup mereka.
    “Gak tau mas. Yang jelas, tadi ibu terlihat buru-buru keluar dengan orang lain. Kayaknya orang tadi pengacara buat bapak,” jawab pembantu itu.
    Dodi menunda untuk berbicara dengan ibunya. Sekarang ia ingin berbicara tentang yang sebenarnya dengan Alia. Setelah ia sering membuat kesal Alia, kini ia mempermalukan keluarga Alia. Dan itu semua berasal dari tangannya sendiri. Saat dalam perjalanan menuju rumah Alia, ia melihat Alia dengan kasarnya dibawa oleh beberapa petugas kepolisian.
    “Eh, ada apa ini?” Dodi memotong.
    “Bapak tidak usah ikut campur. Orang ini merupakan bagian dari kasus korupsi,” petugas itu balik membentak.
    “Tapi kan gak perlu dengan cara seperti ini. Walaupun dia bagian dari kasus korupsi, belum tentu kan dia bersalah,” Dodi membela.
    “Apa bapak juga kawanan dari mereka?”
    Dengan sigapnya petugas itu membentak disertai dengan mengeluarkan senjata api dari sarungnya. Dodi yang melihat itu berusaha melawan. Tanpa sadar perlawanan itu membuat petugas tersebut menarik pelatuk senjata api. Moncong senjata api itu tepat mengarah ke dada Dodi. Melihat itu Alia berteriak histeris. Ia langsung menghampiri Dodi.
    “Di, bangun. Aku yakin kamu kuat,” Alia tampak menggoyang-goyang badan Dodi. Tangannya pun ikut bersimbah darah. Mulut Dodi seakan ingin berbicara sesuatu, tapi apa daya setelah tertembus peluru. Ia benar-benar tak bisa berbuat apa-apa. Dengan tenaga terakhirnya Dodi menyerahkan sebuah map biru yang cukup tebal dengan tangannya yang gemetaran. Di saat itulah, ia menghembuskan nafas terakhirnya.
    Alia yang melihat itu hanya bisa pasrah. Tangannya gemetaran bersimbah darah. Dipeluknya erat-erat map yang diberikan oleh Dodi. Sesaat kemudian polisi dan ambulans datang. Petugas yang menembak pun telah tertangkap tidak jauh dari lokasi kejadian. Wajah Alia pucat pasi. Pikirannya melayang entah kemana. Tidak lama setelah itu, Alia jatuh tersungkur pingsan.

    * * *

    Di dalam pingsannya, Alia terduduk sendiri. Tiba-tiba seorang berjubah putih mendatanginya. Alia benar-benar kenal dengannya. Dia Dodi!
    “Aaa, aa..,” mulut Alia tak dapat digerakkan. Semakin ia berusaha untuk berbicara, ia makin tidak bisa. Kakinya seperti tertempel di tanah. Ia membantu di hadapan Dodi.
    “Aku menemuimu untuk mengucapkan permintaan maaf terakhirku. Aku juga ingin memberi tahu atas kebenaran dari kasus korupsi yang kuungkap,” ucap Dodi dengan halusnya.
    Alia sama sekali tidak menyangka Dodi yang mengungkap kasus itu. Dodi yang selama ini dia kira orang kampungan, ternyata seorang yang benar-benar serius dan punya kemampuan analisa yang luar biasa.
    “Berikanlah map itu kepada petugas yang berwajib. Mereka akan tahu sendiri. Dan yang terakhir. Sebenarnya sudah lama kupendam rasa ini. Tapi aku tidak tahu bagaimana harus mengungkapkannya,” sambung Dodi.
    Keduanya lantas terdiam.
    “Aku benar-benar mencintaimu. Mungkin sudah terlambat aku mengungkapkannya. Sekarang kita sudah berbeda dunia. Aku hanya ingin kau tahu perasaanku selama ini kepadamu. Dengan begini aku bisa hidup tenang di alam sana. Semua bebanku sudah hilang.”
    Alia yang mendengar hanya mampu terdiam Tangannya gemetaran ingin memegang Dodi. Tapi apa daya. Ketika tangannya hendak memegang Dodi, badan Dodi menghilang layaknya angina.
    “Waktuku tidak banyak. Ini merupakan tatap muka kita yang terakhir. Tapi perasaanku akan hidup selamanya di hatimu.”
    Dengan seketika Dodi berbalik dan berjalan menjauh. Melihat itu, Alia mengejar Dodi. Tetapi, semakin ia mengejar Dodi, badan Dodi terlihat makin cepat menjauh. Akhirnya, Dodi menghilang di garis horizon. Alia terbangun dari pingsannya. Tanpa sadar air matanya mulai menetes jatuh. Ia menangis sejadi-jadinya saat itu, memecah keheningan rumah sakit malam itu.

    TAMAT

    BalasHapus
  32. Amarah Terpendam

    tema:krisis moral
    oleh: Irine Natalia / 17

    Matahari bersinar dengan cerah di pagi hari. Terlihat di suatu sudut teras rumah seorang pemuda berwajah lugu sedang melamun, memikirkan entah masa depan seperti apa yang terbentang di hadapannya.
    “Sen..Seno!”, ucapan itu mengagetkan Seno, ternyata suara yang membangunkannya dari lamunan adalah Ibunya.
    “Melamun itu tidak baik lho. Apa kamu bingung lagi memikirkan lanjutan pendidikanmu?”
    “Iya, bu. Seno ingin melanjutkan kuliah. Tapi tidak tahu bagaimana caranya”
    Seno tahu, sebenarnya Ibunya cukup berat hati untuk melepasnya pergi kuliah ke kota karena kedua kakanya juga telah menetapkan untuk mencari kerja di kota. Namun mau tidak mau, Ibunya pun juga tahu bahwa Seno harus memperoleh pendidikan yang layak dan fasilitas itu hanya ada di perkotaan. Selain itu, di era perkembangan teknologi, kehidupan yang sederhana di pedesaan bagi kebanyakan kaum muda terasa membosankan. Ada-ada saja alasan mereka untuk bisa ke kota, entah untuk mencari kerja atau melanjutkan sekolah, dan akhirnya ada yang menjadi sukses atau sampah masyarakat.
    “Kalau itu memang kewajibanmu untuk kuliah, Ibu ‘kan bisa menghubungi Paman Udi. Pardi dan Hario kakakmu juga nanti ikut naik mobilnya ke kota.”, ujar Ibu.
    “Loh, kenapa Seno tidak diberi tahu soal ini?”
    “Kamu sih, pakai mendadak ikut ujian masuk perguruan tinggi segala. Ibu kan juga baru tahu”
    “Soal itu sih gampang, nanti Seno bisa bilang kok ke paman. ‘Kan aku juga bisa cari kerja sambilan di sana.”, katanya dengan wajah yang seolah-olah baru mendapat pencerahan.
    “Hah! Pasti nanti mau pamer sama dik Ris.”
    “Iyalah Bu, kalau gitu Seno pergi dulu ya!”

    Seno pun berlari-lari menyusuri jalan dari tanah merah. Ia sedang mencari sahabatnya, Riska yang sama-sama baru lulus SMA.
    “Oi, Ris! Dengar nih, aku punya berita bagus!”
    “Huh, coba kutebak, pasti karena Pak Udi sudah beli mobil baru, kamu lantas mau jalan-jalan ke kota kan?”, tanya Riska dengan curiga.
    “Tumben nih otakmu jalan juga. Iya sih memang benar, tapi aku bukan jalan-jalan lho! Aku mau melanjutkan kuliah di sana, lagipula aku sudah ikut ujian masuk kok.”
    “Enak dong Sen, aku saja tinggal terus disini”
    “Wah kalau seandainya aku sudah sampai di sana, pasti kukabarin kamu deh. O ya! Ngomong-ngomong aku datang ke sini hanya ingin mengabarkan itu saja. ‘Ntar dimarahin sama Ibu lagi kalau kelamaan.”, kata Seno dengan terburu-buru.
    “Ya udah kalau begitu”

    Sesampainya di rumah, Seno melihat sandal kedua kakaknya. Jadi mereka sudah pulang dari mengurus ternak, pikirnya. Tiba-tiba, Ia mendengar seperti nada orang marah di dalam rumah,
    “Gimana sih, Bu! Aku ‘kan mau berangkat lusa, tapi kok uang persediaannya belum dikasih?”, protes Pardi
    “Sabar dulu kenapa Par! Nanti kalau waktunya sudah tiba Ibu pasti kasih! Lagipula kenapa hari ini kamu marah-marah, nak?”
    “Salah Ibu sih! Pardi sudah sabar berhari-hari, tapi Ibu selalu menghindari aku! Masa membantu anak sedikit saja tidak becus!?”
    Seno yang naik darah segera melerai adu mulut antara kakaknya dan Ibunya,
    “Sudahlah kak! Memangnya Kak Pardi buta ya kalau sekarang bukan musim panen!? Kita juga bukan dari keluarga kaya”, katanya dengan dongkol.
    “Huh!”
    Amarah Pardi berakhir dengan meja makan yang terpukul oleh tangannya. Dia langsung masuk ke kamarnya dan suasana menjadi sunyi sesaat dengan Seno, Ibu, dan Kak Hario yang duduk diam saja di ruangan tersebut.
    “Kak Hario juga sih, kok dari tadi ‘ga membela ibu?”
    “Apa sih urusanku? Ibu memang salah kok tidak mengerti keinginan anak”, timpal Hario sambil menjauh ke dalam kamarnya.
    Seno sungguh seringkali merasa kesal dengan ulah kedua kakaknya yang tidak mengenal tempat. Namun sebagai anak yang terkecil, Ia juga harus menghormati keduanya.
    Hingga malam harinya, kedua kakaknya mengacuhnya Ibunya. Jujur saja Seno tidak tahu harus berbuat apa, karena Ia pun merasa bosan melihat hubungan antara mereka yang begitu renggang telah berlangsung sejak ia kecil. Seusai makan, Seno menemani Ibunya duduk dan menonton televisi. Di rumah, Seno-lah yang paling akrab dengan Ibunya semenjak ayahnya meninggal, sedangkan kedua kakaknya seolah-olah baru mengenal Ibunya dan jarang sekali berbicara kecuali ada hal yang dibutuhkannya.
    Keesokan paginya, setelah sarapan, seperti biasa keluarga ini bekerja di ladang dan tempat beternak milik mereka sendiri. Ibu Seno biasa mengatur kegiatan penjualan hasil yang diperolehnya dengan mobil angkutan yang biasa mengantar barang hingga ke kota. Di sela-sela kesibukan itu, Ibu Seno berkata,
    “Besok Paman Udi mau mengantarkan keberangkatan kalian. Jadi, kalian harus bersiap-siap ya”
    “Haha, kami pasti bisa jaga diri. Seno sudah mengemas baju kok! Ini kali pertamanya Seno bisa ikut keluar desa”, katanya dengan senang

    Tibalah hari keberangkatan, ketiga kakak beradik itu diberi bekal makanan dan sedikit uang untuk kebutuhan hidup mereka. Rencananya, mereka akan menempati rumah Paman Udi sementara. Akhirnya, setelah melewati beberapa jam perjalanan, akhirnya mereka sampai juga di rumah Paman Udi.
    “Hah! Senangnya sudah sampai di kota. Jadi begini ya pemandangannya, banyak sekali gedung-gedung bertingkat...jalannya juga mulus”, kata Seno dengan semangat.
    “Dasar kampungan kamu, tapi setidaknya kita sudah bebas dari kehidupan bersama Ibu yang sudah tua”, kata Kak Hario dengan nada meremehkan.
    “Hush! Nanti kulaporkan kalau Kak Har bilang Ibu macam-macam, baru tahu rasa”
    “Sudah, sudah, ayo masuk! Nanti dikira tetangga ada apa lagi. Pardi, Hario, usahakan jaga sikap kalian selama di sini. Kalian tujuannya mau cari kerja, bukan cari masalah”, sergah pamannya.

    Kehidupan beberapa hari terasa normal bagi Seno. Ia telah diterima di perguruan tinggi dan diinginkannya. Bahkan Ia merasa senang tidak perlu merepotkan pamannya lagi telah memperoleh kerja sambilan sebagai pegawai di sebuah rumah makan. Hanya tersisa kedua kakaknya yang tidak jelas arahnya.
    Paman Udi yang tidak tega melihat kedua orang tersebut, menawari mereka pekerjaan,
    “Paman bisa maklum kalau kehidupan di kota memang susah. Kebetulan di bengkel milik Paman sedang kekurangan beberapa pekerja. Kalian mau kan bekerja di situ.”
    “Tentu saja mau!”, kata Hario
    “Wah, makasih Paman, jadi tidak usah repot-repot membuka koran lagi deh.”, kata Pardi.

    Masing-masing kakak beradik telah mendapat penghasilan yang diinginkan. Namun, perangai mereka tetap tidak berubah. Ada suatu saat dimana Seno mencari-cari kedua kakaknya yang belum pulang hingga larut malam. Alangkah terkejutnya ketika Ia menemukan mereka berdua sedang bermain taruhan dengan beberapa orang yang juga tinggal di dekat rumah mereka dengan menggunakan uang penghasilannya. Secara spontan, Seno maju dengan langkah gusar ke tempat itu dan berkata,
    “Apa-apaan yang kakak lakukan? Paman khawatir mencari kalian berdua tahu!”
    “Seno, kau ini masih muda, jelas saja kau tidak mengerti betapa stressnya kami yang hanya dihadapkan dengan pekerjaan. Sekali-kali apa salahnya melakukan kegiatan hiburan?” timpal kak Pardi
    “Ya, tapi ini cara yang salah! Apa kakak mau bertambah miskin gara-gara kekurangan uang?
    “Kau ini polos sekali sih. Bahkan aku baru memenangkan sedikit uang. Bertaruh itu tidak bisa kau identikkan hanya dengan orang miskin, tahu!”
    “Terserah kakak. Aku tidak akan cerita pada paman soal ini, kalianlah yang menjelaskan sendiri di rumah.”, kata Seno sambil berlalu.
    Pardi dan Hario akhirnya pulang juga setelah menyelesaikan permainan mereka. Tentu saja mereka berhasil mengelak dari pertanyaan Paman Udi. Seno pun tidak mau ambil pusing dan langsung tidur. Ia merasa capek dengan kata-kata yang dikeluarkan untuk kedua kakaknya sia-sia saja. Hati Seno sebenarnya miris untuk selalu menutupi kebohongan akan kelakuan mereka berdua yang semakin menjadi-jadi dari pamannya karena ingin melindungi mereka. Ia juga berharap agar suatu saat kakaknya bisa menyadari perbuatannya.
    Sejak pindah ke kota, rasanya, melihat kedua kakaknya nongkrong di malam hari sudah menjadi pemandangan yang biasa bagi Seno. Mereka bahkan sudah nekad untuk meminum minuman keras. Ia sungguh tidak tahan dan untuk pertama kalinya, ia merasa sangat ingin menghajar mereka dengan kedua tangannya. Seno pun tidak berani memberitahu Ibu.
    .
    Kemudian pada suatu hari ketika Seno baru pulang kuliahnya, Ia tiba-tiba dicegat oleh dua orang. Untuk sesaat, Ia merasa asing terhadap siapa orang tersebut, lalu kemudian Seno tersadar bahwa mereka adalah orang yang biasa nongkrong bersama Kak Pardi dan Kak Hario. Ia merasa ada yang tidak beres dengan kedua kakaknya.
    “Kamu adiknya Pardi dan Hario kan?”, tanya pria pertama, “Dimana kakakmu?”
    “Apa maksud bapak? Saya baru pulang kuliah jadi saya tidak tahu dimana mereka berada.”
    “Jangan bohong! Mereka selalu bersembunyi dari kami selama dua hari ini. Pasti mereka menyuruhmu untuk diam kan!?”, kata pria kedua sambil mendorong Seno dengan keras. Jelas Seno merasa sakit karena didorong. Ia benar-benar habis akal tentang apa yang terjadi.
    “Tenang dulu, Pak! Sebenarnya, mereka pun sering pulang malam dan kebanyakan pada saat itu saya sudah tidur, jadi saya benar-benar tidak tahu apa yang terjadi.”, kata Seno dengan nada gelisah.
    “Begitu ya, baiklah anggap saja perbuatan barusan tidak ada. Masalahnya, mereka kalah bertaruh dan berhutang padaku sebanyak dua juta. Kalau kau menemui mereka, bilang saja untuk mengembalikan uang secepatnya pada kami dan jangan coba-coba untuk sembunyi!”, kata pria kedua .
    “Ba...baiklah, akan saya usahakan”
    Kedua pria itu telah pergi dari hadapannya. Kini, Seno yang menjadi korban ancaman langsung menunggu kedua kakaknya di depan pintu rumah mereka pada saat malam hari. Ia berharap ingin menyelesaikan masalah secepatnya dan sudah tidak peduli untuk melindungi mereka lagi.

    “Kak Pardi! Kak Hario! Kalian benar-benar kurang ajar telah mempermalukan nama keluarga kita!”, sergah Seno sambil menghalangi kedua kakaknya
    “Hei, jadi adik jangan bicara tidak sopan! Apa jangan-jangan...”,
    “Pasti kedua orang itu mengunjungi tempatmu kan!?”, potong Hario, “Pasti dia mengancammu untuk mengadukan kami kan?”
    “Ya! Sekarang kalian sudah bisa belajar berhutang, mabuk-mabukan, dan berbuat kasar! Semenjak tinggal di kota, kalian sudah menjadi manusia tak berakhlak dan bahkan lebih rendah dari orang lain yang pernah kutemui!”
    “Kau.......!”, kata Pardi yang kemudian menampar Seno.
    “Biarkan! Pukul saja terus! Aku juga tidak akan segan-segan untuk melapor kelakuan kalian ke polisi!”, kata Seno yang semakin kesal
    Seno langsung masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Untungnya Paman Udi sedang tugas di luar kota dan hanya Seno sendiri di rumah sehingga tidak perlu menjelaskannya.
    Keesokan harinya, Seno tidak melihat jejak kedua kakaknya di luar rumah, ia sudah tahu bahwa mereka berdua pasti bersembunyi di tempat yang biasa ia ketahui. Sebuah mobil polisi tiba-tiba berhenti di dekat rumah dan menghampiri Seno sebagai orang yang terdekat.
    “Selamat siang, kami dari kesatuan polisi kota ini. Apakah anda warga di sekitar sini?”, tanya kepala polisi tersebut.
    “Ya”
    “Tempat ini dikabarkan menjadi tempat pengedar minuman keras dan sarang penjudi, apa saya bisa mengharapkan kerjasama anda dan beberapa warga lainnya?”
    “Carilah mereka secepatnya sebelum mereka pergi, aku tahu dimana tempat persembunyian mereka”, ujar Seno sambil menunjuk ke arah lorong di dekat rumahnya.
    “Kalau begitu, terima kasih”, kata polisi tersebut seraya pergi dengan anak buahnya
    Kabar penangkapan kedua kakaknya pun sudah diketahui oleh khalayak ramai tidak lama kemudian, termasuk paman Seno. Mengejutkan bagi Paman Udi, namun Seno berpikir bahwa inilah jalan terbaik bagi kedua kakaknya daripada harus bersembunyi terus-menerus.
    Sahabatnya Riska yang mendengar kabar ini langsung menemui Seno beberapa hari kemudian,
    “Hooi, Sen!! Aku terkejut sekali waktu mendengar dari temanmu kabar penangkapan itu. Namun, aku belum beritahu Ibumu, takutnya dia stress”, kata Riska tidak sabaran
    “Baguslah kalau begitu. Aku juga sudah bilang ke Paman Udi untuk tidak memberitahu Ibu saja. Nanti aku titip salam padanya lewat kamu saja Ris, bilang kalau aku kapan-kapan bisa menjenguknya.”, jawab Seno dengan pasrah
    “Jadi, sekarang apa yang akan kamu lakukan?”
    “Entahlah, melanjutkan kuliah yang pasti. Tapi rasanya aku sudah sedikit lega.”

    BalasHapus
  33. Amarah Terpendam

    tema:krisis moral
    oleh: Irine Natalia / 17

    Matahari bersinar dengan cerah di pagi hari. Terlihat di suatu sudut teras rumah seorang pemuda berwajah lugu sedang melamun, memikirkan entah masa depan seperti apa yang terbentang di hadapannya.
    “Sen..Seno!”, ucapan itu mengagetkan Seno, ternyata suara yang membangunkannya dari lamunan adalah Ibunya.
    “Melamun itu tidak baik lho. Apa kamu bingung lagi memikirkan lanjutan pendidikanmu?”
    “Iya, bu. Seno ingin melanjutkan kuliah. Tapi tidak tahu bagaimana caranya”
    Seno tahu, sebenarnya Ibunya cukup berat hati untuk melepasnya pergi kuliah ke kota karena kedua kakanya juga telah menetapkan untuk mencari kerja di kota. Namun mau tidak mau, Ibunya pun juga tahu bahwa Seno harus memperoleh pendidikan yang layak dan fasilitas itu hanya ada di perkotaan. Selain itu, di era perkembangan teknologi, kehidupan yang sederhana di pedesaan bagi kebanyakan kaum muda terasa membosankan. Ada-ada saja alasan mereka untuk bisa ke kota, entah untuk mencari kerja atau melanjutkan sekolah, dan akhirnya ada yang menjadi sukses atau sampah masyarakat.
    “Kalau itu memang kewajibanmu untuk kuliah, Ibu ‘kan bisa menghubungi Paman Udi. Pardi dan Hario kakakmu juga nanti ikut naik mobilnya ke kota.”, ujar Ibu.
    “Loh, kenapa Seno tidak diberi tahu soal ini?”
    “Kamu sih, pakai mendadak ikut ujian masuk perguruan tinggi segala. Ibu kan juga baru tahu”
    “Soal itu sih gampang, nanti Seno bisa bilang kok ke paman. ‘Kan aku juga bisa cari kerja sambilan di sana.”, katanya dengan wajah yang seolah-olah baru mendapat pencerahan.
    “Hah! Pasti nanti mau pamer sama dik Ris.”
    “Iyalah Bu, kalau gitu Seno pergi dulu ya!”

    Seno pun berlari-lari menyusuri jalan dari tanah merah. Ia sedang mencari sahabatnya, Riska yang sama-sama baru lulus SMA.
    “Oi, Ris! Dengar nih, aku punya berita bagus!”
    “Huh, coba kutebak, pasti karena Pak Udi sudah beli mobil baru, kamu lantas mau jalan-jalan ke kota kan?”, tanya Riska dengan curiga.
    “Tumben nih otakmu jalan juga. Iya sih memang benar, tapi aku bukan jalan-jalan lho! Aku mau melanjutkan kuliah di sana, lagipula aku sudah ikut ujian masuk kok.”
    “Enak dong Sen, aku saja tinggal terus disini”
    “Wah kalau seandainya aku sudah sampai di sana, pasti kukabarin kamu deh. O ya! Ngomong-ngomong aku datang ke sini hanya ingin mengabarkan itu saja. ‘Ntar dimarahin sama Ibu lagi kalau kelamaan.”, kata Seno dengan terburu-buru.
    “Ya udah kalau begitu”

    Sesampainya di rumah, Seno melihat sandal kedua kakaknya. Jadi mereka sudah pulang dari mengurus ternak, pikirnya. Tiba-tiba, Ia mendengar seperti nada orang marah di dalam rumah,
    “Gimana sih, Bu! Aku ‘kan mau berangkat lusa, tapi kok uang persediaannya belum dikasih?”, protes Pardi
    “Sabar dulu kenapa Par! Nanti kalau waktunya sudah tiba Ibu pasti kasih! Lagipula kenapa hari ini kamu marah-marah, nak?”
    “Salah Ibu sih! Pardi sudah sabar berhari-hari, tapi Ibu selalu menghindari aku! Masa membantu anak sedikit saja tidak becus!?”
    Seno yang naik darah segera melerai adu mulut antara kakaknya dan Ibunya,
    “Sudahlah kak! Memangnya Kak Pardi buta ya kalau sekarang bukan musim panen!? Kita juga bukan dari keluarga kaya”, katanya dengan dongkol.
    “Huh!”
    Amarah Pardi berakhir dengan meja makan yang terpukul oleh tangannya. Dia langsung masuk ke kamarnya dan suasana menjadi sunyi sesaat dengan Seno, Ibu, dan Kak Hario yang duduk diam saja di ruangan tersebut.
    “Kak Hario juga sih, kok dari tadi ‘ga membela ibu?”
    “Apa sih urusanku? Ibu memang salah kok tidak mengerti keinginan anak”, timpal Hario sambil menjauh ke dalam kamarnya.
    Seno sungguh seringkali merasa kesal dengan ulah kedua kakaknya yang tidak mengenal tempat. Namun sebagai anak yang terkecil, Ia juga harus menghormati keduanya.
    Hingga malam harinya, kedua kakaknya mengacuhnya Ibunya. Jujur saja Seno tidak tahu harus berbuat apa, karena Ia pun merasa bosan melihat hubungan antara mereka yang begitu renggang telah berlangsung sejak ia kecil. Seusai makan, Seno menemani Ibunya duduk dan menonton televisi. Di rumah, Seno-lah yang paling akrab dengan Ibunya semenjak ayahnya meninggal, sedangkan kedua kakaknya seolah-olah baru mengenal Ibunya dan jarang sekali berbicara kecuali ada hal yang dibutuhkannya.
    Keesokan paginya, setelah sarapan, seperti biasa keluarga ini bekerja di ladang dan tempat beternak milik mereka sendiri. Ibu Seno biasa mengatur kegiatan penjualan hasil yang diperolehnya dengan mobil angkutan yang biasa mengantar barang hingga ke kota. Di sela-sela kesibukan itu, Ibu Seno berkata,
    “Besok Paman Udi mau mengantarkan keberangkatan kalian. Jadi, kalian harus bersiap-siap ya”
    “Haha, kami pasti bisa jaga diri. Seno sudah mengemas baju kok! Ini kali pertamanya Seno bisa ikut keluar desa”, katanya dengan senang

    Tibalah hari keberangkatan, ketiga kakak beradik itu diberi bekal makanan dan sedikit uang untuk kebutuhan hidup mereka. Rencananya, mereka akan menempati rumah Paman Udi sementara. Akhirnya, setelah melewati beberapa jam perjalanan, akhirnya mereka sampai juga di rumah Paman Udi.
    “Hah! Senangnya sudah sampai di kota. Jadi begini ya pemandangannya, banyak sekali gedung-gedung bertingkat...jalannya juga mulus”, kata Seno dengan semangat.
    “Dasar kampungan kamu, tapi setidaknya kita sudah bebas dari kehidupan bersama Ibu yang sudah tua”, kata Kak Hario dengan nada meremehkan.
    “Hush! Nanti kulaporkan kalau Kak Har bilang Ibu macam-macam, baru tahu rasa”
    “Sudah, sudah, ayo masuk! Nanti dikira tetangga ada apa lagi. Pardi, Hario, usahakan jaga sikap kalian selama di sini. Kalian tujuannya mau cari kerja, bukan cari masalah”, sergah pamannya.

    Kehidupan beberapa hari terasa normal bagi Seno. Ia telah diterima di perguruan tinggi dan diinginkannya. Bahkan Ia merasa senang tidak perlu merepotkan pamannya lagi telah memperoleh kerja sambilan sebagai pegawai di sebuah rumah makan. Hanya tersisa kedua kakaknya yang tidak jelas arahnya.
    Paman Udi yang tidak tega melihat kedua orang tersebut, menawari mereka pekerjaan,
    “Paman bisa maklum kalau kehidupan di kota memang susah. Kebetulan di bengkel milik Paman sedang kekurangan beberapa pekerja. Kalian mau kan bekerja di situ.”
    “Tentu saja mau!”, kata Hario
    “Wah, makasih Paman, jadi tidak usah repot-repot membuka koran lagi deh.”, kata Pardi.

    Masing-masing kakak beradik telah mendapat penghasilan yang diinginkan. Namun, perangai mereka tetap tidak berubah. Ada suatu saat dimana Seno mencari-cari kedua kakaknya yang belum pulang hingga larut malam. Alangkah terkejutnya ketika Ia menemukan mereka berdua sedang bermain taruhan dengan beberapa orang yang juga tinggal di dekat rumah mereka dengan menggunakan uang penghasilannya. Secara spontan, Seno maju dengan langkah gusar ke tempat itu dan berkata,
    “Apa-apaan yang kakak lakukan? Paman khawatir mencari kalian berdua tahu!”
    “Seno, kau ini masih muda, jelas saja kau tidak mengerti betapa stressnya kami yang hanya dihadapkan dengan pekerjaan. Sekali-kali apa salahnya melakukan kegiatan hiburan?” timpal kak Pardi
    “Ya, tapi ini cara yang salah! Apa kakak mau bertambah miskin gara-gara kekurangan uang?
    “Kau ini polos sekali sih. Bahkan aku baru memenangkan sedikit uang. Bertaruh itu tidak bisa kau identikkan hanya dengan orang miskin, tahu!”
    “Terserah kakak. Aku tidak akan cerita pada paman soal ini, kalianlah yang menjelaskan sendiri di rumah.”, kata Seno sambil berlalu.
    Pardi dan Hario akhirnya pulang juga setelah menyelesaikan permainan mereka. Tentu saja mereka berhasil mengelak dari pertanyaan Paman Udi. Seno pun tidak mau ambil pusing dan langsung tidur. Ia merasa capek dengan kata-kata yang dikeluarkan untuk kedua kakaknya sia-sia saja. Hati Seno sebenarnya miris untuk selalu menutupi kebohongan akan kelakuan mereka berdua yang semakin menjadi-jadi dari pamannya karena ingin melindungi mereka. Ia juga berharap agar suatu saat kakaknya bisa menyadari perbuatannya.
    Sejak pindah ke kota, rasanya, melihat kedua kakaknya nongkrong di malam hari sudah menjadi pemandangan yang biasa bagi Seno. Mereka bahkan sudah nekad untuk meminum minuman keras. Ia sungguh tidak tahan dan untuk pertama kalinya, ia merasa sangat ingin menghajar mereka dengan kedua tangannya. Seno pun tidak berani memberitahu Ibu.
    .
    Kemudian pada suatu hari ketika Seno baru pulang kuliahnya, Ia tiba-tiba dicegat oleh dua orang. Untuk sesaat, Ia merasa asing terhadap siapa orang tersebut, lalu kemudian Seno tersadar bahwa mereka adalah orang yang biasa nongkrong bersama Kak Pardi dan Kak Hario. Ia merasa ada yang tidak beres dengan kedua kakaknya.
    “Kamu adiknya Pardi dan Hario kan?”, tanya pria pertama, “Dimana kakakmu?”
    “Apa maksud bapak? Saya baru pulang kuliah jadi saya tidak tahu dimana mereka berada.”
    “Jangan bohong! Mereka selalu bersembunyi dari kami selama dua hari ini. Pasti mereka menyuruhmu untuk diam kan!?”, kata pria kedua sambil mendorong Seno dengan keras. Jelas Seno merasa sakit karena didorong. Ia benar-benar habis akal tentang apa yang terjadi.
    “Tenang dulu, Pak! Sebenarnya, mereka pun sering pulang malam dan kebanyakan pada saat itu saya sudah tidur, jadi saya benar-benar tidak tahu apa yang terjadi.”, kata Seno dengan nada gelisah.
    “Begitu ya, baiklah anggap saja perbuatan barusan tidak ada. Masalahnya, mereka kalah bertaruh dan berhutang padaku sebanyak dua juta. Kalau kau menemui mereka, bilang saja untuk mengembalikan uang secepatnya pada kami dan jangan coba-coba untuk sembunyi!”, kata pria kedua .
    “Ba...baiklah, akan saya usahakan”
    Kedua pria itu telah pergi dari hadapannya. Kini, Seno yang menjadi korban ancaman langsung menunggu kedua kakaknya di depan pintu rumah mereka pada saat malam hari. Ia berharap ingin menyelesaikan masalah secepatnya dan sudah tidak peduli untuk melindungi mereka lagi.

    “Kak Pardi! Kak Hario! Kalian benar-benar kurang ajar telah mempermalukan nama keluarga kita!”, sergah Seno sambil menghalangi kedua kakaknya
    “Hei, jadi adik jangan bicara tidak sopan! Apa jangan-jangan...”,
    “Pasti kedua orang itu mengunjungi tempatmu kan!?”, potong Hario, “Pasti dia mengancammu untuk mengadukan kami kan?”
    “Ya! Sekarang kalian sudah bisa belajar berhutang, mabuk-mabukan, dan berbuat kasar! Semenjak tinggal di kota, kalian sudah menjadi manusia tak berakhlak dan bahkan lebih rendah dari orang lain yang pernah kutemui!”
    “Kau.......!”, kata Pardi yang kemudian menampar Seno.
    “Biarkan! Pukul saja terus! Aku juga tidak akan segan-segan untuk melapor kelakuan kalian ke polisi!”, kata Seno yang semakin kesal
    Seno langsung masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Untungnya Paman Udi sedang tugas di luar kota dan hanya Seno sendiri di rumah sehingga tidak perlu menjelaskannya.
    Keesokan harinya, Seno tidak melihat jejak kedua kakaknya di luar rumah, ia sudah tahu bahwa mereka berdua pasti bersembunyi di tempat yang biasa ia ketahui. Sebuah mobil polisi tiba-tiba berhenti di dekat rumah dan menghampiri Seno sebagai orang yang terdekat.
    “Selamat siang, kami dari kesatuan polisi kota ini. Apakah anda warga di sekitar sini?”, tanya kepala polisi tersebut.
    “Ya”
    “Tempat ini dikabarkan menjadi tempat pengedar minuman keras dan sarang penjudi, apa saya bisa mengharapkan kerjasama anda dan beberapa warga lainnya?”
    “Carilah mereka secepatnya sebelum mereka pergi, aku tahu dimana tempat persembunyian mereka”, ujar Seno sambil menunjuk ke arah lorong di dekat rumahnya.
    “Kalau begitu, terima kasih”, kata polisi tersebut seraya pergi dengan anak buahnya
    Kabar penangkapan kedua kakaknya pun sudah diketahui oleh khalayak ramai tidak lama kemudian, termasuk paman Seno. Mengejutkan bagi Paman Udi, namun Seno berpikir bahwa inilah jalan terbaik bagi kedua kakaknya daripada harus bersembunyi terus-menerus.
    Sahabatnya Riska yang mendengar kabar ini langsung menemui Seno beberapa hari kemudian,
    “Hooi, Sen!! Aku terkejut sekali waktu mendengar dari temanmu kabar penangkapan itu. Namun, aku belum beritahu Ibumu, takutnya dia stress”, kata Riska tidak sabaran
    “Baguslah kalau begitu. Aku juga sudah bilang ke Paman Udi untuk tidak memberitahu Ibu saja. Nanti aku titip salam padanya lewat kamu saja Ris, bilang kalau aku kapan-kapan bisa menjenguknya.”, jawab Seno dengan pasrah
    “Jadi, sekarang apa yang akan kamu lakukan?”
    “Entahlah, melanjutkan kuliah yang pasti. Tapi rasanya aku sudah sedikit lega.”

    BalasHapus
  34. Cinta yang Tak Sempurna
    Oleh: Carollina G.N (X.3/ 06)

    “Kita putus!”teriak Erli.Dengan mimik wajah yang bertanya-tanya Aku berusaha untuk menenangkan Erli, tetapi Erli pergi begitu saja meninggalkanku tanpa memberi kesempatan kepadaku untuk membela diri. Aku berusaha menahan Erli dengan menarik tangannya. Tetapi Erli malah memberi tanda cap lima jari di pipiku. “Jangan pegang-pegang!”bentak Erli. Sampai-sampi banyak murid-murid lain yang melihatku dengan mimik yang beragam. Erli pun pergi sambil berlari kecil menjauhiku. Aku hanya berdiam melihat Erli pergi. Karena aku tahu, bila aku menahan Erli untuk pergi lagi, maka tidak hanya pipi kiriku yang akan kemerahan, tapi pipi kananku juga. Setelah Erli menghilang dari pandangan mataku, aku pergi dengan hati bertanya-tanya,”Mengapa Erli melakukan itu kepadaku?Tidakkah ia tahu, betapa malunya aku ketika dia menamparku tadi di depan teman-temanku.Aku ini seorang laki-laki, tapi … ahh, sudahlah,” sambil menyudahi pertanyaan bisuku itu, aku bergegas pergi ke kelas Tyas.Sejanak aku berpikir, betapa beruntungnya aku memiliki seorang sahabat seperti Tyas. Tyas terkenal sebagai makcomblang yang handal. Itu sudah dapat dibuktikan. Rata-rata comblangan Tyas terbilang jitu. Banyak pasangan yang dicomblangkannya langgeng. Tidak hanya menyomblang, tapi ia juga sering memberi nasihat-nasihat seputar masalah berpacaran, sehingga orang-orang memanggilnya Madam cinta. Entah didapatnya darimana ilmu-ilmi tersebut, tapi semua itu berhasil.Banyak orang yang sudah membuktikannya.Tapi sampai saat ini, Tyas belum pernah sekali pun berpacaran. Walaupun sudah cukup banyak laki-laki yang menaruh hati padanya, ia tolak semuanya tanpa terkecuali. Banyak orang yang menanyakan itu, tetapi jawabannya selalu itu-itu saja.Karena ia masih menunggu seseorang.Entah siapa yang dimaksudnya, ia selalu merahasiakannya tentang itu.
    Sesampai dikelas Tyas, aku harus menunggu dua orang “pasien”nya lagi untuk dapat berbicara dengan Tyas, ckckck betapa sibuknya dia. Sudah dapat diperkirakan, nanti setelah lulus SMA ini, akan menjadi apakah ia, tetapi ia membantahnya dengan tegas.Ia mengatakan bahwa ia ingin menjadi seorang Dokter. Ia mengatakan bahwa ia ingin membantu orang-orang susah untuk mendapatkan pengobatan gratis dengan layak. Ia sedih melihat kondisi kesehatan di negara kita ini. Banyak orang susah yang tidak bisa mendapatkan pengobatan secara layak.
    Teet…teeeeet..tett.
    Bel tanda masuk sudah berbunyi, dengan perasaan sedikit kecewa segera kutinggalkan kelas Tyas dan kembali ke kelasku.”ahh… sudahlah kan nanti masih bisa bertemu dengannya sewaktu pulang sekolah.
    Guru mata pelajaranku pun masuk, seperti biasa, dia berbicara tanpa seorang pun yang memperhatikannya. Sebenarnya aku kasihan melihatnya dicueki oleh murid-muridnya, tapi . . mau bagaimana lagi, memang dia sungguh membosankan. Tak salah bila murid-muridnya mengabaikannya, bahkan tidak dianggap lagi kehadirannya.
    Setelah lama ditunggu-tunggu, akhirnya bel pulang sekolah berbunyi juga. Setelah berdoa dan menghormat pada Bendera aku pun langsung berlari menuju ke kelas Tyas, takutnya nanti dia keburu menghilang lagi. Sangat sulit untuk mencari keberadaan Tyas, lagian sangat sulit untuk menghubungi Tyas. Dia memiliki banyak nomor, seperti orang sibuk. Pernah kuprotes kepadanya tentang hal ini, tetapi dengan santainya dia menjawab, “Sebagai orang yang sibuk dan banyak keperluan, sudah seharusnya aku memiliki banyak nomor.Hahahaha….”Sungguh jawaban yang menjengkelkan pikirku.
    Setelah tiba dikelasnya, ternyata perkiraanku benar. Dia sudah menghilang dari kelasnya. Rasa kecewa datang menghampiriku untuk kedua kalinya untuk hari ini. Aku langsung pergi ke gerbang sekolah, mungkin ia masih berdiri di sana untuk menunggu jemputannya. Ternyata benar, ia sedang menunggu disana. Sendirian. “Nah, ini adalah kesempatan bagus untukku. Dengan begini aku bisa mengobrol leluasa dengannya!” Segera aku berlari untuk menghampirinya, tapi, ,entah nasib jelek apa yang menimpaku. Belum aku sampai ke tempatnya berdiri, ia sudah naik ke mobil jemputannnya itu. “aduhh, susah sekali untuk bertemu dengannya!” pikirku kesal. Sangat kesal.
    Dengan perasaan kecewa untuk yang ketiga kalinya, aku pun berjalan pulang. Saat diperjalanan pulang, tak sengaja aku melihat Erli. Tetapi dengan perasaan antara yakin dan tak yakin, aku berusaha untuk melihatnya lebih dekat. “Iya, itu Erli!” Jeritku dalam hati. Betapa terkejutnya aku, aku melihat dia bergandengan mesra dengan seorang lelaki. Lelaki itu Sam.Sam adalah anak Basket.Selain pemain basket, Sam juga merupakan seorang model.Sudah banyak kejuaraan Modelling yang di menangkannya.Pesonanya membuatnya dapat membuat wanita tergila-gila padanya.. Karena kelebihannya itu ia dikenal sebagai Playboy cap jempolan. Tetapi herannya, cap Playboynya itu tidak membuat para wanita itu menjauhinya.Malahan makin banyak wanita yang mengejarnya. Tetapi tidak untuk Tyas. Hanya Tyas satu-satunya wanita yang menolak pernyataan cinta Sam .Sam sering bergonta-ganti pacar.Banyak wanita yang hatinya dikecewakan oleh Sam, tetapi mati satu tumbuh seribu. Sam hanya mempermainkan wanita-wanita itu. Dan sekarang Erli adalah mangsa selanjutnya. “Pasti ia memutuskan ku karena laki-laki itu!”ujarku dalam hati. “Mungkin ia lebih menyukai laki-laki yang sporty seperti Sam daripada aku.”Aku tidak terlalu sporty seperti Sam, aku jarang berolahraga. Olahraga yang kulakoni hanya berenang atau Bowling.Aku lebih banyak menghabiskan waktu luangku untuk bermain Game Online. Tetapi, aku jauh lebih menghargai perasaan wanita daripada Sam. Aku tidak pernah memutusi seorang wanita, selalu saja wanita itu yang memutusi aku. Karna aku tidak akan menjilat ludahku. Bila aku telah menyatakan suka pada seorang wanita, apakah aku harus memutusinya yang berarti mencabut kata-kataku ,bahwa aku tidak suka lagi padanya. Mana komitmen ku sebagai lelaki? Aku harus menyadarkan Erli, kalau Sam bukanlah pria yang cocok untuknya.
    Sesampai di rumahku, aku merasa ada yang aneh. Pintu rumahku biasanya tertutup dan sekarang terbuka lebar.Biasanya aku harus mengetuknya dengan sekuat tenaga agar orang di dalam rumahku membukakan pintu untukku, karena di rumahku tidak tersedia sebuah bel. Sering aku mengeluhkan hal ini, tetapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda keluhanku didengarkan. Kedua orang tuaku merupakan orang-orang sibuk yang pergi pagi dan pulang malam. Sebagai anak tunggal, aku hanya ditemani pembantu selama orang tuaku pergi. Makanya aku lebih sering bermain Game Online pada saat sedang kesepian.
    Dengan sedikit mengendap-endap seperti pencuri aku masuk ke dalam. Tiba-tiba, terdengar bunyi barang terjatuh di ruang tengah. Aku pun tersentak kaget. Terlintas dipikiranku, ada pencuri masuk ke rumahku. Sambil mengambil stick golf ayahku, aku berjalan pelan-pelan ke arah ruang tengah.Sewaktu aku sampai di tembok pembatas, “Surpriseee!” Teriak Tyas. Badanku langsung terjatuh ke belakang.Aku terkejut bukan main. Disana kulihat ada beberapa teman-teman dekatku dan . . kedua orang tuaku .Suatu kejadian yang jarang terjadi, orangtuaku merayakan ulang tahun bersamaku.Biasanya seribu satu alaan dilontarkan saat ku ajak untuk merayakan ulang tahunku.
    “Selamat ulang tahun, nak. Sekarang kau sudah semakin dewasa. Rasa-rasanya, baru kemarin ayah memangkumu, hahaha.” Kata ayahku.
    “Iya nak, ibu sayang padamu.”sambung ibuku sambil mengelus-elus rambutku. Tyas hanya tersenyum melihat aku.
    “Tapi sekarang ayah harus pergi karena ada meeting di kantor.”kata ayah yang membuatku kecewa
    .”Iya, ibu juga harus buru-buru kembali ke kantor.” Kata ibu, tanpa memperhatikan perasaanku.
    Baru tadi aku merasakan suatu kebersamaan yang lengkap yang jarang kurasakan.Dan sekarang, semuanya harus berakhir.
    ”Tidak!” teriakku.”Bisakah ayah dan ibu tetap disini.Hari ini adalah hari spesialku, please..”kataku sambil memohon.
    ”Tapi kami sangat sibuk.Masih banyak pekerjaan yang menunggu kami. Bukankah disini masih ada teman-temanmu?” Jawab ibu sambil merayu.
    ”Tapi, mereka bukan keluargaku, mereka hanya sahabatku!Tidakkah ibu mengerti? Tolonglah, setidaknya sampai acara ulang tahunku selesai.” pelas ku.
    ”Sudahlah!Kau itu anak laki-laki.Jangan manja!Kami juga bekerja untuk mencari uang, untuk engkau juga hasilnya.”kata ayah sambil menjelaskan.Mereka pergi begitu saja tanpa manghiraukan aku.
    “Ya sudahlah, kan masih ada kami di sini.Ayo kita bersenang-senang saja hari ini!Jangan bersedih lagi!” hibur Tyas.
    “Oke, oke,mau bagaimana lagi.Ayo berpesta!” seruku.
    Setelah berjam-jam, akhirnya pesta itu berakhir juga.Satu per satu temanku berpamit pulang. Tinggallah Tyas sendiri.
    ”Mengapa kau belum pulang?”tanyaku. Tyas hanya terdiam.
    “Kau tidak menyukai pestanya?”tanyaku sekali lagi.
    “Tidak, tidak bukan begitu.Ada sesuatu yang ingin aku ceritakan.”jawab Tyas.
    “Apa? Katakanlah, aku akan mendengarnya.”bujukku.
    “Ahh, nantilah, aku belum siap mengatakannya.Aku pulang dulu ya. Daaa..”Ujar Tyas seraya pergi.
    “Kalau kau sudah siap bercerita, datang saja, temui aku.Aku siap!Oke?”kataku.
    “Oke!”jawab Tyas sambil megancungkan jempolnya.
    Entah mengapa aku merasa sesuatu yang ingin dibicarakannya itu sangatlah penting. Tidak hanya baginya tetapi juga bagiku.Sesampai di kamar aku melihat ada sebuah bingkisan besar. Begitu aku buka, ternyata ini kado dari orang tuaku. Mereka membelikan aku sebuah gadget canggih yang sedang trend saat ini.”Yess!!”seruku.Sambil menyelesaikan membuka bungkus kado, aku menemukan sebuah surat. Surat dari orang tuaku, kurang lebih isinya bahwa mereka mencintaiku.Entah mengapa perasaanku menjadi senang.Sangat senang.Rasanya surat itu mewakili seluruh cinta dari orang tuaku.Aku pun tertidur di sebelah bingkisan itu.
    Pagi-paginya aku bangun seperti biasa, siap-siap ke sekolah.Pada saat sarapan bersama orang tuaku, aku bersikap seakan-akan semalam tidak terjadi apa-apa.”Bagaimana kadonya?Kamu suka?”tanya ayahku.”Suka, yah.Suka sekali.”jawabku bersemangat berharap orang tuaku membahas tentang surat itu.Tetapi, setelah kutunggu-tunggu, ternyata mereka sama sekali tidak menyinggung tentang surat itu.”Ya, sudahlah.”pikirku.Mungkin mereka lupa karena mereka terlalu sibuk..
    Aku bergegas pergi ke sekolah.Sesampainya di sekolah,semuanya berjalan seperti biasa.Hanya saja, ada satu yang menjanggal. Tidak ada Erli lagi. “Oh iya, hampir aku lupa.Aku harus berbicara dengan Erli!”ujarku dalam hati.Segera aku berlari ke kelas Erli. Sungguh kejadian d luar perkiraanku, aku melihat Tyas mengobrol akrab dengan Erli.Aku pun baru tahu kalau Tyas mengenal Erli. Langsung saja aku mendatangi mereka.Sewaktu aku sampai, seketika Erli langsung pergi tanpa menghiraukan kehadiranku. Sewaktu aku berusaha mengejar, Tyas menarik tanganku.”Sudah, biarkan ia menenangkan dulu pikirannya.”kata Tyas menenangkan.”Tapi aku harus memberitahukannya sesusatu yang penting!”jelasku.”Menjelaskan apa?” tanya Tyas.”Menjelaskan bahwa Sam bukanlah lelaki yang pantas untuknya!”jawab ku agak berteriak.Wajah Tyas pun berubah, “Sudah kukatakan tak usah!”Jawab Tyas sambil berbalik berteriak dan berlari menjauhiku.Aku pun segera berlari menyusulnya, ku pegang tangannya,
    “Aku minta maaf karena telah membentakmu.”sambil memohon.
    ”Bukan salahmu, mungkin aku yang keterlaluan.Harusnya aku yang minta maaf. Sudahlah lupakan saja kejadian tadi.Sekarang aku lagi ingin sendiri, bisakah kau tinggalkan aku sebentar?”pinta Tyas.Aku pun mengiyakan perkataannya dan segera pergi.Tapi, aku terus mengawasinya meski dari kejauhan.Kulihat dia menangis.”Astaga!Apa aku sekejam itu, sampai membuat sahabatku menangis?” kataku dalam hati.Bel masuk pun berbunyi.Sungguh, kejadian tadi membuatku tidak konsen di kelas.Sepulang sekolah aku mencoba mencari Tyas ke kelasnya, ke kantin, ke gerbang sekolah, tapi hasilnya nihil.Aku sangat ingin minta maaf kepadanya. Saat sedang merenungkan perbuatanku, aku melihat Erli.”Dia sedang sendirian.Itu keadaan yang bagus untuk bicara empat mata dengannya.”pikirku dalam hati.Segera aku berlari menghampirinya.
    “Hai Erli!”sapaku
    Tak ada jawaban sepatah kata pun dari mulut Erli.
    “Haloo?Ada orang?” sambil melambaikan tangan di depan wajahnya.
    “Apaan sih!mengganggu saja!”Bentak Erli
    “Habis,kau tidak menjawab teguranku!”jawabku santai.
    “Mau apa kau sekarang?”Tanya Erli ketus.
    “Hanya ingin mengatakan sesuatu tentang kau dan Sam.”Jawabku dengan nada agak serius.
    “Sam?Aku dan Sam?”tanya Erli heran.
    “Ya, kau dan Sam.Aku sudah mengetahui hubunganmu dengannya.Kemarin sepulang sekolah aku melihat kau berdua dengannya.”Jelasku
    “Memang apa urusanmu lagi kalau aku dan Sam berpacaran?Kau cemburu?”tanya Erli
    “Tidak, tidak, aku tidak cemburu”Jelasku.
    “Terus kenapa?Apa urusanmu?”jawab Erli ketus.
    “Aku hanya ingin menjelaskan kepadamu bahwa Sam itu Playboy, lebih baik jauhi dia.”Jelasku.
    “Ooo,,Playboy?Terus kau di sebut apa? Pemain perasaan wanita? Apa bedanya! Sama saja!”Jawab Erli.
    “Aku?Apa maksudmu?Aku tidak pernah sekalipun menduakan mu!Sekarang kau menuduhku Playboy.”bantahku.
    “Hahaha,,kau pikir aku bodoh!Sahabatmu sendiri menceritakan semuanya kepadaku!Apa kau mau menuduh sahabatmu berbohong?” tanya Erli.
    “Sahabatku? Tyas maksudmu?”Tanyaku kembali.
    “Aduuhh,,plis deh, gak usah sok polos deh!Gerah aku melihatnya!”Ujar Erli sambil pergi meninggalkanku.
    Dalam benakku, aku masih bertanya-tanya,”Tyas?Tyas yang mengatakannya?Apa benar?Atau Erli hanya asal berbicara saja.”Sambil melupakan pertanyaan-pertanyaanku aku berlari menuju ke rumah Tyas.”Aku harus mendapatkan penjelasan tentang semua ini.” Kataku dalam hati.Sesampai di rumah Tyas, aku mengetuk pintunya dan dibukakan oleh mamanya Tyas.
    ”Misi tante, Tyas nya ada?”tanyaku sopan.
    “Ngg, ,Tyas nya belum pulang, do.”Kata mama Tyas.
    “Belum pulang?”tanyaku heran.
    “Iya ,belum pulang, do. Emang ada apa?Nanti tante samapikan”jawab mama Tyas.
    “Oo,,nggak ada apa-apa kok tante.Misi tante.”Pamitku .
    “Iya, iya, sampaikan salam tante untuk ibumu yah.Hati-hati di jalan.”Kata mama Tyas.
    Aku harus mencari tyas kemana lagi.Pikiranku pun mulai kabur.Tiba-tiba,”Aha, aku tau dimana Tyas”Kataku bersemangat.Biasanya Tyas selalu pergi ke taman tidak jauh dari rumahnya bila ia sedang bersedih.Sesampainya di taman, ternyata benar.Tyas sedang duduk di kursi taman.Sambil menangis.
    “Hai Tyas.”Sapaku
    Tersentak Tyas terkaget.
    “Maaf, maaf, aku tak bermaksud mengaggetkanmu, tapi tadi kau sedang melamun.”jelasku.
    “Ya, tidak apa-apa.Ada apa kau ke sini?”Jawab Tyas sembil menghapus air matanya.
    “Mencarimu.Dari tadi aku mencarimu, sampai akhirnya aku menemukanmu disini.”kataku.
    “Mencariku, untuk apa?”Tanya Tyas.
    “Aku ingin minta maaf bila aku sampai membuatmu menangis.Tapi aku benar-benar tidak bermaksud.Aku hanya . .”aku terhenti karena Tyas menutup mulutku.
    “Aku menangis bukan karena kau, tapi karena kebodohanku sendiri.”Jawab Tyas sambil tertunduk.
    “Kebodohanmu?Maksudmu?aku tidak mengerti..”tanyaku penasaran.
    “Sudahlah, lupakan.Kau mencariku hanya untuk itu?”potong Tyas.
    “Mmm, sebenarnya ada satu lagi masalah yang ingin kutanyakan kepadamu,,”Kataku.
    “Apa, katakanlah?”Kata Tyas.
    “Nantilah ku tanyakan tentang hal itu, kulihat kau masih bersedih.Aku tak mau membuatmu menangis lagi.”Jawabku.
    “Tidak apa-apa.Katakanlah.Aku tidak sedih lagi kalau kau ada di sampingku.”Bujuk Tyas.
    “Oke, ,tapi pliss kau jangan tersinggung.Gini, apa benar kau mengatakan aku yang tidak-tidak di depan Erli?”Tanyaku pelan.
    Tyas hanya terdiam.
    “Ngg, kalau kau tidak mau menjawab juga tidak apa-apa.Aku tau, Erli hanya asal bicara.”jawabku tenang.
    “Do,,”kata Tyas
    “Ya?Ada apa?”Tanyaku.
    “Sebelumnya aku minta maaf.Aku ini memang bodoh!hiks..hiks..hikss.Maafkan aku kalau menyusahkanmu.Tapi..tapi…”Kata Tyas sambil menangis.
    “Tapi apa?”Tanyaku penasaran.
    “Tapi,,,semua yang dikatakan Erli memang benar.Aku memfitnahmu.hikss..hiksss.hiksss.Aku tau bodohnya aku melakukan itu.Tapi semua itu karena satu alasan.Hikss…hiksss…”Jelas Tyas.
    “Mengapa kau memfitnah aku?Apa alasannya?Apa?Aku kecewa denganmu..”jawabku
    “Maafkan aku.Aku sunggguh minta maaf.Aku..aku… suka padamu.Sungguh, aku cemburu melihat kedekatanmu dengan Erli, plisss…kau boleh marah padaku, tapi jangan jauhi aku…”Rengek Tyas.
    Aku hanya terdiam mendengar semua itu.Antara rasa percaya dan tidak percaya.
    “Apa kau bilang?”Tanyaku seakan tidak percaya.
    “Ya,,aku suka padamu..sudah sejak lama aku suka padamu.Aku memang pandai menasihati orang lain, tapi aku sendiri pun tak bis mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya…Bodohnya aku..”Sesal Tyas.
    “Kalau kau menyukaiku, mengapa kau jodohkan aku dengan Erli!”Bentakku.
    “Karena…karena ku pikir kau lebih menyukai Erli dari pada aku.Karena kupikir selama ini kau hanya menganggapku sahabatmu, tidak lebih.Pliss jangan jauhi aku!”Pinta Tyas.
    Aku langsung berpaling meninggalkan Tyas sendiri.
    “Eddooo,,,Eddoo,,jangan pergi!”Teriak Tyas.
    Tanpa menoleh ke belakang aku langsung berlari meninggalkannya.Sesampai di rumah, aku langsung berguling di tempat tidur sambil melihat barang-barang kenanganku bersama Erli.Setelah itu, kulihat sebuah hadiah pertemanan dari Tyas yang masih kusimpan.Sungguuh sedih aku melihat semuanya.Kubanting semua barang-barang itu ke tembok hingga hancur berantakkan.Tiba-tiba terdengar bunyi telepon, segera aku mangangkatnya,”Halo.”
    “Eddo,,Eddoo,,tolong tante, ,tolong tante.”Suara Mama Tyas resah.
    “Ada apa tante?”Tanyaku.
    “Tyas,,Tyass,, mengurung diri dikamar.Tadi dia sempat mengambil tali di dapur, doo,,tolong tante!”teriak tante.
    “Iya tenang tante, tenang tante,,,aku segera ke sana!”Jawabku.
    Segera aku menutup telepon dan bergegas menaikki sepeda motorku. Dengan pikiran kalut takut terjadi apa-apa dengan Tyas aku menancap gas sekuat-kuatnya.sesampai di ujung lorong pertigaan, tiba-tiba BRAAKK,sebuah mobil melintas dengan kecepatan tinggi meghantam motorku, aku terjatuh dan menabrak trotoar jalan. Sempat aku melihat sekeliling dan . . .
    Begitu sunyi kurasakan..terdengar sayup-sayup ada suara orang yang memanggilku. “Eddo..” suara itu terdengar halus tetapi seakan-akan ada di dekatku.Dekat sekali.Aku berusaha mencari suara itu.Makin lama, makin kersa suara itu.Tersentak aku terbangun.Ternyata ibuku memanggilku.Disitu juga ada ayahku.Mereka tersenyum kepadaku.
    “Ada apa ini?Mengapa aku disini?”Tanyaku heran.
    “Kau kecelakaan nak.Kau tidak sadar selama tiga hari.Untung kau tidak apa-apa.”Jawab ibuku.
    “Kecelakaan?”tanyaku dalam hati.”Oh iya, aku baru ingat, aku ditabrak oleh sebuah mobil ketika aku … Pikiranku tersentak aku teringat Tyas.
    ”Oh ya, Tyas , ,Tyas bagaimana ,bu?Tanyaku.
    “Dia juga sedang dirawat di Rumah Sakit ini.Dia mencoba menggantungkan dirinya dikamar.sungguh kasihan anak itu.”Jawab ibuku.
    “Sekarang dia bagaimana?”Tanyaku penasaran.
    “Dia masih koma..”jawab ibuku.
    Dengan perasaan sedih, aku segera beranjak dari tempat tidurku, tapi..tapi..ada yang salah.Rasanya kaki ku ada yang janggal.Ketika kutarik selimut, betapa terkejutnya aku kedua kakiku sudah tidak ada.
    “Apa-apaan ini?Siapa yang mengambil kakiku!Kembalikan!Kembalikan!”Teriakku histeris.
    Kedua orang tua ku mencoba menenangkan aku, tetapi aku terlalu histeris melihat keadaan kakiku.
    “Dokter…dokter!”Teriak ibuku.
    Dokter pun datang dan segera menyuntikku, lama kelamaan aku pun menjadi tenang dan mengantuk.Setelah aku terbangun, sungguh sedih aku mengetahui keadaanku.Aku hanya berdiam pasrah.
    “Bu, bisakah ibu mengantarku ke tempat Tyas, pliss?”Pintaku.
    “Oke, tapi sebentar saja, nak.Kau harus banyak istirahat.”Kata ibuku.
    “Iya bu.”Janjiku.
    Sedihnya aku, untuk berjalan saja aku harus dibawa oleh alat beroda ini.Ketika sampai di ruangan Tyas, tiba-tiba saja perasaanku sedih, air mataku pun terjatuh di pipiku.Aku hanya bisa melihat Tyas terbaring dari luar ruangan.”Ya Tuhan, mengapa semuanya jadi seperti ini?Apa salahku?”Berontakku dalam hati.


    ______________________________TAMAT__________________________________

    BalasHapus
  35. Sedikit penjelasan dari cerpen ini adalah, kisah seorang yang terbebani oleh dua pilihan yang berat, yaitu antara pacar tercinta dan ibunda tersayang. Apa kamu pernah mengalami hal seperti ini?, siapa yang kamu pilih?. Rata-rata kita kaya'nya pernah mengalami hal ini.


    Angin yang bertiup kencang seakan tak mampu menyadarkan lamunan dari seorang gadis cantik yang bernama Sandra. Berkali-kali air mata jatuh bagaikan bersayap, membahasi paras cantiknya. Terlihat sebuah...


    Terlihat sebuah foto yang selalu digenggam di tangan kanannya. Kedua matanya yang indah seakan tak bisa berpaling dari menatap foto itu. Entah apa yang dipikirkannya, kemudian ia kembali menangis dan semakin menangis.

    Ketika awan menghitam, seakan mengerti apa yang dirasakan oleh sandra. Terdengar suara pelan memanggil dirinya, "Sandra kamu dimana?". Seorang ibu yang berpakaian rapi menghampirinya. Bergegas sandra langsung menghapus air mata yang perlahan mengalir di pipinya. "Kamu habis nangis ya nak?", tanya ibu sandra lagi. Tapi sandra tak menjawab dan hanya bergegas pergi. Sandra langsung berjalan berpaling dari ibunya tanpa sedikitpun senyum di wajahnya.

    Ketika malam datang, suara nyanyian jangkrik terdengar seakan ingin menghibur hati dari Sandra. Bulan yang bersinar terang pun seakan tak ingin menyaksikan kesedihan dari dirinya. Tapi seperti seorang yang telah putus asa, Sandra tetap bersedih. Beberapa lama berselang, suara ketukan pintu terdengar dari luar kamar Sandra. Sandra pun lalu membukanya. "Kamu lagi apa nak?", tanya ibu sandra dengan senyum di bibirnya. Lagi-lagi Sandra tak menjawab. Mungkin ibu Sandra juga telah lelah menahan sabarnya, dan kemudian berkata lagi "Apa ini karena ibu ngelarang kamu pacaran dengan Dani?". Awalnya sandra hanya terdiam dan tertunduk dan perlahan berkata "Ibu jahat!!!, kenapa ibu usir dani waktu dia datang kesini?, kenapa ibu larang aku pacaran ama Dani?, aku ini bukan anak kecil lagi bu!!!", teriak sandra. "Kamu harus tahu nak, itu yang terbaik buat kamu", jawab ibu Sandra dengan raut muka yang sedih.

    Keesokan harinya, ketika embun pagi membasahi dinginnya hari, ibu Sandra bergegas mengetuk pintu kamar Sandra. Hampir 5 menit ibu sandra menunggunya di depan pintu, tapi Sandra tak juga keluar dari kamarnya dan membuka pintu. Rasa penasaran yang begitu dalam, akhirnya ibu Sandra memanggil tukang kebun mereka dan langsung membuka pintu itu dengan paksa. Terkejut dan sangat terkejut!!!, ketika melihat Sandra tak ada di kamarnya, dan hanya secarik kertas putih yang telah dinodai dengan tulisan yang berbunyi "bu kayanya lebih baik jika aku pergi dari kehidupan ayah dan ibu, karena bagi aku jauh dari Dani adalah suatu yang membuat aku sangat menderita". Membaca tulisan yang hitam ini, ibu Sandra langsung terjatuh dan terbaring di lantai yang dingin tanpa sadarkan diri.

    Tukang kebun yang melihat kejadian ini merasa panik!!!, dan langsung menghubungi nomor telepon dari Sandra. Tapi berkali-kali di coba tak juga ada jawaban. Apakah Sandra sengaja tak menjawabnya?. Ternyata di tempat lain Sandra sedang asyik berkumpul dengan teman-temannya, membicarakan rencana mereka yang akan menghabiskan waktu sore bersama sang pacar.

    "Hahahah...jadi gimana hubungan loe ama si Dani San?", tanya seorang teman Sandra yang bernama Any. "Wah kayanya gua lebih milih Dani daripada harus matuhin kata-kata kuno orang tuaku, ya ga!!!", kata Sandra yang begitu semangat. Teman-teman Sandra terdiam mendengar perkataan Sandra tadi. "Jadi kamu kabur dari rumah nie?", tanya Any lagi. "kabur ga kabur, yang penting aku bisa bebas ama Dani...hahahha...", kata Sandra kegirangan.

    Setelah mereka berbincang-bincang dengan obrolan yang ga jelas, tiba-tiba handphone Sandra berdering, tapi Sandra yang memperdulikannya. "Dari siapa San?, angkat donk kali aja penting", kata seorang teman Sandra yang bernama Nia. "Alah paling ibuku nyuruh aku pulang!!!, siapa suruh ngelarang aku ama Dani!!!", jawab Sandra ketus. Beberapa menit kemudian hp Nia pun berdering, pertanda pesan masuk. "Dari ibu kamu nih", kata Nia. "Udah gak perlu dipikirin deh", jawab Sandra. "Yuk ah mending kita jalan ke mall, kalau ada sms dari ibuku lagi jangan peduliin!!!", kata Sandra lagi.

    Dua puluh menit perjalanan, mereka akhirnya tiba di sebuah mall di kota itu, memang kebiasan cewek tak bisa dihilangkan, mereka pun bergegas menuju tempat shopping disana. "Sekali-kali bebas gini kan enak ya ga?", kata Sandra dengan senyum di wajahnya.

    Sandra dan teman-temannya sangat menikmati kebebasannya hari itu. Ketika mereka sedang asyiknya bercanda dan tertawa, Nia melihat seorang cowok yang berpenampilan keren dan berwajah tampan sedang duduk sendiri sambil menikmati secangkir lemon hangat di mejanya.

    "Ui...lihat tuh cowok cakep bener", kata Nia. "Mana-mana?!!!?, kata Sandra dan Any serentak. Sandra lalu melihat sosok cowok itu dengan serius seperti ingin mendekati tubuhnya. "Eh itu kan cowok aku!!!, Dani!!!", teriak Sandra. "Masa sih?", tanya Nia bingung. "Iya itu cowokku, wah kayanya emang udah jalannya aku harus ketemu disini, udah jodoh kali ya, ga akan ke mana-manakan?, hahahah...aku kesana dulu ah", kata Sandra yang tertawa kecil dan sambil melangkahkan kakinya ke arah Dani. "Wu...dasar !!!", ledek teman-teman Sandra. Tapi apa yang terjadi, ketika Sandra hendak mendekati kekasih yang paling dicintainya, seorang gadis yang berambut panjang dan berwarna hitam langsung memeluk tubuh Dani dan mengecup keningnya. Alangkah terkejutnya Sandra, langkahnya pun terhenti, dan tak ada kata yang mampu diucapkannya. Perlahan air matanya berlinang jatuh mengalir ke pipinya. "Ternyata ibu benar", kata Sandra dalam hati. Terdiam dan hanya terdiam, bagaikan seribu kata yang tak mampu diutarakan.

    Melihat Sandra yang sedang menangis, Any dan Nia pun bergegas menghampirinya, "San ama siapa tuh cowokmu!!!, mending kita samperin deh", kata Nia yang terlihat marah. Ketika Nia hendak berjalan menghampiri Dani, tiba-tiba dering hp dari Nia terdengar begitu keras. Langkah Nia pun terhenti dan langsung membaca pesan yang tertulis di hpnya itu.

    "Sandra sepertinya kamu harus baca deh", kata Nia perlahan. "Dari Ibuku ya?, udah jangan peduliin!!!", kata Sandra sambil marah. "Kamu harus baca dulu San", kata Nia lagi. "Aku kan udah bilang ama kamu Nia!!!, aku tidak mau berurusan ama ibuku dulu!!!, Aku lagi...",,,Belum habis kata-kata yang akan diucapkan oleh Sandra. Nia lalu memotong perkataannya, "kamu diam dahulu sebentar!!!, kamu tahu tidak kenapa hpmu dari tadi bunyi trus!!!, baca ni!!!", teriak Nia sambil memberikan hpnya kepada Sandra. Sandra pun membaca tulisan yang ada di layar hp Nia, di sana tertuliskan :

    -Sms pertama-

    "Sandra kamu lagi dimana?, Ayah dan Pak Marno sedang ada di rumah sakit, ibu kamu terkena serangan jantung, sekarang lagi di rawat di ICU. Dokter bilang kondisi ibu saat ini sangat kritis".

    -Sms kedua-

    "Kamu di mana nak?, Apa kamu sedang asyik-asyikan sama Dani sementara ibu kamu sedang koma seperti ini?"


    -Sms ketiga-

    "KAMU BENAR-BENAR KELEWATAN SANDRA!!!, TERSERAH KAMU MAU JALANI HIDUP SEMAU KAMU DENGAN SI DANI!!!, DAN AYAH YAKIN KAMU PASTI AKAN MENYESAL KETIKA KAMU TIDAK PEDULI DENGAN NASEHAT DARI IBU KAMU. ANAK DURHAKA!!!, SEMOGA KAMU SEDANG MENIKMATI APA YANG SUDAH KAMU PILIH, DANI MEMANG LEBIH BAIK UNTUK KAMU DARIPADA MELIHAT IBU KAMU UNTUK TERAKHIR KALINYA!!!, KARENA IBU KAMU SUDAH BERPULANG KE YANG MAHA KUASA".

    BalasHapus
  36. ALICE

    Oleh : Tri Fanny F.T

    Kelas : X.3 / 31

    Aku adalah seorang malaikat, ya malaikat pencabut nyawa. Tugasku adalah mengantarkan roh orang yang meninggal untuk kembali ke sisi-Nya. Aku yang tidak bernama ini, diberi nama oleh seorang anak laki-laki yang tidak sengaja kutemui 3 tahun yang lalu saat bertugas, dia menamaiku Alice. Untuk melakukan tugaasku aku menyamar menjadi manusia dan hidup di salah satu apartemen yang ada di dunia manusia. Aku menjalankan hidupku seperti layaknya manusia. Setiap malam aku selalu keluar untuk mencabut nyawa orang yang telah ditakdirkan untuk meninggal.

    “Hah, tugas lagi~, Hmm, hari ini di dekat jalan Y,kota X,” dengan sayap putihku aku terbang ke sana dan dengan cepat aku telah sampai.di sana, “Yang mana ya, targetku,” aku melihat-lihat sekeliling dan akhirnya menemukannya, “Ini jam 7.58 P.M, 2 menit lagi dia akan meninggal karena tertabrak mobil yang supirnya sedang mabuk,” aku menunggu selama 2 menit dan…

    “Ckittttt…,” sebuah mobil menabrak orang tersebut dan rohnya pun terbang, akupun mendekatinya.

    “Selamat malam, Namaku Alice yang bertugas untuk membawamu malam ini,”

    “Selamat malam, aku…,”

    “Ya, kau baru saja meninggal karena tertabrak mobil itu,” aku menunjukkan mobil yang berada di bawah kami.

    “Oh, begitu ya… akhirnya aku meninggal juga kalau bergitu cepat bawa aku,”

    “…. Kenapa kau kelihatan sedih, kau menyesal karena kau meninggal?”

    “Tidak, aku tidak menyesal, aku sudah sewajarnya untuk mati, karena aku sudah tidak punya apa-apa lagi di sini, istriku telah meninggalkanku bersama anakku,” aku melihatnya yang berwajah sedih, tugasku memang hanya untuk mengantarnya saja, tapi…

    “Kau tidak boleh sedih begitu, sebelum kau meninggal aku akan mengabulkan satu permohonanmu,”

    “Permohonan ya?.. Aku tidak punya, sekarang cepatlah bawa aku,” aku berpikir tidak mungkin manusia tidak mempunyai suatu keinginan yang terakhir sebelum dia meninggal.

    “Benar-benar tidak adakah??” aku masih saja bertanya.

    “Sebenarnya…,”

    “Sebenarnya??”

    “Ah, tidah usahlah, lagipula aku juga sudah meninggal,”

    “Tidak apa-apa lagipula aku sudah bilang akan mengabulkan satu permohonanmu kan?”

    “Sebenarnya aku ingin bertemu dengan anak dan istriku, mereka meninggalkanku karena aku ini seorang yang pemabuk, suka judi dan lupa akan anak dan istriku karena di phk,”

    “Baiklah, aku akan langsung mengantarkanmu ke sana,” aku langsung membawanya ketempat anak dan istrinya, aku tahu karena data diri laki-laki itu telah tercantum di daftarku. Lalu aku mengetuk pintu rumahnya dan bersembunyi, dan aku memakai kekuatanku agar orang biasa dapat melihat hantu untuk sementara waktu. Saat istrinya keluar…

    “Kamu…., kenapa ada disini?”

    “Itu… maafkan aku selama ini telah melupakan kalian berdua, aku hanya dating untuk bilang itu, sebenarnya aku tidak bermaksud untuk melakukan itu, memang yang selama ini aku lakukan menyusahkan kalian, tapi… aku sangat menyesal mohon maafkan aku,”

    “…. Sebenarnya aku juga ingin minta maaf, karena meninggalkanmu begitu saja, maafkan aku karena tidak bias menjadi istri yang baik,” istrinya menangis dan mereka berpelukan lalu cahaya yang keluar dari tubuh lelaki itu membawanya ke dunia sana. Ya, seperti inilah tugasku, sebenarnya mereka sendirilah yang harus berusaha untuk pergi ke dunia sana, aku hanya sebagai pendorong saja. Keesokan harinya, istri dan anaknya memakamkan jenazah lelaki itu, dan mengadakan upacara pemakaman.

    “Semoga kau sampai di sana dengan selamat,” aku yang ikut menonton pun berdoa, “Tugasku selesai,” akhirnya tugasku selesai. Saat di perjalanan pulang ke apartemenku, aku melihat seekor kucing hitam yang lucu, karena apartemenku mengijinkan untuk memelihara hewanaku memutuskan untuk membawanya pulang ke rumah untuk menemaniku yang kesepian.

    “Push, push, mau ikut aku pulang,” aku berjongkok dan menjulurkan tanganku kea rah kucing itu.

    “Meoww~,” kucing itu mendekatiku dan mengusap-usap kepalanya pada tanganku.

    “Lucu sekali,” aku menggendongnya dan membawanya pulang.

    Malam ini aku memang tidak ada tugas, tapi aku sudah biasa untuk jalan pada malam hari, aku terbang keluar dengan sayapku yang putih dari jendela apartemenku.

    “Udara malam memang sejuk,” samabil terbang aku melihat-lihat keadaan kota, dan aku melihat adanya roh penasaran di bawah jembatan. Akupun menghampirinya. Ternyata itu roh bayi yang baru lahir, sepertinya dibuang di bawah jembatan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Aku… sangat benci manusia yang tidak bertanggung jawab, apalagi membunuh kehidupan yang baru seperti ini, “Kamu kasihan sekali ya, baru saja bias bernafas di dunia ini, sudah harus kembali lagi. Tapi bagaimanapun juga maafkanlah mereka, manusia yang mebuangmu, aku akan membantumu kembali ke sisi-Nya,” Aku menyentuh roh itu dan dia pun berubah menjadi cahaya dan terbang kembali ke sisi-Nya.

    Aku sangat menyukai tugasku ini, walaupun berat tapi aku suka. Selain aku memang banyak malaikat pencabut nyawa lainnya yang ada di dunia ini, tapi mereka yang belum menjadi malaikat pencabut nyawa sesungguhnya tinggal di dunia ini seperti aku. Tapi, aku tidak ingat kenapa aku bias menjadi malaikat pencabut nyawa seperti ini, aku sepertinya telah melupakan hal yang penting kalau aku mencoba mengingatnya lagi.

    Beberapa hari kemudian….

    “Tugas ya, di rumah sakit C,” ah, rumah sakit ini kan tempat aku bertemu dengan laki-laki yang memberiku nama. Aku pun langsung ke sana dan berharap mungkin saja aku dapat bertemu dengannya. Aku mengelilingi rumah sakit dan aku menyelinap masuk, karena tidak mungkin aku masuk dengan wujud manusia dan mengatakan akan bertemu pasien dan tiba-tiba pasien itu meninggal, aku bisa dikira pembunuh kalau begitu.

    Setelah beberapa saat aku tahu dia di kamar 109 di paling ujung, aku langsung masuk melalui jendela kamar pasian tersebut. Tapi…, saat aku mendatanginya ternyata dia telah meninggal dan tidak ada rohnya lagi, akupun kebingungan.

    “Bagaimana ini? Kenapa begini? Aku belum mengantarkan rohnya, kenapa sudah tidak ada?” aku bingung sendiri dan berpikir apakah ada malaikat pencabut nyawa lainnya yang mendapat tugas yang sama denganku? Tapi, setelah dipikir-pikir itu hal yang tidak mungkin…

    “Ah, ternyata malaikat pencabut nyawa datang. Sayang sekali kamu terlambat,” kata sebuah suara dibalik kegelapan, suaranya seperti nada sedikit mengejek dan merendahkan aku.

    “Siapa itu? Apakah kau yang menyebabkan orang ini menjadi seperti ini?”

    “Kalau iya, memangnya kenapa?” Nadanya masih seperti mengejek.

    “Kemana rohnya kalau begitu? Apakah kau sudah mengantarkannya?” Suasana hening sejenak.

    “…Ha,ha,ha,ha, kau pikir aku siapa? Mengantar? Tidak masuk akal, aku telah memakan roh itu,” aku tersentak kaget, memakan roh, di dunia ini yang dapat memakan roh hanyalah…

    “Kau….,” dia melangkahkan kakinya dan menuju ke arahku, “ma-mau apa kau?” aku mundur dan menabrak jendela tempat aku masuk tadi. Tiba-tiba tangan telah berada di kanan dan kiriku.

    “Seperti yang kau bayangkan aku adalah iblis,” dengan sedikit cahaya bulan yang masuk dari jendela aku melihat sayapnya yang hitam ditelan oleh kegelapan dan wajahnya….

    “Cain…, kau Cain kan yang telah memberiku nama? Masih ingat ini aku Alice, kenapa kau menjadi…,” aku kaget sekali dia orang yang sama dengan yang waktu itu, yang telah memberiku nama ini.

    “Oh, ternyata kau ya. Alice, kenapa? Aku memang dari dulu adalah iblis, kau saja yang tidak sadar dan masih saja mengunjungiku. Waktu itu rohku telah dimakan iblis, karena kalian malikat yang telat datang untuk menyelamatkanku lalu dengan dendam itu aku juga berubah menjadi iblis,”

    “Kau,” aku hendak memukulnya, tapi tangannya menahan tanganku dan mengenggamnya dengan kuat, “aduh, sakit, lepaskan tanganku,” dia melepaskan tangannya dan aku mendorongnya, aku langsung terbang keluar dari jendela.

    “Baiklah, kali ini kau kulepaskan tapi, nanti kita akan bertemu lagi,” dengan menangis aku terbang pulang ke apartemenku dan langsung memeluk kucing hitamku yang kuberi nama Powel. Saat melihat Powel, aku teringat pada Cain, matanya yang berwarna biru dan bulunya yang hitam seperti sayap iblis itu. Padahal saat aku bertemu Cain pertama kali, dia sangat baik sekali terhadapku. Dia mengatakan kalau sayapku keren dan dia juga ingin mempunyai sayap sepertiku.

    “Cain, kenapa kau menjadi iblis?”

    “Meow~,”

    “Powel, kamu tidak akan menjadi iblis dan meninggalkanku kan?

    “Meow,” katanya sambil berlalu ke tempat tidurnya dan tidur. Aku pun tertidur. Sejak saat itu, aku belum bertemu lagi dengan Cain dan menjalankan tugasku dengan sukses, tapi dalam hati kecilku aku berharap dapat bertemu dengannya.

    Suatu hari, aku melihat seorang anak kecil dan seorang nenek tua.

    “Nek, mau dibantu?” anak kecil itu menawarkan untuk membantu nenek itu membawa barang-barangnya yang kelihatan berat.

    “Terima kasih nak,” nenek itu terlihat tersenyum bahagia. Dan anak itu juga membantu nenek itu menyeberang. Tiba-tiba… sebuah mobil truk besar melewati jalan itu dan langsung menabrak mereka berdua…

    “Kenapa?? Seharusnya tidak ada tugas hari ini? Kenapa ada yang meninggal?” aku bingung, hari ini aku tidak ada tugas, apa ada orang lain atau jangan-jangan…, aku melihat ada sesuatu di atas truk itu, dia … Cain

    “Cain!!” aku memanggilnya

    “Hahahaha, anak kecil yang sombong, jangan sok hanya karena kau mau membantu seorang nenek tua,” ternyata nenek tadi hanyalah Cain yang menyamar, “Oh, ternyata ada malaikat yang mau ikut campur urusanku lagi, kenapa kau ada disini, membuntutiku ya?”

    “Aku tidak membuntutimu, aku hanya kebetulan lewat dan melihat anak kecil itu dan ternyata kamu membunuhnya,” kataku tak sabar dan kesal sekali, padahal anak itu anak yang baik, dia mau membantu nenek tua itu

    “Aku tidak membunuhnya, tapi dia sendiri yang minta dibunuh, mau sok menolong pula,”

    “Menolong kan tidak salah,”

    “Itu hanya bagi kalian para malaikat, bagi kami pertolongan itu tidak perlu,” lalu roh anak itu terbang dan ditangkap oleh Cain, lalu roh tersebut dimakannya.

    “Kejam,”

    “Tidak kejam kok, beginilah cara kami untuk mendapatkan makan,” lalu dia terbang pergi, malamnya aku mendapat tugas untuk membasmi iblis itu karena dia sangat mengganggu perkerjaan para malaikat pencabut nyawa, dan banyak sekali sudah roh yang dimakannya, dan yang tidak berhasil dibawa oleh kami.

    “Cain, maafkan aku, aku akan menangkapmu, Powel aku pergi dulu ya,”

    “Meow,”

    “Jaga rumah baik-baik ya,”

    “Meow,” lalu aku terbang pergi sambil melihat lihat roh yang masih selamat dan menyucikan roh-roh jahat. Tapi aku tidak menemukan Cain dimanapun, lalu aku datang ke tempat kami pertama kali bertemu di rumah sakit C.

    “Cain, seingatku dulu, kamarnya adalah kamar no. 131 di lantai paling atas,” lalu aku naik ke atas dan sampai pada jendela kamar no. 131, kamar tersebut sudah kosong dan tidak ada orang lagi. Aku juga tidak menemukan Cain, lalu aku juga penasaran kenapa dia bisa meninggal. Aku memutuskan untuk ke rumah sakit ini besok pagi dan menanyakan tentang pasien no.131 tersebut.

    Keesokan harinya aku langsung cepat-cepat menuju ke rumah sakit C, yang ternyata cukup jauh kalau aku tidak terbang, dari apartemenku harus jalan kaki sampai ke halte bus terdekat, setelah naik bus aku masih harus berjalan kaki sedikit baru aku menemukan rumah sakitnya, merepotkan sekali. Aku masuk ke rumah sakit itu yang ternyata kalau dilihat-lihat sudah cukup tua, dengan cat yang sudah agak memudar warnanya, tetapi terlihat sangat bersih sekali. Aku menuju ke resepsionisnya.

    “Permisi, boleh tanya mengenai pasien di kamar bernomor 131?”

    “Anda siapa?”

    “Aku,… temannya,” perawat di situ tampak kaget.

    “Maaf, tapi pasien tersebut, menghilang 3 tahun yang lalu,”

    “Menghilang?!”

    “Ya, 3 tahun yang lalu pada saat malam bulan purnama, jendela kamarnya terbuka, dan terdengar suara teriakan, lalu kami langsung menuju ke kamarnya dan melihat dia sedang berdiri di jendela kamarnya sendiri, lalu menjatuhkan diri, kami panic dan langsung melihat ke luar jendela tetapi, tidak ada mayatnya di bawah,” wah mengejutkan sekali, dia menghilang dan mayatnya tidak ditemukan, tapi siapa yang kulihat sebagai iblis itu, aku jadi semakin bingung, jangan-jangan iblis itu hanya meminjam wujud Cain atau jangan-jangan Cain dirasuki iblis itu? Aku harus bertemu dengannya secepat mungkin. Aku kembali ke apartemenku dan segera masuk ke dalam tapi,…

    “Kenapa begini??” di dalamnya sangat berantakan, apakah Powel yang iseng bermain-main,

    “Powel dimana ka… POWEL!” kucingku Powel tergeletak di lantai, aku cepat-cepat menghampirinya.

    “Meo…”

    “Powel, kau tak apa-apa? Siapa yang berbuat begini?” tiba-tiba bayangan hitam keluar dari tubuh Powel, “Powel?” aku sedikit mundur, bayangan itu semakin besar dan membentuk sesuatu seperti wujud manusia tetapi masih dalam wujud bayangan

    “Hahahaha,” suara itu sama seperti suara yang iblis itu, “Powel? Menggelikan, nama yang tidak cocok buatku,” aku terkejut dalam bayangan itu tidak sama dengan Cain.

    “Kau jangan-jangan setan perasuk ya?”

    “Oh, ternyata kau hebat juga, nilai seratus untukmu,” ternyata dia memang setan perasuk, tapi bukannya dulu para malaikat telah membasminya kenapa bisa ada lagi.

    “Kenapa kau bisa ada disini, bukankah kau sudah dibasmi,”

    “Dibasmi, tidak sayangnya mereka hanya berhasil menghancurkan tubuhku saja tapi bayanganku masih ada, aku tidak akan mati selama bayanganku masih ada,” jangan-jangan iblis ini merasuki Cain, berarti 3 tahun yang lalu Cain tidak hilang melainkan diculik oleh iblis ini.

    “Kalau begitu kau yang menggangguku selama ini, kau membunuh anak kecil yang kemarin itu?”

    “Mengganggumu? Oh, tidak itu bukan aku, aku selalu ada di tubuh kucingmu ini kok, atau mungkin anak laki-laki bodoh itu ya, yang senang sekali asaat aku beri dia sedikit kekuatanku, bagaiman keadaannya? Dia telah membunuh berapa orang?” dia bicara dengan santainya seakan mengganggap nyawa manusia tidak berarti.

    “Kau jahat sekali,”

    “Aku tidak jahat, semua iblis malah lebih jahat dari aku, aku tak mau belama-lama disini, aku akan pergi, selamat tinggal,” dia pergi dengan membawa Powel. Aku duduk diam dan bingung kenapa Cain senang dengan kekuatan iblis? Tapi saat menggunakan kekuatannya Cain terlihat sangat sedih. Aku harus bertemu dengannya.

    Setiap hari aku terus menerus mencari Cain dan aku telah melaporkan pada malaikat yang lain bahwa setan perasuk amsih ada dan mereka langsung berusaha untuk menyingkirkannya. Aku selalu mendapatkan kabar kalau ada sesuatu yang terjadi, jadi samabil melaksanakan tugas aku juga mencari informasi.

    Lalu aku coba lagi untuk pergi ke rumah sakit C, pada malam bulan purnama aku melihat ada secarik kertas yang terselip di bawah bantal ruangan itu, aku heran kenapa aku baru melihatnya hari ini, atau memang baru ditaruh disitu. Aku membacanya dan kertas kecil itu bertulis..

    Jika kau ingin menemuiku datanglah malam ini tepat saat malam bulan purnama ke taman di pinggir sungai dekat denagan apartemenku. Aku menunggumu.

    Aku sedikir senang melihat surat itu, aku langsung buru-buru kembali ke apartemenku dengan terbang tentunya, dan ke tempat sesuai dengan yang dikatakan kertas itu.

    Saat aku mendekat terlihat sesosok malaikat bersayap hitam, tidak salah lagi itu Cain.

    “Cai…,” aku berlari ke arahnya dan ternyata disitu bukan cuma ada Cain tetapi si setan perasuk yang merasuki Powel.

    “Maafkan aku,” katanya dengan raut wajah yang sangat bersalah.

    “Terima kasih Cain, kau sudah tidak dibutuhkan lagi,” setan perasuk itu keluar dari tubuh Powel dan menghantam Cain hingga terjatuh.

    “Cain!”

    “kukuku, kau bodoh sekali, hanya karena secarik kertas kau langsung datang kesini, sungguh bodoh,”

    “Mau apa kau denganku,” kataku waspada.

    “Aku ingin rohmu, katanya roh malaikat dapat memulihkan tubuh iblis,”

    “Kenapa harus rohku?”

    “Karena hanya kau malaikat yang aku tahu, lagipula kau, apakah kau ingin mengetahui masa lalumu?”

    “Masa laluku?”

    “Ya, semua malaikat memang sengaja dilupakan ingatan tentang masa lalunyakan?”

    “Jangan beritahu dia!” tiba-tiba Cain berteriak.

    “Diam kau,” setan itu membuat pingsan Cain, “kita teruskan, sebenarnya dulu kau adalah pacarnya,” katanya sambil menunjuk Cain.

    “Aku? Pacar Cain?”

    “Ya, tapi karena iseng aku merasukimu dan ternyata kau tidak bisa mengontrol kekuatanmu sehingga kau menyeranh dia hingga koma dan kaupun meninggal menjadi iblis juga, tapi…,”

    “Tapi,”

    “Beberapa tahun yang lalu aku dibasmi oleh para malaikat dan mereka juga hendak membunuhmu, tetapi anak bodoh itu mengatakan akan menggantikanmu dengan syarat,”

    “Syarat?” kepala serasa mau pecah, tiba-tiba saja semua bayangan muncul dalam pikiranku.

    “Ya, dia menyuruh para malaikat itu untuk melupakan ingatanmu dan menjadikanmu malaikat pencabut nyawa untuk membantu roh-roh yang tersesat dan sebagai gantinya dia akan menjadi iblis,” Lalu tiba-tiba aku menjadi ingat semuanya, akulah yang menyerang Cain sampai dia koma, dan aku hamper saja membunuhnya, air mataku mengalir, “Lalu dengan keputusan para malaikat mereka mengembalikan Cain ke rumah sakitnya agar tidak menimbulkan kecurigaan,”

    “Saat itu, aku yang lupa ingatan mengunjungi Cain di rumah sakit itu, aku mengira bertemu derngannya secara kebetulan. Tidak, pikiranku memang tahu kalau ada dia disana, dan Alice adalah namaku saat aku masih hidup,”

    “Bagus, kau sudah ingat. Tapi 3 tahu yang lalu aku kembali mengunjunginya dan dengan bodohnya dia hendak melawanku dengan kekuatannya yang sangat lemah, lalu aku berhasil merasukinya untuk menggangumu,” aku sangat marah, setan ini telah menghancurkan hidupku.

    “Kau telah menghancurkan hidupku,”

    “O, jangan marah begitu, wajar saja akukan iblis,” lalu dia menyerangku tetapi aku berhasil menghindar dengan kekuatan yang berasal entah darimana, “Hebat juga kau,” lalu kami bertarung dengan sengit, aku sampai tidak percaya aku cukup memiliki kekuatan yang besar untuk melawan setan perasuk yang sangat hebat. Tapi aku tidak kuat lagi, aku hampir pingsan. Saat itu aku hendak mendekati Cain, dan tiba-tiba saja setan perasuk itu menyerangku dari belakang, “Mau pergi kemana kau?” katanya dengan susah payah karena sudah cukup kehilangan banyak tenaga. Aku yang tidak kuat lagi jatuh pingsan dengan memegang jari Cain.

    “Cain,” mataku dengan samar-samar melihat beberapa malaikat datang dan berhasil membasmi setan perasuk itu dan mengurung rohnya. Lalu malaikat itu menghampiri kami berdua.

    “Kalian berdua, sudah cukup berusaha dengan takdir kalian yang begitu tragis,”

    “Terima kasih,” kataku yang sudak merasa sangat kelelahan, lalu aku memejamkan mataku.

    “Semoga Tuhan memberkati kalian,”

    Beberapa tahun setelah kejadian itu….

    “Alice, cepat sudah siang nih nanti kamu telat. Hari ini hari pertamamu masuk SMA kan? Cepat tetanggamu sudah menunggu diluar,”

    “Iya, bu,” kataku sambil cepat-cepat memakai baju dan langsung mengambil roti yang disediakan ibu dan keluar dari rumah, “Maaf Cain aku kesiangan,”

    “Sudah jam berapa ini dasar kamu mau buat aku telat juga ya,” katanya sambil menjitak kepalaku.

    “Maaf, ayo pergi,” kami berdua berjalan menuju ke sekolah.

    Para malaikat masih ada di sekeliling Cain dan Alice, mereka masih melindunginya

    “Akhirnya mereka berdua dapat hidup berbahagia, malaikat Alice dan Iblis Cain,”

    “Ya, Tuhan memberi mereka kesempatan sekali lagi untuk hidup berdampingan,”
    “Mereka berdua telah menjadi legenda yan tidak diketahui oleh siapapun,” dan akhirnya kisah ini pun berakhir dengan bahagia, betapun Tuhan memberikan cobaan hadapilah dengan berani. Seperti Alice dan Cain yang menghadapi maut yang memisahkan mereka..

    BalasHapus
  37. Bukan Cinta
    “Rin, sarapannya sudah siap!”,teriak mamaku menghilangkan kesunyian pagi ini.
    “Iya, tunggu sebentar, ma!, teriakku menyaingi suara mamaku.
    Aku harus memastikannya terlebih dahulu, jadi nilai buat pagi ini adalah 85 buat wajah, 90 untuk penampilan, 90 untuk kulitku. Nilai yang hampir mendekati sempurna. Tentunya beberapa hari lagi nilai itu akan menjadi sempurna dengan tangan-tangan ahliku. Sepertinya ada sesuatu yang mengusik hatiku, tapi aku juga tidak mengerti hal yang mengusik aku pagi ini.
    “Rin, kamu tidak akan bisa menikmati sarapanmu kalau kamu tidak keluar dari kamarmu sekarang.”, bentak mamaku dari arah dapur.
    “Iya, ma!”, teriakku dengan nada sedikit memelas.
    Aku ingat sekarang. Hari ini hari Jumat, seharusnya aku memakai aksesoris berwarna putih, tapi aku justru menggunakan aksesoris berwarna biru. Betapa bodohnya aku hari ini, aku harus segera menggantinya dengan warna putih. Aku tidak mau selama 2 hari aku memakai aksesoris yang berwarna sama, sungguh mempermalukan diriku. Aku mulai menukar kesalahanku dengan kesempurnaanku dan sekarang Phurin Shelvyana sudah siap.
    “Mama, apa sarapan kita pagi ini?”, tanyaku sambil mendaratkan senyuman ke wajah mamaku tersayang.
    “Kamu pikir mama masih menyisahkan sedikit makanan buatmu.”, kata mamaku dengan nada sinis.
    “Ya, iyalah. Aku yakin mama adalah orang terbaik di seluruh dunia.”
    “Kamu benar, tapi tidak untuk hari ini. Segeralah naik mobil, adikmu, Nicky sudah menunggumu bahkan ingin meninggalkanmu.”
    “Tapi bagaimana dengan sarapanku?”
    “Memangnya kamu masih ingat untuk sarapan”, kata mamaku dengan melontarkan senyum sinisnya lagi padaku dan segera beranjak pergi dariku.
    Sepertinya aku tidak perlu mengejar mamaku untuk bertanya-tanya lagi soal sarapanku hari ini.
    “Kakakku tersayang sepertinya mobil ini tidak sabar lagi menunggu, aku tidak mau membuat mobil ini kecewa hanya karena menunggu seseorang yang seharusnya tidak perlu ditunggu.”, kata adikku dengan lemah lembut.
    “Maaf!”
    Aku segera naik mobil menuju ke sekolahku, SMA Tunas Harapan. Dalam sekejab mobil produk 2008 itu segera mendaratkan ban-ban mulusnya ke depan gerbang sekolahku. Kubuka pintu mobiku perlahan, kaki kiriku mendahului kaki kananku untuk menyentuh tanah. Akhirnya posisiku sempurna untuk berdiri, dalam sekejab rambutku telah diusik oleh angin pagi. Baru beberapa langkah aku berjalan, bel sekolah sudah melantunkan iramanya disertai dengan langkah para siswa yang berlarian menuju kelas mereka.
    “Dasar anak-anak norak, mendengar bunyi bel saja sudah ketakutan.”
    Aku juga ikut masuk kelas, tentunya tidak memakai cara buruk seperti anak-anak yang sedang berlari saat ini. Seperti biasa aku berjalan di lorong sekolahku layaknya aku sedang berjalan di atas catwalk. Itulah gayaku yang selalu penuh sensasi.
    “Rin, guru kita sudah mau masuk kelas.”,kata temanku, Chiarra.
    “Kamu sudah berapa lama mengenal aku? Seharusnya kamu tahu, itu kebiasaanku untuk masuk ke kelas bersamaan dengan guru.”, kataku membalas.
    “Ya sudahlah, kita tunggu kamu”, kata Verlyn sambil memanjangkan bibirnya 5 cm seakan tak ikhlas menuggu aku.
    “Ya,iyalah. Aku tahu kalian berdua tidak mungkin bisa hidup tanpa aku.”
    “Terserah kamu!”, jawab temanku itu serempak
    Chiarra adalh teman satu gengku. Dalam gengku itu ada 3 personil, aku sebagai pemimpin, Chiarra dan Verlyn sebagai anggotanya. Geng kami menjadi pusat perhatian sekolah, terutama karena kecantikan kami bertiga dan ketangguhan kami untuk menyingkirkan geng-geng lain.
    “Phurin! Sedang apa kamu disitu? Cepat masuk!”, bentak guru kelasku.
    “Iya, bu.”, kataku.
    Hari ini pelajaran pertama dan kedua adalah matematika. Seperti biasanya, soal-soal yang diberikan para guru itu tidak pernah membuat aku harus berpikir, cukup dengan otakku yang pintar ini memberikan progran untuk tanganku agar bekerja dengan modus otomatis. Itulah aku si bibit emas dari sekolah ini.
    “Rin, bagaimana soal no 2?”, tanya Chiarra kepadaku sedikit berbisik.
    “Ambil buku aku saja, lain kali langsung ambil saja, tidak perlu pura-pura tanya lagi yah”, balasku seakan sudah bosan mendengar pertanyaan seperti itu.
    Kali ini aku merasa leherku pegal sekali. Putar kanan lalu putar...
    “Dia melihatku lagi, jadi malu.”, bisikku pelan.
    ‘”Kamu bilang apa?, tanya Chiarra penuh tanya.
    “Oh..ehm..rambutku sepertinya berantakan.”, kataku gugup.
    “Mau sisir?”, saran Chiarra.
    “Tidak perlu.”, kataku mengakhiri pembicaraaan.
    Hampir saja Chiarra mengetahui bahwa aku sedang membicarakan seorang cowok yang berjabatan ketua kelas yang duduk di bangku terdepan itu. Ekspresinya yang selalu cool membuat banyak cewek mengejarnya tapi di memang selalu cuek dengan semua cewek kecuali aku. Pembicaraan tentang cowok itu pun ada alasannya. Alasannya karena aku tahu bahwa cowok itu sepertinya memendam suatu rasa suka kepadaku, mulai dari tatapan matanya yang selalu tertuju kepadaku sampai sifatnya yang suka salah tingkah di depanku. Awalnya aku juga tidak sadar dengan perasaan cowok itu, tapi lama-kelamaan aku mulai merasa dia selalu memperhatikan aku mulai dari pertama kali kami satu kelas. Pada awalnya, aku memang tidak memberikan rasa apapun kepada cowok itu, lama-kelamaann aku sadar dia selalu ada didekatku terutama untuk melindungiku. Meskipun dia bukan kriteriaku, tapi aku mulai suka dengan sikapnya itu, hal itulah yang membuat aku jadi selalu memikirkan namanya, Rendy. Tubuhnya tinggi, kulitnya putih, wajahnya cakep, dan sangat baik . Dia itu tipe di atas standard untuk para cewek.
    “Rin, kamu melamun?”, kata Verlyn mengejutkan aku.
    “Iya nih, Phurin melamun.”, sambung Chiarra.
    “Ehm..ehm..sepertinya aku belum selesai mengerjakan tugas tadi, aku harus menyelesaikannya sekarang.”, kataku asal bicara.
    “Dalam sejarah kamu itu selalu mengerjakan tugasmu dengan sempurna, jadi aku rasa kamu tidak perlu bertanya lagi tentang hal itu.”, sambung Verlyn curiga.
    “Iya, benar juga.”, kataku seperti orang bodoh.
    “Apa yang sedang kamu pikirkan?”
    “Memangnya aku pernah berpikir?”
    “Tapi tadi kamu itu...”
    “Phurin, Verlyn kalau kalian tidak segera diam, ibu tidak segan-segan untuk mengusir kalian.”, kata guru matematika terganas di sekolahku, Bu Rena.
    Tentu saja untuk menjaga imageku di mata para guru, aku segera diam. Aku tidak mau gara-gara hal kecil aku harus kehilangan rasa suka dari para guru itu.
    “Baiklah anak-anak, ibu rasa kalian semua sudah menyelesaikan tugas kalian, sekarang berikan buku kalian kepada ketua kelas. Kemudian ketua kelas akan membagikannya kembali kepada teman yang lain untuk dikoreksi.”, kata Bu Rena.
    “Bu, membaginya sesuai keinginan saya?”, tanya Rendy.
    “Iya, asalkan tidak kamu berikan kepada pemiliknya.”
    Inilah saatnya bagiku untuk menguji perasaan sang ketua kelas kita, Rendy. Aku sebenarnya sudah tahu dia ada perasaan cinta kepadaku, tapi sekarang aku belum yakin. Sekaranglah saat yang tepat untuk memastikannya.
    “Nih...bukunya”, kata Rendy lembut.
    “Thanks”, sambutku.
    Kulihat dengan jelas nama pemilik buku yang diberikan Rendy kepadaku, tentunya pemilik itu menginginkan aku menggoreskan pena bertulisan jumlah salah dan benar pada bukunya. Keyakinanku semakin besar saat aku mengeja nama pemilik tersebut,Rendy. Aku juga harus memperhatikan orang yang memeriksa bukuku, aku terus melihat tumpukan buku yang tergenggam erat di tangan Rendy untuk mencari bukuku. Tiba-tiba aku menemukan bukuku, tapi saat buku itu mendapat giliran untuk dibagi, Rendy meletakkannya di tumpukan paling bawah.
    “Kenapa bukuku tidak dibagi?” tanyaku penasaran
    Aku terus mengawasi buku kecil bersampul putih bercampur ungu itu, dan akhirnya semua buku sudah dibagi kecuali bukuku yang terletak di paling bawah. Semua anak pun telah mendapatkan buku untuk dikoreksi kecuali Rendy. Ternyata dugaanku benar, dia menyimpan buku itu di paling bawah karena dia ingin memeriksanya. Senyuman kemenangan mulai menghiasai wajahku. Bukan hanya itu saja, tapi aku juga merasa sesuatu, sesuatu yang sulit sekali untuk dijelaskan. Bel istirahat pun berirama kembali membuyarkan lamunanku.
    “Rin, mau ke kantin?”, tanya Chairra dan Verlyn bersemangat
    “Ya,iyalah. Aku kan si ratu kantin.”, balasku mengundang hasrat tawa mereka.
    Akhirnya kami samapi di stan bakso Mang Udin yang terkenal paling enak. Walaupun enak, harga bakso Mang Udin tetap murah. Orangnya juga ramah.
    “Mang, pesan baksonya satu, minumnya es jeruk saja.”
    “Iya, neng. Tunggu bentar yah”
    “Rin, kamu sepertinya harus tahu bahwa teman kita lagi jatuh cinta.”, kata Chiarra bersemangat.
    “Ha...aku tidak tahu. Siapa yang bisa membuat Verlyn tersenyum seperti itu?”
    “Dia itu...”
    “Ra, jangan bilang, aku kan jadi malu.”potong Verlyn.
    Muka Verlyn bersemu merah seperti habis menelan sesuatun yang teramat panas dan pedas. Itulah ekspresi orang yang sedang jatuhn cinta.
    “Oh...aku tidak boleh tahu tentang itu?”
    “Nanti saja di kelas, aku takut ada yang dengar.”, kata Verlyn sambil tersenyum tanpa arti.
    Kulahap semangkuk bakso yang ada di depanku sambil beberapa kali aku menjauhkan mulutku dari mangkuk bakso itu ke minuman es jerukku. Betapa enaknya bakso Mang Udin. Aku tidak pernah bosan untuk menyantapnya setiap hari.
    Bel masuk kelas sudah berdering lagi, mengingatkan kami untuk segera beranjak dari kursi kantin. Pelajaran selanjutnya adalah pelajaran geografi. Pak Heru tidak pernah telat sedikit pun masuk ke kelas kami, beliau adalah guru terdisiplin di sekolah ini. Begitu juga dengan kedisplinannya terhadap tugas yang diberikan kepada anak muridnya, telat satu hari saja untuk mengumpulkan tugasnya, jangan berharap bisa mendapat ukiran nilai di atas enam di raportmu.
    “Jadi gunung api yang sedang meletus sangat berbahaya karena mengeluarkan banjir lahar yaitu aliran panas dengan lumpur yang dimuntahkan dari kepundan, banjir lava yaitu zat cair bertemperatur tinggi dan mengalir di puncak gunung, gelombang pasang dan awan emulsi.”, jelas pak Heru singkat, padat dan tidak jelas.
    “Pak, apa yang dimaksud dengan awan emulsi dan bagaimana terbentuknya?”, tanyaku sambil berharap dijawab dengan jelas.
    “Pertanyaan bagus. Awan Emulsi adalah awan panas yang terbentuk dari kepundan gunung api atau dari lava yang mengalir.”
    Dengan cepat, aku mencatat jawaban singkat, padat dan kurang jelas itu di buku catatanku. Akhirnya aku bisa mencatat semua yang dikatakan guru itu dengan cukup lengkap. Tiba-tiba aku merasa seseorang menatapku dari arah yang cukup jauh radius beberapa meter dariku, aku balik menatapnya. Pandanagan kami bertemu, kedua bola mataku seakan tidak mau berpaling. Kami terus saling bertatap tanpa ekspresi, gugup bercampur tegang menghiasi aliaran darah dalam tubuhku. Aku tidak sanggup berkata lagi. Aku harus membuat bola mata ini tunduk kepadaku. Kujauhkan pandanganku terhadapnya, tapi hatiku sakit karena aku masih ingin melihatnya. Orang itu bukanlah Rendy, yang selalu menatapku lembut. Sorot matanya kosong menatapku tanpa arti. Lalu dia tersenyum kepadaku, dia Elvin. Baru kali ini dia tersenyum sama cewek, dia pun berhasil membuat jantungku berdetak kencang kali ini, biasanya aku jarang sekali berbicara dengan dia, bertemu pun hanya pada saat jam pelajaran. Dia anak yang misterius.
    “Mati aku, aku terlalu banyak melamun sehingga lupa mencatat penjelasan Pak Heru.”, kataku sambil berusaha memfokuskan diriku lagi pada perkataan Pak Heru.
    Elvin masih menatapku dan aku sangat menyadari hal itu, tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk memikirkan itu. Elvin terlihat cemas melihat aku yang kebingungan mengejar penjelasan pak Heru yang ketinggalan.
    Tett......bunyi bel istirahat kedua.
    “Nih, catatanku tentang pelajaran Pak Heru, kamu tidak perlu cemas. Aku mencatatnya dengan sangat lengkap.”, kata seorang cowok berpostur tubuh tinggi yang berdiri di hadapanku, di dadanya tertulis namanya, Elvin.
    “Ehm..thanks. Kamu mau meminjamkan catatanmu pada orang lain, bukannya kamu itu tidak pernah mau meminjamkan catatanmu pada siapapun?”, tanyaku pelan.
    “Peratuaran itu tidak berlaku buatmu”, katanya sambil berbisik kemudian langsung kembali ke tempat duduknya.
    Terlintas sedikit kegembiraan di hatiku saat dia mengatakan itu. Kubuka buku hijau tua yang terbalut olaeh sampul plastik itu. Alangkah kagetnya aku melihat isi di dalamnya. Tulisannya seperti diukir terlihat sangat rapi dan catatannya menyerupai mesin fotokopi, sangat lengkap. Satu titik pun dari perkataan Pak Heru tidak lupa dicatatnya padahal tadi aku sama sekali tidak melihat saat dia menulis. Terbesit rasa kagum yang sangat mendalam. Aku pun langsung menyalin catatannya.
    “Sekali lagi, thanks yah!”, kataku sambil mengembalikan buku itu kepada pemiliknya.
    “Aku senang kalau kamu mau meminjam catatanku.”,s ahut Elvin sambil memberikan kembali senyuman hangatnya.
    Aku pun berjalan kembali ke arah tempat dudukku. Berharap dapat meminjam buku catatannya lagi.
    “Rin, hari ini kami mau ke rumah kamu.”, kata Chairra dan Verlyn.
    “Untuk?”
    “Aku mau cerita tentang cowok yang aku suka itu.” Kata Verlyn pelan
    “Boleh, kebetulan mamaku lagi pergi siang ini, jadi kita bisa melakukan apa saja di rumahku termasuk menghidupkan musik sekeras mungkin di kamarku.”
    “Kami langsung ikut kamu ke rumahmu, tapi kami mau ke kantin dulu. Chairra ingin beli permen karet.”
    “Aku tunggu di gerbang depan” kataku sambil berjalan menjauhi kedua temanku.
    Baru beberapa langkah aku berjalan, seseorang menabrakku dari arah belakang. Buku-bukuku terjatuh semua, ada yang mendarat mulus di jalan berlapis semen itu, ada juga yang mendarat darurat di selokan besar samping jalan. Hal ini membuat kemarahanku memuncak, aliran darahku sepakat untuk memberontak, mereka segera berkumpul di atas kepalaku untuk mengendalikan diriku menghajar orang yang telah menabrakku itu.
    “Dimana kamu meletakkan matamu? Apa kamu tidak bisa melihat aku berdiri di sini sehingga kamu langsung saja menabrakku? Kamu pikir jalan ini milik nenek moyangmu! Mata itu diletakkan diatas hidung dibawah kening, bukan di bawah kaki!”, bentakku dengan nada teramat kesal.
    “Maaf, aku benar-benar tidak sengaja.”, sahut cowok itu sambil memunguti bukuku yang terjatuh berserakan di lantai dan di selokan
    “Kamu pikir dengan kata maaf, aku bisa melupakan kesalahanmu. Jangan harap!”
    “Aku lagi terburu-buru, aku...aku sungguh tidak sengaja”, kata cowok itu gemetar sambil menatapku dengan pandangan memelas.
    “Aku tidak peduli!”, teriakku keras membuat semua orang melihat ke arah kami, aku sungguh tidak bisa menahan amarahku lagi, kemudian aku berlari menuju gerbang sekolah. Bahkan aku lupa untuk mengambil bukuku yang berserakan.
    “Rin, ayo pulang!”, sahut Chiarra dari arah belakang sambil menarik lenganku masuk ke dalam mobilku.
    Mobil itu melaju cepat ke rumahku, dalam hitungan menit kami bertiga sudah berdiri di depan pintu rumahku. Kutekan bel mungil berwarna putih di sudut pintu megah model eropa itu. Tak lama kemudian, seorang wanita bertubuh kurus yang tubuhnya hanya terbalut oleh daging tipis, menyambutku dengan senyuman lembut.
    “Selamat siang, non.”, kata Bi Sera, pembantu yang sudah bekerja selama 10 tahun di rumahku.
    “Siang, Bi.”, balasku seadanya.
    Aku dan kedua temanku itu bergegas menuju kamarku yang terletak di lantai 2. Kami menggerakan kursor volume dalam radio ke arah maksimum. Suara radio itu menggetarkan seluruh komplek perumahan ini.
    “Non, suara radionya dikecilkan, nanti para tetangga marah.”, kata Bi Sera menegurku dengan lembut. Aku selalu menuruti kata Bi Sera karena dia yang selalu menemaniku sejak kecil, dia tahu segala sesuatu tentangku. Aku bahkan tidak berani untuk berbicara kasar terhadap Bi Sera. Beliau sudah banyak berjasa bagi keluargaku.
    “Bibi bawa jus melon sama puding blackforest buat kamu dan temanmu, bibi meletakkannya di atas meja belajarmu. Selamat makan.”, kata Bi Sera sambil meninggalkan kami pergi.
    “Bi Sera benar-benar baik, beliau tidak pernah lupa memberiakan cemilan saat kita datang, Ra.”, celoteh Verlyn
    “Benar, cemilan buatan Bi Sera juga enak.”, sambung Chiarra.
    “Oh ya, jadi siapa cowok yang bisa merebut hati kamu, Ver?”, tanyaku sambil memainkan game di PSP.
    “Dia sekelas dengan kita.”
    “apa?”, aku berteriak seadanya, perhatianku beralih ke Verlyn. Kujauhkan PSP itu dari tanganku sebelum aku kaget lagi dan menjatuhkannya.
    “Dia...”
    “Dia siapa?”, tanyaku tak sabar menunggu.
    Verlyn mengambil secarik kertas dari meja belajarku, dia juga mengambil sebatang pena. Lalu di menulis satu huruf yang merupakan huruf kelima dari abjad kemudian disusul oleh huruf konsonan dan serangkaian huruf lainnya, perpaduan antara huruf vokal dan konsonan begitu sempurna, sehingga aku bisa membaca dengan jelas nama yang sedang ditulisnya, Elvin
    “Selama ini kita jarang sekali melihat dia bergaul dengan teman-teman sekelas, dia itu pendiam. Kemarin, aku ingin mengembalikan buku ensiklopedia yang kupinjam dari perpustakaan, lalu aku melihat sosok Elvin yang sedang membaca buku sambil melepas kacamatanya itu dan paling penting di tertawa lepas saat itu, dia terlihat sangat berbeda. Aku pun hampir tidak mengenalinya. Saat aku sadar, aku sudah jatuh cinta dengannya.”, cerita Verlyn sambil mengenangnya kembali.
    Denyut nadiku mendukung kepanikanku, Elvin adalah orang yang sedang menatapku tadi pagi. Aku juga merasa jantungku berdebar ketika dia melihatku dan aku yakin bahwa Elvin juga memendam rasa suka kepadaku.
    “Rin, kamu kenapa? Kenapa kamu melamun?”, tanya Chiarra.
    “Aku..ehm...aku..sakit perut, aku mau ke belakang dulu.”, jawabku gugup sambil pergi secepat kilat.
    Verlyn tidak mungkin bisa mendapatkan Elvin, sepertinya Elvin menyukaiku. Aku tidak mau Verlyn sakit hati karena cowok yang dia suka ternyata menyukai temannya, tapi aku tidak bisa mengatakan hal ini kepada Verlyn, terpaksa aku harus pura-pura mendukungnya.
    “Rin, aku dan Verlyn pulang dulu, sudah sore.”, kata Chiarra sedikit berteriak.
    “Iya, aku masih sakit perut, jadi tidak bisa mengantar kalian ke depan.”, balasku sedikit berteriak juga. Belum selang satu jam kepergian teman-temanku tersayang, bel di rumahku berteriak lagi memanggil seseorang untuk membukakan pintu rumah. Seperti biasanya Bi Sera keluar, sambil menyapa si tamu itu.
    “Non, ada yang mau ketemu.”, panggil Bi Sera.
    “Suruh masuk dulu saja, aku lagi ganti baju, Bi.”, kataku dari arah kamar
    Aku pun segera turun dari kamarku yang terletak di lantai 2 menuju ruang tamu, kupandangi tamuku itu dari arah belakang. Tapi aku tidak bisa menunjukan tanda-tanda bahwa aku mengenal orang itu. Kuberanikan diri bertanya.
    “Kamu siapa?”, tanyaku pelan.
    “Aku orang yang menabrak kamu tadi siang.”, kata cowok itu sambil menunjukkan mukanya.
    “Darimana kamu tahu alamat rumahku?”
    “Ceritanya panjang, yang jelas aku tahu rumahmu dari salah seorang temanmu. Aku mau minta maaf lagi soal kejadian tadi, aku ke sini untuk mengembalikan bukumu yang terjatuh di jalan, sedangkan bukumu yang terjatuh di selokan harus kubersihkan terlebih dahulu, mungkin aku akan mengembalikannya setelah aku selesai menyalin catatanmu di buku baru.”, tegasnya.
    “Aku...aku juga minta maaf sudah marah-marah sama kamu.”
    “Kamu tidak perlu minta maaf, kamu itu tidak pernah berbuat salah sama aku.”
    “Namaku Relvan. Kamu?”
    “Aku Phurin. Kamu mau minum apa?”
    “Terserah kamu aku kan tamu.”
    “Tunggu bentar, aku mau mengambil minuman kamu.”
    Aku berjalan ke dapur untuk membuatkan minuman untuk tamuku itu, akan kubuat minumanyang paling enak di seluruh dunia.
    “Nih, Jus orange.”
    Aku menyodorkan minuman itu kepada si Relvan, dia mencoba mengambil pemberianku itu dengan tangan kanannya. Tanganku hampir menutupi semua dinding gelas itu, sehingga Relvan kesulitan menemukan celah kosong. Relvan pun menerima gelas itu dengan menyentuh tsanganku, seharusnya aku bisa mengatur agar tanganku segera melepaskan dirinya dari sentuhan tangan Relvan. Sayangnya kali ini aku sungguh tidak bisa melakukan itu. Mataku dalam sekejab menangkap tatapan mata Relvan yang tajam. Kami saling memandangan orang yang ada di depan kami, sedangkan tangan kami masih bersentuhan hangat.
    “Non, handphonenya bunyi, bagaimana cara mendiamkannya?”, kata Bi Sera sedikit berteriak dari arah kamarku.
    Aku langsung melepaskan tanganku dari gelas itu, begitu juga dengan Relvan. Kami melepaskannya di saat bersamaan.
    Prank...! Gelasnya pecah, pecahannya mengenai kakiku. Program komputer di dalam tubuhku langsung memberikan sinyal ke satelit dan satelit itu mengirimkan balasannya.
    “Aduh...! Sakit sekali.”, kataku terduduk lemas di lantai sambil melihat kondisi kakiku itu.
    “Pecahan kacanya masuk ke dalam kakimu, Rin!”
    “Sakit...”
    Relvan segera mencabut pecahan kaca itu, sedangkan aku hanya menanggis sejadinya. Dia kelihatan sangat panik.
    “Dimana kotak P3Knya?”
    “Di Dapur, kamu jalan lurus terus ke kanan.”
    Relvan langsung berlari meninggalkan aku tanpa berkata apa-apa lagi, sekarang aku hanya menatap punggungnya yang pergi ke arah yang kusebutkan tadi.
    “Kamu tahan sedikit, aku mau membersihkan lukamu dulu.”
    “Au..sakit.”
    “Tahan sedikit lagi, aku hanya tinggal membalut lukamu saja.”
    Akhirnya Relvan sudah berhasil melakukan operasi darurat pada kakiku ini. Rasa sakitnya juga sudah mulai meredup ditutupi oleh rasa yang yang muncul dari hatiku.
    “Maaf, gara-gara aku kamu jadi begini.”, katanya dengan wajahnya yang tertunduk lemas.
    “Ini kan juga salah aku yang tidak hati-hati”
    “Aku yang salah aku menjatuhkan gelas itu”
    “Baiklah, kita semua tidak salah, gelas itu yang salah. Kalau si gelas sudah mau hancur, hancur saja. Asalkan tidak merepotkan orang lain seperti ini. Si gelas sih tidak rela dirinya hancur.”
    “Ha ha ha, kamu lucu seperti anak kecil.”
    “Anak kecil?, huh! Sebal”
    “Cemberut nih. Aku suka sekali sama anak kecil.”
    Aku menatapnya lagi, wajahku langsung memerah mendengar ucapan terakhirnya itu. Kuturunkan wajahku agar dia tidak bisa melihat betapa merahnya wajahku saat itu. Aku malu.
    “Ehm...aku pulang dulu yah, sudah sore.”
    “Iya, hati-hati yah.”, kataku pelan.
    Setelah makan malam bersama keluargaku, aku lebih memilih mengunci diriku di kamarku. Kemudian aku mengambil sebuah buku kecil berbalut dengan pita biru berpadu dengan garis putih, aku juga mengambil pena tinta hitamku. Lalu kutuliskan kegiatanku hari ini.
    Dear Diary
    15 April 2009

    Hari ini aku tidak bisa menikmati kelezatan sarapan mamaku, dia terlanjur marah kepadaku karena aku terlalu lama mengurusi penampilanku. Seperti hari-hari sebelumnya Rendy selalu memperhatikan aku, tapi aku belum tahu perhatian itu adalah sebuah cinta atau bukan kemudian aku ingin menguji, ujian itu menunjukkan bahwa dia menyukaiku. Hari ini ada yang aneh dengan Elvin, si anak misterius. Dia menatapku tajam kemudian tersenyum, aku merasa di juga mulai menyukaiku saat di bilang peraturan larangan peminjaman catatannya tidak berlaku buat aku. Hari ini aku mendapat teman baru namamnya Relvan, pertama kali bertemu dengannya aku sangat membencinya, tapi sekarang perasaan itu mulai berubah apalagi saat di bilang kalau aku anak kecil dan di menyukai anak kecil. Semua orang tahu maksud dari perkataannya itu. Ketiga cowok itu hari ini bisa membuat jantungku berdetak sangat kencang, andai saja aku disuruh memilih, aku tidak akan bisa memilih salah satu dari mereka. Aku sudah benar-benar mengantuk sekarang. Selamat tidur.

    Phurin



    Kututup buku diary itu, begitu juga dengan mataku.
    ..........
    “Rin,siapa yang ingin kamu pilih diantara kami?”, tanya Rendy, Elvin, dan Relvan serempak dan sedikit memaksa.
    “Aku..aku menyukai kalian semua, aku tidak bisa memilih salah satu diantara kalian. Aku..aku..”
    “Kamu harus memilih!”, jawab mereka serempak.
    “A..ku...tidak..”
    “Rin, aku yang selalu memperhatikanmu dan melindungimu, seharusnya kau tak ragu untuk memilihku.”, kata Rendy tegas
    “Rin, aku sangat menyayangimu, hanya kamu yang bisa buat aku tersenyum.”, kata Elvin meyakinkanku.
    “Rin, aku orang yang paling memahamimu. Aku takut kalau kau terluka. Aku sampai benar-benar panik saat melihat orang yang aku sayangi terluka terkena pecahan kaca itu.”, kata Relvan tidak mau mengalah.
    “Jangan paksa aku!”, teriakku sambil berlari pergi.
    ..........
    “Non, bangun! Sudah pagi.”, panggil Bi Sera membangunkn aku dari mimpi terburukku.
    “Ah...hanya mimpi.”, bisikku pelan.
    “Apa non?”
    “Nggak apa-apa, Bi, aku mandi dulu yah.”
    Aku masih sangat mengantuk, tetapi aku hampir tidak berani lagi tidur gara-gara mimpi burukku itu. Aku takut mimpi itu benar-benar terjadi padaku. Aku harus segera turun, kalau tidak ,aku tidak akan mendapat sarapanku lagi.
    “Kak, ayo berangkat. Sudah siang nih!”, teriak adikku keras.
    “Iya, tunggu bentar, lagi pakai sepatu nih!”
    Mobilku melesat cepat ke arah tempat satu-satunya tujuanku setiap hari.
    “Rin, kamu kenapa sakit yah?”, sambut Chiarra.
    “Mukamu pucat.”, tambah Verlyn.
    “Aku nggak apa-apa kok, masuk kelas yuk.”
    “Ha...nggak biasanya kamu mau masuk kelas sepagi ini.”, jawab mereka kaget.
    Hari ini aku tidak bisa konsentrasi belajar, aku terus-terusan memikirkan mimpi itu, aku takut jika mereka menyatakan rasa suka mereka kepadaaku. Walaupun sebenarnya aku senang ketika mereka menyatakan rasa suka mereka kepadaku, setidaknya dugaanku benar dan hal itu membuktikan bahwa aku memang cantik. Aku juga tidak mengerti arti dari perasaanku, yang jelas aku menyukai ketiga-tiganya tetapi aku belum siap untuk menjalin hubungan lebih dalam dengan mereka. Jika disuruh memilih, aku pasti kebingungan menyeleksi kelemahan dari mereka yang paling kecil.
    “Rendy itu tinggi, cakep, kulitnya putih, sangat cool tapi sayang di itu bodoh dalam hal pelajaran. Aku tidak mau mempunyai seorang pacar yang bodoh. Elvin itu tinggi, kulitnya putih, baik, pendiam, tapi wajahnya tidak terlalu cakep. Aku juga tidak mau mempunyai pacar yang jelek. Aku akan merasa malu dengan teman-temanku karena aku tidak mampu mencari cowok yang cakep. Relvan itu baik, perhatian, tinggi, cakep, penyayang, setia tapi dia emosinya tinggi. Aku tidak mau memiliki cowok yang mudah sekali marah, hal itu akan membuat aku jengkel.”, ceritaku pelan ke arah dinding di sebelah kananku.
    Ini semua salahku, aku terlalu mudah memberikan perasaanku kepada cowok yang suka terhadapku. Aku juga tidak mengerti perasaan yang kuberikan kepada semua cowok yang menyukai aku, yang jelas aku merasa sangat senang jika ada cowok yang menyukaiku. Apakah diantara mereka bertiga ada yang menyatakan perasaannya kepadaku? Jika iya, bagaimana aku harus menolaknya? Aku sangat bingung.
    ..........
    Hari ini tepat satu bulan setelah aku bermimpi para cowok itu menyatakan perasaannya kepadaku. Faktanya sampai sekarang hal itu tidak pernah terjadi, aku mulai ragu dengan perasaan mereka terhadapku. Selama ini, mereka memperlakukan aku dengan baik sekali, terlihat sekali mereka menyayangiku, tapi kok merek tidak menyatakan perasaannya kepadaku. Seharusnya aku seneng karena pada dasarnya aku kan mau menolak mereka, tapi sekarang ini aku ingin mereka jujur atas perasaan mereka terhadapku. Aku jadi tersiksa kalau begini terus. Satu hal yang membuat aku juga penasaran, mengapa teman-temanku tidak sadar kalau mereka bertiga menaruh hati padaku? Sungguh sulit bagiku untuk menjawab pertanyaanku sendiri.
    “Sepertinya aku harus melupakan mereka.”, kataku pelan.
    “Kamu bilang apa?, tanya Verlyn dan Chiarra serempak.
    “Aku nggak bilang apa-apa kok.”
    “Jelas-jelas tadi itu kamu mengeluarkan suara!”, sambung Chiarra.
    “Nggak kok kalian saja yang salah dengar.”
    “Rin, kami buaknlah anak kecil yang bisa kau tipu. Jujurlah, Rin. Itu gunanya kami sebagai temanmu menemanimu di saat yang susah maupun senang.”
    “Sepertinya aku harus menceritakan yang sebenarnya sama kalian.”
    “Apa yang kamu rahasiakan dari kami?”, tanya Verlyn.
    “Sebenarnya aku....”, ceritaku tentang kejadian yang sebenarnya tidak ada yang dikurangi dan ditambahkan.
    “Oh...begitu!”, sahut sahabatku serempak.
    “Rin, perasaan kamu sekarang ini bukan cinta. Kamu ingin mereka menyatakan rasa sukanya terhadapmu kan, tapi kamu tak mau menerima mereka kan, jadi kesimpulannya adalah kamu hanya menginginkan popularitas semata yaitu kamu itu ingin dianggap sebagai cewek yang cantik karena banyak yang suka sama kamu. Tidak ada rasa cinta sedikit pun dari dirimu untuk mereka. Kamu hanya merasa bangga jika teman-temanmu tahu kalau kamu bisa menaklukan hati ketiga cowok itu.”, jelas Chiarra bijaksana.
    “Tapi hatiku sakit sekarang ini, sakit sekali.”
    “Itu karena kamu gagal membuat teman-temanmu tahu kalau kamu itu berhasil menaklukan ketiga cowok itu.”, potong Verlyn disertai anggukan kepala tanda setuju dari Chiarra.
    “Dari dulu sampai sekarang perasaanmu yang sebenarnya kepada mereka hanya sebatas teman tidak lebih dari itu.”, sambung Chiarra.
    “A..ku..aku...”, jawabku terbata-bata.
    Sekarang sepertinya aku mulai mengakui bahwa perkataan Chiarra dan Verlyn benar. Tanpa sadar air mataku pun jatuh, aku peluk kedua sahabatku itu.
    “Thanks ya, aku benar-benar nggak tahu jika kalian nggak ada. Aku nggak akan mengulangi kesalahan itu lagi. Aku janji, aku janji.”
    “Makanya lain kali kalau ada masalah langsung cerita saja, jangan disimpan-simpan. Kamu sendiri yang tersiksa.”
    “Aku sayang kalian.”, jawabku sambil memeluk mereka lebih erat.
    “ Kami juga.”, jawab Chiarra dan Verlyn kompak.
    Kami bertiga berpelukan, kami juga tidak sadar atas perbuatan memalukan kami di mall itu. Perlahan aku menghapus air mataku, air mata kebahagiaanku.
    “Rin, cari makan yuk! Lapar sekali nih...”, potong Verlyn mengacaukan suasana yang bagus itu.
    “Boleh juga, aku juga lapar.”, jawabku dengan senyum terlebar.
    “Mau makan dimana?”,tanya Chiarra.
    “Terserahlah yang penting makan.”, jawabku.
    “Ha ha ha, dasar rakus!”, potong Verlyn.
    Kami bertiga menuju restoran terenak di mall itu.
    “Mbak, aku pesan chicken noodlenya sama vanilla milkshakes.”, pesanku kepada waitress di depanku itu.
    “Mbak, kalau aku pesan fish sandwish sama ice lemon tea ya.”, pesan Verlyn bersemangat.
    “Kalau aku seafood fried rice saja sama orange juice.”, pesan Chiarra.
    “Tunggu sebentar ya, pesanan akan segera diantar.”, kata waitress itu.
    Kami makan dengan lahap dan penuh sukacita.
    “Ayo kita ke kasir. Mau dibayar nih makanan, aku yang bayar yah.”
    Perasaanku terlalu senang membuat aku tidak melihat sekelilingku lagi. Tiba-tiba...
    “Aduh, kalau jalan hati-hati, baju saya jadi basah nih.”, gerutu cowok di depanku sambil membersihkan bajunya.
    “Maaf, aku ganti minumannya kok.”, kataku dengan penuh penyesalan.
    “Nggak perlu.”, kata cowok itu sambil berhenti membersihkan bajunya dan menoleh ke arahku. Begitu juga dengan aku yang berhenti menunduk dan menoleh ke arahnya.
    “Sekali lagi ma...”, kataku terhenti.
    Pandangan kami bertemu sejenak.
    “Cakep banget nih cowok.”, bisikku dalam hati.
    “Namaku Frey, kamu?”, tanya cowok itu.
    “A..ku...Aku...Phurin, yakin nih kamu nggak apa-apa.”
    “Nggak apa-apa kok, aku pergi dulu yah!”, kata cowok itu sambil berjalan meninggalkanku.
    “Ra,Ver, sepertinya aku akan melupakan janjiku kepada kalian deh.”, celotehku sambil berlari menjauhi mereka berdua dan mengejar Frey untuk mentraktirnya minuman baru. Penyakit itu menyerang bagian hatiku lagi.

    BalasHapus
  38. Amarah Terpendam

    tema:krisis moral
    oleh: Irine Natalia / 17

    Matahari bersinar dengan cerah di pagi hari. Terlihat di suatu sudut teras rumah seorang pemuda berwajah lugu sedang melamun, memikirkan entah masa depan seperti apa yang terbentang di hadapannya.
    “Sen..Seno!”, ucapan itu mengagetkan Seno, ternyata suara yang membangunkannya dari lamunan adalah Ibunya.
    “Melamun itu tidak baik lho. Apa kamu bingung lagi memikirkan lanjutan pendidikanmu?”
    “Iya, bu. Seno ingin melanjutkan kuliah. Tapi tidak tahu bagaimana caranya”
    Seno tahu, sebenarnya Ibunya cukup berat hati untuk melepasnya pergi kuliah ke kota karena kedua kakanya juga telah menetapkan untuk mencari kerja di kota. Namun mau tidak mau, Ibunya pun juga tahu bahwa Seno harus memperoleh pendidikan yang layak dan fasilitas itu hanya ada di perkotaan. Selain itu, di era perkembangan teknologi, kehidupan yang sederhana di pedesaan bagi kebanyakan kaum muda terasa membosankan. Ada-ada saja alasan mereka untuk bisa ke kota, entah untuk mencari kerja atau melanjutkan sekolah, dan akhirnya ada yang menjadi sukses atau sampah masyarakat.
    “Kalau itu memang kewajibanmu untuk kuliah, Ibu ‘kan bisa menghubungi Paman Udi. Pardi dan Hario kakakmu juga nanti ikut naik mobilnya ke kota.”, ujar Ibu.
    “Loh, kenapa Seno tidak diberi tahu soal ini?”
    “Kamu sih, pakai mendadak ikut ujian masuk perguruan tinggi segala. Ibu kan juga baru tahu”
    “Soal itu sih gampang, nanti Seno bisa bilang kok ke paman. ‘Kan aku juga bisa cari kerja sambilan di sana.”, katanya dengan wajah yang seolah-olah baru mendapat pencerahan.
    “Hah! Pasti nanti mau pamer sama dik Ris.”
    “Iyalah Bu, kalau gitu Seno pergi dulu ya!”

    Seno pun berlari-lari menyusuri jalan dari tanah merah. Ia sedang mencari sahabatnya, Riska yang sama-sama baru lulus SMA.
    “Oi, Ris! Dengar nih, aku punya berita bagus!”
    “Huh, coba kutebak, pasti karena Pak Udi sudah beli mobil baru, kamu lantas mau jalan-jalan ke kota kan?”, tanya Riska dengan curiga.
    “Tumben nih otakmu jalan juga. Iya sih memang benar, tapi aku bukan jalan-jalan lho! Aku mau melanjutkan kuliah di sana, lagipula aku sudah ikut ujian masuk kok.”
    “Enak dong Sen, aku saja tinggal terus disini”
    “Wah kalau seandainya aku sudah sampai di sana, pasti kukabarin kamu deh. O ya! Ngomong-ngomong aku datang ke sini hanya ingin mengabarkan itu saja. ‘Ntar dimarahin sama Ibu lagi kalau kelamaan.”, kata Seno dengan terburu-buru.
    “Ya udah kalau begitu”

    Sesampainya di rumah, Seno melihat sandal kedua kakaknya. Jadi mereka sudah pulang dari mengurus ternak, pikirnya. Tiba-tiba, Ia mendengar seperti nada orang marah di dalam rumah,
    “Gimana sih, Bu! Aku ‘kan mau berangkat lusa, tapi kok uang persediaannya belum dikasih?”, protes Pardi
    “Sabar dulu kenapa Par! Nanti kalau waktunya sudah tiba Ibu pasti kasih! Lagipula kenapa hari ini kamu marah-marah, nak?”
    “Salah Ibu sih! Pardi sudah sabar berhari-hari, tapi Ibu selalu menghindari aku! Masa membantu anak sedikit saja tidak becus!?”
    Seno yang naik darah segera melerai adu mulut antara kakaknya dan Ibunya,
    “Sudahlah kak! Memangnya Kak Pardi buta ya kalau sekarang bukan musim panen!? Kita juga bukan dari keluarga kaya”, katanya dengan dongkol.
    “Huh!”
    Amarah Pardi berakhir dengan meja makan yang terpukul oleh tangannya. Dia langsung masuk ke kamarnya dan suasana menjadi sunyi sesaat dengan Seno, Ibu, dan Kak Hario yang duduk diam saja di ruangan tersebut.
    “Kak Hario juga sih, kok dari tadi ‘ga membela ibu?”
    “Apa sih urusanku? Ibu memang salah kok tidak mengerti keinginan anak”, timpal Hario sambil menjauh ke dalam kamarnya.
    Seno sungguh seringkali merasa kesal dengan ulah kedua kakaknya yang tidak mengenal tempat. Namun sebagai anak yang terkecil, Ia juga harus menghormati keduanya.
    Hingga malam harinya, kedua kakaknya mengacuhnya Ibunya. Jujur saja Seno tidak tahu harus berbuat apa, karena Ia pun merasa bosan melihat hubungan antara mereka yang begitu renggang telah berlangsung sejak ia kecil. Seusai makan, Seno menemani Ibunya duduk dan menonton televisi. Di rumah, Seno-lah yang paling akrab dengan Ibunya semenjak ayahnya meninggal, sedangkan kedua kakaknya seolah-olah baru mengenal Ibunya dan jarang sekali berbicara kecuali ada hal yang dibutuhkannya.
    Keesokan paginya, setelah sarapan, seperti biasa keluarga ini bekerja di ladang dan tempat beternak milik mereka sendiri. Ibu Seno biasa mengatur kegiatan penjualan hasil yang diperolehnya dengan mobil angkutan yang biasa mengantar barang hingga ke kota. Di sela-sela kesibukan itu, Ibu Seno berkata,
    “Besok Paman Udi mau mengantarkan keberangkatan kalian. Jadi, kalian harus bersiap-siap ya”
    “Haha, kami pasti bisa jaga diri. Seno sudah mengemas baju kok! Ini kali pertamanya Seno bisa ikut keluar desa”, katanya dengan senang

    Tibalah hari keberangkatan, ketiga kakak beradik itu diberi bekal makanan dan sedikit uang untuk kebutuhan hidup mereka. Rencananya, mereka akan menempati rumah Paman Udi sementara. Akhirnya, setelah melewati beberapa jam perjalanan, akhirnya mereka sampai juga di rumah Paman Udi.
    “Hah! Senangnya sudah sampai di kota. Jadi begini ya pemandangannya, banyak sekali gedung-gedung bertingkat...jalannya juga mulus”, kata Seno dengan semangat.
    “Dasar kampungan kamu, tapi setidaknya kita sudah bebas dari kehidupan bersama Ibu yang sudah tua”, kata Kak Hario dengan nada meremehkan.
    “Hush! Nanti kulaporkan kalau Kak Har bilang Ibu macam-macam, baru tahu rasa”
    “Sudah, sudah, ayo masuk! Nanti dikira tetangga ada apa lagi. Pardi, Hario, usahakan jaga sikap kalian selama di sini. Kalian tujuannya mau cari kerja, bukan cari masalah”, sergah pamannya.

    Kehidupan beberapa hari terasa normal bagi Seno. Ia telah diterima di perguruan tinggi dan diinginkannya. Bahkan Ia merasa senang tidak perlu merepotkan pamannya lagi telah memperoleh kerja sambilan sebagai pegawai di sebuah rumah makan. Hanya tersisa kedua kakaknya yang tidak jelas arahnya.
    Paman Udi yang tidak tega melihat kedua orang tersebut, menawari mereka pekerjaan,
    “Paman bisa maklum kalau kehidupan di kota memang susah. Kebetulan di bengkel milik Paman sedang kekurangan beberapa pekerja. Kalian mau kan bekerja di situ.”
    “Tentu saja mau!”, kata Hario
    “Wah, makasih Paman, jadi tidak usah repot-repot membuka koran lagi deh.”, kata Pardi.

    Masing-masing kakak beradik telah mendapat penghasilan yang diinginkan. Namun, perangai mereka tetap tidak berubah. Ada suatu saat dimana Seno mencari-cari kedua kakaknya yang belum pulang hingga larut malam. Alangkah terkejutnya ketika Ia menemukan mereka berdua sedang bermain taruhan dengan beberapa orang yang juga tinggal di dekat rumah mereka dengan menggunakan uang penghasilannya. Secara spontan, Seno maju dengan langkah gusar ke tempat itu dan berkata,
    “Apa-apaan yang kakak lakukan? Paman khawatir mencari kalian berdua tahu!”
    “Seno, kau ini masih muda, jelas saja kau tidak mengerti betapa stressnya kami yang hanya dihadapkan dengan pekerjaan. Sekali-kali apa salahnya melakukan kegiatan hiburan?” timpal kak Pardi
    “Ya, tapi ini cara yang salah! Apa kakak mau bertambah miskin gara-gara kekurangan uang?
    “Kau ini polos sekali sih. Bahkan aku baru memenangkan sedikit uang. Bertaruh itu tidak bisa kau identikkan hanya dengan orang miskin, tahu!”
    “Terserah kakak. Aku tidak akan cerita pada paman soal ini, kalianlah yang menjelaskan sendiri di rumah.”, kata Seno sambil berlalu.
    Pardi dan Hario akhirnya pulang juga setelah menyelesaikan permainan mereka. Tentu saja mereka berhasil mengelak dari pertanyaan Paman Udi. Seno pun tidak mau ambil pusing dan langsung tidur. Ia merasa capek dengan kata-kata yang dikeluarkan untuk kedua kakaknya sia-sia saja. Hati Seno sebenarnya miris untuk selalu menutupi kebohongan akan kelakuan mereka berdua yang semakin menjadi-jadi dari pamannya karena ingin melindungi mereka. Ia juga berharap agar suatu saat kakaknya bisa menyadari perbuatannya.
    Sejak pindah ke kota, rasanya, melihat kedua kakaknya nongkrong di malam hari sudah menjadi pemandangan yang biasa bagi Seno. Mereka bahkan sudah nekad untuk meminum minuman keras. Ia sungguh tidak tahan dan untuk pertama kalinya, ia merasa sangat ingin menghajar mereka dengan kedua tangannya. Seno pun tidak berani memberitahu Ibu.
    .
    Kemudian pada suatu hari ketika Seno baru pulang kuliahnya, Ia tiba-tiba dicegat oleh dua orang. Untuk sesaat, Ia merasa asing terhadap siapa orang tersebut, lalu kemudian Seno tersadar bahwa mereka adalah orang yang biasa nongkrong bersama Kak Pardi dan Kak Hario. Ia merasa ada yang tidak beres dengan kedua kakaknya.
    “Kamu adiknya Pardi dan Hario kan?”, tanya pria pertama, “Dimana kakakmu?”
    “Apa maksud bapak? Saya baru pulang kuliah jadi saya tidak tahu dimana mereka berada.”
    “Jangan bohong! Mereka selalu bersembunyi dari kami selama dua hari ini. Pasti mereka menyuruhmu untuk diam kan!?”, kata pria kedua sambil mendorong Seno dengan keras. Jelas Seno merasa sakit karena didorong. Ia benar-benar habis akal tentang apa yang terjadi.
    “Tenang dulu, Pak! Sebenarnya, mereka pun sering pulang malam dan kebanyakan pada saat itu saya sudah tidur, jadi saya benar-benar tidak tahu apa yang terjadi.”, kata Seno dengan nada gelisah.
    “Begitu ya, baiklah anggap saja perbuatan barusan tidak ada. Masalahnya, mereka kalah bertaruh dan berhutang padaku sebanyak dua juta. Kalau kau menemui mereka, bilang saja untuk mengembalikan uang secepatnya pada kami dan jangan coba-coba untuk sembunyi!”, kata pria kedua .
    “Ba...baiklah, akan saya usahakan”
    Kedua pria itu telah pergi dari hadapannya. Kini, Seno yang menjadi korban ancaman langsung menunggu kedua kakaknya di depan pintu rumah mereka pada saat malam hari. Ia berharap ingin menyelesaikan masalah secepatnya dan sudah tidak peduli untuk melindungi mereka lagi.

    “Kak Pardi! Kak Hario! Kalian benar-benar kurang ajar telah mempermalukan nama keluarga kita!”, sergah Seno sambil menghalangi kedua kakaknya
    “Hei, jadi adik jangan bicara tidak sopan! Apa jangan-jangan...”,
    “Pasti kedua orang itu mengunjungi tempatmu kan!?”, potong Hario, “Pasti dia mengancammu untuk mengadukan kami kan?”
    “Ya! Sekarang kalian sudah bisa belajar berhutang, mabuk-mabukan, dan berbuat kasar! Semenjak tinggal di kota, kalian sudah menjadi manusia tak berakhlak dan bahkan lebih rendah dari orang lain yang pernah kutemui!”
    “Kau.......!”, kata Pardi yang kemudian menampar Seno.
    “Biarkan! Pukul saja terus! Aku juga tidak akan segan-segan untuk melapor kelakuan kalian ke polisi!”, kata Seno yang semakin kesal
    Seno langsung masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Untungnya Paman Udi sedang tugas di luar kota dan hanya Seno sendiri di rumah sehingga tidak perlu menjelaskannya.
    Keesokan harinya, Seno tidak melihat jejak kedua kakaknya di luar rumah, ia sudah tahu bahwa mereka berdua pasti bersembunyi di tempat yang biasa ia ketahui. Sebuah mobil polisi tiba-tiba berhenti di dekat rumah dan menghampiri Seno sebagai orang yang terdekat.
    “Selamat siang, kami dari kesatuan polisi kota ini. Apakah anda warga di sekitar sini?”, tanya kepala polisi tersebut.
    “Ya”
    “Tempat ini dikabarkan menjadi tempat pengedar minuman keras dan sarang penjudi, apa saya bisa mengharapkan kerjasama anda dan beberapa warga lainnya?”
    “Carilah mereka secepatnya sebelum mereka pergi, aku tahu dimana tempat persembunyian mereka”, ujar Seno sambil menunjuk ke arah lorong di dekat rumahnya.
    “Kalau begitu, terima kasih”, kata polisi tersebut seraya pergi dengan anak buahnya
    Kabar penangkapan kedua kakaknya pun sudah diketahui oleh khalayak ramai tidak lama kemudian, termasuk paman Seno. Mengejutkan bagi Paman Udi, namun Seno berpikir bahwa inilah jalan terbaik bagi kedua kakaknya daripada harus bersembunyi terus-menerus.
    Sahabatnya Riska yang mendengar kabar ini langsung menemui Seno beberapa hari kemudian,
    “Hooi, Sen!! Aku terkejut sekali waktu mendengar dari temanmu kabar penangkapan itu. Namun, aku belum beritahu Ibumu, takutnya dia stress”, kata Riska tidak sabaran
    “Baguslah kalau begitu. Aku juga sudah bilang ke Paman Udi untuk tidak memberitahu Ibu saja. Nanti aku titip salam padanya lewat kamu saja Ris, bilang kalau aku kapan-kapan bisa menjenguknya.”, jawab Seno dengan pasrah
    “Jadi, sekarang apa yang akan kamu lakukan?”
    “Entahlah, melanjutkan kuliah yang pasti. Tapi rasanya aku sudah sedikit lega.”

    BalasHapus